6 bulan sudah berlalu sejak kelahiran Noah. Rencana Irene untuk membuka kafe diminta Adam untuk menunggu sampai Noah berusia 2 tahun. Dan hari ini putra kedua Irene dan Adam kini sudah menginjak usia 1 tahun. Tentu saja, Alfred kembali berkunjung dengan banyak hadiah untuk cucunya. “Lihat, Noah. Itu Grandy!” seru Irene saat melihat Alfred muncul dari ruang tamu. Ia sibuk membuat tangan putranya itu melambai-lambai ke arah Alfred. “Ah! Mimpi apa aku punya cucu menggemaskan seperti ini,” pekik Alfred sambil mengangkat tubuh mungil Noah. “Happy birthday, cicit pertamaku!”Noah yang memang tidak pernah menangis walau ada orang asing itu pun terkekeh geli karena lonjakan saat ia terangkat naik ke dalam gendongan sang kakek buyut. Mendengar ucapan sang kakek, Adam jadi teringat lagi bagaimana dulu ia bertemu Irene pertama kali. Tidak ada yang pernah menduga kalau pada akhirnya mereka jatuh cinta seperti sekarang.Pria itu menatap sang istri dan bersyukur dalam hati bahwa ia tak jadi me
“Apa kau mau coba makanan lain?” tanya Adam saat mendengar Irene mendesah bosan setelah membolak balik majalah yang terselip di hadapannya.Memutuskan untuk bulan madu dengan hati gelisah, Irene akhirnya memilih pergi dengan membawa Noah dan Nannia. Dan saat ini mereka tengah berada di dalam pesawat.“Aku mau camilan aja,” jawab Irene sambil menutup majalah maskapai dan meletakkannya kembali di temaptnya. “Apa ada kentang goreng ya?”Adam mengangguk. “Biar kumintakan.”Tak lama setelah Adam memanggil salah satu pramugari, pesanan mereka datang. Tidak hanya kentang goreng, ia juga memesan beberapa camilan ringan untuk menemani penerbangan mereka.“Banyak!” seru Irene sambil mulai mencicipi masing-masing makanan yang dipesan Adam.Adam pun mengikuti Irene mengambil salah satu camilan, kemudian berkata, “Makanlah. Perjalanan kita cukup panjang.”“Berapa lama? Jam berapa kita sampai?” tanya Irene. Gadis itu menikmati camilannya sambil bersandar manja pada sang suami. Adam melirik ke arah
Irene terlelap lelah dalam perjalanan pulang dari acara fashion show tadi kembali ke hotel. Pertanyaan terakhirnya tak sempat terjawab, karena tiba-tiba banyak orang berdatangan ke meja mereka untuk berkenalan dengan istri sang pemilik bisnis tambang berlian Bright Co. Ltd.Bright & Co yang ada di paris khusus memproduksi perhiasan kelas atas yang sifatnya edisi terbatas. Dan Irene baru mengetahui kalau Adam sangat terkenal di Paris ketimbang di Indonesia.“Apakah Nyonya menyukai acaranya, Tuan?” tanya pengemudi mobil yang sepertinya dekat dengan Adam. Adam tersenyum puas. “Yes, Brown. Dia tersenyum sepanjang acara. Aku seperti bisa lihat ada sparkles di matanya, setiap kali ada gaun yang menarik perhatiannya.”Sang supir yang dipanggil Brown itu pun ikut tersenyum mendengarnya. “Syukurlah Tuan. Ah … dan selamat untuk pernikahan dan kelahiran putra Anda, Tuan. Saya tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba.”Brown baru saja menyupiri Adam hari ini, karena kemarin ia digantikan ole
