“Kenapa wajahmu memerah begitu? Kamu mabuk, Ir?” Adam bertanya sambil membukakan pintu kamar mereka. Adam baru saja menjemput Irene dari kamar Giana dan sepanjang perjalanan kembali ke kamar, Irene tak berbicara sepatah katapun. Dan sekarang, setelah menangkap wajah putih Irene yang terlihat kemerahan, ia pun penasaran. Sayang, gerakan silent treatment Irene masih belum selesai. Gadis itu hanya menggeleng, sebagai jawaban dari pertanyaan suaminya. Adam yang juga tak punya tebakan mengapa sang istri terlihat canggung dan diam saja itu pun hanya bisa membiarkan Irene dengan sikap antiknya yang tiba-tiba muncul.“Sebaiknya kupikirkan nanti saja. Aku ingin fokus untuk malam ini,” batin Adam sambil menghampiri Irene yang sejak masuk ke kamar langsung sibuk di depan koper.“Ir.” Adam melingkarkan tangannya di pinggul sang istri, dari belakang. “Aku tunggu kamu, jadi aku juga belum mandi.”Mendengar ucapan Adam yang sengaja dibuat dengan nada rendah dan dalam itu, Irene kembali teringat pe
“Sudah! Nggak usah banyak tanya. Toh, kamu sudah menikah dengan lelaki kaya raya. Sudah nggak ada gunanya juga kamu punya rumah itu!” raung sang tante yang terlihat tidak sabaran. Sebenarnya, jelas sekali terlihat kalau keluarga jauh Irene itu punya niat jahat padanya. Ini bukan sekedar perebutan warisan semata.Dan Irene bukan perempuan yang mudah ditekan. Dengan mantap ia berkata, “Aku nggak akan berbuat apa-apa sebelum pengacaraku datang. Sebaiknya kalian pulang saja hari ini. Aku akan memberitahu kalau semua sudah bisa dibicarakan.”Tanpa memberi waktu mereka untuk bereaksi, Irene langsung masuk dan mengunci pintu rumah. Ia menelepon penjaga untuk memastikan keluarganya itu pergi dari kediaman Bright.Irene bermaksud menghubungi Adam untuk meminta pengacara, tetapi setelah berpikir ulang, gadis itu mengurungkan niatnya. Ia tidak mau membuat kericuhan saat sedang panik. “Sebaiknya aku menenangkan diri dulu,” batin Irene sambil membawa Noah kembali ke kamar lamanya. Ia berpikir u
“... bukankah aku lebih berhak atas semua memori itu?” Ucapan Irene terus terulang dalam benak Adam. CEO Bright Co.Ltd. tersebut menatap sang penasehat hukum pribadinya yang jadi salah tingkah karena sejak ia duduk sampai hampir 2 menit berlalu, sang atasan belum juga mengeluarkan sepatah kata pun. Ditambah tatapan tajamnya yang entah apa tujuannya, Natasya–si pengacara itu tidak tahu menahu. Tak bisa menahan diri lebih lama lagi, Natasya memutuskan untuk memecah keheningan. “Ugh! Apa sudah bisa kita mulai diskusinya? Ada masalah apa soal warisanmu, Pak Adam?”“Bukan warisanku.” Adam membalas cepat. “Tapi istriku.”Kemudian Adam menjelaskan duduk perkara yang sedang dihadapi Irene, sehingga Natasya bisa mendapatkan gambaran dan langkah hukum apa yang bisa mereka tempuh.Setelah mencatat poin-poin penting dari penjelasan Adam, Natasya kembali membaca ulang. Sementara menunggu, Adam menambahkan komentar terakhir Irene mengenai ‘kenangan’.“Ada beberapa alternatif,” ujar Natasya menga
“Apa maksud Anda?! Kenapa Anda jadi membicarakan uang?!” sentak sang tante yang Adam tak pedulikan untuk bertanya siapa namanya. Wanita paruh baya itu baru saja menggebrak meja rapat di depan Adam, membuat Natasya panik setengah mati. Khawatir kalau akan terjadi pertumpahan darah di sana. Namun, sepertinya Adam sedang waras. Ia mengabaikan perbuatan kasar dari wanita itu dan meneruskan ucapannya, “Ini penawaran saya yang kedua. Berapa banyak yang kalian mau, supaya kalian bisa melepas rumah dan tanah itu untuk istri saya?”Salah satu paman Irene seperti berusaha menenangkan wanita tadi, sementara pamannya yang lain merespon ucapan Adam, katanya, “Pak Adam, ini bukan soal uang. Bagi kami, itu adalah peninggalan orang tua kami—”“Saya punya bukti, bahwa kalian tidak pernah ada di rumah itu sedetikpun,” potong Adam, mulai tak sabar. “Berarti tidak ada kenangan mengenai kalian di sana. Peninggalan orang tua adalah sesuatu yang pernah digunakan bersama.”“Non-sense! Kami selalu berlibur
