“Nggak ada celah, Ir. Kau nggak bisa mengelak,” kekeh Darren dengan wajah mengejek geli. “CCTV-ku juga pasti menangkap ucapan yang sama. Punyaku dilengkapi alat perekam.”Irene sibuk menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam. Tak mau mengakui perasaannya lagi, gadis itu memilih untuk tidak berkomentar. Malahan, Irene terlihat bergegas pergi dari sana. “Ya–yang penting kandunganku sehat. Aku pamit dulu.”Darren tergelak melihat Irene tersipu malu. “Jelas itu nggak selalu ada hubungannya sama ngidam sih. Pasti gara-gara Adam yang nggak bisa mengekspresikan perasaan dia. Haaah! Biar sajalah mereka urus masalah mereka sendiri. Aku nggak mau ikut campur.”Walau begitu, ia tetap melaporkan progres dan kondisi kehamilan Irene pada Adam. Sementara itu, Irene yang sudah kembali ke kamarnya, langsung bergegas bersiap ke kantor. Walau ia masih dalam keadaan panik karena Darren mengetahui perasaannya, tapi jadwal kerjanya tidak bisa menunggu. “Ugh! Kenapa aku keceplosan,” gerutunya k
Sementara itu di kediaman Irene. Gadis itu tengah membersihkan kamar tidurnya dibantu oleh Giana. “Ir, kamu yakin tinggal di sini nggak apa-apa? Kamu kan masih terikat kontrak sama Adam.” Giana melirik sang sahabat sementara tangannya sibuk menyarungi bantal dan guling. Walau tidak ingin pertanyaannya membuat Irene sedih, ia tetap harus mengingatkan gadis itu. Ia juga tidak mau kalau Irene sampai menghadapi masalah karena melanggar isi kontrak.“Tapi Adam nggak pernah menyebut kalau aku harus berada di rumahnya kok. Kurasa aman saja.” Irene menjawab dengan sikap tak peduli. Kini ia sibuk menata pakaiannya di dalam lemari.Giana menghela napas panjang. “Aku hanya nggak ingin kau nanti malah punya hutang sama Pak Adam itu. Rumah ini dia juga yang beli balik. Belum lagi dia juga renovasi rumah ini.”“Iya, aku tahu. Aku cuma … nggak enak tinggal di sana, sementara dia nggak pulang ke rumahnya sendiri karena ada aku.” Akhirnya Irene mengakui apa yang sedang terjadi di kediaman Adam.Mend
“Bukankah pada akhirnya, para pria hanyalah penipu. Dengan mulut manisnya, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pada akhirnya, yang paling tersakiti adalah para wanita.” Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Irene saat ini. Apalagi dengan pengalamannya bersama Jeremy–mantan tunangan, yang menurutnya sangat baik hati dan menyayanginya. Pada akhirnya, semua itu hanya untuk mengeruk keuntungan darinya.“Walau kondisi Adam nggak bisa disamain sama Jeremy, seenggaknya aku tahu mereka cuma pinter bermulut manis. Aku nggak sudi tertipu lagi. Aku bukan perempuan bodoh,” gerutu Irene dalam hati.Semalam, terbawa suasana dan kata-kata manis Adam, Irene akhirnya membuka diri dan mereka bercinta semalaman. Dan pagi ini, yang tertinggal hanyalah penyesalan bahwa dirinya percaya begitu saja dengan mulut manis Adam. “Palingan juga sampai aku lahiran saja, dia bermaksud menjalin hubungan serius itu.”Gadis itu menatap wajah damai Adam yang masih terlelap di sampingnya. Kalau bukan karena
“Apa kau yakin, sudah menyampaikan perasaanmu dengan benar pada Irene? Karena sepertinya sampai akhir, dia masih berpikir kalau dia akan meninggalkanmu.”Ucapan Giana terus terngiang di telinga Adam sementara ia menunggu Irene keluar dari ruang operasi. “Apa yang salah dengan ucapanku? Padahal aku sudah bilang kalau aku ingin menjalin hubungan serius dengannya. Apa yang seperti ini masih nggak bisa ia pahami?” keluh Adam dalam hatinya. “Dam, tenang saja. Operasinya kan sama Darren, jadi nggak akan ada masalah.” Derrick mencoba menenangkan Adam yang ia kira sedang mengkhawatirkan Irene. Walau sebagian pikirannya mengkhawatirkan kondisi Irene, tapi 80 persen kekhawatirannya adalah karena ucapan Giana yang tak pernah disangkanya. Selama menunggu kelahiran putra mereka, Adam sudah berusaha keras menjadi suami yang baik seutuhnya, tapi ternyata semua itu tak cukup untuk meyakinkan Irene bahwa cintanya tulus.“Yeah. Aku tahu dia di tangan yang tepat. Aku hanya khawatir saja,” ungkap Adam
