"Apa yang sedang kalian lakukan di kamar kita, Mas?!" tanya Lily dengan wajah yang memerah akibat marah. Crish yang sedang melakukan hubungan intim dengan seorang wanita di dalam kamar tidur yang biasa di tempati Lily dengan Crish bergegas menghentikan gerakan pinggulnya, ia menoleh ke arah sumber suara dan betapa terkejutnya ia saat melihat Lily tengah menatapnya penuh dengan kemarahan.
"L-Lily?" ujar Crish gugup. Sementara wanita yang berada di bawah kungkungan tubuh Crish hanya tersenyum penuh kelicikan secara diam-diam. Lily mengepalkan tangannya erat, matanya berkilat penuh amarah dan pengkhianatan. Tubuhnya bergetar, bukan karena lemah, tapi karena menahan diri agar tidak meledak lebih dari ini. "Jadi, begini caramu menghargai hubungan kita, Crish?" suaranya rendah, tetapi penuh tekanan. Crish bangkit dari tempat tidur dengan gerakan terburu-buru, mencoba menutupi tubuhnya dengan selimut. "Lily, aku bisa jelaskan—" "Jelaskan apa?!" potong Lily tajam. "Apa yang perlu dijelaskan dari pemandangan menjijikkan ini?" Wanita di ranjang itu, bukannya merasa bersalah, justru memperlihatkan senyuman mengejek. "Sepertinya kami melakukannya di waktu yang salah, ya?" ujarnya santai, sengaja memancing kemarahan Lily lebih jauh. Lily menoleh tajam ke arahnya, wajahnya dingin. "Kamu benar-benar tidak tahu malu. Berani-beraninya kamu menginjakkan kaki di kamar ini," katanya penuh kebencian. Crish mencoba mendekati Lily, tetapi Lily mundur, menatapnya seolah-olah dia adalah orang asing. "Jangan dekati aku, Crish. Aku sudah cukup muak melihat wajahmu." "Sayang, ini hanya kesalahpahaman," Crish mencoba membela diri, meski jelas tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakannya. Lily tersenyum dingin, sebuah senyum yang tidak menunjukkan kebahagiaan, tetapi kepedihan yang mendalam. "Kesalahpahaman? Kau pikir aku buta, bodoh, atau apa? Kau menghancurkan semuanya." Dengan tangan gemetar, Lily membuka pintu kamar, menatap mereka berdua untuk terakhir kalinya. "Nikmati saja penghancuran ini, Crish. Karena aku tidak akan pernah menghalangimu." Lily berjalan keluar dengan langkah tegap, meninggalkan Crish dan wanita itu dalam keheningan yang mencekam. Melihat Lily pergi, Crish bergegas mengejar istrinya itu dengan hanya mengenakan celana pendek sepaha. Sementara Rani, masih betah berdiam diri di atas ranjang besar tempatnya bergumul dengan Crish beberapa menit yang lalu. Bahkan napasnya pun masih memburu, terengah-engah. "Lily, Tunggu!" Panggil Crish dengan setengah berteriak menyusul Lily, istrinya. Begitu dekat, ia langsung menangkap pergelangan tangan Lily. "Tunggu!" "Aku bisa jelaskan padamu," ucap Crish. "Apa lagi yang akan kau jelaskan, Crish?" timpal Lily dengan nada lembut namun penuh ketegasan. "Dia.... dia adalah Rani. Istri mudaku, adik madumu," ungkap Crish. Lily menatap Crish dengan mata penuh luka dan kekecewaan yang begitu mendalam. Udara terasa berat di antara mereka, hanya diselingi oleh detak jantung yang menggema di kepala Lily. "Istri muda?" gumam Lily, suaranya nyaris berbisik, namun cukup tajam untuk menusuk hati Crish. "Adik madu? Dan kau bahkan tidak berpikir aku layak tahu sebelumnya?" kata Lily bernada sinis. "Lily, aku... aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin—" Crish kembali gugup. Bahkan nada suaranya pun terbata. "Jangan berani-beraninya mengatakan kau tidak ingin menyakitiku, Crish," potong Lily, nadanya kembali penuh ketegasan. "Apa yang baru saja kulihat? Kau mengkhianati kepercayaan dan cinta yang kuberikan dengan