Share

Bab 3 Menyusun strategi

Author: Rindu_Mentari
last update Last Updated: 2024-04-29 15:10:20

Lily berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang tertutup selimut sebagian, kedua matanya menutup rapat dengan luka bakar di bagian wajahnya yang cukup parah sampai tak dapat lagi dikenali oleh orang lain.

Seorang pria menghampiri tubuh Lily, ia menatapnya dingin. Sudut matanya memancarkan sebuah kilatan yang sulit di artikan.

Perlahan Lily membuka kelopak matanya setelah ia berbaring tak sadarkan diri selama satu tahun lamanya.

Lily meremas kedua matanya saat cahaya terang lampu menyilaukannya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya yang terganggu oleh sinar yang menusuk tajam ke dalam retina.

Setelah ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tatapan mata Lily terpaku pada sosok asing yang tengah berdiri di samping ranjangnya sembari menatapnya dalam diam.

"Siapa kamu?" tanya Lily.

Pria itu tak menjawab pertanyaan Lily.

"Di mana aku?" Lily kembali mengajukan sebuah pertanyaan pada pria itu sambil berusaha bangkit untuk duduk. Namun, rasa sakit di kepalanya membuatnya mengurungkan niatnya.

"Kamu tak ingat?" Pria itu balik bertanya.

Lily menyipitkan sebelah matanya, ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi padanya.

Tiba-tiba kepala Lily merasa sangat sakit, ia pun meremas rambut di kepalanya kuat.

Pria itu segera mendekat, memegang tangan Lily agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.

"Jangan paksa dirimu," ucapnya dengan suara tenang namun tegas.

Lily menatap pria itu dengan bingung. Wajahnya asing, "Siapa kamu? Kenapa kamu di sini?" Lily bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih putus asa.

Pria itu menghela napas panjang. "Namaku Abraham. Kamu terluka parah," jelasnya sambil melepaskan tangannya dari genggaman Lily.

"Terluka parah?" Lily bergumam pelan, mencoba mengingat. Namun, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi, membuatnya meringis.

Kilasan ingatan muncul, samar-samar: bagaimana dirinya ketakutan saat mobilnya menghantam mobil di depannya. suara langkah kaki, dan... sebuah teriakan. Tapi semuanya terlalu kabur untuk dirangkai.

"Jangan memaksakan diri untuk mengingat," ujar Abraham lagi. "Luka di kepalamu cukup parah. Kamu butuh waktu untuk pulih."

Lily menggeleng, berusaha keras melawan kabut yang menyelimuti pikirannya. "Aku harus tahu. Ada sesuatu... sesuatu yang penting. Aku merasa seperti—"

Ia terhenti, napasnya memburu. Matanya membelalak seolah ingatannya mulai kembali.

Tiba-tiba Lily tersenyum getir dengan sorot mata sayu.

"Dia ingin aku mati," katanya, suaranya bergetar.

Lily lama terdiam dengan mata terpejam. Perlahan cairan bening meleleh dari sudut matanya. Lily menangis tanpa suara. Ruangan seketika hening.

Lily menarik napas dalam untuk mengatur emosinya.

"Aku mengalami kecelakan mobil. Tapi, bagaimana mungkin aku selamat? Padahal saat itu api sudah berkobar menghanguskan body mobil," ujar Lily.

“Soal itu aku tak tahu,” timpal Abraham. “Yang aku tahu kamu sudah berada di sini dengan luka bakar di wajahmu dan sebagian kecil tubuhmu,” jelas Abraham. Lily meraba wajahnya, Ia tercekat, tangannya gemetar saat merasakan tekstur kasar yang sekarang menghiasi wajahnya.

"Apa... apa yang terjadi pada wajahku?" tanyanya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.

Abraham menatapnya dengan ekspresi tetap dingin. "Kamu mengalami luka bakar parah."

Air mata kembali menggenang di sudut mata Lily. "Wajahku... tubuhku... semuanya sudah tidak sama lagi," gumamnya dengan nada getir. Ia merasa dunianya runtuh. Wajah yang dulu ia banggakan, yang sering dipuji banyak orang, kini tinggal kenangan.

Abraham mendekat, mencoba menenangkan Lily.

"Aku tahu ini sulit, tapi yang penting adalah kamu masih hidup. Masih ada harapan untukmu memulai kembali."