Huft!“Makanya dia ngeliatin aku kayak kemarin,” batin Irene lagi, kala teringat cerita Adam semalam. Hari ini hari ketiga mereka berlibur dan Adam berencana mengajak Irene mengunjungi pesisir pantai yang dekat dengan Louvre.“Tapi seharusnya dia nyerah karena Adam kan sudah menikah denganku,” keluh Irene kesal.Wanita itu semakin menenggelamkan tubuhnya ke dalam kubangan air hangat yang cukup mengobati bagian tubuhnya yang sedikit perih karena kegiatan semalam dengan sang suami.“Dan lagi aku tak pernah menggubrisnya, Irene.”Ucapan Adam yang tiba-tiba bergabung dalam monolognya tadi membuat Irene menyundulkan kepalanya dari dalam air dan melihat keberadaan pria itu di ambang pintu kamar mandi.“Kau sudah bangun?” sapa Irene dengan wajah cemberutnya. Senang karena Irene sepertinya cemburu dengan keberadaan Gabrielle, Adam hanya bisa memamerkan cengiran lebarnya. “Kenapa kau nggak tegas sama dia dan bilang kalau kau sudah bahagia denganku?!” sentak Irene, melipat kedua tangannya. M
“Tuan Alfred sepertinya mengetahui rencana Anda, Tuan Adolf.”Ucapan itu tidak memberi efek panik pada pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjangnya. Malahan ia terlihat bersemangat, ingin mendengarkan lanjutan dari informasi yang diberikan oleh pria yang menjadi kaki tangan sementaranya itu.Lagi, sang anak buah berkata, “Beliau menempatkan banyak penjaga di bandara dan kediaman Tuan Bright. Akan sulit untuk melakukan hal yang menarik perhatian.”“Mana yang dipilih ayahku?” tanya Adolf dengan nafas sedikit terputus-putus. “Bandara? Atau rumah putraku?”“Beliau ada di bandara menunggu kedatangan Tuan Adam.”Seperti orang gila, Adolf tertawa hingga terbatuk-batuk karenanya. “Old man itu, sangat tahu jalan pikiranku ya. Tapi dia tidak tahu siapa yang akan merebut salah satu harta berharganya itu. Tenang saja.”Kaki tangannya memang tidak tahu menahu mengenai rencana utama Adolf. Ia hanya ditugaskan untuk mengecek keadaan di sekitar bandara dan memantau pergerakan Alfred. Hanya Adol
Ponsel Alfred terjatuh dari genggaman tangannya. Ia terlihat lesu dengan pandangan kosong dan mulut menganga, seolah jiwanya meninggalkan tubuhnya.“Grand, ada apa?!” tanya Adam panik, melihat wajah Alfred memucat setelah mendapat telpon dari Terry.Pria tua itu berlutut di lantai bandara sambil menenggelamkan wajahnya di dalam telapak tangan. Ia bergumam pelan, “Kenapa aku bisa punya putra seperti Adolf? Salahku yang terlalu memanjakannya.”“Grand!”Alfred melepaskan tangan yang menutupi wajahnya dan menatap Adam dengan pandangan penuh permintaan maaf. “Dia membakar rumah peninggalan Allaster itu. Yang kubangun dengan cucuran air mata dan keringat.”Kengerian terlihat di wajah Adam maupun Irene. Irene yang merasa sudah kuat berjalan pun meminta Adam untuk menurunkannya. Ia memeluk sang kakek dan berkata, “Relakanlah, Grand.”“Kau benar.” Alfred segera menyeka wajahnya yang basah karena mengenang semua kehidupan yang ia lewati di rumah utama keluarga Allaster itu. Dia. Istrinya. Oran
Batin Adam bergejolak. “Apa?!”Adam cukup terkejut mendengar jawaban sang kakek. Ia jelas tahu apa yang menunggu sang ayah jika namanya tak lagi mengemban marga itu. Namun, untuk saat ini ia berpikir bahwa mungkin itulah yang terbaik, jika ingin membiarkan Sarah bebas berkeliaran di dunia ini.“Mungkin Grand punya pemikiran lain. Aku akan tanya nanti saja setelah Noah bisa kudapatkan,” pikir Adam sambil melirik ke arah Alfred yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. “Berapa lama lagi aku harus menunggu?!” raung Adolf yang mulai terlihat tak sabar. Ia sudah menggerakkan kakinya naik turun seperti orang menjahit pakaian sepanjang menunggu sang istri dibebaskan dari sel tahanan.Adam terlihat jijik mengamati kelakuan sang ayah, begitu juga dengan Aldrich. Namun, Alfred terlihat sangat menyesal dan penuh dengan kekecewaan. Entah pada siapa ia tujukan raut wajah itu, karena kepalanya hanya tertunduk dalam-dalam di bawah bayangan. Setelah menunggu hampir 2 jam, terdengar suara mobil