begitu mudah." Crish mencoba mendekat, tetapi Lily menepis tangannya. "Aku mencintaimu, Lily. Tapi aku juga mencintai Rani. Aku menikahinya karena aku ingin—" ungkapan Crish tak sampai selesai karena Lily telah menyelanya. "Berhenti, Crish! Berhenti mencari pembenaran," Lily berkata, kali ini nadanya melemah, tetapi air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku mencintaimu, memberikan seluruh hidupku untukmu, dan ini balasanmu? Kau menikah lagi tanpa memberitahuku, tanpa meminta persetujuanku, lalu memamerkannya di depan mataku seperti ini?" Crish terdiam, tak mampu berkata-kata. Dia tahu tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki keadaan ini. "Kalau kau menganggap ini cinta, aku tidak tahu cinta seperti apa yang kau maksud," lanjut Lily. "Karena kau sudah membuat cinta itu hancur berkeping-keping, Crish. Dan sekarang, aku tak tahu lagi apakah cinta itu masih tersisa atau sudah lenyap bersama dengan kekecewaaan yang telah kau torehkan di hatiku." Lily berbalik, air matanya terus mengalir, tetapi langkahnya tetap mantap. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari kebohongan ini. Tapi, apakah aku bisa pergi darimu atau tidak, Crish," bisik Lily lirih dalam hatinya. Crish hanya bisa berdiri diam, tubuhnya lemas, sementara Lily berjalan menjauh, meninggalkan dirinya. Di dalam hatinya, Crish merasa menyesal karena telah menghianati cinta tulus Lily, namun ia juga tak mau kehilangan sosok wanita yang baru saja ia gauli. Sementara itu, di balik pintu kamar. Rani tengah mengintip pertengkaran mereka. Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya, sorot matanya menyiratkan sebuah kepuasan. "Aku sudah menunggu hal ini cukup lama, dan akhirnya kini aku bisa memilikimu sepenuhnya, Crish," tutur Rani dengan berbisik pada dirinya sendiri. Rani menutup pintu perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengalihkan perhatian Crish yang kini sedang terpaku di tempatnya berdiri. Pertengkaran mereka telah usai saat Lily memilih meninggalkan Crish. Dia bersandar di balik pintu, senyum liciknya semakin melebar. Dalam hatinya, kemenangan ini terasa begitu manis, seperti buah yang telah ia tunggu matang sekian lama. "Semua berjalan sesuai rencana," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Sorot matanya mencerminkan ambisi yang selama ini tersembunyi di balik sikap lembut dan polos yang selalu ia tampilkan. Rani melangkah ke cermin di kamar itu, menatap bayangannya sendiri dengan penuh percaya diri. "Lily, kau terlalu percaya diri dengan posisimu sebagai istri pertama. Padahal, dunia ini penuh dengan kejutan, dan kau terlalu naif untuk menyadari bahwa kebahagiaanmu hanya sementara." Dia merapikan rambutnya dengan jari, senyumnya tak kunjung pudar. "Sekarang, Crish sepenuhnya milikku. Tidak ada lagi dirimu untuk menghalangi jalan ini. Dan tentunya semua kekayaan ini juga akan menjadi milikku." Namun, jauh di dalam hatinya, ada sedikit rasa takut. Takut dengan cintanya Crish yang dulu begitu besar pada Lily, takut tak sepenuhnya bisa melupakan wanita itu. Tapi dia mengenyahkan pikiran itu dengan cepat. "Aku akan memastikan dia melupakanmu, Lily. Karena mulai sekarang, aku adalah satu-satunya wanita dalam hidupnya," ucap Rani tegas, seolah berbicara pada musuh yang tak terlihat. Dia berbalik dari cermin, melangkah menuju tempat tidur dengan aura kepemilikan yang kuat. Baginya, ini adalah awal dari kehidupan baru—kehidupan di mana dia memegang kendali penuh. Hari ini, menjadi kelabu bagi Lily. Ia tak pernah