Hai! Maaf ya author sedang kurang sehat kemarin. Semoga ini bisa lanjut update setiap hari ya.
“Kau bisa coba pancing dia, Dam.” Derrick mulai menuangkan pendapatnya. Adam tengah mengurus beberapa berkas di kantor, sementara Derrick berkunjung untuk mencari tahu apa ada yang terjadi antara Adam dengan Irene setelah kejadian Claire. Sebenarnya Derrick ingin melaporkan perbuatan Claire pada keluarga Allaster, tapi Adam mencegahnya. Ia tidak mau berurusan dengan Aldrich maupun Adolf terkait Claire. Adam lebih memikirkan hubungannya dengan Irene yang entah kenapa terasa jauh. Lebih jauh dibanding saat pertemuan pertama mereka. Dan kini, sang CEO tengah membahas hal itu dengan sahabatnya.“Pancing bagaimana?” tanya Adam tak mengerti dengan ucapan Derrick. “Well, pancing dia buat lihat dia cinta atau nggak. Kau bisa coba ajak dia bercinta. Kalau dia mau, bukannya berarti kalian saling cinta? Berarti apa kata Darren bener. Dia cemburu.”Penjelasan Derrick membuat Adam terdiam. Tak lama setelahnya, ia pun menghela napas panjang dan mengakhiri percakapan mereka. “Nggak perlu. Aku ng
Adam tercengang mendengar ucapan Irene. Ia bahkan terkejut gadis itu bisa berteriak padanya. Sadar kalau jawaban dari semua pertanyaan ‘apakah dia juga menyukaiku?’, adalah sebuah penolakan, Adam pun mundur. Sementara turun dari tempat tidur, Adam berkata pelan, “Jadi itu yang kau pikirkan. Baiklah.” Dan tanpa menunggu reaksi Irene, Adam pun memutuskan pergi dari ruangan itu dengan rasa marah dan terluka. Otaknya memproses kejadian tersebut sebagai penolakan. “Seharusnya aku nggak melakukan apa yang disarankan Derrick. Padahal aku sudah tahu, hal seperti ini hanya akan menyusahkanku,” tegur Adam pada dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan berbagai hal negatif. “Pada akhirnya, perasaan seperti ini lagi yang kualami. Kupikir semua akan berbeda, dibanding saat dengan Claire dulu. Sepertinya aku berharap terlalu tinggi.”Dan sekali lagi, Adam memutuskan untuk menutup hatinya.***Sementara itu, Irene yang masih sedikit ketakutan karena sikap Adam yang memaksa tadi, belum juga berhe
“Nggak ada celah, Ir. Kau nggak bisa mengelak,” kekeh Darren dengan wajah mengejek geli. “CCTV-ku juga pasti menangkap ucapan yang sama. Punyaku dilengkapi alat perekam.”Irene sibuk menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam. Tak mau mengakui perasaannya lagi, gadis itu memilih untuk tidak berkomentar. Malahan, Irene terlihat bergegas pergi dari sana. “Ya–yang penting kandunganku sehat. Aku pamit dulu.”Darren tergelak melihat Irene tersipu malu. “Jelas itu nggak selalu ada hubungannya sama ngidam sih. Pasti gara-gara Adam yang nggak bisa mengekspresikan perasaan dia. Haaah! Biar sajalah mereka urus masalah mereka sendiri. Aku nggak mau ikut campur.”Walau begitu, ia tetap melaporkan progres dan kondisi kehamilan Irene pada Adam. Sementara itu, Irene yang sudah kembali ke kamarnya, langsung bergegas bersiap ke kantor. Walau ia masih dalam keadaan panik karena Darren mengetahui perasaannya, tapi jadwal kerjanya tidak bisa menunggu. “Ugh! Kenapa aku keceplosan,” gerutunya k
Sementara itu di kediaman Irene. Gadis itu tengah membersihkan kamar tidurnya dibantu oleh Giana. “Ir, kamu yakin tinggal di sini nggak apa-apa? Kamu kan masih terikat kontrak sama Adam.” Giana melirik sang sahabat sementara tangannya sibuk menyarungi bantal dan guling. Walau tidak ingin pertanyaannya membuat Irene sedih, ia tetap harus mengingatkan gadis itu. Ia juga tidak mau kalau Irene sampai menghadapi masalah karena melanggar isi kontrak.“Tapi Adam nggak pernah menyebut kalau aku harus berada di rumahnya kok. Kurasa aman saja.” Irene menjawab dengan sikap tak peduli. Kini ia sibuk menata pakaiannya di dalam lemari.Giana menghela napas panjang. “Aku hanya nggak ingin kau nanti malah punya hutang sama Pak Adam itu. Rumah ini dia juga yang beli balik. Belum lagi dia juga renovasi rumah ini.”“Iya, aku tahu. Aku cuma … nggak enak tinggal di sana, sementara dia nggak pulang ke rumahnya sendiri karena ada aku.” Akhirnya Irene mengakui apa yang sedang terjadi di kediaman Adam.Mend