Keesokan harinya. Irene terbangun dengan senyuman di wajahnya. Ia bisa melihat Adam tertidur di sampingnya dengan nyenyak setelah kejadian semalam.“Noah juga masih bobo,” batinnya sambil mengusap pelan pipi Noah yang tertidur di sebelahnya. Merasakan ada gerakan di dekatnya, Adam pun membuka mata dan melihat punggung sang istri di hadapannya. Ia melingkarkan tangannya di tubuh Irene dan mengecup tengkuk leher sang istri. “Morning. Kau sudah bangun atau nggak bisa tidur semalam?”Irene langsung berbalik dan membalas kecupan di tengkuknya itu dengan ciuman selamat pagi di bibir sang suami. “Aku tidur nyenyak, Adam.”Mereka berbagi kecupan sebelum akhirnya harus berhenti karena Noah terbangun. “Oh! Aku akan masak sop buntut untuk Grandpa dan Aldrich. Gimana?” tanya Irene setelah mereka selesai mandi.Adam mengangguk. “Aku akan pakaikan baju Noah. Kau duluan saja.”“Oke!”Irene segera keluar dari kamarnya menuju lantai 1, dapur dan ruang makan. Ia tidak melihat siapapun selain ART yan
10 tahun sejak kelahiran Bella Jackson Allaster. Noah sudah berusia 12 tahun dan berhasil melompati kelas sehingga tahun ini ia sudah masuk SMP.“Apa kau yakin, kau bisa mengikuti pelajaran di SMP?” tanya Irene khawatir. “Kau bisa belajar dulu di rumah sampai usia 13 tahun, Noah.”Noah memutar bola matanya kemudian menoleh ke arah Adam yang sibuk mengisi piring Bella dengan berbagai menu sarapan. “Dad, please jelasin ke Momma. Dia terlalu khawatir.” “Momma hanya takut kau dibully, Noah,” ujar Adam menengahi. “Pertanyaannya hanya kamuflase. Tidak mungkin Momma meragukan kejeniusan Noah. Benar kan, Sayang?”Mendengar ucapan itu, Irene merasa tertegur. Ia baru sadar kalau ucapannya mengecilkan sang putra. Tak mau Noah sakit hati, Irene segera mengiyakan ucapan Adam.“Kau paling muda sendiri di SMP, Noah.”Dengan senyum penuh kebanggaan Noah menjawab, “Aku sudah dapat blue belt-ku, Mom. Jangan khawatir.”Adam menatap Irene kemudian tersenyum penuh arti. Meminta sang istri untuk berhenti
“Tidak, tidak! Ma–maksudku, iya. Ah! Bukan! Tunggu sebentar!” pekik Giana panik. Ia mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan diri. Irene yang tak bisa percaya bahwa sang sahabat menyembunyikan berita baik itu, mengiriminya tatapan penuh protes, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.“Oke, oke. Kujelaskan. Aku tunangan, yes. Tapi bukan berarti aku sedang hamil.”“Tunangan!” pekik Irene dengan nada kesal. “Kenapa aku nggak diundang?!” Giana terkekeh, walau ia tahu Irene sedang kesal betulan. Dengan sabar ia menjelaskan, “Kau tahu kondisimu 3 bulan lalu masih nggak memungkinkan untuk turun dari tempat tidur, Irene. Ini aja aku ke sini karena Adam sudah membuka gembok rumah kalian.”Bibir Irene maju 5 centi. Cemberut. Merajuk kesal, tapi tidak bisa membalas penjelasan Giana. Pasti Adam yang sudah memblokir semua kegiatan luar, supaya dirinya tidak berpikir untuk memaksakan diri hadir. “Siapa tunanganmu?” tanya Irene yang akhirnya menyerah. Dengan penuh semangat Giana mengel
