“Apa kau mau coba makanan lain?” tanya Adam saat mendengar Irene mendesah bosan setelah membolak balik majalah yang terselip di hadapannya.Memutuskan untuk bulan madu dengan hati gelisah, Irene akhirnya memilih pergi dengan membawa Noah dan Nannia. Dan saat ini mereka tengah berada di dalam pesawat.“Aku mau camilan aja,” jawab Irene sambil menutup majalah maskapai dan meletakkannya kembali di temaptnya. “Apa ada kentang goreng ya?”Adam mengangguk. “Biar kumintakan.”Tak lama setelah Adam memanggil salah satu pramugari, pesanan mereka datang. Tidak hanya kentang goreng, ia juga memesan beberapa camilan ringan untuk menemani penerbangan mereka.“Banyak!” seru Irene sambil mulai mencicipi masing-masing makanan yang dipesan Adam.Adam pun mengikuti Irene mengambil salah satu camilan, kemudian berkata, “Makanlah. Perjalanan kita cukup panjang.”“Berapa lama? Jam berapa kita sampai?” tanya Irene. Gadis itu menikmati camilannya sambil bersandar manja pada sang suami. Adam melirik ke arah
Irene terlelap lelah dalam perjalanan pulang dari acara fashion show tadi kembali ke hotel. Pertanyaan terakhirnya tak sempat terjawab, karena tiba-tiba banyak orang berdatangan ke meja mereka untuk berkenalan dengan istri sang pemilik bisnis tambang berlian Bright Co. Ltd.Bright & Co yang ada di paris khusus memproduksi perhiasan kelas atas yang sifatnya edisi terbatas. Dan Irene baru mengetahui kalau Adam sangat terkenal di Paris ketimbang di Indonesia.“Apakah Nyonya menyukai acaranya, Tuan?” tanya pengemudi mobil yang sepertinya dekat dengan Adam. Adam tersenyum puas. “Yes, Brown. Dia tersenyum sepanjang acara. Aku seperti bisa lihat ada sparkles di matanya, setiap kali ada gaun yang menarik perhatiannya.”Sang supir yang dipanggil Brown itu pun ikut tersenyum mendengarnya. “Syukurlah Tuan. Ah … dan selamat untuk pernikahan dan kelahiran putra Anda, Tuan. Saya tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba.”Brown baru saja menyupiri Adam hari ini, karena kemarin ia digantikan ole
Huft!“Makanya dia ngeliatin aku kayak kemarin,” batin Irene lagi, kala teringat cerita Adam semalam. Hari ini hari ketiga mereka berlibur dan Adam berencana mengajak Irene mengunjungi pesisir pantai yang dekat dengan Louvre.“Tapi seharusnya dia nyerah karena Adam kan sudah menikah denganku,” keluh Irene kesal.Wanita itu semakin menenggelamkan tubuhnya ke dalam kubangan air hangat yang cukup mengobati bagian tubuhnya yang sedikit perih karena kegiatan semalam dengan sang suami.“Dan lagi aku tak pernah menggubrisnya, Irene.”Ucapan Adam yang tiba-tiba bergabung dalam monolognya tadi membuat Irene menyundulkan kepalanya dari dalam air dan melihat keberadaan pria itu di ambang pintu kamar mandi.“Kau sudah bangun?” sapa Irene dengan wajah cemberutnya. Senang karena Irene sepertinya cemburu dengan keberadaan Gabrielle, Adam hanya bisa memamerkan cengiran lebarnya. “Kenapa kau nggak tegas sama dia dan bilang kalau kau sudah bahagia denganku?!” sentak Irene, melipat kedua tangannya. M
“Tuan Alfred sepertinya mengetahui rencana Anda, Tuan Adolf.”Ucapan itu tidak memberi efek panik pada pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjangnya. Malahan ia terlihat bersemangat, ingin mendengarkan lanjutan dari informasi yang diberikan oleh pria yang menjadi kaki tangan sementaranya itu.Lagi, sang anak buah berkata, “Beliau menempatkan banyak penjaga di bandara dan kediaman Tuan Bright. Akan sulit untuk melakukan hal yang menarik perhatian.”“Mana yang dipilih ayahku?” tanya Adolf dengan nafas sedikit terputus-putus. “Bandara? Atau rumah putraku?”“Beliau ada di bandara menunggu kedatangan Tuan Adam.”Seperti orang gila, Adolf tertawa hingga terbatuk-batuk karenanya. “Old man itu, sangat tahu jalan pikiranku ya. Tapi dia tidak tahu siapa yang akan merebut salah satu harta berharganya itu. Tenang saja.”Kaki tangannya memang tidak tahu menahu mengenai rencana utama Adolf. Ia hanya ditugaskan untuk mengecek keadaan di sekitar bandara dan memantau pergerakan Alfred. Hanya Adol