menyangka kalau ternyata wanita yang di baru dikenalnya dua hari lalu justru adalah adik madunya. Ia sempat curiga saat Crish tiba-tiba datang bersama seorang wanita saat baru pulang dari kampung halamannya. Waktu itu, Crish bilang pada Lily kalau Rani itu adalah adik sepupunya yang ingin mengadu nasib di kota tempat mereka tinggal. Namun, ternyata Rani adalah adik madunya. Lily menumpahkan rasa marah, kecewa, dan sedihnya di dalam kamar tidur lain. Sepanjang hari Lily mengurung diri di dalam kamar. Tanpa makan dan minum, ia hanya fokus pada kesedihannya, rasa sakit hatinya dan juga kemarahannya yang tak bisa ia lampiaskan sepenuhnya. Di tengah kesedihannya, ia menemukan sebuah kekuatan. Ia mengelus lembut perut ratanya sembari berbisik. "Aku harus kuat. Ada dia di dalam rahimku," bisik Lily. Ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya. Tiba-tiba ada sebuah kekuatan yang mendorong dirinya untuk bangkit. Lily berjalan menaiki tangga menuju kamar tidurnya, ia berharap wanita itu telah kembali ke kamarnya yang berada di lantai bawah. Langkah kaki Lily terasa lemah tak bertenaga. Ia telah kehilangan gairah dalam hidupnya, bahkan kabar gembira yang baru saja ia terima beberapa waktu lalu pun tak mampu menghilangkan kesedihan dalam hatinya. Tangan Lily terulur, ia berusaha menggapai gagang pintu dan bersiap untuk membukanya. Namun, sebuah percakapan dari dalam kamar itu kembali menghantam relung hatinya. Seketika itu juga, tubuhnya luruh bersimpuh di lantai yang dingin, sedingin hatinyaLily merasa tubuhnya lemas, kakinya tak sanggup menopang tubuhnya yang tiba-tiba terasa berat. Air mata Lily mengalir turun deras membasahi pipi mulusnya. Ia terjatuh berlutut di lantai, mengepalkan tangannya. Ingin rasanya ia memekik keras, "Tega kalian padaku!""Apa salahku padamu, Mas?" ucapnya dengan penuh lirih.Lily merasa hatinya teriris mendalam, mengetahui bahwa selama ini ia telah dibohongi oleh orang yang sangat ia percayai. "Ternyata selama ini kamu telah membohongiku," ungkap Lily sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar suara isak tangisnya tak terdengar oleh Rani dan Crish yang ada di dalam kamarnya.Sesal yang mendalam menyelimuti hati Lily. Ia merenung, menatap kosong ke arah depan. "Kenapa selama ini aku begitu bodoh?" bisiknya pelan, menyesali kepercayaan yang telah ia berikan kepada orang terdekatnya.Namun, Lily tak ingin terus terpuruk dalam kesedihan. Ia bangkit, berusaha mengumpulkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya. Dalam hati, Lily berjanji akan me
Lily berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang tertutup selimut sebagian, kedua matanya menutup rapat dengan luka bakar di bagian wajahnya yang cukup parah sampai tak dapat lagi dikenali oleh orang lain. Seorang pria menghampiri tubuh Lily, ia menatapnya dingin. Sudut matanya memancarkan sebuah kilatan yang sulit di artikan. Perlahan Lily membuka kelopak matanya setelah ia berbaring tak sadarkan diri selama satu tahun lamanya. Lily meremas kedua matanya saat cahaya terang lampu menyilaukannya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya yang terganggu oleh sinar yang menusuk tajam ke dalam retina. Setelah ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tatapan mata Lily terpaku pada sosok asing yang tengah berdiri di samping ranjangnya sembari menatapnya dalam diam. "Siapa kamu?" tanya Lily. Pria itu tak menjawab pertanyaan Lily. "Di mana aku?" Lily kembali mengajukan sebuah pertanyaan pada pria itu sambil berusaha bangkit untuk duduk.