Entah berapa lama Irene menangis dalam pelukan Adam. Yang pasti, saat Giana tiba, ia cukup kaget melihat wajah basah dengan mata merah Irene dalam pandangannya. “Jadi, rencanamu pergi batal, kan?” tanya Giana mengejek Irene. Irene mendengus kesal sambil mengelap wajahnya dengan lap basah yang ditawarkan Giana padanya tadi. “Adam bilang kalau dia mencintaiku. Jadi, ya sudah. Aku nggak jadi pergi.”“Ha! You and your pride!” tegur Giana, menyentil kening Irene. “Sekarang, lupakan masa lalu, Ir. Masa depanmu cerah. Karma baik datang.”Wajah Irene terlihat memerah sementara ia mengangguk. Apa yang dikatakan Giana membuatnya bersyukur kalau ia tidak menyerah saat semua hal buruk terjadi padanya dulu.“Lalu, apa kau sudah menemukan nama untuk bayimu?” tanya Giana berusaha mengganti topik pembicaraan ke arah yang lebih menenangkan. Irene menggeleng. “Aku sibuk menangis tadi. Aku bahkan nggak ingat anakku. Apa aku bisa melihatnya setelah ini?”Mendengar itu Giana tergelak. “Dasar kau ibu ng
Irene terdiam. Diam-diam menahan senyumannya. Minggu lalu Adam mengatakan kalau ia berniat menggelar pernikahan yang tidak pernah ada itu. Ia menatap putranya yang terlelap di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan kebahagiaan itu. Namun, ada juga pikiran negatif yang datang menyambangi.“Apa kau yakin ini nggak akan dipandang aneh sama orang-orang?” tanya Irene sementara duduk tenang dalam mobil yang membawa mereka ke kediaman Allaster.Adam memiringkan kepalanya, menatap Irene sambil bertanya, “Kau peduli dengan omongan orang? Kalau ya, aku akan menggelarnya secara tertutup saja.”Mendengar Adam masih akan mempertimbangkan pernikahan itu demi dirinya, Irene tak kuasa menolak, tapi ia juga tak mau tergesa-gesa. Dirinya masih tidak tahu bagaimana dampaknya dan apakah ia sanggup menghadapi gosip yang beredar di sekitarnya.“Apa aku boleh minta waktu 1 hari lagi untuk memikirkan ini?” tanya Irene yang langsung mendapat anggukan dari Adam.“Sure. Kabari aku,” ungkap Adam sambil mengecup
“Kurasa aku sebaiknya ke kamar tamu, Grand?” tanya Irene sekalian pamit pada Alfred. Namun, pria tua itu menepuk pelan pundak Irene, tak membiarkannya beranjak dari kursi ruang makan. “Nggak perlu. Kau di sini saja dan dengarkan keputusanku.”Irene mengangguk saja, menuruti Alfred. Walau sebenarnya tidak ada sedikitpun rasa ingin tahu mengenai keputusan Alfred. Adam sudah memberikan keputusannya kalau memang sang kakek berniat memberikan warisan itu pada Aldrich, dia akan menerimanya dengan baik. Baginya saat ini, bersama Irene dan Noah adalah hal paling indah yang ingin ia nikmati.“Sesuai dengan perjanjian di awal, yang berhak mewarisi posisi presiden direktur di perusahaan utama Allaster adalah cucuku yang bisa memberikan cicit pertama kali. Dan orang itu adalah Adam.” Alfred terdiam sejenak. Mengambil nafas sambil mengamati respon dari 3 orang yang mendengarkannya.Menyadari kalau sang kakek menunggu respon dari mereka, Aldrich yang lebih dulu membuka suara. “Aku nggak masalah.
Ha! Ha! Ha!Alfred bahkan tergelak mendengar ucapan Adam, tapi ia tak bisa memungkiri sifat macho yang dipancarkan Giana. “Kalau nggak mau coba ketemu Giana, apa kau mau kukenalkan dengan perempuan lain? Banyak rekan bisnisku yang juga sedang mencarikan suami untuk anak atau cucu mereka.” Alfred menawarkan solusi lain. Namun, belum sempat Aldrich melontarkan protes, Alfred menambahkan, “Tentu saja, ini bukan pernikahan bisnis. Aku tidak pernah mau kalian menikah dengan konsep seperti itu. Kau bisa bertemu banyak wanita dan hatimu yang akan menentukan sendiri, siapa pilihanmu. Bagaimana?”Mendengar penjelasan sang kakek, Aldrich mengatupkan bibirnya lagi. Berpikir dua kali dan menelan protesnya.“Kurasa itu hal baik, Al. Kau bisa coba.” Adam mencoba memompa semangat sang adik. Pada akhirnya, Aldrich memutuskan untuk menuruti keinginan sang kakek dan mencari pendamping baginya. Yang terbaik dari yang terbaik.Sekitar malam, Adam dan Irene pamit untuk pulang karena sepertinya Noah rew