Lapangan kecil di bukit patinggisubur pagi itu dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka yang bertaruh atau hanya sekedar menonton. Ketika ayam milik Pakabil dan Patondang sedang hebat-hebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang di udara dan jatuh di tengah lapangan. Dua ayam yang bertarung berkotek keras lalu kabur. Orang yang ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan. Betapa tidak. Benda yang bergelimpang ditanah lapang itu adalah sesosok tubuh bergelimpang darah mulai dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti itu dari balik semak belukar sekonyong-konyong keluar sesosok tubuh tinggi besar. Saat itu juga tempat itu diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging terpanggang.
Kalau tadi semua orang dilanda kegegeran maka kini mereka dicekam ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak di depan mereka saat itu. Sosok tinggi besar ini tegak kaki terkembang tubuh agak terbungkuk seolah menahan sesuatu yang berat di
"Jahanam pendusta! Setelah merambas tanaman muda kau tidak berani mengakui perbuatan kejimu! Dengar baik-baik Pasingar! Ketika Ruhsantini kukawini, gadis itu sudah tidak perawan lagi! Kau melakukan kebejatan itu bukan cuma sekali! Pasti berulang-ulang! Alasan sakit hanya tipu muslihatmu semata agar bisa mendekati Ruhsantini! Jahanam terkutuk!""Demi para Dewa dan para Dewi. Demi para arwah kedua orang tuaku! Aku bersumpah, Patandai! Aku tidak melakukan semua yang kau tuduhkan itu!""Pasingar! Ternyata kau bukan saja seorang laknat Tapi berani bersumpah palsu menyebut para Dewa dan para Dewi! Bahkan menyebut roh orang tuamu! Kalau kau benar tidak melakukan perbuatan terkutuk itu mengapa melarikan diri?! Bersembunyi tinggal di Bukit Patinggisubur ini selama puluhan tahun?! Menukar nama menjadi Pakabil!""Patandai. Aku saat itu berada dalam keadaan tidak mungkin membela diri. Kalau benar orang itu Patorik, apa yang disaksikannya mungkin karangan belaka! Mungkin saj
"Hai! manusia bernama Patandai," Bunda Dewi berkata dari atas sana. Suaranya walau, lembut tapi mengiang keras masuk ke telinga Jin Bara Neraka.”Aku datang bukan membawa berkah! Kami para Dewi di angkasa raya merasa sedih. Karena sejak kau keluar, dari kawah Gunung Patimerapi, maka di Negeri Kota Jin telah bertambah satu lagi Jin yaitu Jin Bara Neraka. Jin yang perwujudannya adalah bagaimana keadaan dirimu sendiri saat ini. Kami ingin melenyapkan semua Jin yang ada, malah kini ketambahah satu lagi. Kami tahu ada Jin baik dan ada Jin jahat di antara kalian. Selama puluhan tahun kami para Dewi telah mengikuti perjalanan hidupmu. Ternyata kau bukan termasuk golongan Jin baik. Di tubuhmu sebelumnya ada seratus bara merah menyala. Kini bara itu telah banyak berkurang. Berarti belasan bara maut telah kau pergunakan untuk membunuh manusia lainnya!' Ketahuilah Patandai, mem- bunuh adalah sesuatu yang tidak diizinkan kecuali dalam membela diri, kelua
"Jika itu katamu, terpaksa aku menghalangi Hai! Patandai! Karena aku tahu kau akan membunuh lagi beberapa orang yang belum tentu berdosa!"Bunda Dewi kembangkan dua tangannya. Pakaian birunya bergulung-gulung di udara. Perlahan-lahan sosok tubuhnya turun mendekati Patandai."Bunda Dewi, jangan terlalu memaksa. Aku bisa bertindak nekad!" Patandai alias Jin Bara Neraka berteriak.Bunda Dewi hanya tersenyum dan terus melayang turun. Jin Bara Neraka ambil sebuah bara menyala di atas kepalanya lalu dilemparkan ke arah Bunda Dewi."Wussss!"Bara menyala itu menembus sisi kiri pakaian Bunda Dewi hingga berlubang dan terbakar."Luar biasa! Hebat sekali!" Seru Bunda Dewi sambil memperhatikan pakaiannya yang berlubang dan terbakar. Dia meniup satu kali. Kobaran api serta merta padam. Pakaian yang berlobang kembali utuh seperti semula. Bunda Dewi memandang sayu pada Jin Bara Neraka."Petunjuk sudah kuberikan. Peringatan sudah kusampaikan. Kau ne