“Tuan Adam, ini kainnya,” ucap Nannia yang akhirnya bisa masuk ke ruang makan.Sebenarnya sejak tadi ia sudah tiba di sana, tetapi karena melihat majikannya sedang saling mengutarakan rasa cintanya dengan bahasa tubuh, ia memutuskan untuk menunggu sampai ada celah baginya untuk masuk.Adam segera mengambil kain itu dan melingkarkannya di tubuh Irene yang memeluk Noah. “Bilang kalau terlalu kencang ya.”“Mm. Sudah pas,” ujar Irene sambil menganggukkan kepala. “Thanks, Adam.”Sementara Irene menaruh perhatian penuh pada Noah, Adam memanggil Leon untuk membahas kebutuhan makan malam yang ia janjikan pada Irene. “Pesan kotatsu*. Juga meja makan pendek. Kursi yang lembut dan empuk untuk Irene bisa duduk di lantai. Siapkan untuk malam ini.” Adam memberi perintah pada Leon. Pria tua yang mendengarkan sang majikan, melirik jam yang melingkar di tangannya. Jelas waktunya tidak akan cukup jika harus memesan kotatsu asli dari Jepang.Namun, Leon tetap menjawab, “Baik, Tuan Adam. Akan segera sa
3 bulan setelah pemeriksaan.“Ini obatnya, Nyonya.” Nannia menyerahkan piring kecil berisi 5 butir pil yang harus diminum Irene. Semenjak hasil pengecekan rahim berjalan tak terlalu bagus, Darren sibuk mencarikan obat-obatan yang bisa memperkuat kondisi rahim dan juga janin di dalamnya.Rahim Irene sedikit melemah, sejak keguguran. Saat kehamilan Noah pun, Darren berusaha memberi semua yang terbaik, demi kehidupan sang putra mahkota itu. Saat itu, ia tidak memberitahu kondisi ini karena melahirkan Noah adalah sebuah keadaan yang harus terjadi bagaimanapun caranya. Setelah kehilangan bayi mereka karena kecelakaan yang ditimbulkan oleh Sarah, Darren tak punya hati untuk memberitahu mereka bahwa ada kondisi di mana 50% kehamilan Irene akan gagal. Karena itu, ia berjuang sendiri untuk menjaga kehamilan Irene. Namun, kali ini berbeda. Anak kedua bukan hal yang wajib terjadi. Adam sudah memenuhi syarat untuk menjadi pewaris Allaster. Itulah kenapa, akhirnya Darren memutuskan untuk memb
“Aku aman.”Ucapan yang terdengar mantap dari Giana tadi justru membuat Irene merasa was-was. Ia berharap bisa menempatkan orang yang ia percaya untuk menjaga Giana. Namun ia tahu, meminta Regan yang menjadi bodyguard Giana tidak akan disetujui Adam.Dan saat ini Irene sudah bersama Adam untuk kembali pulang. Tengah panik dengan semua bayangan negatif di kepalanya, Adam tiba-tiba berkata, “Ir, jangan khawatir. Masalah ini sudah kuceritakan pada Grandpa Allan. Kau tenang saja. Oke?”Irene menatap sang suami dengan tatapan terpana, seolah sang suami sudah melakukan hal terhebat baginya. Ia memeluk Adam erat sambil berkata, “Thanks, Adam. Aku nggak tahu lagi kalau sampai Giana terbawa-bawa dengan urusan Franz.”Adam mengusap punggung Irene dengan sayang. Walau Irene tidak meminta, tapi ia sudah menempatkan Regan di restoran Giana. Ia tidak suka melihat istrinya menghamburkan air mata kalau-kalau terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.“Sampai Grandpa Allan memberi tanda kalau kondisi sudah
Beberapa hari setelah perkenalan Franz pada keluarga besar Allaster, Irene mendapat undangan dari Giana untuk datang berkunjung. Sahabatnya itu membuka area bar di lantai 2 restorannya. Tak pernah menebak bahwa Giana akan punya hubungan dengan Franz, Irene pun datang ke acara sang sahabat bersama dengan Noah. Tentu saja, seperti perintah Adam, ia juga membawa Regan bersamanya. “Kenapa ada orang itu di sini? Apa Giana sudah langsung membuka bar-nya untuk publik?” batin Irene bertanya-tanya, ketika ia mendapati sosok Franz tengah berbincang ramah dengan Giana di meja bar.“Oh! Irene! Noah! Sudah datang!” seru Giana sambil berjalan keluar dari belakang meja bar. Berusaha bersikap tenang, Irene pun membalas sapaan sang sahabat dengan ucapan selamat. “Congratz, Gi! Bar-nya keren banget!”Ha! Ha! Ha!Giana tergelak menerima pujian tulus Irene itu. Ia kemudian mendorong pundak Irene untuk duduk di salah satu sofa yang nyaman untuknya dan Noah.“Dan ibu menyusui nggak boleh minum di sini,
