Entah berapa lama Irene menangis dalam pelukan Adam. Yang pasti, saat Giana tiba, ia cukup kaget melihat wajah basah dengan mata merah Irene dalam pandangannya. “Jadi, rencanamu pergi batal, kan?” tanya Giana mengejek Irene. Irene mendengus kesal sambil mengelap wajahnya dengan lap basah yang ditawarkan Giana padanya tadi. “Adam bilang kalau dia mencintaiku. Jadi, ya sudah. Aku nggak jadi pergi.”“Ha! You and your pride!” tegur Giana, menyentil kening Irene. “Sekarang, lupakan masa lalu, Ir. Masa depanmu cerah. Karma baik datang.”Wajah Irene terlihat memerah sementara ia mengangguk. Apa yang dikatakan Giana membuatnya bersyukur kalau ia tidak menyerah saat semua hal buruk terjadi padanya dulu.“Lalu, apa kau sudah menemukan nama untuk bayimu?” tanya Giana berusaha mengganti topik pembicaraan ke arah yang lebih menenangkan. Irene menggeleng. “Aku sibuk menangis tadi. Aku bahkan nggak ingat anakku. Apa aku bisa melihatnya setelah ini?”Mendengar itu Giana tergelak. “Dasar kau ibu ng
Irene terdiam. Diam-diam menahan senyumannya. Minggu lalu Adam mengatakan kalau ia berniat menggelar pernikahan yang tidak pernah ada itu. Ia menatap putranya yang terlelap di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan kebahagiaan itu. Namun, ada juga pikiran negatif yang datang menyambangi.“Apa kau yakin ini nggak akan dipandang aneh sama orang-orang?” tanya Irene sementara duduk tenang dalam mobil yang membawa mereka ke kediaman Allaster.Adam memiringkan kepalanya, menatap Irene sambil bertanya, “Kau peduli dengan omongan orang? Kalau ya, aku akan menggelarnya secara tertutup saja.”Mendengar Adam masih akan mempertimbangkan pernikahan itu demi dirinya, Irene tak kuasa menolak, tapi ia juga tak mau tergesa-gesa. Dirinya masih tidak tahu bagaimana dampaknya dan apakah ia sanggup menghadapi gosip yang beredar di sekitarnya.“Apa aku boleh minta waktu 1 hari lagi untuk memikirkan ini?” tanya Irene yang langsung mendapat anggukan dari Adam.“Sure. Kabari aku,” ungkap Adam sambil mengecup
“Kurasa aku sebaiknya ke kamar tamu, Grand?” tanya Irene sekalian pamit pada Alfred. Namun, pria tua itu menepuk pelan pundak Irene, tak membiarkannya beranjak dari kursi ruang makan. “Nggak perlu. Kau di sini saja dan dengarkan keputusanku.”Irene mengangguk saja, menuruti Alfred. Walau sebenarnya tidak ada sedikitpun rasa ingin tahu mengenai keputusan Alfred. Adam sudah memberikan keputusannya kalau memang sang kakek berniat memberikan warisan itu pada Aldrich, dia akan menerimanya dengan baik. Baginya saat ini, bersama Irene dan Noah adalah hal paling indah yang ingin ia nikmati.“Sesuai dengan perjanjian di awal, yang berhak mewarisi posisi presiden direktur di perusahaan utama Allaster adalah cucuku yang bisa memberikan cicit pertama kali. Dan orang itu adalah Adam.” Alfred terdiam sejenak. Mengambil nafas sambil mengamati respon dari 3 orang yang mendengarkannya.Menyadari kalau sang kakek menunggu respon dari mereka, Aldrich yang lebih dulu membuka suara. “Aku nggak masalah.