Lily berusaha bangkit untuk duduk yang kemudian dibantu oleh Abraham.

"Memulai kembali?" Lily menatapnya tajam. "Dengan wajah seperti ini? Hidupku sudah hancur, Abraham."

Abraham menggeleng pelan.

"Jangan berpikir seperti itu. Kamu lebih dari sekedar penampilanmu."

"Tak inginkah kau membalas dendam pada orang yang telah membuatmu seperti ini?"

Namun, Lily hanya memalingkan wajah, menolak kata-kata penghiburan itu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar bisa melanjutkan hidup dengan luka yang begitu nyata, di luar dan di dalam dirinya?

"Tapi ini bukan hal yang bisa kau lakukan sendirian. Aku memberimu sebuah tawaran menarik? Bagaimana kalau kita bekerja sama? Dengan kekuatanmu, keteguhan hatimu, dan dengan sumber dayaku, kita bisa mengungkap kebenaran di balik semua ini."

"Bekerja sama?" ulang Lily.

Abraham tersenyum tipis, matanya memancarkan kilatan misterius.

"Ya, kerja sama yang saling menguntungkan."

Lily mengerutkan kening. "Saling menguntungkan. Apa maksudmu?"

Abraham mengangguk perlahan. "Aku akan membuatmu cantik seperti semula. Tapi, dengan wajah yang berbeda."

Dahi Lily berkerut.

"Apa maksudmu dengan wajah yang berbeda?" tanya Lily menuntut penjelasan dari Abraham.

"Aku akan merubah wajahmu dengan wajah istriku," jelas Abraham.

"Kenapa harus wajah istrimu?" selidik Lily.

"Karena aku ingin kau menjadi istriku dan mencari tahu apa yang terjadi padanya pada hari naas itu."

"Lalu apa keuntungan yang aku dapatkan dari semua itu?"

"Aku akan membantumu balas dendam pada suami dan adik madumu."

Lily terkejut saat ia mendengar ucapan Abraham.

"Kau... kau menyelidikiku?" tanya Lily penasaran.

Abraham tersenyum dingin. "Kau benar."

"Aku telah menyelidikimu. Bagaimana dengan tawaranku?"

Lily tak langsung menjawab, ia terdiam sejenak, mencerna kata-kata Abraham. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah kembali seperti semula. Wajahnya yang berubah, ingatan yang terfragmentasi, dan perasaan dikhianati yang kembali tumbuh di hatinya. Jika apa yang Abraham katakan benar, maka seseorang memang harus bertanggung jawab atas penderitaannya.

"Baiklah," ucap Lily akhirnya. "Aku akan bekerja sama denganmu. Tapi, aku mengajukan beberapa syarat padamu,"

Lily menatap Abraham dengan tatapan yang sulit diterka. Udara di ruangan itu terasa berat, penuh dengan ketegangan tak kasatmata.

Mereka bedua saling berhadapan di sebuah ruang rawat inap VIP yang diterangi cahaya lampu yang menerangi ruangan.

Abraham tampak santai, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi matanya memancarkan tekad yang tak bisa digoyahkan. Sementara itu, Lily menyilangkan tangan di dadanya, menahan diri agar tak tersenyum getir.

"Baik," kata Abraham akhirnya. "Aku setuju."

Lily menaikkan satu alis. "Kau bahkan tak bertanya apa syaratnya?"

"Itu tak penting." Abraham mengangkat bahu. "Apa pun syaratnya, aku setuju."

Lily terdiam sejenak, ia tak menyangka kalau ternyata Abraham langsung menyetujui permintaannya tanpa berpikir panjang.

"Jangan menyesal," ucap Lily akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyum kecil.

"Aku tak akan pernah menyesal," balas Abraham sambil mendekat, nada suaranya penuh keyakinan. "Jadi, apa syaratnya?"

"Akan aku pikirkan nanti," balas Lily.

Abraham tersenyum, "Baik. Aku akan kembali besok. Aku harap syarat itu sudah kau pikirkan."

Abraham berjalan menuju pintu, seorang asisten yang sedang menungguinya di luar membantu Abraham membukakan pintu untuknya. Lily mandangi punggung tegap pria itu hingga menghilang dibalik pintu.

Lily menuruni ranjang, ia berjalan menuju jendela dan berdiri di sana sambil memandang keluar melalui kaca jendela besar yang ada dihadapannya.

