Keesokan paginya.Irene terbangun karena suara ramai di sekelilingnya. Sementara menyesuaikan penglihatan dengan cahaya yang hendak menerobos ke dalam netranya, Irene bisa mendengar suara rendah Adam memberi perintah ini dan itu. “Aku punya wine di dekat mejaku juga. Singkirkan semua.”Leon mengangguk paham sembari memberi kode pada salah satu ART untuk menjalankan perintah Adam barusan.Lagi Adam menambahkan, “Wine yang ada di kamar tamu jangan lupa. Cek juga kamar Irene, aku takut dia menyembunyikan wine atau sejenisnya.”Irene terbengong-bengong mendengar semua perintah Adam berkaitan dengan pemusnahan wine di kediamannya. “Adam, apa kau lagi puasa wine?” tanya Irene yang tak mengerti apa yang dilakukan Adam. Sontak Adam berbalik dan menatap Irene dengan pandangan penuh protes dan teguran. “Gara-gara siapa aku harus melakukan ini, hm?” Suara Adam yang terdengar penuh ancaman membuat Irene mengambil langkah mundur, takut kalau-kalau Adam kalap dan memukulinya. Tapi ia tidak ta
“Ha?! Kenapa orang sehebat itu mau ketemu aku?” batin Irene panik. Ia hanya beberapa kali bertemu Alfred di kantor. Itupun hanya saat ia melewati bilik sekretaris. Tidak ada sapa menyapa, apalagi beradu pandang.“Apa aku harus melakukan sesuatu?” tanya Irene bersiaga. “Misalnya, harus menjadi seperti istri sungguhan. Begitu.” Adam terkekeh. “Tapi kau dan aku kan punya sertifikat nikah. Kau istri sungguhan, Irene.Irene berdecak kesal, karena Adam masih bisa bergurau di saat ia panik seperti ini. “Kau tahu bukan itu maksudku.”Adam mengangguk. “Iya, Irene dear. Jangan sampai kakekku tahu kalau ada perjanjian kontrak mengenai pernikahan ini. Oke?”Bulu kuduk Irene meremang mendengar panggilan manis itu ditujukan Adam padanya.Ia mengangguk dengan kepala menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memanas dan juga bibir yang dilipatnya, karena menahan senyuman.Setelah perjalanan balik yang membuat Irene panik sepanjang waktu, mereka pun tiba di kediaman Adam. “Mati aku! Ada mobil asing di
2 minggu setelah Alfred datang berkunjung, Irene merasa jaraknya dengan Adam semakin dekat. Ia sudah tidak canggung memanggil pria itu dengan namanya saja. “Hari ini jadwal penutupan proyek video promosi. Apa kau juga harus ada di sana?” tanya Irene dengan wajah tenang. Sayangnya, nada suara yang ia gunakan tak bisa menutupi rasa kecewa yang ia rasakan.Adam pun terkekeh mendengarnya. “Aku nggak akan buat skandal. Tenang saja, aku nggak berencana menginap juga.”Irene membuang muka. Tak ingin Adam melihat wajah bahagianya. Gadis itu segera beranjak dari hadapan Adam untuk keluar ruangannya. Namun, sebelum pintu tertutup, Irene sempat mengingatkan lagi, “Yeah, jangan buat skandal nggak perlu. Saya permisi.”Setidaknya jawaban Adam sudah membuatnya tenang. Walau ia bukan istrinya sungguhan, dampak adanya skandal bisa membuat berantakan semuanya. “Well, sebenarnya aku cuma nggak suka bayangin dia ada di dekat perempuan itu,” keluh Irene dalam hati. Tak bisa dipungkiri, perasaannya sa
Sesuai dengan arahan Mathilda, Claire menunggu di lift seolah tidak sengaja berpapasan dengan Adam. Dengan natural sang artis pun menggunakan bakatnya untuk mulai berakting. “Ah … saya kenal Pak Adam. Beliau kakak ipar saya. Biar saya antar beliau ke kamar.”Staf hotel yang terpana dengan kecantikan Claire pun menurut saja. Dan karena tubuh Adam jelas cukup berat untuk Claire bawa sendiri, staf tersebut menawarkan diri untuk menemani sampai mereka tiba di lantai 8, kamar yang diatur Mathilda untuk mereka.“Apakah perlu saya antar sampai depan kamar?” tanya staf itu. Tentu saja Claire menolaknya. Karena ia harus terlihat berdua saja dengan Adam. “Tidak perlu. Sepertinya kamar Adam dekat dengan lift.”Tak ingin dianggap mengganggu, staf tersebut pun mengikuti keinginan Claire tanpa bertanya lagi. Setelah keluar dari lift, Claire pun segera memapah Adam untuk berjalan menuju kamar mereka. Claire yang sudah tahu kalau akan ada yang mengambil foto mereka, pun memberikan kemudahan, agar