"Hal itu bisa kita bicarakan nanti para saudaraku," jawab Maithatarun yang membuat Bintang dan kawan-kawannya menjadi jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Maithatarun hendak memasukkan ketiga orang itu kembali ke dalam kocek jerami tiba-tiba ada satu suara merdu datang dari kejauhan."Maithatarun suamiku, belum berbilang minggu berbilang bulan aku berada di alam roh. Tega nian hatimu tak pernah menjengukku lagi...”Suara yang datang dari jauh itu menggeletarkan batu di atas mana Bintang dan dua kawannya berada."Ada suara perempuan di kejauhan " bisik Bayu."Suara itu menyebut Maithatarun suaminya. Pasti itu suara Ruhrinjani...”“Tapi menurut Maithatarun istrinya itu bukankah sudah mati dan dimakamkan di Bukit Patinggihijau. Bagaimana sekarang bisa muncul.""Itu mungkin hanya suara rohnya," berkata Arya."Kalian berdua jangan bicara saja. Lihat di kejauhan sana. Ada satu s
"Usap wajahku Maithatarun, sentuh tubuhku..." bisik Ruhrinjani.Sesaat Maithatarun masih ragu. Lalu dia memberanikan diri mengangkat tangan membelai wajah perempuan dihadapannya itu. Dia benar-benar memegang manusia hidup! Kenyataan yang tidak bisa dipercaya itu membuat Maithatarun jadi merinding dan dingin sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan dia melangkah mundur.Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat."Astaga! Lihat!" seru Bayu sambil menunjuk ke atas. Sementara Bintang dan juga Arya pelototkan mata terheran-heran. Saat itu cahaya biru tadi telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali. Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulung- gulung panjang seolah tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari batu-batu permata berkilauan."Bunda Dewi, terima hormat saya!"
Saat itu tak sengaja kaki Maithatarun menyentuh celananya yang terbuat dari kulit kayu dan ada di tanah hingga tergeser ke atas batu dan menutupi Bintang, Bayu serta Arya."Aduh! Mengapa jadi gelap begini?!" teriak Bayu."Sial! Kita tidak bisa melihat apa-apa lagi!" ujar Bintang.Arya ikut menggerutu panjang pendek. Ketiga orang ini berusaha meloloskan diri dari bawah himpitan pakaian Maithatarun. Tapi dengan keadaan tubuh mereka sekecil itu, walau dengan mengerahkan tenaga sekalipun sulit bagi mereka untuk bisa keluar."Bintang! Pergunakan Pedang Pilar Bumimu! Lubangi celana sialan ini! Biar kita bisa mengintip!" teriak Arya. Masih penasaran bocah tengil ini rupanya.-o0o-Hujan lebat membuat maithatarun tidak dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam kocek jerami yang basah, Bintang, Bayu dan Arya kedinginan setengah mati. Bukan saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga akibat terpaan angin deras yang men
"Kurasa kita juga harus segera keluar dari sini!" kata Bintang. Lalu terjun ke tanah menyusul Bayu.Tinggal Arya sendirian. Dia bingung mau melompat gamang dan ngeri. Tinggal sendirian di dalam kocek jerami dia merasa jerih. Sesaat matanya yang jereng berputar-putar dan daun telinganya yang lebar bergerak-gerak. Akhirnya sambil pejamkan mata, Arya jatuhkan diri ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia tergeletak melingkar di tanah.Bayu lari menuju bagian kepala anak perempuan yang terbaring di tanah. Dia berusaha memanjat ke bahu. Tapi setiap dicoba tergelincir kembali karena tubuh anak perempuan itu licin akibat kebasahan air hujan. Saat itulah Maithatarun melihat sosok Bayu dan Bintang serta Arya.Dia hendak marah dan menegur tapi karena lebih mementingkan menolong anak perempuan itu maka untuk sementara Maithatarun tidak mengacuhkan tiga orang tersebut.Dengan sangat hati-hati dan sampai keluarkan keringat dingin Maithatarun berhasil membuka lidah yang te
"Tiga makhluk yang kau bilang cebol sebesar kutu... Mereka itu yang kau maksudkan saudara-saudaramu Hai! Bapak penolong?" Ketika Maithatarun tersenyum dan mengangguk si anak berkata. ”Sungguh aneh. Baru sekali ini saya melihat ada manusia sekecil ini. Aneh, tapi lucu-lucu...”"Hai! Bapak penolong, bagaimana kau bisa punya saudara seperti mereka?" Lalu si anak melihat sepasang kaki Maithatarun yang terbungkus batu bulat besar. ”Hai! Bapak penolong. Ternyata kau juga memiliki keanehan di kedua kakimu! Saya ingat sekarang.... Bukankah Bapak ini kepala Negeri Kota Jin, Bapak Maithatarun?"Maithatarun menyeringai.”Dulu aku memang Kepala Negeri Kota Jin. Sekarang tidak lagi...”"Bukankah Bapak yang telah membunuh Zalanbur dalam Duelcarok di tanah lapang?"Maithatarun menghela nafas panjang.”Kejadian itu sudah berlalu. Sekarang kami berempat ingin tahu siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu sampai kau berada sejauh ini,