Bab 5 Wajah Baru, Hidup Baru

Di sebuah ruang operasi rahasia yang tersembunyi di pinggira kota, suasana terasa mencekam. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi yang sudah dipersiapkan. Lily berbaring di sana, menatap langit-langit putih yang dingin. Tangannya mengepal erat, sementara di sudut ruangan, Abraham berdiri diam seperti patung, memperhatikan setiap gerakan dokter yang sedang bersiap.

“Ini keputusanmu, Lily,” kata Abraham, suaranya rendah tapi tegas.

Lily menoleh perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata penuh tekad. "Aku tahu ini bukan keputusan biasa, Abraham. Tapi jika aku harus menyerahkan diriku untuk menyelesaikan ini, aku akan melakukannya."

Abraham mengangguk, matanya gelap. "Wajah ini… adalah wajah seseorang yang sangat berarti bagiku. Ini bukan hanya tentang dendam. Ini juga tentang memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang pernah aku buat."

Wajah yang dimaksud adalah wajah mendiang istrinya, Marsanda. Wanita yang meninggal dalam kecelakaan tragis setahun yang lalu. Abraham telah merahasiakan rencana ini selama berbulan-bulan dari siapa pun, ia menyiapkan ahli bedah plastik terbaik dan peralatan paling canggih.

Lily mengerti beratnya keputusan ini. Wajahnya sendiri telah rusak akibat luka bakar yang ia alami dalam kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Namun ini lebih dari sekadar perbaikan. Ini adalah simbol transformasi—wajah baru yang akan digunakan untuk menghancurkan orang-orang yang telah menghancurkan hidup mereka berdua.

“Aku siap,” ucap Lily, suaranya mantap meskipun tubuhnya bergetar.

Dokter mulai bekerja, mempersiapkan prosedur panjang yang akan mengubah segalanya. Lily menutup matanya, mencoba melupakan ketakutannya. Namun dalam gelap, bayangan masa lalunya kembali menghantuinya—saat-saat ketika ia dikhianati, dipermalukan, dan ditinggalkan.

Di luar ruang operasi, Abraham berdiri di dekat jendela, menatap langit yang mulai gelap. Pikirannya dipenuhi oleh kenangan Marsanda—wajah lembutnya, senyumnya, dan tawa yang kini hanya tinggal dalam ingatan. Memberikan wajah Marsanda kepada Lily adalah keputusan berat, tetapi ia percaya ini adalah langkah yang tepat.

Jam demi jam berlalu. Operasi itu berlangsung sepanjang malam. Saat matahari terbit, dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah lelah, namun ada sedikit senyum di bibirnya.

“Prosedurnya berhasil,” katanya kepada Abraham.

Abraham mengangguk pelan, langkahnya berat saat memasuki ruang pemulihan. Lily terbaring di ranjang, wajahnya tertutup perban. Kedua matanya masih terpejam, ia tampak lemah.

"Aku harap semuanya berjalan dengan lancar."

"Aku mengandalkanmu," gumam Abraham pada dirinya sendiri.

Lalu, ia pun menarik kursi yang ada di dekat ranjang brangkar di mana Lily tengah terbaring lemah.

Siang menjelang, ia menunggu Lily untuk tersadar dari pengaruh obat bius saat Lily menjalani operasi.

Perlahan kedua mata Lily terbuka, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Abraham, yang duduk di sampingnya.

Lily tak menjawab, ia hanya mengedipkan kedua matanya sebagai sebuah isyarat bahwa dirinya baik-baik saja.

Beberapa hari berlalu dengan cepat dan kini waktunya perban Lily dibuka.

Abraham menatap Lily dengan jantung yang berdebar, telah lama ia menantikan momen ini.

Perlahan dokter melepas perban yang membalut wajah Lily. Abraham menatap tak berkedip ke arah wajah Lilt yang perbannya tengah dibuka oleh dokter yang merawatnya.

Sedikit demi sedikit wajah Lily mulai terlihat dan begitu terbuka dengan sempurna, Abraham terbelalak dengan tatapan takjub, ia pun langsung bertanya pada Lily.

"Benar-benar sempurna," gumam Abraham lirih sebelum bertanya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Abraham.

Lily mencoba tersenyum kecil, meskipun rasa sakit masih terasa. "Aku merasa seperti seseorang yang baru."

“Dan kau memang seseorang yang baru,” jawab Abraham. “Mulai sekarang, mereka tidak akan mengenalmu sebagai Lily lagi. Mereka akan mengenalmu sebagai Marsanda.”

Nama itu menggantung di udara, membawa berat dari masa lalu Abraham sekaligus harapan untuk masa depan mereka.

Lily memejamkan matanya lagi, membiarkan pikiran itu meresap. Ia tahu, wajah ini bukan hanya sekadar topeng. Ini adalah senjata, sebuah simbol dari hidup yang akan mereka ambil kembali.

Di luar, matahari pagi bersinar lembut. Namun di dalam hati Lily dan Abraham, badai dendam terus bergemuruh, siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalan mereka. Seringai tajam menusuk dalam tatapan Abraham.

"Saatnya telah tiba," gumamnya.

Pemulihan pasca operasi sangat cepat untuk Lily, hari ini Abraham memutuskan untuk membawa Lily pulang ke rumahnya dan menunjukan pada mereka kalau Marsanda baik-baik saja.

"Besok kita akan kembali. Apa kamu sudah berkemas?" tanya Abraham dingin tanpa ekspresi seperti biasa.

Lily mengangguk, ia menatap Abraham lekat dengan bibir yang terbuka dan menutup berulang kali seperti seseorang yang hendak berkata namun nampak ragu.

"Katakan saja," kata Abraham yang ternyata tahu akan isi hati Lily.

"Bagaimana dengan poin terakhir dari kontrak perjanjian itu?" tanya Lily.

"Menurutmu?" jawab Abraham.