“Makan malam, ya?” Lily mengulang ucapan Crish dengan nada bertanya, matanya menatap pria itu dengan penuh arti. Di seberangnya, Rani yang sejak tadi sudah menaruh curiga, merasakan kemarahan yang semakin membara di dadanya. Jemarinya meremas kuat roknya hingga kusut, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan ekspresi netralnya. Crish tersenyum, tatapannya tidak lepas dari Lily. “Ya, aku pikir akan lebih nyaman mendiskusikan detail kerja sama ini tanpa tekanan suasana kantor.” Lily berpura-pura berpikir, memainkan ujung cincinnya—cincin yang bukan sekadar perhiasan, tetapi simbol perjanjiannya dengan Abraham. “Oh?” bibirnya melengkung kecil. “Aku tidak keberatan, asalkan Tuan Crish tidak keberatan dengan kehadiran suamiku.” Rani menahan napas, matanya melebar seketika. Sementara itu, senyum Crish sedikit memudar, meskipun hanya sesaat. “Oh tentu, tentu. Aku hanya berpikir ini adalah pertemuan bisnis biasa.” Lily tersenyum manis. “Bisnis, tentu saja. Tapi aku dan suamiku selalu be
Lily berdiri di depan cermin besar, memandangi refleksi dirinya dalam gaun hitam keemasan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Namun, sebelum ia sempat mengagumi lebih lama, ia merasakan kehadiran Abraham yang mendekat dari belakang.Tanpa suara, pria itu mengambil kalung berlian yang berkilauan di tangannya.Lily bisa merasakan hawa tubuhnya yang hangat begitu dekat. Detik berikutnya, Abraham melingkarkan kalung itu di lehernya, jemari kokohnya dengan cekatan mengaitkan pengunci di belakang tengkuknya.Saat itu juga, hembusan napas Abraham menyentuh kulitnya—halus, hangat, dan tanpa ia sadari, cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.Lily terpejam sejenak. Ada sesuatu yang begitu intim dalam momen itu, meskipun mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka hanya didasarkan pada perjanjian dan tujuan yang lebih besar.Tapi, mengapa dada Lily terasa berdegup lebih cepat?Abraham memperhatikan wajahnya melalui pantulan cermin. "Sempurna," gumamnya, suaranya rendah dan berat.Lily membu
Rani memperhatikan setiap gerakan Lily dengan penuh kewaspadaan. Namun, ada satu hal yang terus mengusiknya sejak siang tadi—cincin di jari manis kiri Lily. Cincin itu bukan milik Marsanda. Dan itu berarti ada sesuatu yang tidak beres. Rani menyusun rencana di dalam kepalanya. Jika Lily benar-benar bukan Marsanda, maka ia akan menangkap basah wanita itu dan mempermalukannya di depan semua orang. Saat kesempatan datang, Rani berpura-pura tersenyum ramah. Ia menyodorkan tangannya ke arah Lily. “Nyonya Marsanda, bolehkah aku melihat cincinmu lebih dekat? Sepertinya sangat indah,” ujar Rani dengan nada penuh kelembutan yang dibuat-buat. Lily sempat tertegun, tetapi ia tetap tersenyum tenang. Ia tahu Rani sedang mencoba sesuatu. Namun, ia tidak boleh menunjukkan celah. Rani menggenggam tangan kiri Lily dengan lembut, namun ada kekuatan tersembunyi dalam genggamannya. Ia memperhatikan cincin berlian itu dengan seksama, berusaha mencari sesuatu yang janggal. “Sepertinya aku pernah m