Sementara itu, keesokan paginya. Di hotel Adam menginap. Sang CEO yang terbangun dengan sakit kepala teramat sangat itu semakin sakit kepala saat melihat dirinya berada di atas ranjang tanpa kemejanya. Ia melihat sekitar dan bisa menebak apa yang sudah terjadi saat ia tak sadarkan diri. Melihat adanya gaun perempuan yang tergeletak di lantai dan juga kemeja miliknya, Adam pun panik. “Gaun itu!”Spontan Adam menyibak selimut di sisi kanan, memastikan kalau tebakannya benar—gaun itu adalah gaun yang dipakai Claire malam kemarin. Namun, ia malah hampir terjatuh dari ranjang ketika melihat Derrick tertidur di sana. “Ha?! Derrick?! Apa yang orang ini lakukan di sini?!” protes Adam sambil menggoyang-goyangkan tubuh sahabat sekaligus rekan sekerjanya itu supaya bangun dan menjelaskan keberadaan mereka saat ini. “Oi! Rick! Bangun!” seru Adam sedikit kencang. Derrick menggeram pelan sebelum akhirnya ia terbangun sambil menggosok-gosok mukanya. “Damn! Sakit banget kepalaku!” protesnya pela
Deg!Seolah itu adalah detak jantung Adam yang terakhir, sepersekian detik ia bisa merasakan pusat kehidupannya terhenti. Bayangan Irene yang terbaring lemah membuat amarahnya memuncak. Lebih dari semua itu, ia takut kehilangan Irene.“Di mana Irene sekarang?” tanya Adam tak lagi peduli dengan perbuatan Claire. Ia segera mengikuti Regan keluar dari hotel itu.“Di tempat Dokter Darren, Bos.”Leon yang mendengarkan juga langsung menanggapi, “Heli sudah saya arahkan di atas gedung ini, Tuan. Urusan Nona Claire biar saya yang mengurusnya.”Adam mengangguk setuju. Ia sudah tak peduli lagi bagaimana mereka akan mengurus Claire, karena saat ini yang memenuhi pikirannya hanyalah Irene. Langkahnya tak terhenti, hingga mereka tiba di rooftop. Adam langsung naik ke dalam helikopter diikuti Regan. Tak lama, mereka pun tiba di kediaman Adam. “Lewat sini, Bos.” Regan segera membuka jalan menuju gedung laboratorium yang berada di bawah tanah. Langkah tergesa Adam membuat Regan sedikit panik. Seja
“Kau bisa coba pancing dia, Dam.” Derrick mulai menuangkan pendapatnya. Adam tengah mengurus beberapa berkas di kantor, sementara Derrick berkunjung untuk mencari tahu apa ada yang terjadi antara Adam dengan Irene setelah kejadian Claire. Sebenarnya Derrick ingin melaporkan perbuatan Claire pada keluarga Allaster, tapi Adam mencegahnya. Ia tidak mau berurusan dengan Aldrich maupun Adolf terkait Claire. Adam lebih memikirkan hubungannya dengan Irene yang entah kenapa terasa jauh. Lebih jauh dibanding saat pertemuan pertama mereka. Dan kini, sang CEO tengah membahas hal itu dengan sahabatnya.“Pancing bagaimana?” tanya Adam tak mengerti dengan ucapan Derrick. “Well, pancing dia buat lihat dia cinta atau nggak. Kau bisa coba ajak dia bercinta. Kalau dia mau, bukannya berarti kalian saling cinta? Berarti apa kata Darren bener. Dia cemburu.”Penjelasan Derrick membuat Adam terdiam. Tak lama setelahnya, ia pun menghela napas panjang dan mengakhiri percakapan mereka. “Nggak perlu. Aku ng
Adam tercengang mendengar ucapan Irene. Ia bahkan terkejut gadis itu bisa berteriak padanya. Sadar kalau jawaban dari semua pertanyaan ‘apakah dia juga menyukaiku?’, adalah sebuah penolakan, Adam pun mundur. Sementara turun dari tempat tidur, Adam berkata pelan, “Jadi itu yang kau pikirkan. Baiklah.” Dan tanpa menunggu reaksi Irene, Adam pun memutuskan pergi dari ruangan itu dengan rasa marah dan terluka. Otaknya memproses kejadian tersebut sebagai penolakan. “Seharusnya aku nggak melakukan apa yang disarankan Derrick. Padahal aku sudah tahu, hal seperti ini hanya akan menyusahkanku,” tegur Adam pada dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan berbagai hal negatif. “Pada akhirnya, perasaan seperti ini lagi yang kualami. Kupikir semua akan berbeda, dibanding saat dengan Claire dulu. Sepertinya aku berharap terlalu tinggi.”Dan sekali lagi, Adam memutuskan untuk menutup hatinya.***Sementara itu, Irene yang masih sedikit ketakutan karena sikap Adam yang memaksa tadi, belum juga berhe