Keesokan harinya, suasana kamar rumah sakit masih dipenuhi aroma antiseptik dan keheningan yang menghimpit. Lily duduk bersandar di tempat tidurnya, menatap keluar jendela. Di luar, langit mendung menggantung rendah, seolah menggambarkan suasana hatinya yang kelabu.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pria bertubuh tegap melangkah masuk dengan tenang. Abraham, pria dengan wajah dingin dan sikap tenang yang selalu membuat orang lain merasa waspada, menghampiri Lily tanpa banyak basa-basi.“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya singkat.Lily hanya mengangguk kecil. "Aku masih hidup," jawabnya, suaranya datar.Abraham duduk di kursi di samping tempat tidur, meletakkan sebuah map hitam di meja kecil di sebelahnya. Dengan gerakan terukur, ia mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya.“Ini surat kontrak perjanjian kita,” katanya, menyodorkan kertas itu ke arah Lily.Lily menatap kertas itu sejenak sebelum meraihnya. Tangannya sedikit gemetar, entah karena efek obat penghilang rasa sa
Di sebuah ruang operasi rahasia yang tersembunyi di pinggira kota, suasana terasa mencekam. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi yang sudah dipersiapkan. Lily berbaring di sana, menatap langit-langit putih yang dingin. Tangannya mengepal erat, sementara di sudut ruangan, Abraham berdiri diam seperti patung, memperhatikan setiap gerakan dokter yang sedang bersiap. “Ini keputusanmu, Lily,” kata Abraham, suaranya rendah tapi tegas. Lily menoleh perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata penuh tekad. "Aku tahu ini bukan keputusan biasa, Abraham. Tapi jika aku harus menyerahkan diriku untuk menyelesaikan ini, aku akan melakukannya." Abraham mengangguk, matanya gelap. "Wajah ini… adalah wajah seseorang yang sangat berarti bagiku. Ini bukan hanya tentang dendam. Ini juga tentang memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang pernah aku buat." Wajah yang dimaksud adalah wajah mendiang istrinya, Marsanda. Wanita yang meninggal dalam kecelakaan tragis setahun yang lalu. Abr
"Bi, siapkan makan malam!" perintah Rani dengan tegas pada Surti, pembantu yang baru ia rekrut beberapa waktu lalu. Surti, seorang wanita paruh baya, mengangguk patuh sambil tersenyum lembut. "Baik, Nya," ucap Surti sambil berlalu menuju dapur. Rani tersenyum puas, merasa berkuasa dalam rumah peninggalan Lily. "Huh! Enaknya jadi Nyonya rumah, kenapa tidak dari dulu aku menyingkirkan Lily?" dengus Rani, menyesali kesalahan yang sudah ia perbuat. Rani menghela napas panjang, seraya memikirkan keberuntungan yang baru saja ia nikmati. "Ternyata begini rasanya jadi orang kaya, tinggal tunjuk sana tunjuk sini memberi perintah, semua pekerjaan rumah pun beres," ujarnya bergumam dalam hati, sambil memainkan kuku-kukunya yang telah ia beri warna merah menyala, lalu Rani melipat kedua tangannya di atas meja makan sembari menunggu terhidangnya makanan dengan lauk pauk yang lezat. Merasa bosan karena menunggu lama, Rani berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang dulu milik Lily. Ki
Abraham menghela napas panjang saat melihat Lily mengambil makanan dari rak dan menuju kasir tanpa sedikit pun rasa ragu. Ia hanya bisa menggeleng pelan sebelum akhirnya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kartu untuk membayar makanan yang diambil oleh wanita itu. "Tak punya uang tapi ingin jajan," ujar Abraham, nada suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. Lily tak menoleh, tak tertarik membalas ucapannya. Baginya, yang terpenting saat ini adalah mengisi perutnya. Ia merobek bungkus roti dengan cepat dan mulai melahapnya tanpa beban. Mereka keluar dari toko itu tanpa banyak bicara. Mereka kembali melanjutkan perjalannya yang sempat terhenti oleh Lily. Sebuah mobil mewah hitam menjemput mereka di bandara. Abraham akhirnya menghentikan langkahnya sebelum sampai pada mobil jemputannya itu. "Lily, ingat! Kamu bukan lagi Lily saat ini, melainkan Marsanda, istriku. Kamu tahu? Dia begitu anggun dan...." tanyanya serius. Lily berhenti sejenak, masih mengunyah makanannya.