"Aku merasa sangat gugup tadi. Apalagi saat Rani mencoba mencari tahu tentang cincin ini," ucap Lily.Abraham melirik Lily yang duduk di sampingnya, jari-jarinya dengan gelisah memainkan cincin di tangan kirinya. Mobil mereka melaju dengan kecepatan stabil menuju mansion, namun pikirannya masih tertinggal di meja makan malam tadi.“Kau berhasil mengendalikan situasi,” ujar Abraham tenang. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”Lily menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi Rani tidak akan diam saja. Aku bisa merasakan tatapannya yang penuh kecurigaan. Jika dia menemukan celah, dia pasti akan mencoba menjatuhkanku.”Abraham tersenyum miring. “Biarkan saja dia mencoba. Kita sudah memperhitungkan segalanya.”Lily menoleh ke arah Abraham, menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. “Kau yakin?”“Tentu saja.” Abraham menyesuaikan posisi duduknya, lalu meraih tangan Lily, ibu jarinya dengan lembut mengusap punggung tangannya. “Lihatlah siapa yang ada di pihakmu sekarang. Aku tidak akan membiark
Lily masih bersandar di kursi CEO Crish, ruangan yang dulunya adalah miliknya. Tangannya perlahan menggenggam lengan kursi, matanya kosong namun dipenuhi berbagai emosi yang berputar di dalam pikirannya. “Bagaimana cara Abraham akan mengambil kembali asetku?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Di sudut ruangan, Abraham yang sedang berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya mendengar gumaman itu. Ia berjalan mendekat, menatap Lily dengan sorot mata tajam. “Kau meragukan rencanaku?” tanyanya dengan nada rendah namun mengandung ketegasan. Lily menoleh, menatap pria yang kini menjadi sekutunya dalam balas dendam. Ia menggeleng pelan dan sedikit terkejut. "Sejak kapan kau berada di sana?" tanya Lily. Abraham tidak menjawab, ia hanya terus berjalan mendekati Lily. “Bukan meragukan… hanya ingin tahu bagaimana caranya," lanjut Lily. Abraham tersenyum tipis, lalu menarik kursi di hadapan Lily dan duduk. “Kontrak kerja sama ini adalah awal dari segalanya,” katanya
Di dalam mobil, Lily memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar dalam gelapnya malam. Rani sudah mencurigainya, dan itu berarti langkah mereka harus lebih hati-hati."Rani semakin curiga," ucap Lily tanpa menoleh pada Abraham yang tengah mengemudi.Abraham tersenyum samar, tangannya yang kuat tetap tenang di kemudi. "Itu bukan masalah. Rani hanya seseorang yang terbakar cemburu, dia tak akan bisa bergerak tanpa bukti konkret."Lily menghela napas. "Tapi jika dia semakin mendesak, kita harus siap."Abraham melirik ke arahnya sejenak. "Dan kita selalu siap. Ingat, kita bukan hanya dua orang yang bermain peran, kita adalah dua orang yang sedang menuntut balas."Lily menoleh ke arah Abraham, melihat ketegasan dalam sorot matanya. Ia mengangguk pelan. "Baiklah. Jika Rani ingin bermain, aku akan bermain dengannya."Sementara itu, di kediaman Crish, Rani duduk di ruang kerja suaminya, menatap layar laptop dengan rahang mengatup rapat.Di layar, terdapat foto-foto la
Rani kian gelisah saat ia tak menemukan cincin pernikahan Lily di kotak perhiasan lama yang Crish simpan di laci.Malam itu, di dalam kamar, Rani menggenggam ponselnya erat. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun strategi. Jika dugaannya benar dan "Marsanda" sebenarnya adalah Lily, maka ini bisa menjadi senjata untuk menghancurkan Crish.Ia menarik napas dalam, lalu mengetik nomor seseorang yang sudah lama tidak ia hubungi."Halo?"Suara di ujung telepon terdengar berat dan serius."Ini aku, Rani. Aku butuh bantuanmu.""Lama tak ada kabar darimu, Nyonya Crish."Suara itu terdengar mengejek di telinga Rani."Jangan mengejekku. Aku serius!" tegas Rani."Bantuan seperti apa?" ucap seseorang yang berada dibalik panggilan telepon Rani.Rani menoleh ke arah cermin, menatap pantulan wajahnya yang dipenuhi tekad."Aku butuh seseorang untuk menyelidiki Marsanda. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya." Ada jeda beberapa detik sebelum suara di ujung sana menjawab."Marsanda... Nyonya Abraha