10 tahun sejak kelahiran Bella Jackson Allaster. Noah sudah berusia 12 tahun dan berhasil melompati kelas sehingga tahun ini ia sudah masuk SMP.“Apa kau yakin, kau bisa mengikuti pelajaran di SMP?” tanya Irene khawatir. “Kau bisa belajar dulu di rumah sampai usia 13 tahun, Noah.”Noah memutar bola matanya kemudian menoleh ke arah Adam yang sibuk mengisi piring Bella dengan berbagai menu sarapan. “Dad, please jelasin ke Momma. Dia terlalu khawatir.” “Momma hanya takut kau dibully, Noah,” ujar Adam menengahi. “Pertanyaannya hanya kamuflase. Tidak mungkin Momma meragukan kejeniusan Noah. Benar kan, Sayang?”Mendengar ucapan itu, Irene merasa tertegur. Ia baru sadar kalau ucapannya mengecilkan sang putra. Tak mau Noah sakit hati, Irene segera mengiyakan ucapan Adam.“Kau paling muda sendiri di SMP, Noah.”Dengan senyum penuh kebanggaan Noah menjawab, “Aku sudah dapat blue belt-ku, Mom. Jangan khawatir.”Adam menatap Irene kemudian tersenyum penuh arti. Meminta sang istri untuk berhenti
“Tidak, tidak! Ma–maksudku, iya. Ah! Bukan! Tunggu sebentar!” pekik Giana panik. Ia mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan diri. Irene yang tak bisa percaya bahwa sang sahabat menyembunyikan berita baik itu, mengiriminya tatapan penuh protes, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.“Oke, oke. Kujelaskan. Aku tunangan, yes. Tapi bukan berarti aku sedang hamil.”“Tunangan!” pekik Irene dengan nada kesal. “Kenapa aku nggak diundang?!” Giana terkekeh, walau ia tahu Irene sedang kesal betulan. Dengan sabar ia menjelaskan, “Kau tahu kondisimu 3 bulan lalu masih nggak memungkinkan untuk turun dari tempat tidur, Irene. Ini aja aku ke sini karena Adam sudah membuka gembok rumah kalian.”Bibir Irene maju 5 centi. Cemberut. Merajuk kesal, tapi tidak bisa membalas penjelasan Giana. Pasti Adam yang sudah memblokir semua kegiatan luar, supaya dirinya tidak berpikir untuk memaksakan diri hadir. “Siapa tunanganmu?” tanya Irene yang akhirnya menyerah. Dengan penuh semangat Giana mengel
“Tuan Adam, ini kainnya,” ucap Nannia yang akhirnya bisa masuk ke ruang makan.Sebenarnya sejak tadi ia sudah tiba di sana, tetapi karena melihat majikannya sedang saling mengutarakan rasa cintanya dengan bahasa tubuh, ia memutuskan untuk menunggu sampai ada celah baginya untuk masuk.Adam segera mengambil kain itu dan melingkarkannya di tubuh Irene yang memeluk Noah. “Bilang kalau terlalu kencang ya.”“Mm. Sudah pas,” ujar Irene sambil menganggukkan kepala. “Thanks, Adam.”Sementara Irene menaruh perhatian penuh pada Noah, Adam memanggil Leon untuk membahas kebutuhan makan malam yang ia janjikan pada Irene. “Pesan kotatsu*. Juga meja makan pendek. Kursi yang lembut dan empuk untuk Irene bisa duduk di lantai. Siapkan untuk malam ini.” Adam memberi perintah pada Leon. Pria tua yang mendengarkan sang majikan, melirik jam yang melingkar di tangannya. Jelas waktunya tidak akan cukup jika harus memesan kotatsu asli dari Jepang.Namun, Leon tetap menjawab, “Baik, Tuan Adam. Akan segera sa