Abraham melangkah masuk ke dalam kamar, membiarkan pintu tertutup dengan suara pelan di belakangnya. Tanpa tergesa-gesa, ia membuka jas hitam yang melekat di tubuhnya dan melemparkannya ke atas ranjang dengan santai. Tangannya terangkat ke leher, mengendurkan dasi yang sedari tadi melilitnya, lalu perlahan menariknya hingga terlepas sepenuhnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan. Dua kancing teratas kemeja putihnya ia buka, membiarkan sedikit kulit dadanya yang berbulu terlihat. Tangannya kemudian bergerak menggulung lengan kemejanya hingga mencapai siku, tetapi sebelum ia sempat menyelesaikannya— Suara pintu kamar mandi terbuka. Lily keluar dengan santai, hanya mengenakan handuk putih yang membungkus tubuhnya hingga sebatas lutut. Uap tipis masih mengepul dari dalam kamar mandi, mengisyaratkan bahwa ia baru saja selesai mandi. Tetesan air jatuh perlahan dari rambut basahnya, menelusuri leher jenjangnya sebelum menghilang di balik handuk. Memberikan nuansa
Lily menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu cepat. Abraham baru saja mengumumkan sesuatu yang tidak pernah ia duga—mereka akan menemui keluarganya. Secepat ini? Tanpa persiapan? "Seharusnya kamu siap kapan pun aku membawamu ke sana," ujar Abraham sambil merapikan dasinya. Lily menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang hendak meluncur. Bukannya ia tidak mau bertemu dengan keluarga Abraham, tetapi ia membenci kejutan seperti ini. Ia benci tidak memiliki kendali atas situasi, sesuatu yang sudah lama hilang sejak hidupnya hancur karena Crish. Crish. Nama itu bergaung di kepalanya seperti racun yang tak bisa ia buang. Mata Lily terpaku pada dasi di tangan Abraham. Dulu, ia biasa melakukan hal yang sama untuk Crish. Mengikat dasi di leher pria yang pernah ia cintai, tanpa tahu bahwa tangan pria itu juga digunakan untuk mencabik hatinya. “Kenapa diam?” suara Abraham membuyarkan lamunannya. Lily menghela napas panjang. "Kamu bisa memberi
Mobil melaju perlahan memasuki halaman luas mansion Abraham. Bangunan megah itu berdiri dengan anggun di bawah langit pagi yang mulai cerah. Begitu kendaraan berhenti tepat di depan pintu utama, Lily langsung membuka pintu dan keluar tanpa menunggu Abraham. Tanpa menoleh sedikit pun, ia melangkah dengan cepat melewati tangga menuju pintu masuk. Gaun yang ia kenakan sedikit berkibar tertiup angin, memperlihatkan betapa teguhnya langkahnya saat ini. Abraham masih duduk di dalam mobil, matanya mengikuti gerakan Lily. Alisnya sedikit berkerut saat melihat sikap wanita itu yang jelas-jelas sedang marah. "Dia marah?" gumamnya pada dirinya sendiri. Ia tak terbiasa melihat Lily seperti ini—tegas, penuh sikap, dan tidak ragu menunjukkan ketidaksukaannya. Biasanya, wanita itu selalu penuh perhitungan, selalu tenang dalam setiap situasi. Tapi kali ini berbeda. Menghela napas, Abraham akhirnya keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam mansion. Begitu ia melewati pintu utama, suas
Pagi di mansion keluarga Sinclair terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menerangi ruang makan yang telah tertata rapi dengan hidangan mewah. Lily dan Abraham turun bersama. Langkah mereka tenang, seolah semuanya baik-baik saja. Namun, bagi Lily, suasana ini terasa aneh. Sejak pertemuan di pesta tadi malam, ada begitu banyak hal yang masih mengganggu pikirannya. Saat mereka memasuki ruang makan, tatapan Lily langsung bertemu dengan sepasang mata cokelat yang hangat. Albert, adik tiri Abraham, duduk dengan santai di kursinya, tetapi matanya terpaku pada Lily. Tatapan itu tidak hanya sekadar menyapa, tetapi penuh dengan sesuatu yang lain—kehangatan, kasih sayang, dan sesuatu yang Lily tidak bisa pahami. "Tatapan Albert begitu hangat. Ada hubungan apa antara Marsanda dan Albert?" gumam Lily dalam hati. Sebelum pikirannya melayang lebih jauh, Abraham menarik kursi untuknya. Lily terpaksa mengalihkan perhatiannya dan duduk d