Lily menghela napas, ia kembali meraba pipinya yang kasar. Kilatan kemarahan hadir di sudut matanya.

"Aku akan membalas semua perbuatanmu padaku!" tekadnya dengan keteguhan hati yang begitu dalam.

Keesokan harinya, sesaui janjinya Abraham datang kembali tepat waktu.

"Kau sudah memikirkannya?" tanya Abraham.

Lily mengambil selembar kertas dari laci meja nakas yang ada di samping ranjangnya dan menyerahkannya pada Abraham.

"Baca sendiri," katanya.

Abraham mengambil kertas itu tanpa ragu. Ia membaca dengan cepat, matanya bergerak dari baris ke baris. Ketika selesai, ia melipat kertas itu kembali dan memasukannya ke dalam saku jasnya.

"Sepertinya lebih rumit dari yang kukira," katanya, masih dengan senyumnya yang tak pudar. "Tapi, seperti yang kukatakan, aku setuju."

Lily mengangguk, meski dalam hatinya ada sedikit rasa terkejut. Dia tak menyangka Abraham akan tetap setuju setelah membaca syarat-syarat itu.

"Kalau begitu, selamat datang di permainan ini, Abraham," katanya.

"Permainan ini?" Abraham memiringkan kepalanya.

Lily hanya tersenyum. "Kau akan tahu nanti."

Related chapters

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 4 Kesepakatan di Antara Luka

    Keesokan harinya, suasana kamar rumah sakit masih dipenuhi aroma antiseptik dan keheningan yang menghimpit. Lily duduk bersandar di tempat tidurnya, menatap keluar jendela. Di luar, langit mendung menggantung rendah, seolah menggambarkan suasana hatinya yang kelabu.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pria bertubuh tegap melangkah masuk dengan tenang. Abraham, pria dengan wajah dingin dan sikap tenang yang selalu membuat orang lain merasa waspada, menghampiri Lily tanpa banyak basa-basi.“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya singkat.Lily hanya mengangguk kecil. "Aku masih hidup," jawabnya, suaranya datar.Abraham duduk di kursi di samping tempat tidur, meletakkan sebuah map hitam di meja kecil di sebelahnya. Dengan gerakan terukur, ia mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya.“Ini surat kontrak perjanjian kita,” katanya, menyodorkan kertas itu ke arah Lily.Lily menatap kertas itu sejenak sebelum meraihnya. Tangannya sedikit gemetar, entah karena efek obat penghilang rasa sa

    Last Updated : 2024-05-26
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 5 Wajah Baru, Hidup Baru

    Di sebuah ruang operasi rahasia yang tersembunyi di pinggira kota, suasana terasa mencekam. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi yang sudah dipersiapkan. Lily berbaring di sana, menatap langit-langit putih yang dingin. Tangannya mengepal erat, sementara di sudut ruangan, Abraham berdiri diam seperti patung, memperhatikan setiap gerakan dokter yang sedang bersiap. “Ini keputusanmu, Lily,” kata Abraham, suaranya rendah tapi tegas. Lily menoleh perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata penuh tekad. "Aku tahu ini bukan keputusan biasa, Abraham. Tapi jika aku harus menyerahkan diriku untuk menyelesaikan ini, aku akan melakukannya." Abraham mengangguk, matanya gelap. "Wajah ini… adalah wajah seseorang yang sangat berarti bagiku. Ini bukan hanya tentang dendam. Ini juga tentang memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang pernah aku buat." Wajah yang dimaksud adalah wajah mendiang istrinya, Marsanda. Wanita yang meninggal dalam kecelakaan tragis setahun yang lalu. Abr

    Last Updated : 2024-10-10
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 6 Lily Kembali

