“Tuan Alfred sepertinya mengetahui rencana Anda, Tuan Adolf.”Ucapan itu tidak memberi efek panik pada pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjangnya. Malahan ia terlihat bersemangat, ingin mendengarkan lanjutan dari informasi yang diberikan oleh pria yang menjadi kaki tangan sementaranya itu.Lagi, sang anak buah berkata, “Beliau menempatkan banyak penjaga di bandara dan kediaman Tuan Bright. Akan sulit untuk melakukan hal yang menarik perhatian.”“Mana yang dipilih ayahku?” tanya Adolf dengan nafas sedikit terputus-putus. “Bandara? Atau rumah putraku?”“Beliau ada di bandara menunggu kedatangan Tuan Adam.”Seperti orang gila, Adolf tertawa hingga terbatuk-batuk karenanya. “Old man itu, sangat tahu jalan pikiranku ya. Tapi dia tidak tahu siapa yang akan merebut salah satu harta berharganya itu. Tenang saja.”Kaki tangannya memang tidak tahu menahu mengenai rencana utama Adolf. Ia hanya ditugaskan untuk mengecek keadaan di sekitar bandara dan memantau pergerakan Alfred. Hanya Adol
Ponsel Alfred terjatuh dari genggaman tangannya. Ia terlihat lesu dengan pandangan kosong dan mulut menganga, seolah jiwanya meninggalkan tubuhnya.“Grand, ada apa?!” tanya Adam panik, melihat wajah Alfred memucat setelah mendapat telpon dari Terry.Pria tua itu berlutut di lantai bandara sambil menenggelamkan wajahnya di dalam telapak tangan. Ia bergumam pelan, “Kenapa aku bisa punya putra seperti Adolf? Salahku yang terlalu memanjakannya.”“Grand!”Alfred melepaskan tangan yang menutupi wajahnya dan menatap Adam dengan pandangan penuh permintaan maaf. “Dia membakar rumah peninggalan Allaster itu. Yang kubangun dengan cucuran air mata dan keringat.”Kengerian terlihat di wajah Adam maupun Irene. Irene yang merasa sudah kuat berjalan pun meminta Adam untuk menurunkannya. Ia memeluk sang kakek dan berkata, “Relakanlah, Grand.”“Kau benar.” Alfred segera menyeka wajahnya yang basah karena mengenang semua kehidupan yang ia lewati di rumah utama keluarga Allaster itu. Dia. Istrinya. Oran
Batin Adam bergejolak. “Apa?!”Adam cukup terkejut mendengar jawaban sang kakek. Ia jelas tahu apa yang menunggu sang ayah jika namanya tak lagi mengemban marga itu. Namun, untuk saat ini ia berpikir bahwa mungkin itulah yang terbaik, jika ingin membiarkan Sarah bebas berkeliaran di dunia ini.“Mungkin Grand punya pemikiran lain. Aku akan tanya nanti saja setelah Noah bisa kudapatkan,” pikir Adam sambil melirik ke arah Alfred yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. “Berapa lama lagi aku harus menunggu?!” raung Adolf yang mulai terlihat tak sabar. Ia sudah menggerakkan kakinya naik turun seperti orang menjahit pakaian sepanjang menunggu sang istri dibebaskan dari sel tahanan.Adam terlihat jijik mengamati kelakuan sang ayah, begitu juga dengan Aldrich. Namun, Alfred terlihat sangat menyesal dan penuh dengan kekecewaan. Entah pada siapa ia tujukan raut wajah itu, karena kepalanya hanya tertunduk dalam-dalam di bawah bayangan. Setelah menunggu hampir 2 jam, terdengar suara mobil
Keesokan harinya. Irene terbangun dengan senyuman di wajahnya. Ia bisa melihat Adam tertidur di sampingnya dengan nyenyak setelah kejadian semalam.“Noah juga masih bobo,” batinnya sambil mengusap pelan pipi Noah yang tertidur di sebelahnya. Merasakan ada gerakan di dekatnya, Adam pun membuka mata dan melihat punggung sang istri di hadapannya. Ia melingkarkan tangannya di tubuh Irene dan mengecup tengkuk leher sang istri. “Morning. Kau sudah bangun atau nggak bisa tidur semalam?”Irene langsung berbalik dan membalas kecupan di tengkuknya itu dengan ciuman selamat pagi di bibir sang suami. “Aku tidur nyenyak, Adam.”Mereka berbagi kecupan sebelum akhirnya harus berhenti karena Noah terbangun. “Oh! Aku akan masak sop buntut untuk Grandpa dan Aldrich. Gimana?” tanya Irene setelah mereka selesai mandi.Adam mengangguk. “Aku akan pakaikan baju Noah. Kau duluan saja.”“Oke!”Irene segera keluar dari kamarnya menuju lantai 1, dapur dan ruang makan. Ia tidak melihat siapapun selain ART yan