Leonard menyesap anggurnya dengan tenang, tetapi matanya terus mengawasi Lily dari kejauhan. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya—sesuatu tentang menantunya itu yang semakin hari terasa semakin mencurigakan. Lily tampak begitu anggun malam itu, dengan gaun hitam keemasan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Senyumnya ramah, matanya bercahaya, tetapi bagi Leonard, ada yang janggal di balik keceriaan itu. Ia menangkap sekilas bagaimana Lily berbisik kepada Abraham, putranya, dengan gerakan tubuh yang seolah menggambarkan kedekatan dan keintiman. Namun, bagi Leonard, ada nuansa ketegangan yang terselip di antara mereka. "Rani telah mengancamku kembali dengan tes DNA," ucap Lily dengan suara rendah, tetapi cukup bagi Leonard untuk menangkapnya di tengah denting gelas dan percakapan para tamu lainnya yang masih tersisa. "Tes DNA?" Leonard langsung menajamkan pendengarannya. Ia menatap Lily dan Abraham tanpa menunjukkan perubahan ekspresi. "Apa kau berhasil mengatasinya?" suara
Lily melangkah dengan anggun meninggalkan area pertemuan di mana ia baru saja berbincang singkat dengan Rani. Di antara kerumunan tamu yang masih bergemuruh dengan tawa dan percakapan, ia menyelinap keluar tanpa menarik perhatian. Di balik senyum dan pesonanya, Lily tahu bahwa malam itu telah ia menangkan—setidaknya untuk saat ini. Di sisi lain ballroom, Rani berdiri terpaku dengan wajah kesal dan mata yang menyala penuh kemarahan. Ia merasa gagal; usahanya untuk mengungkap identitas asli Lily sebagai Marsanda telah berakhir sia-sia. Dalam benaknya, segala rencana untuk memanfaatkan rahasia itu untuk menghancurkan Lily. Dan dengan demikian, Crish akan sepenuhnya beralih padanya. "Kenapa dia harus begitu lihai?" gumam Rani pelan sambil mengepalkan tangannya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah terbungkam oleh rasa kecewa dan rasa kehilangan yang mendalam. Ia melihat ke arah pintu keluar ballroom, berharap mendapatkan jawaban atas teka-teki yang terus menghantuinya. Di lu
Lily melangkah cepat menuju lift, tangannya menggenggam erat amplop coklat itu. Napasnya sedikit memburu, tapi wajahnya tetap tenang. Begitu pintu lift terbuka, ia segera masuk dan menekan tombol ke lantai dasar. Di dalam lift, ia membuka amplop dan menarik beberapa lembar dokumen di dalamnya. Matanya menyusuri isi dokumen dengan cepat. "Tes DNA?" Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia membaca lebih lanjut. "Sampel dari Marsanda dan Lily Selena Vantore.. Hasil: Tidak cocok." Lily tersenyum sinis. Jadi, ini yang diandalkan Rani? Bukti yang mengatakan bahwa dirinya bukan Marsanda? "Kau terlalu bodoh, Rani," gumamnya. Tes ini memang membuktikan bahwa ia bukan Marsanda, tapi tidak ada satu pun bukti di dalamnya yang menyatakan bahwa dirinya adalah Lily Selena Vantore. Pintu lift terbuka. Lily dengan tenang melipat kembali dokumen itu dan memasukkannya ke dalam amplop sebelum melangkah keluar dari hotel. Bodyguard Abraham sudah menunggu di luar, membuka pintu mobil