Ponsel Alfred terjatuh dari genggaman tangannya. Ia terlihat lesu dengan pandangan kosong dan mulut menganga, seolah jiwanya meninggalkan tubuhnya.“Grand, ada apa?!” tanya Adam panik, melihat wajah Alfred memucat setelah mendapat telpon dari Terry.Pria tua itu berlutut di lantai bandara sambil menenggelamkan wajahnya di dalam telapak tangan. Ia bergumam pelan, “Kenapa aku bisa punya putra seperti Adolf? Salahku yang terlalu memanjakannya.”“Grand!”Alfred melepaskan tangan yang menutupi wajahnya dan menatap Adam dengan pandangan penuh permintaan maaf. “Dia membakar rumah peninggalan Allaster itu. Yang kubangun dengan cucuran air mata dan keringat.”Kengerian terlihat di wajah Adam maupun Irene. Irene yang merasa sudah kuat berjalan pun meminta Adam untuk menurunkannya. Ia memeluk sang kakek dan berkata, “Relakanlah, Grand.”“Kau benar.” Alfred segera menyeka wajahnya yang basah karena mengenang semua kehidupan yang ia lewati di rumah utama keluarga Allaster itu. Dia. Istrinya. Oran
Batin Adam bergejolak. “Apa?!”Adam cukup terkejut mendengar jawaban sang kakek. Ia jelas tahu apa yang menunggu sang ayah jika namanya tak lagi mengemban marga itu. Namun, untuk saat ini ia berpikir bahwa mungkin itulah yang terbaik, jika ingin membiarkan Sarah bebas berkeliaran di dunia ini.“Mungkin Grand punya pemikiran lain. Aku akan tanya nanti saja setelah Noah bisa kudapatkan,” pikir Adam sambil melirik ke arah Alfred yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. “Berapa lama lagi aku harus menunggu?!” raung Adolf yang mulai terlihat tak sabar. Ia sudah menggerakkan kakinya naik turun seperti orang menjahit pakaian sepanjang menunggu sang istri dibebaskan dari sel tahanan.Adam terlihat jijik mengamati kelakuan sang ayah, begitu juga dengan Aldrich. Namun, Alfred terlihat sangat menyesal dan penuh dengan kekecewaan. Entah pada siapa ia tujukan raut wajah itu, karena kepalanya hanya tertunduk dalam-dalam di bawah bayangan. Setelah menunggu hampir 2 jam, terdengar suara mobil
Keesokan harinya. Irene terbangun dengan senyuman di wajahnya. Ia bisa melihat Adam tertidur di sampingnya dengan nyenyak setelah kejadian semalam.“Noah juga masih bobo,” batinnya sambil mengusap pelan pipi Noah yang tertidur di sebelahnya. Merasakan ada gerakan di dekatnya, Adam pun membuka mata dan melihat punggung sang istri di hadapannya. Ia melingkarkan tangannya di tubuh Irene dan mengecup tengkuk leher sang istri. “Morning. Kau sudah bangun atau nggak bisa tidur semalam?”Irene langsung berbalik dan membalas kecupan di tengkuknya itu dengan ciuman selamat pagi di bibir sang suami. “Aku tidur nyenyak, Adam.”Mereka berbagi kecupan sebelum akhirnya harus berhenti karena Noah terbangun. “Oh! Aku akan masak sop buntut untuk Grandpa dan Aldrich. Gimana?” tanya Irene setelah mereka selesai mandi.Adam mengangguk. “Aku akan pakaikan baju Noah. Kau duluan saja.”“Oke!”Irene segera keluar dari kamarnya menuju lantai 1, dapur dan ruang makan. Ia tidak melihat siapapun selain ART yan
“Giana?!” pekik Irene saat ia menghampiri ruang tamu dan mendapati sahabatnya datang dengan tas besar di bahunya. “Ada apa?”Giana terlihat kesal tetapi ia tetap menjawab pertanyaan Irene. Katanya, “Aku kabur.”Dan jawaban singkat itu membuat Irene tercengang. Seburuk-buruknya hidup, Giana bukan tipe perempuan yang kabur begitu saja. Irene segera membawa Giana ke kamar lamanya karena ia sudah tahu kalau sahabatnya itu jelas butuh tempat menginap.“Apa yang terjadi sampai kau kabur, Gi?” tanya Irene setelah menuangkan air untuk Giana minum. “Grandpa mulai mengadakan perjodohan untukku, padahal dia tahu aku nggak suka. Dia bilang aku harus segera menikah sebelum dia mati. Apa-apaan sih dia itu!” keluh Giana dengan nada penuh amarah. Irene pun juga tak habis pikir. Biasanya kakek Giana tak pernah sampai memaksa cucunya melakukan hal yang tak ia sukai. “Tapi kalau sampai Giana kabur, berarti maksanya sudah di luar batas kesabaran.” Irene membatin. Ia merasa ucapan kakek Giana mempunyai