    "Bi, siapkan makan malam!" perintah Rani dengan tegas pada Surti, pembantu yang baru ia rekrut beberapa waktu lalu. Surti, seorang wanita paruh baya, mengangguk patuh sambil tersenyum lembut. "Baik, Nya," ucap Surti sambil berlalu menuju dapur. Rani tersenyum puas, merasa berkuasa dalam rumah peninggalan Lily. "Huh! Enaknya jadi Nyonya rumah, kenapa tidak dari dulu aku menyingkirkan Lily?" dengus Rani, menyesali kesalahan yang sudah ia perbuat. Rani menghela napas panjang, seraya memikirkan keberuntungan yang baru saja ia nikmati. "Ternyata begini rasanya jadi orang kaya, tinggal tunjuk sana tunjuk sini memberi perintah, semua pekerjaan rumah pun beres," ujarnya bergumam dalam hati, sambil memainkan kuku-kukunya yang telah ia beri warna merah menyala, lalu Rani melipat kedua tangannya di atas meja makan sembari menunggu terhidangnya makanan dengan lauk pauk yang lezat. Merasa bosan karena menunggu lama, Rani berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang dulu milik Lily. Ki

    Last Updated : 2024-10-10
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 7 Harga sebuah makanan

    Abraham menghela napas panjang saat melihat Lily mengambil makanan dari rak dan menuju kasir tanpa sedikit pun rasa ragu. Ia hanya bisa menggeleng pelan sebelum akhirnya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kartu untuk membayar makanan yang diambil oleh wanita itu. "Tak punya uang tapi ingin jajan," ujar Abraham, nada suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. Lily tak menoleh, tak tertarik membalas ucapannya. Baginya, yang terpenting saat ini adalah mengisi perutnya. Ia merobek bungkus roti dengan cepat dan mulai melahapnya tanpa beban. Mereka keluar dari toko itu tanpa banyak bicara. Mereka kembali melanjutkan perjalannya yang sempat terhenti oleh Lily. Sebuah mobil mewah hitam menjemput mereka di bandara. Abraham akhirnya menghentikan langkahnya sebelum sampai pada mobil jemputannya itu. "Lily, ingat! Kamu bukan lagi Lily saat ini, melainkan Marsanda, istriku. Kamu tahu? Dia begitu anggun dan...." tanyanya serius. Lily berhenti sejenak, masih mengunyah makanannya.

    Last Updated : 2025-02-01
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 8 Pernikahan Atau Pelarian.

    Abraham melangkah masuk ke dalam kamar, membiarkan pintu tertutup dengan suara pelan di belakangnya. Tanpa tergesa-gesa, ia membuka jas hitam yang melekat di tubuhnya dan melemparkannya ke atas ranjang dengan santai. Tangannya terangkat ke leher, mengendurkan dasi yang sedari tadi melilitnya, lalu perlahan menariknya hingga terlepas sepenuhnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan. Dua kancing teratas kemeja putihnya ia buka, membiarkan sedikit kulit dadanya yang berbulu terlihat. Tangannya kemudian bergerak menggulung lengan kemejanya hingga mencapai siku, tetapi sebelum ia sempat menyelesaikannya— Suara pintu kamar mandi terbuka. Lily keluar dengan santai, hanya mengenakan handuk putih yang membungkus tubuhnya hingga sebatas lutut. Uap tipis masih mengepul dari dalam kamar mandi, mengisyaratkan bahwa ia baru saja selesai mandi. Tetesan air jatuh perlahan dari rambut basahnya, menelusuri leher jenjangnya sebelum menghilang di balik handuk. Memberikan nuansa

    Last Updated : 2025-02-02
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 9 Kembali dalam Wujud yang Berbeda

    Lily menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu cepat. Abraham baru saja mengumumkan sesuatu yang tidak pernah ia duga—mereka akan menemui keluarganya. Secepat ini? Tanpa persiapan? "Seharusnya kamu siap kapan pun aku membawamu ke sana," ujar Abraham sambil merapikan dasinya. Lily menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang hendak meluncur. Bukannya ia tidak mau bertemu dengan keluarga Abraham, tetapi ia membenci kejutan seperti ini. Ia benci tidak memiliki kendali atas situasi, sesuatu yang sudah lama hilang sejak hidupnya hancur karena Crish. Crish. Nama itu bergaung di kepalanya seperti racun yang tak bisa ia buang. Mata Lily terpaku pada dasi di tangan Abraham. Dulu, ia biasa melakukan hal yang sama untuk Crish. Mengikat dasi di leher pria yang pernah ia cintai, tanpa tahu bahwa tangan pria itu juga digunakan untuk mencabik hatinya. “Kenapa diam?” suara Abraham membuyarkan lamunannya. Lily menghela napas panjang. "Kamu bisa memberi

    Last Updated : 2025-02-03
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 10 Pertemuan yang Mengancam