“Jangan bohong! Semua bukti sudah jelas, dan kamu masih berusaha mengelak?” ucap pria paruh baya itu. “Atau kamu menuduh saya asal bicara!?” Irene menunduk, tidak berani menatap bosnya yang sedang berdiri di hadapan. Matanya berkaca-kaca karena dimarahi seperti itu. Setelah makan siang tadi, tiba-tiba Irene dipanggil oleh atasannya tersebut dan dituduh merugikan perusahaan karena menyetujui harga penjualan produk yang tidak standar. Padahal Irene tidak pernah melakukannya! Namun, bosnya menyodorkan bukti bahwa memang sistem di komputer Irene lah yang mengonfirmasi hal tersebut, membuat perusahaan menanggung kerugian hingga nyaris satu miliar. “Kamu dipecat!” Bos Irene berucap kembali dengan nada keras. “HRD akan bantu buat hitung nominal ganti rugi yang harus kamu bayar.” Sepasang mata Irene membeliak tidak percaya. Sontak ia mengangkat wajahnya dan menatap sang atasan. “T-tapi, Pak. Bukan saya–” Brak! “Cukup, Irene!” raung sang CEO semakin keras, kali ini sembari menghantam m
“Bajingan Jeremy! Gimana bisa dia menusukmu dari belakang seperti ini!?” Irene hanya menggeleng lemah. Setelah diusir seperti sampah, Irene memutuskan untuk pergi ke rumah sahabat dekatnya, Giana. Irene menceritakan semua yang terjadi padanya, kesialan bertubi-tubi yang terjadi dalam kurun waktu setengah hari saja. Hasilnya, kini gadis tomboy dengan rambut cepak dan tindikan anting di sana sini itu mengoceh penuh amarah. “Temen kantormu juga berengsek, Ir!” rutuk Giana. “Jangan-jangan kamu sengaja disingkirkan biar ada yang naik jabatan?” Irene menggeleng lagi, tatapannya tampak kosong. Ia tidak tahu dan otaknya sedang tidak bisa diajak berpikir. Kepalanya sedang dipenuhi dengan utang satu miliar, teganya Jeremy, dan asumsi bagaimana bisa Jeremy menjual tanah dan rumahnya, padahal aset-aset tersebut ada atas nama Irene. “Kita lapor polisi saja, Ir,” usul Giana. “Ini masuk ke pencurian dan penipuan! Bisa jadi juga pemalsuan surat.” Namun, Irene menolak. Ia tidak punya bukti. J
“Si—silakan, Pak Adam.” Suara Irene terdengar lemah menjawab Adam. Adam pun menghampiri Irene yang sudah duduk di salah satu sofa yang disediakan, kemudian meletakkan beberapa berkas di hadapan gadis muda itu seraya berkata, “Background checked. Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Deg! Jantung Irene seolah berhenti sesaat ketika Adam menyebut insiden yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Terlebih lagi, ada foto dan data Irene di berkas yang baru saja diletakkan di depannya. Spontan ia membantah, “Tapi saya tidak bersalah! Saya—” “Saya tahu,” potong Adam sambil mengangkat telapak tangan ke arah Irene, memintanya untuk tenang. “Saya hanya menyebut kalau Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Lagi, Adam melanjutkan, “Kalau tidak bersalah, berarti maksudnya Anda dijebak?” Dahi Irene mengkerut, heran karena sepertinya Adam sangat mengetahui apa yang terjadi padanya di perusahaan lama. “Bagaimana Anda tahu kalau saya bermasalah di perusahaan lama saya?” “Sepertinya
Netra Irene membulat mendengar perkataan Adam. “Tu–tunggu sebentar Pak Adam, apa maksudnya dengan saya tinggal di rumah Bapak?” tanya Irene yang sepertinya tidak bisa mengikuti arah tujuan pikiran Adam. Dahi Adam berkerut kesal, tak suka jika ucapannya dipertanyakan. “Pernikahan dihitung mulai besok, akan lebih mudah mengontrolmu dari dekat.” “Besok?! Secepat itu, Pak?!” pekiknya terkejut. Ia tak berpikir kalau statusnya akan berubah hanya dalam hitungan hari. Adam menghela napas tak sabaran karena harus menjelaskan banyak hal pada Irene. “Saya tidak bisa membuang waktu. Toh ini hanya formalitas untuk menjaga norma, sebelum saya menyentuh Anda.” Secepat kilat Irene mencari alasan dan berusaha membuat pria kaku itu mengubah keputusannya. “Baiklah saya paham. Tapi, bukankah ini hal rahasia. Kalau saya ada di rumah Pak Adam, akan lebih mudah terbongkar.” “Tidak masalah. Kita hanya harus lebih berhati-hati.” Adam membalas singkat. “Tapi—” Adam segera mengangkat tangannya dengan