Ha! Ha! Ha!Alfred bahkan tergelak mendengar ucapan Adam, tapi ia tak bisa memungkiri sifat macho yang dipancarkan Giana. “Kalau nggak mau coba ketemu Giana, apa kau mau kukenalkan dengan perempuan lain? Banyak rekan bisnisku yang juga sedang mencarikan suami untuk anak atau cucu mereka.” Alfred menawarkan solusi lain. Namun, belum sempat Aldrich melontarkan protes, Alfred menambahkan, “Tentu saja, ini bukan pernikahan bisnis. Aku tidak pernah mau kalian menikah dengan konsep seperti itu. Kau bisa bertemu banyak wanita dan hatimu yang akan menentukan sendiri, siapa pilihanmu. Bagaimana?”Mendengar penjelasan sang kakek, Aldrich mengatupkan bibirnya lagi. Berpikir dua kali dan menelan protesnya.“Kurasa itu hal baik, Al. Kau bisa coba.” Adam mencoba memompa semangat sang adik. Pada akhirnya, Aldrich memutuskan untuk menuruti keinginan sang kakek dan mencari pendamping baginya. Yang terbaik dari yang terbaik.Sekitar malam, Adam dan Irene pamit untuk pulang karena sepertinya Noah rew
Hari pernikahan Irene dan Adam pun tiba. Tentu saja ada banyak gosip beredar karena mereka melakukan pesta pernikahan lebih dari 1 tahun kemudian. Namun, Adam sudah membayar orang untuk menyebarkan cerita kalau awal pernikahan mereka hanyalah berdasarkan bisnis semata dan berujung pada cinta sejati.Dan demi tujuan Alfred, ia menjadikan Aldrich dan Julia sebagai best man dan juga bridesmaid.“Adam,” panggil Irene dengan sedikit berbisik. Adam kemudian merendahkan tubuhnya untuk mendekatkan telinga pada bibir Irene. Ia mendengar pertanyaan, “Apa kau lihat di ujung kanan sana? Tempat direksi duduk.”Kepala Adam mengangguk satu kali, sementara Irene melanjutkan, “Ada perempuan muda yang menatapmu penuh dendam. Kau kenal?”Merasa Irene sudah mengakhiri pertanyaannya, Adam pun kembali meluruskan tubuh untuk mengecek area yang disebutkan sang istri. Setelah tahu siapa yang dimaksud, Adam kembali membungkuk. Kali ini ia yang berbisik di telinga istrinya, “Dia putrinya Bu Lily yang katanya
“Kenapa wajahmu memerah begitu? Kamu mabuk, Ir?” Adam bertanya sambil membukakan pintu kamar mereka. Adam baru saja menjemput Irene dari kamar Giana dan sepanjang perjalanan kembali ke kamar, Irene tak berbicara sepatah katapun. Dan sekarang, setelah menangkap wajah putih Irene yang terlihat kemerahan, ia pun penasaran. Sayang, gerakan silent treatment Irene masih belum selesai. Gadis itu hanya menggeleng, sebagai jawaban dari pertanyaan suaminya. Adam yang juga tak punya tebakan mengapa sang istri terlihat canggung dan diam saja itu pun hanya bisa membiarkan Irene dengan sikap antiknya yang tiba-tiba muncul.“Sebaiknya kupikirkan nanti saja. Aku ingin fokus untuk malam ini,” batin Adam sambil menghampiri Irene yang sejak masuk ke kamar langsung sibuk di depan koper.“Ir.” Adam melingkarkan tangannya di pinggul sang istri, dari belakang. “Aku tunggu kamu, jadi aku juga belum mandi.”Mendengar ucapan Adam yang sengaja dibuat dengan nada rendah dan dalam itu, Irene kembali teringat pe
“Sudah! Nggak usah banyak tanya. Toh, kamu sudah menikah dengan lelaki kaya raya. Sudah nggak ada gunanya juga kamu punya rumah itu!” raung sang tante yang terlihat tidak sabaran. Sebenarnya, jelas sekali terlihat kalau keluarga jauh Irene itu punya niat jahat padanya. Ini bukan sekedar perebutan warisan semata.Dan Irene bukan perempuan yang mudah ditekan. Dengan mantap ia berkata, “Aku nggak akan berbuat apa-apa sebelum pengacaraku datang. Sebaiknya kalian pulang saja hari ini. Aku akan memberitahu kalau semua sudah bisa dibicarakan.”Tanpa memberi waktu mereka untuk bereaksi, Irene langsung masuk dan mengunci pintu rumah. Ia menelepon penjaga untuk memastikan keluarganya itu pergi dari kediaman Bright.Irene bermaksud menghubungi Adam untuk meminta pengacara, tetapi setelah berpikir ulang, gadis itu mengurungkan niatnya. Ia tidak mau membuat kericuhan saat sedang panik. “Sebaiknya aku menenangkan diri dulu,” batin Irene sambil membawa Noah kembali ke kamar lamanya. Ia berpikir u
“... bukankah aku lebih berhak atas semua memori itu?” Ucapan Irene terus terulang dalam benak Adam. CEO Bright Co.Ltd. tersebut menatap sang penasehat hukum pribadinya yang jadi salah tingkah karena sejak ia duduk sampai hampir 2 menit berlalu, sang atasan belum juga mengeluarkan sepatah kata pun. Ditambah tatapan tajamnya yang entah apa tujuannya, Natasya–si pengacara itu tidak tahu menahu. Tak bisa menahan diri lebih lama lagi, Natasya memutuskan untuk memecah keheningan. “Ugh! Apa sudah bisa kita mulai diskusinya? Ada masalah apa soal warisanmu, Pak Adam?”“Bukan warisanku.” Adam membalas cepat. “Tapi istriku.”Kemudian Adam menjelaskan duduk perkara yang sedang dihadapi Irene, sehingga Natasya bisa mendapatkan gambaran dan langkah hukum apa yang bisa mereka tempuh.Setelah mencatat poin-poin penting dari penjelasan Adam, Natasya kembali membaca ulang. Sementara menunggu, Adam menambahkan komentar terakhir Irene mengenai ‘kenangan’.“Ada beberapa alternatif,” ujar Natasya menga