    Ruang tengah mansion keluarga Abraham begitu luas, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu kristal berkilauan. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan klasik yang menggambarkan kemewahan dan kejayaan keluarga ini. Lily duduk dengan anggun di salah satu sofa empuk berwarna gading, tangannya masih melingkar di lengan Abraham, berpura-pura seolah ia benar-benar nyaman berada di sini. Di hadapan mereka, Cecillia duduk dengan tenang, menyesap teh dari cangkir porselen mahalnya. Ayah Abraham, Leonard Soren Valmont, juga duduk di seberangnya dengan ekspresi sulit ditebak. Percakapan mereka mengalir dengan lancar—terdengar hangat dan penuh keakraban. Cecillia menanyakan bagaimana Lily bisa "kembali" setelah sekian lama, sementara Leonard mengamati setiap kata dan gerak-geriknya dengan penuh perhatian. "Aku tersadar kembali oleh cinta yang selalu Abraham berikan padaku hampir sepanjang waktu,," ujar Lily dengan nada yang telah ia latih. "Aku hanya… butuh sedikit waktu untuk memulihkan

    Last Updated : 2025-02-03
  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 11 Kecurigaan yang mematikan

    Crish terus menatap Lily, dia merasa kalau wanita yang ada di seberangnya begitu familier. "Nyonya Marsanda, aku dengar Anda mengalami kecelakan di tempat yang sama dengan mantan istriku, Lily. Sayangnya... dia harus meregang nyawa di tempat kejadian," ucap Crish bernada sedih. Dalam hati Lily mengutuk Crish dengan tangan yang terkepal erat. Abraham yang ada di sampingnya berbisik padanya sambil memberikan lauk pada Lily agar tak menimbulkan curiga pada mereka. "Ingat. Jangan terbawa emosi," bisiknya. Lily tersenyum manis pada Abraham, "Terima kasih, sayang." Lily menahan napasnya setelah ia tersenyum pada Abraham. Ucapan Crish barusan menusuk tepat ke dalam hatinya seperti belati yang dipanaskan di api dendam. "Dia telah meregang nyawa di tempat kejadian." Kata-kata itu terngiang di kepala Lily. "Bajingan itu," gumam Lily. Tangannya mengepal erat di bawah meja, jemarinya hampir menusuk telapak tangannya sendiri. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan kebenaran di depan

    Last Updated : 2025-02-04

Latest chapter

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 27 Getaran yang tak diundang

    Mobil melaju perlahan memasuki halaman luas mansion Abraham. Bangunan megah itu berdiri dengan anggun di bawah langit pagi yang mulai cerah. Begitu kendaraan berhenti tepat di depan pintu utama, Lily langsung membuka pintu dan keluar tanpa menunggu Abraham. Tanpa menoleh sedikit pun, ia melangkah dengan cepat melewati tangga menuju pintu masuk. Gaun yang ia kenakan sedikit berkibar tertiup angin, memperlihatkan betapa teguhnya langkahnya saat ini. Abraham masih duduk di dalam mobil, matanya mengikuti gerakan Lily. Alisnya sedikit berkerut saat melihat sikap wanita itu yang jelas-jelas sedang marah. "Dia marah?" gumamnya pada dirinya sendiri. Ia tak terbiasa melihat Lily seperti ini—tegas, penuh sikap, dan tidak ragu menunjukkan ketidaksukaannya. Biasanya, wanita itu selalu penuh perhitungan, selalu tenang dalam setiap situasi. Tapi kali ini berbeda. Menghela napas, Abraham akhirnya keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam mansion. Begitu ia melewati pintu utama, suas

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 26 Tatapan Hangat Albert

    Pagi di mansion keluarga Sinclair terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menerangi ruang makan yang telah tertata rapi dengan hidangan mewah. Lily dan Abraham turun bersama. Langkah mereka tenang, seolah semuanya baik-baik saja. Namun, bagi Lily, suasana ini terasa aneh. Sejak pertemuan di pesta tadi malam, ada begitu banyak hal yang masih mengganggu pikirannya. Saat mereka memasuki ruang makan, tatapan Lily langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang hangat. Albert, adik tiri Abraham, duduk dengan santai di kursinya, tetapi matanya terpaku pada Lily. Tatapan itu tidak hanya sekadar menyapa, tetapi penuh dengan sesuatu yang lain—kehangatan, kasih sayang, dan sesuatu yang Lily tidak bisa pahami. "Tatapan Albert begitu hangat. Ada hubungan apa antara Marsanda dan Albert?" gumam Lily dalam hati. Sebelum pikirannya melayang lebih jauh, Abraham menarik kursi untuknya. Lily terpaksa mengalihkan perhatiannya dan duduk d