6 bulan sudah berlalu sejak kelahiran Noah. Rencana Irene untuk membuka kafe diminta Adam untuk menunggu sampai Noah berusia 2 tahun. Dan hari ini putra kedua Irene dan Adam kini sudah menginjak usia 1 tahun. Tentu saja, Alfred kembali berkunjung dengan banyak hadiah untuk cucunya. “Lihat, Noah. Itu Grandy!” seru Irene saat melihat Alfred muncul dari ruang tamu. Ia sibuk membuat tangan putranya itu melambai-lambai ke arah Alfred. “Ah! Mimpi apa aku punya cucu menggemaskan seperti ini,” pekik Alfred sambil mengangkat tubuh mungil Noah. “Happy birthday, cicit pertamaku!”Noah yang memang tidak pernah menangis walau ada orang asing itu pun terkekeh geli karena lonjakan saat ia terangkat naik ke dalam gendongan sang kakek buyut. Mendengar ucapan sang kakek, Adam jadi teringat lagi bagaimana dulu ia bertemu Irene pertama kali. Tidak ada yang pernah menduga kalau pada akhirnya mereka jatuh cinta seperti sekarang.Pria itu menatap sang istri dan bersyukur dalam hati bahwa ia tak jadi me
“Apa kau mau coba makanan lain?” tanya Adam saat mendengar Irene mendesah bosan setelah membolak balik majalah yang terselip di hadapannya.Memutuskan untuk bulan madu dengan hati gelisah, Irene akhirnya memilih pergi dengan membawa Noah dan Nannia. Dan saat ini mereka tengah berada di dalam pesawat.“Aku mau camilan aja,” jawab Irene sambil menutup majalah maskapai dan meletakkannya kembali di temaptnya. “Apa ada kentang goreng ya?”Adam mengangguk. “Biar kumintakan.”Tak lama setelah Adam memanggil salah satu pramugari, pesanan mereka datang. Tidak hanya kentang goreng, ia juga memesan beberapa camilan ringan untuk menemani penerbangan mereka.“Banyak!” seru Irene sambil mulai mencicipi masing-masing makanan yang dipesan Adam.Adam pun mengikuti Irene mengambil salah satu camilan, kemudian berkata, “Makanlah. Perjalanan kita cukup panjang.”“Berapa lama? Jam berapa kita sampai?” tanya Irene. Gadis itu menikmati camilannya sambil bersandar manja pada sang suami. Adam melirik ke arah
Irene terlelap lelah dalam perjalanan pulang dari acara fashion show tadi kembali ke hotel. Pertanyaan terakhirnya tak sempat terjawab, karena tiba-tiba banyak orang berdatangan ke meja mereka untuk berkenalan dengan istri sang pemilik bisnis tambang berlian Bright Co. Ltd.Bright & Co yang ada di paris khusus memproduksi perhiasan kelas atas yang sifatnya edisi terbatas. Dan Irene baru mengetahui kalau Adam sangat terkenal di Paris ketimbang di Indonesia.“Apakah Nyonya menyukai acaranya, Tuan?” tanya pengemudi mobil yang sepertinya dekat dengan Adam. Adam tersenyum puas. “Yes, Brown. Dia tersenyum sepanjang acara. Aku seperti bisa lihat ada sparkles di matanya, setiap kali ada gaun yang menarik perhatiannya.”Sang supir yang dipanggil Brown itu pun ikut tersenyum mendengarnya. “Syukurlah Tuan. Ah … dan selamat untuk pernikahan dan kelahiran putra Anda, Tuan. Saya tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba.”Brown baru saja menyupiri Adam hari ini, karena kemarin ia digantikan ole
Huft!“Makanya dia ngeliatin aku kayak kemarin,” batin Irene lagi, kala teringat cerita Adam semalam. Hari ini hari ketiga mereka berlibur dan Adam berencana mengajak Irene mengunjungi pesisir pantai yang dekat dengan Louvre.“Tapi seharusnya dia nyerah karena Adam kan sudah menikah denganku,” keluh Irene kesal.Wanita itu semakin menenggelamkan tubuhnya ke dalam kubangan air hangat yang cukup mengobati bagian tubuhnya yang sedikit perih karena kegiatan semalam dengan sang suami.“Dan lagi aku tak pernah menggubrisnya, Irene.”Ucapan Adam yang tiba-tiba bergabung dalam monolognya tadi membuat Irene menyundulkan kepalanya dari dalam air dan melihat keberadaan pria itu di ambang pintu kamar mandi.“Kau sudah bangun?” sapa Irene dengan wajah cemberutnya. Senang karena Irene sepertinya cemburu dengan keberadaan Gabrielle, Adam hanya bisa memamerkan cengiran lebarnya. “Kenapa kau nggak tegas sama dia dan bilang kalau kau sudah bahagia denganku?!” sentak Irene, melipat kedua tangannya. M