“... bukankah aku lebih berhak atas semua memori itu?” Ucapan Irene terus terulang dalam benak Adam. CEO Bright Co.Ltd. tersebut menatap sang penasehat hukum pribadinya yang jadi salah tingkah karena sejak ia duduk sampai hampir 2 menit berlalu, sang atasan belum juga mengeluarkan sepatah kata pun. Ditambah tatapan tajamnya yang entah apa tujuannya, Natasya–si pengacara itu tidak tahu menahu. Tak bisa menahan diri lebih lama lagi, Natasya memutuskan untuk memecah keheningan. “Ugh! Apa sudah bisa kita mulai diskusinya? Ada masalah apa soal warisanmu, Pak Adam?”“Bukan warisanku.” Adam membalas cepat. “Tapi istriku.”Kemudian Adam menjelaskan duduk perkara yang sedang dihadapi Irene, sehingga Natasya bisa mendapatkan gambaran dan langkah hukum apa yang bisa mereka tempuh.Setelah mencatat poin-poin penting dari penjelasan Adam, Natasya kembali membaca ulang. Sementara menunggu, Adam menambahkan komentar terakhir Irene mengenai ‘kenangan’.“Ada beberapa alternatif,” ujar Natasya menga
“Apa maksud Anda?! Kenapa Anda jadi membicarakan uang?!” sentak sang tante yang Adam tak pedulikan untuk bertanya siapa namanya. Wanita paruh baya itu baru saja menggebrak meja rapat di depan Adam, membuat Natasya panik setengah mati. Khawatir kalau akan terjadi pertumpahan darah di sana. Namun, sepertinya Adam sedang waras. Ia mengabaikan perbuatan kasar dari wanita itu dan meneruskan ucapannya, “Ini penawaran saya yang kedua. Berapa banyak yang kalian mau, supaya kalian bisa melepas rumah dan tanah itu untuk istri saya?”Salah satu paman Irene seperti berusaha menenangkan wanita tadi, sementara pamannya yang lain merespon ucapan Adam, katanya, “Pak Adam, ini bukan soal uang. Bagi kami, itu adalah peninggalan orang tua kami—”“Saya punya bukti, bahwa kalian tidak pernah ada di rumah itu sedetikpun,” potong Adam, mulai tak sabar. “Berarti tidak ada kenangan mengenai kalian di sana. Peninggalan orang tua adalah sesuatu yang pernah digunakan bersama.”“Non-sense! Kami selalu berlibur
6 bulan sudah berlalu sejak kelahiran Noah. Rencana Irene untuk membuka kafe diminta Adam untuk menunggu sampai Noah berusia 2 tahun. Dan hari ini putra kedua Irene dan Adam kini sudah menginjak usia 1 tahun. Tentu saja, Alfred kembali berkunjung dengan banyak hadiah untuk cucunya. “Lihat, Noah. Itu Grandy!” seru Irene saat melihat Alfred muncul dari ruang tamu. Ia sibuk membuat tangan putranya itu melambai-lambai ke arah Alfred. “Ah! Mimpi apa aku punya cucu menggemaskan seperti ini,” pekik Alfred sambil mengangkat tubuh mungil Noah. “Happy birthday, cicit pertamaku!”Noah yang memang tidak pernah menangis walau ada orang asing itu pun terkekeh geli karena lonjakan saat ia terangkat naik ke dalam gendongan sang kakek buyut. Mendengar ucapan sang kakek, Adam jadi teringat lagi bagaimana dulu ia bertemu Irene pertama kali. Tidak ada yang pernah menduga kalau pada akhirnya mereka jatuh cinta seperti sekarang.Pria itu menatap sang istri dan bersyukur dalam hati bahwa ia tak jadi me
“Apa kau mau coba makanan lain?” tanya Adam saat mendengar Irene mendesah bosan setelah membolak balik majalah yang terselip di hadapannya.Memutuskan untuk bulan madu dengan hati gelisah, Irene akhirnya memilih pergi dengan membawa Noah dan Nannia. Dan saat ini mereka tengah berada di dalam pesawat.“Aku mau camilan aja,” jawab Irene sambil menutup majalah maskapai dan meletakkannya kembali di temaptnya. “Apa ada kentang goreng ya?”Adam mengangguk. “Biar kumintakan.”Tak lama setelah Adam memanggil salah satu pramugari, pesanan mereka datang. Tidak hanya kentang goreng, ia juga memesan beberapa camilan ringan untuk menemani penerbangan mereka.“Banyak!” seru Irene sambil mulai mencicipi masing-masing makanan yang dipesan Adam.Adam pun mengikuti Irene mengambil salah satu camilan, kemudian berkata, “Makanlah. Perjalanan kita cukup panjang.”“Berapa lama? Jam berapa kita sampai?” tanya Irene. Gadis itu menikmati camilannya sambil bersandar manja pada sang suami. Adam melirik ke arah