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 25 Batas Kepalsuan

    Leonard menyesap anggurnya dengan tenang, tetapi matanya terus mengawasi Lily dari kejauhan. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya—sesuatu tentang menantunya itu yang semakin hari terasa semakin mencurigakan. Lily tampak begitu anggun malam itu, dengan gaun hitam keemasan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Senyumnya ramah, matanya bercahaya, tetapi bagi Leonard, ada yang janggal di balik keceriaan itu. Ia menangkap sekilas bagaimana Lily berbisik kepada Abraham, putranya, dengan gerakan tubuh yang seolah menggambarkan kedekatan dan keintiman. Namun, bagi Leonard, ada nuansa ketegangan yang terselip di antara mereka. "Rani telah mengancamku kembali dengan tes DNA," ucap Lily dengan suara rendah, tetapi cukup bagi Leonard untuk menangkapnya di tengah denting gelas dan percakapan para tamu lainnya yang masih tersisa. "Tes DNA?" Leonard langsung menajamkan pendengarannya. Ia menatap Lily dan Abraham tanpa menunjukkan perubahan ekspresi. "Apa kau berhasil mengatasinya?" suara

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 24 Bayangan Yang Terus Mengintai

    Lily melangkah dengan anggun meninggalkan area pertemuan di mana ia baru saja berbincang singkat dengan Rani. Di antara kerumunan tamu yang masih bergemuruh dengan tawa dan percakapan, ia menyelinap keluar tanpa menarik perhatian. Di balik senyum dan pesonanya, Lily tahu bahwa malam itu telah ia menangkan—setidaknya untuk saat ini. Di sisi lain ballroom, Rani berdiri terpaku dengan wajah kesal dan mata yang menyala penuh kemarahan. Ia merasa gagal; usahanya untuk mengungkap identitas asli Lily sebagai Marsanda telah berakhir sia-sia. Dalam benaknya, segala rencana untuk memanfaatkan rahasia itu untuk menghancurkan Lily. Dan dengan demikian, Crish akan sepenuhnya beralih padanya. "Kenapa dia harus begitu lihai?" gumam Rani pelan sambil mengepalkan tangannya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah terbungkam oleh rasa kecewa dan rasa kehilangan yang mendalam. Ia melihat ke arah pintu keluar ballroom, berharap mendapatkan jawaban atas teka-teki yang terus menghantuinya. Di lu

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 23 Pesta Ulang Tahun Leonard

    Lily melangkah cepat menuju lift, tangannya menggenggam erat amplop coklat itu. Napasnya sedikit memburu, tapi wajahnya tetap tenang. Begitu pintu lift terbuka, ia segera masuk dan menekan tombol ke lantai dasar. Di dalam lift, ia membuka amplop dan menarik beberapa lembar dokumen di dalamnya. Matanya menyusuri isi dokumen dengan cepat. "Tes DNA?" Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia membaca lebih lanjut. "Sampel dari Marsanda dan Lily Selena Vantore.. Hasil: Tidak cocok." Lily tersenyum sinis. Jadi, ini yang diandalkan Rani? Bukti yang mengatakan bahwa dirinya bukan Marsanda? "Kau terlalu bodoh, Rani," gumamnya. Tes ini memang membuktikan bahwa ia bukan Marsanda, tapi tidak ada satu pun bukti di dalamnya yang menyatakan bahwa dirinya adalah Lily Selena Vantore. Pintu lift terbuka. Lily dengan tenang melipat kembali dokumen itu dan memasukkannya ke dalam amplop sebelum melangkah keluar dari hotel. Bodyguard Abraham sudah menunggu di luar, membuka pintu mobil