Abraham baru kembali ke rumah dan masuk ke kamar dalam keadaan lelah. Ia membuka pintu kamar dan melihat Lily tengah berdiri di balkon kamar sambil memandang gelapnya malam. Abraham menghampiri Lily tanpa bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Saat Lily akan bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Abraham berbisik di telinga seraya menyandarkan dagunya di bahu Lily. "Sayang... aku sangat merindukanmu." “Aroma tubuhmu bagaikan candu di musim dingin,” bisik Abraham. Jantung Lily langsung berdegup kencang mendengar ucapan Abraham. Namun, kalimat terakhir mematahkan hatinya. "Marsanda..." Tubuh Lily menegang seketika. Ia merasa dadanya sesak saat mendengar nama itu keluar dari bibir Abraham. Marsanda. Nama yang selalu menghantui keberadaannya, nama yang mengingatkannya bahwa ia hanyalah bayangan dari wanita yang telah tiada. Perlahan, Lily melepaskan tangan Abraham dari pinggangnya dan berbalik menghadapny
Abraham baru kembali ke rumah dan masuk ke kamar dalam keadaan lelah. Ia membuka pintu kamar dan melihat Lily tengah berdiri di balkon kamar sambil memandang gelapnya malam. Abraham menghampiri Lily tanpa bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Saat Lily akan bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Abraham berbisik di telinga seraya menyandarkan dagunya di bahu Lily. "Sayang... aku sangat merindukanmu." “Aroma tubuhmu bagaikan candu di musim dingin,” bisik Abraham. Jantung Lily langsung berdegup kencang mendengar ucapan Abraham. Namun, kalimat terakhir mematahkan hatinya. "Marsanda..." Tubuh Lily menegang seketika. Ia merasa dadanya sesak saat mendengar nama itu keluar dari bibir Abraham. Marsanda. Nama yang selalu menghantui keberadaannya, nama yang mengingatkannya bahwa ia hanyalah bayangan dari wanita yang telah tiada. Perlahan, Lily melepaskan tangan Abraham dari pinggangnya dan berbalik menghadapny
Rani kian gelisah saat ia tak menemukan cincin pernikahan Lily di kotak perhiasan lama yang Crish simpan di laci.Malam itu, di dalam kamar, Rani menggenggam ponselnya erat. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun strategi. Jika dugaannya benar dan "Marsanda" sebenarnya adalah Lily, maka ini bisa menjadi senjata untuk menghancurkan Crish.Ia menarik napas dalam, lalu mengetik nomor seseorang yang sudah lama tidak ia hubungi."Halo?"Suara di ujung telepon terdengar berat dan serius."Ini aku, Rani. Aku butuh bantuanmu.""Lama tak ada kabar darimu, Nyonya Crish."Suara itu terdengar mengejek di telinga Rani."Jangan mengejekku. Aku serius!" tegas Rani."Bantuan seperti apa?" ucap seseorang yang berada dibalik panggilan telepon Rani.Rani menoleh ke arah cermin, menatap pantulan wajahnya yang dipenuhi tekad."Aku butuh seseorang untuk menyelidiki Marsanda. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya." Ada jeda beberapa detik sebelum suara di ujung sana menjawab."Marsanda... Nyonya Abraha