Mendengar cerita Franz, bahkan Adam mulai panik kalau tebakan Allan benar. Namun, mereka langsung menghela nafas lega ketika mendengar jawaban franz. “Sandra Billie. Kau kenal, Dad? Katanya dia sedang liburan ke sini dan aku diminta mengejarnya. Ugh! Memalukan sekali pekerjaan ini.”Allan tergelak mendengarnya. “Pernikahan bukan pekerjaan, Franz. Kurasa ayahmu sedang mencarikan asuransi untukmu. Kau tahu kan, kau nggak akan bisa menggantikannya walau ia turun dari posisinya sekarang.”“Cih! Pria tua itu memang selalu kurang kerjaan,” keluh Franz sambil menggaruk bahunya yang tiba-tiba gatal. Ia menatap orang-orang yang baru beberapa menit dikenalnya dan sadar bahwa dunia mereka jelas berbeda.Ketidaknyamanan itu membuatnya ingin segera pergi dari sana. Namun, baru saja ia akan membuka mulut untuk pamit, Irene turun dari lantai 2 bersama Noah.“Oh! Ada tamu?” sapa Irene sambil menggosok matanya yang mengantuk. “Apa aku mengganggu? Noah bangun cari kamu, Adam.”Adam tersenyum sambil me
Kembali ke satu menit yang lalu. Irene dan Adam mendengar Allan berbicara dengan seseorang, sepertinya melalui sambungan telepon. Walau hanya sekilas, mereka bisa mendengar nama asing yang diucapkan Allan. Franz.“Apa kau pernah dengar?” tanya Irene lagi pada Adam. “Sepertinya Grand marah sekali sama orang yang bernama Franz itu.”Sang suami menggeleng. Mereka memutuskan untuk tak lagi membahasnya dan masuk menuju ruang keluarga. Tak mereka sadari, ternyata Allan juga mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Irene sendiri pergi ke kamar untuk menidurkan Noah, sementara Adam berniat untuk menikmati waktu sendirinya di sofa ruang keluarga itu.Allan kemudian duduk di sampingnya dan menikmati teh yang masih ia bawa dari pesta kebun tadi. Dan setelah menyesap tehnya, ia kemudian bertanya, “Apa aku bisa pakai salah satu ruangan yang tak terpakai di rumahmu? Aku kedatangan tamu yang juga ingin kukenalkan pada kalian.” Tanpa bertanya lebih jauh, Adam mengangguk. “Sure, Grand. Aku akan min
“Giana?!” pekik Irene saat ia menghampiri ruang tamu dan mendapati sahabatnya datang dengan tas besar di bahunya. “Ada apa?”Giana terlihat kesal tetapi ia tetap menjawab pertanyaan Irene. Katanya, “Aku kabur.”Dan jawaban singkat itu membuat Irene tercengang. Seburuk-buruknya hidup, Giana bukan tipe perempuan yang kabur begitu saja. Irene segera membawa Giana ke kamar lamanya karena ia sudah tahu kalau sahabatnya itu jelas butuh tempat menginap.“Apa yang terjadi sampai kau kabur, Gi?” tanya Irene setelah menuangkan air untuk Giana minum. “Grandpa mulai mengadakan perjodohan untukku, padahal dia tahu aku nggak suka. Dia bilang aku harus segera menikah sebelum dia mati. Apa-apaan sih dia itu!” keluh Giana dengan nada penuh amarah. Irene pun juga tak habis pikir. Biasanya kakek Giana tak pernah sampai memaksa cucunya melakukan hal yang tak ia sukai. “Tapi kalau sampai Giana kabur, berarti maksanya sudah di luar batas kesabaran.” Irene membatin. Ia merasa ucapan kakek Giana mempunyai