“Giana?!” pekik Irene saat ia menghampiri ruang tamu dan mendapati sahabatnya datang dengan tas besar di bahunya. “Ada apa?”Giana terlihat kesal tetapi ia tetap menjawab pertanyaan Irene. Katanya, “Aku kabur.”Dan jawaban singkat itu membuat Irene tercengang. Seburuk-buruknya hidup, Giana bukan tipe perempuan yang kabur begitu saja. Irene segera membawa Giana ke kamar lamanya karena ia sudah tahu kalau sahabatnya itu jelas butuh tempat menginap.“Apa yang terjadi sampai kau kabur, Gi?” tanya Irene setelah menuangkan air untuk Giana minum. “Grandpa mulai mengadakan perjodohan untukku, padahal dia tahu aku nggak suka. Dia bilang aku harus segera menikah sebelum dia mati. Apa-apaan sih dia itu!” keluh Giana dengan nada penuh amarah. Irene pun juga tak habis pikir. Biasanya kakek Giana tak pernah sampai memaksa cucunya melakukan hal yang tak ia sukai. “Tapi kalau sampai Giana kabur, berarti maksanya sudah di luar batas kesabaran.” Irene membatin. Ia merasa ucapan kakek Giana mempunyai
Kembali ke satu menit yang lalu. Irene dan Adam mendengar Allan berbicara dengan seseorang, sepertinya melalui sambungan telepon. Walau hanya sekilas, mereka bisa mendengar nama asing yang diucapkan Allan. Franz.“Apa kau pernah dengar?” tanya Irene lagi pada Adam. “Sepertinya Grand marah sekali sama orang yang bernama Franz itu.”Sang suami menggeleng. Mereka memutuskan untuk tak lagi membahasnya dan masuk menuju ruang keluarga. Tak mereka sadari, ternyata Allan juga mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Irene sendiri pergi ke kamar untuk menidurkan Noah, sementara Adam berniat untuk menikmati waktu sendirinya di sofa ruang keluarga itu.Allan kemudian duduk di sampingnya dan menikmati teh yang masih ia bawa dari pesta kebun tadi. Dan setelah menyesap tehnya, ia kemudian bertanya, “Apa aku bisa pakai salah satu ruangan yang tak terpakai di rumahmu? Aku kedatangan tamu yang juga ingin kukenalkan pada kalian.” Tanpa bertanya lebih jauh, Adam mengangguk. “Sure, Grand. Aku akan min
Mendengar cerita Franz, bahkan Adam mulai panik kalau tebakan Allan benar. Namun, mereka langsung menghela nafas lega ketika mendengar jawaban franz. “Sandra Billie. Kau kenal, Dad? Katanya dia sedang liburan ke sini dan aku diminta mengejarnya. Ugh! Memalukan sekali pekerjaan ini.”Allan tergelak mendengarnya. “Pernikahan bukan pekerjaan, Franz. Kurasa ayahmu sedang mencarikan asuransi untukmu. Kau tahu kan, kau nggak akan bisa menggantikannya walau ia turun dari posisinya sekarang.”“Cih! Pria tua itu memang selalu kurang kerjaan,” keluh Franz sambil menggaruk bahunya yang tiba-tiba gatal. Ia menatap orang-orang yang baru beberapa menit dikenalnya dan sadar bahwa dunia mereka jelas berbeda.Ketidaknyamanan itu membuatnya ingin segera pergi dari sana. Namun, baru saja ia akan membuka mulut untuk pamit, Irene turun dari lantai 2 bersama Noah.“Oh! Ada tamu?” sapa Irene sambil menggosok matanya yang mengantuk. “Apa aku mengganggu? Noah bangun cari kamu, Adam.”Adam tersenyum sambil me
Beberapa hari setelah perkenalan Franz pada keluarga besar Allaster, Irene mendapat undangan dari Giana untuk datang berkunjung. Sahabatnya itu membuka area bar di lantai 2 restorannya. Tak pernah menebak bahwa Giana akan punya hubungan dengan Franz, Irene pun datang ke acara sang sahabat bersama dengan Noah. Tentu saja, seperti perintah Adam, ia juga membawa Regan bersamanya. “Kenapa ada orang itu di sini? Apa Giana sudah langsung membuka bar-nya untuk publik?” batin Irene bertanya-tanya, ketika ia mendapati sosok Franz tengah berbincang ramah dengan Giana di meja bar.“Oh! Irene! Noah! Sudah datang!” seru Giana sambil berjalan keluar dari belakang meja bar. Berusaha bersikap tenang, Irene pun membalas sapaan sang sahabat dengan ucapan selamat. “Congratz, Gi! Bar-nya keren banget!”Ha! Ha! Ha!Giana tergelak menerima pujian tulus Irene itu. Ia kemudian mendorong pundak Irene untuk duduk di salah satu sofa yang nyaman untuknya dan Noah.“Dan ibu menyusui nggak boleh minum di sini,