Di dalam mobil, Lily memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar dalam gelapnya malam. Rani sudah mencurigainya, dan itu berarti langkah mereka harus lebih hati-hati."Rani semakin curiga," ucap Lily tanpa menoleh pada Abraham yang tengah mengemudi.Abraham tersenyum samar, tangannya yang kuat tetap tenang di kemudi. "Itu bukan masalah. Rani hanya seseorang yang terbakar cemburu, dia tak akan bisa bergerak tanpa bukti konkret."Lily menghela napas. "Tapi jika dia semakin mendesak, kita harus siap."Abraham melirik ke arahnya sejenak. "Dan kita selalu siap. Ingat, kita bukan hanya dua orang yang bermain peran, kita adalah dua orang yang sedang menuntut balas."Lily menoleh ke arah Abraham, melihat ketegasan dalam sorot matanya. Ia mengangguk pelan. "Baiklah. Jika Rani ingin bermain, aku akan bermain dengannya."Sementara itu, di kediaman Crish, Rani duduk di ruang kerja suaminya, menatap layar laptop dengan rahang mengatup rapat.Di layar, terdapat foto-foto la
Lily masih bersandar di kursi CEO Crish, ruangan yang dulunya adalah miliknya. Tangannya perlahan menggenggam lengan kursi, matanya kosong namun dipenuhi berbagai emosi yang berputar di dalam pikirannya. “Bagaimana cara Abraham akan mengambil kembali asetku?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Di sudut ruangan, Abraham yang sedang berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya mendengar gumaman itu. Ia berjalan mendekat, menatap Lily dengan sorot mata tajam. “Kau meragukan rencanaku?” tanyanya dengan nada rendah namun mengandung ketegasan. Lily menoleh, menatap pria yang kini menjadi sekutunya dalam balas dendam. Ia menggeleng pelan dan sedikit terkejut. "Sejak kapan kau berada di sana?" tanya Lily. Abraham tidak menjawab, ia hanya terus berjalan mendekati Lily. “Bukan meragukan… hanya ingin tahu bagaimana caranya," lanjut Lily. Abraham tersenyum tipis, lalu menarik kursi di hadapan Lily dan duduk. “Kontrak kerja sama ini adalah awal dari segalanya,” katanya
"Aku merasa sangat gugup tadi. Apalagi saat Rani mencoba mencari tahu tentang cincin ini," ucap Lily.Abraham melirik Lily yang duduk di sampingnya, jari-jarinya dengan gelisah memainkan cincin di tangan kirinya. Mobil mereka melaju dengan kecepatan stabil menuju mansion, namun pikirannya masih tertinggal di meja makan malam tadi.“Kau berhasil mengendalikan situasi,” ujar Abraham tenang. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”Lily menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi Rani tidak akan diam saja. Aku bisa merasakan tatapannya yang penuh kecurigaan. Jika dia menemukan celah, dia pasti akan mencoba menjatuhkanku.”Abraham tersenyum miring. “Biarkan saja dia mencoba. Kita sudah memperhitungkan segalanya.”Lily menoleh ke arah Abraham, menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. “Kau yakin?”“Tentu saja.” Abraham menyesuaikan posisi duduknya, lalu meraih tangan Lily, ibu jarinya dengan lembut mengusap punggung tangannya. “Lihatlah siapa yang ada di pihakmu sekarang. Aku tidak akan membiark
Rani memperhatikan setiap gerakan Lily dengan penuh kewaspadaan. Namun, ada satu hal yang terus mengusiknya sejak siang tadi—cincin di jari manis kiri Lily. Cincin itu bukan milik Marsanda. Dan itu berarti ada sesuatu yang tidak beres. Rani menyusun rencana di dalam kepalanya. Jika Lily benar-benar bukan Marsanda, maka ia akan menangkap basah wanita itu dan mempermalukannya di depan semua orang. Saat kesempatan datang, Rani berpura-pura tersenyum ramah. Ia menyodorkan tangannya ke arah Lily. “Nyonya Marsanda, bolehkah aku melihat cincinmu lebih dekat? Sepertinya sangat indah,” ujar Rani dengan nada penuh kelembutan yang dibuat-buat. Lily sempat tertegun, tetapi ia tetap tersenyum tenang. Ia tahu Rani sedang mencoba sesuatu. Namun, ia tidak boleh menunjukkan celah. Rani menggenggam tangan kiri Lily dengan lembut, namun ada kekuatan tersembunyi dalam genggamannya. Ia memperhatikan cincin berlian itu dengan seksama, berusaha mencari sesuatu yang janggal. “Sepertinya aku pernah m