Mobil terus melaju menuju butik eksklusif di pusat kota, tetapi pikiran Lily dipenuhi oleh ancaman Rani. Ia harus berpikir cepat. Jika benar ada seseorang yang bisa membuktikan bahwa dirinya bukan Marsanda, maka ia harus mencari tahu siapa orang itu dan menghentikannya sebelum semuanya terungkap. Saat ia tiba di butik, para pelayan menyambutnya dengan senyum ramah. Namun, Lily tak berniat berlama-lama di sana. Ia memilih beberapa gaun dengan cepat, lebih sebagai alibi agar tak menimbulkan kecurigaan. Setelah selesai, ia keluar dari butik dan mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik pesan cepat untuk seseorang yang bisa membantunya. "Cari tahu siapa yang sedang dihubungi Rani. Aku butuh jawabannya secepat mungkin." Tak butuh waktu lama, balasan datang. "Baik, Nona. Aku akan segera mengabari Anda." Lily menghela napas panjang. Namun, saat ia hendak masuk kembali ke dalam mobil, matanya menangkap sosok yang tak asing di seberang jalan. Seorang pria tinggi, dengan rahang tegas d
Abraham baru kembali ke rumah dan masuk ke kamar dalam keadaan lelah. Ia membuka pintu kamar dan melihat Lily tengah berdiri di balkon kamar sambil memandang gelapnya malam. Abraham menghampiri Lily tanpa bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Saat Lily akan bersuara, ia langsung memeluknya dari belakang dan Lily pun terkejut. Abraham berbisik di telinga seraya menyandarkan dagunya di bahu Lily. "Sayang... aku sangat merindukanmu." “Aroma tubuhmu bagaikan candu di musim dingin,” bisik Abraham. Jantung Lily langsung berdegup kencang mendengar ucapan Abraham. Namun, kalimat terakhir mematahkan hatinya. "Marsanda..." Tubuh Lily menegang seketika. Ia merasa dadanya sesak saat mendengar nama itu keluar dari bibir Abraham. Marsanda. Nama yang selalu menghantui keberadaannya, nama yang mengingatkannya bahwa ia hanyalah bayangan dari wanita yang telah tiada. Perlahan, Lily melepaskan tangan Abraham dari pinggangnya dan berbalik menghadapnya
Rani kian gelisah saat ia tak menemukan cincin pernikahan Lily di kotak perhiasan lama yang Crish simpan di laci.Malam itu, di dalam kamar, Rani menggenggam ponselnya erat. Pikirannya terus berputar, mencoba menyusun strategi. Jika dugaannya benar dan "Marsanda" sebenarnya adalah Lily, maka ini bisa menjadi senjata untuk menghancurkan Crish.Ia menarik napas dalam, lalu mengetik nomor seseorang yang sudah lama tidak ia hubungi."Halo?"Suara di ujung telepon terdengar berat dan serius."Ini aku, Rani. Aku butuh bantuanmu.""Lama tak ada kabar darimu, Nyonya Crish."Suara itu terdengar mengejek di telinga Rani."Jangan mengejekku. Aku serius!" tegas Rani."Bantuan seperti apa?" ucap seseorang yang berada dibalik panggilan telepon Rani.Rani menoleh ke arah cermin, menatap pantulan wajahnya yang dipenuhi tekad."Aku butuh seseorang untuk menyelidiki Marsanda. Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya." Ada jeda beberapa detik sebelum suara di ujung sana menjawab."Marsanda... Nyonya Abraha
Di dalam mobil, Lily memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar dalam gelapnya malam. Rani sudah mencurigainya, dan itu berarti langkah mereka harus lebih hati-hati."Rani semakin curiga," ucap Lily tanpa menoleh pada Abraham yang tengah mengemudi.Abraham tersenyum samar, tangannya yang kuat tetap tenang di kemudi. "Itu bukan masalah. Rani hanya seseorang yang terbakar cemburu, dia tak akan bisa bergerak tanpa bukti konkret."Lily menghela napas. "Tapi jika dia semakin mendesak, kita harus siap."Abraham melirik ke arahnya sejenak. "Dan kita selalu siap. Ingat, kita bukan hanya dua orang yang bermain peran, kita adalah dua orang yang sedang menuntut balas."Lily menoleh ke arah Abraham, melihat ketegasan dalam sorot matanya. Ia mengangguk pelan. "Baiklah. Jika Rani ingin bermain, aku akan bermain dengannya."Sementara itu, di kediaman Crish, Rani duduk di ruang kerja suaminya, menatap layar laptop dengan rahang mengatup rapat.Di layar, terdapat foto-foto la