Irene terlelap lelah dalam perjalanan pulang dari acara fashion show tadi kembali ke hotel. Pertanyaan terakhirnya tak sempat terjawab, karena tiba-tiba banyak orang berdatangan ke meja mereka untuk berkenalan dengan istri sang pemilik bisnis tambang berlian Bright Co. Ltd.Bright & Co yang ada di paris khusus memproduksi perhiasan kelas atas yang sifatnya edisi terbatas. Dan Irene baru mengetahui kalau Adam sangat terkenal di Paris ketimbang di Indonesia.“Apakah Nyonya menyukai acaranya, Tuan?” tanya pengemudi mobil yang sepertinya dekat dengan Adam. Adam tersenyum puas. “Yes, Brown. Dia tersenyum sepanjang acara. Aku seperti bisa lihat ada sparkles di matanya, setiap kali ada gaun yang menarik perhatiannya.”Sang supir yang dipanggil Brown itu pun ikut tersenyum mendengarnya. “Syukurlah Tuan. Ah … dan selamat untuk pernikahan dan kelahiran putra Anda, Tuan. Saya tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba.”Brown baru saja menyupiri Adam hari ini, karena kemarin ia digantikan ole
Huft!“Makanya dia ngeliatin aku kayak kemarin,” batin Irene lagi, kala teringat cerita Adam semalam. Hari ini hari ketiga mereka berlibur dan Adam berencana mengajak Irene mengunjungi pesisir pantai yang dekat dengan Louvre.“Tapi seharusnya dia nyerah karena Adam kan sudah menikah denganku,” keluh Irene kesal.Wanita itu semakin menenggelamkan tubuhnya ke dalam kubangan air hangat yang cukup mengobati bagian tubuhnya yang sedikit perih karena kegiatan semalam dengan sang suami.“Dan lagi aku tak pernah menggubrisnya, Irene.”Ucapan Adam yang tiba-tiba bergabung dalam monolognya tadi membuat Irene menyundulkan kepalanya dari dalam air dan melihat keberadaan pria itu di ambang pintu kamar mandi.“Kau sudah bangun?” sapa Irene dengan wajah cemberutnya. Senang karena Irene sepertinya cemburu dengan keberadaan Gabrielle, Adam hanya bisa memamerkan cengiran lebarnya. “Kenapa kau nggak tegas sama dia dan bilang kalau kau sudah bahagia denganku?!” sentak Irene, melipat kedua tangannya. M
“Tuan Alfred sepertinya mengetahui rencana Anda, Tuan Adolf.”Ucapan itu tidak memberi efek panik pada pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjangnya. Malahan ia terlihat bersemangat, ingin mendengarkan lanjutan dari informasi yang diberikan oleh pria yang menjadi kaki tangan sementaranya itu.Lagi, sang anak buah berkata, “Beliau menempatkan banyak penjaga di bandara dan kediaman Tuan Bright. Akan sulit untuk melakukan hal yang menarik perhatian.”“Mana yang dipilih ayahku?” tanya Adolf dengan nafas sedikit terputus-putus. “Bandara? Atau rumah putraku?”“Beliau ada di bandara menunggu kedatangan Tuan Adam.”Seperti orang gila, Adolf tertawa hingga terbatuk-batuk karenanya. “Old man itu, sangat tahu jalan pikiranku ya. Tapi dia tidak tahu siapa yang akan merebut salah satu harta berharganya itu. Tenang saja.”Kaki tangannya memang tidak tahu menahu mengenai rencana utama Adolf. Ia hanya ditugaskan untuk mengecek keadaan di sekitar bandara dan memantau pergerakan Alfred. Hanya Adol
Ponsel Alfred terjatuh dari genggaman tangannya. Ia terlihat lesu dengan pandangan kosong dan mulut menganga, seolah jiwanya meninggalkan tubuhnya.“Grand, ada apa?!” tanya Adam panik, melihat wajah Alfred memucat setelah mendapat telpon dari Terry.Pria tua itu berlutut di lantai bandara sambil menenggelamkan wajahnya di dalam telapak tangan. Ia bergumam pelan, “Kenapa aku bisa punya putra seperti Adolf? Salahku yang terlalu memanjakannya.”“Grand!”Alfred melepaskan tangan yang menutupi wajahnya dan menatap Adam dengan pandangan penuh permintaan maaf. “Dia membakar rumah peninggalan Allaster itu. Yang kubangun dengan cucuran air mata dan keringat.”Kengerian terlihat di wajah Adam maupun Irene. Irene yang merasa sudah kuat berjalan pun meminta Adam untuk menurunkannya. Ia memeluk sang kakek dan berkata, “Relakanlah, Grand.”“Kau benar.” Alfred segera menyeka wajahnya yang basah karena mengenang semua kehidupan yang ia lewati di rumah utama keluarga Allaster itu. Dia. Istrinya. Oran