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 22 Permainan Rani

    Mobil terus melaju menuju butik eksklusif di pusat kota, tetapi pikiran Lily dipenuhi oleh ancaman Rani. Ia harus berpikir cepat. Jika benar ada seseorang yang bisa membuktikan bahwa dirinya bukan Marsanda, maka ia harus mencari tahu siapa orang itu dan menghentikannya sebelum semuanya terungkap. Saat ia tiba di butik, para pelayan menyambutnya dengan senyum ramah. Namun, Lily tak berniat berlama-lama di sana. Ia memilih beberapa gaun dengan cepat, lebih sebagai alibi agar tak menimbulkan kecurigaan. Setelah selesai, ia keluar dari butik dan mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik pesan cepat untuk seseorang yang bisa membantunya. "Cari tahu siapa yang sedang dihubungi Rani. Aku butuh jawabannya secepat mungkin." Tak butuh waktu lama, balasan datang. "Baik, Nona. Aku akan segera mengabari Anda." Lily menghela napas panjang. Namun, saat ia hendak masuk kembali ke dalam mobil, matanya menangkap sosok yang tak asing di seberang jalan. Seorang pria tinggi, dengan rahang tegas d

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 21

    Abraham baru kembali ke rumah dan masuk ke kamar dalam keadaan lelah. Ia membuka pintu kamar dan melihat Lily tengah berdiri di balkon kamar sambil memandang gelapnya malam. Abraham menghampiri Lily tanpa bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Saat Lily akan bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Abraham berbisik di telinga seraya menyandarkan dagunya di bahu Lily. "Sayang... aku sangat merindukanmu." “Aroma tubuhmu bagaikan candu di musim dingin,” bisik Abraham. Jantung Lily langsung berdegup kencang mendengar ucapan Abraham. Namun, kalimat terakhir mematahkan hatinya. "Marsanda..." Tubuh Lily menegang seketika. Ia merasa dadanya sesak saat mendengar nama itu keluar dari bibir Abraham. Marsanda. Nama yang selalu menghantui keberadaannya, nama yang mengingatkannya bahwa ia hanyalah bayangan dari wanita yang telah tiada. Perlahan, Lily melepaskan tangan Abraham dari pinggangnya dan berbalik menghadapnya

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 20 Mencari Bukti

    Rani kian gelisah saat ia tak menemukan cincin pernikahan Lily di kotak perhiasan lama yang Crish simpan di laci.Malam itu, di dalam kamar, Rani menggenggam ponselnya erat. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun strategi. Jika dugaannya benar dan "Marsanda" sebenarnya adalah Lily, maka ini bisa menjadi senjata untuk menghancurkan Crish.Ia menarik napas dalam, lalu mengetik nomor seseorang yang sudah lama tidak ia hubungi."Halo?"Suara di ujung telepon terdengar berat dan serius."Ini aku, Rani. Aku butuh bantuanmu.""Lama tak ada kabar darimu, Nyonya Crish."Suara itu terdengar mengejek di telinga Rani."Jangan mengejekku. Aku serius!" tegas Rani."Bantuan seperti apa?" ucap seseorang yang berada dibalik panggilan telepon Rani.Rani menoleh ke arah cermin, menatap pantulan wajahnya yang dipenuhi tekad."Aku butuh seseorang untuk menyelidiki Marsanda. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya." Ada jeda beberapa detik sebelum suara di ujung sana menjawab."Marsanda... Nyonya Abraha

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 19 Mencari Kebenaran

    Di dalam mobil, Lily memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar dalam gelapnya malam. Rani sudah mencurigainya, dan itu berarti langkah mereka harus lebih hati-hati."Rani semakin curiga," ucap Lily tanpa menoleh pada Abraham yang tengah mengemudi.Abraham tersenyum samar, tangannya yang kuat tetap tenang di kemudi. "Itu bukan masalah. Rani hanya seseorang yang terbakar cemburu, dia tak akan bisa bergerak tanpa bukti konkret."Lily menghela napas. "Tapi jika dia semakin mendesak, kita harus siap."Abraham melirik ke arahnya sejenak. "Dan kita selalu siap. Ingat, kita bukan hanya dua orang yang bermain peran, kita adalah dua orang yang sedang menuntut balas."Lily menoleh ke arah Abraham, melihat ketegasan dalam sorot matanya. Ia mengangguk pelan. "Baiklah. Jika Rani ingin bermain, aku akan bermain dengannya."Sementara itu, di kediaman Crish, Rani duduk di ruang kerja suaminya, menatap layar laptop dengan rahang mengatup rapat.Di layar, terdapat foto-foto la

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status