Lily berdiri di depan cermin besar, memandangi refleksi dirinya dalam gaun hitam keemasan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Namun, sebelum ia sempat mengagumi lebih lama, ia merasakan kehadiran Abraham yang mendekat dari belakang.Tanpa suara, pria itu mengambil kalung berlian yang berkilauan di tangannya.Lily bisa merasakan hawa tubuhnya yang hangat begitu dekat. Detik berikutnya, Abraham melingkarkan kalung itu di lehernya, jemari kokohnya dengan cekatan mengaitkan pengunci di belakang tengkuknya.Saat itu juga, hembusan napas Abraham menyentuh kulitnya—halus, hangat, dan tanpa ia sadari, cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.Lily terpejam sejenak. Ada sesuatu yang begitu intim dalam momen itu, meskipun mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka hanya didasarkan pada perjanjian dan tujuan yang lebih besar.Tapi, mengapa dada Lily terasa berdegup lebih cepat?Abraham memperhatikan wajahnya melalui pantulan cermin. "Sempurna," gumamnya, suaranya rendah dan berat.Lily membu
“Makan malam, ya?” Lily mengulang ucapan Crish dengan nada bertanya, matanya menatap pria itu dengan penuh arti. Di seberangnya, Rani yang sejak tadi sudah menaruh curiga, merasakan kemarahan yang semakin membara di dadanya. Jemarinya meremas kuat roknya hingga kusut, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan ekspresi netralnya. Crish tersenyum, tatapannya tidak lepas dari Lily. “Ya, aku pikir akan lebih nyaman mendiskusikan detail kerja sama ini tanpa tekanan suasana kantor.” Lily berpura-pura berpikir, memainkan ujung cincinnya—cincin yang bukan sekadar perhiasan, tetapi simbol perjanjiannya dengan Abraham. “Oh?” bibirnya melengkung kecil. “Aku tidak keberatan, asalkan Tuan Crish tidak keberatan dengan kehadiran suamiku.” Rani menahan napas, matanya melebar seketika. Sementara itu, senyum Crish sedikit memudar, meskipun hanya sesaat. “Oh tentu, tentu. Aku hanya berpikir ini adalah pertemuan bisnis biasa.” Lily tersenyum manis. “Bisnis, tentu saja. Tapi aku dan suamiku selalu be
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela besar di ruang makan mansion Abraham. Lily duduk di seberang pria itu, sesekali mengaduk kopi hitamnya tanpa minat. Pikirannya masih melayang pada kejadian semalam—tatapan Crish yang nyaris menelanjangi identitasnya, dan kecemburuan yang terpancar jelas dari Rani. Abraham meletakkan sendoknya dan menatap Lily tajam. “Aku sudah menyiapkan rencana untukmu,” katanya dengan nada serius. “Pergilah ke perusahaan Crish sebagai klien yang akan bekerja sama dengannya.” Lily mengangkat alis, lalu tersenyum miring. “Dan kau yakin dia akan langsung percaya?” “Crish itu serakah. Jika ada peluang bisnis yang menguntungkan, dia tidak akan berpikir dua kali,” jawab Abraham tenang. “Yang perlu kau lakukan hanyalah membuatnya tertarik.” Lily bersandar ke kursinya, memainkan pinggiran cangkir kopinya. “Dan setelah itu?” Abraham menyilangkan tangan di dadanya. “Kita akan perlahan menjatuhkannya dari dalam.” Lily tertawa pelan, tetapi tidak ada ke