3 bulan setelah pemeriksaan.“Ini obatnya, Nyonya.” Nannia menyerahkan piring kecil berisi 5 butir pil yang harus diminum Irene. Semenjak hasil pengecekan rahim berjalan tak terlalu bagus, Darren sibuk mencarikan obat-obatan yang bisa memperkuat kondisi rahim dan juga janin di dalamnya.Rahim Irene sedikit melemah, sejak keguguran. Saat kehamilan Noah pun, Darren berusaha memberi semua yang terbaik, demi kehidupan sang putra mahkota itu. Saat itu, ia tidak memberitahu kondisi ini karena melahirkan Noah adalah sebuah keadaan yang harus terjadi bagaimanapun caranya. Setelah kehilangan bayi mereka karena kecelakaan yang ditimbulkan oleh Sarah, Darren tak punya hati untuk memberitahu mereka bahwa ada kondisi di mana 50% kehamilan Irene akan gagal. Karena itu, ia berjuang sendiri untuk menjaga kehamilan Irene. Namun, kali ini berbeda. Anak kedua bukan hal yang wajib terjadi. Adam sudah memenuhi syarat untuk menjadi pewaris Allaster. Itulah kenapa, akhirnya Darren memutuskan untuk memb
“Aku aman.”Ucapan yang terdengar mantap dari Giana tadi justru membuat Irene merasa was-was. Ia berharap bisa menempatkan orang yang ia percaya untuk menjaga Giana. Namun ia tahu, meminta Regan yang menjadi bodyguard Giana tidak akan disetujui Adam.Dan saat ini Irene sudah bersama Adam untuk kembali pulang. Tengah panik dengan semua bayangan negatif di kepalanya, Adam tiba-tiba berkata, “Ir, jangan khawatir. Masalah ini sudah kuceritakan pada Grandpa Allan. Kau tenang saja. Oke?”Irene menatap sang suami dengan tatapan terpana, seolah sang suami sudah melakukan hal terhebat baginya. Ia memeluk Adam erat sambil berkata, “Thanks, Adam. Aku nggak tahu lagi kalau sampai Giana terbawa-bawa dengan urusan Franz.”Adam mengusap punggung Irene dengan sayang. Walau Irene tidak meminta, tapi ia sudah menempatkan Regan di restoran Giana. Ia tidak suka melihat istrinya menghamburkan air mata kalau-kalau terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.“Sampai Grandpa Allan memberi tanda kalau kondisi sudah
Beberapa hari setelah perkenalan Franz pada keluarga besar Allaster, Irene mendapat undangan dari Giana untuk datang berkunjung. Sahabatnya itu membuka area bar di lantai 2 restorannya. Tak pernah menebak bahwa Giana akan punya hubungan dengan Franz, Irene pun datang ke acara sang sahabat bersama dengan Noah. Tentu saja, seperti perintah Adam, ia juga membawa Regan bersamanya. “Kenapa ada orang itu di sini? Apa Giana sudah langsung membuka bar-nya untuk publik?” batin Irene bertanya-tanya, ketika ia mendapati sosok Franz tengah berbincang ramah dengan Giana di meja bar.“Oh! Irene! Noah! Sudah datang!” seru Giana sambil berjalan keluar dari belakang meja bar. Berusaha bersikap tenang, Irene pun membalas sapaan sang sahabat dengan ucapan selamat. “Congratz, Gi! Bar-nya keren banget!”Ha! Ha! Ha!Giana tergelak menerima pujian tulus Irene itu. Ia kemudian mendorong pundak Irene untuk duduk di salah satu sofa yang nyaman untuknya dan Noah.“Dan ibu menyusui nggak boleh minum di sini,
Mendengar cerita Franz, bahkan Adam mulai panik kalau tebakan Allan benar. Namun, mereka langsung menghela nafas lega ketika mendengar jawaban franz. “Sandra Billie. Kau kenal, Dad? Katanya dia sedang liburan ke sini dan aku diminta mengejarnya. Ugh! Memalukan sekali pekerjaan ini.”Allan tergelak mendengarnya. “Pernikahan bukan pekerjaan, Franz. Kurasa ayahmu sedang mencarikan asuransi untukmu. Kau tahu kan, kau nggak akan bisa menggantikannya walau ia turun dari posisinya sekarang.”“Cih! Pria tua itu memang selalu kurang kerjaan,” keluh Franz sambil menggaruk bahunya yang tiba-tiba gatal. Ia menatap orang-orang yang baru beberapa menit dikenalnya dan sadar bahwa dunia mereka jelas berbeda.Ketidaknyamanan itu membuatnya ingin segera pergi dari sana. Namun, baru saja ia akan membuka mulut untuk pamit, Irene turun dari lantai 2 bersama Noah.“Oh! Ada tamu?” sapa Irene sambil menggosok matanya yang mengantuk. “Apa aku mengganggu? Noah bangun cari kamu, Adam.”Adam tersenyum sambil me
Kembali ke satu menit yang lalu. Irene dan Adam mendengar Allan berbicara dengan seseorang, sepertinya melalui sambungan telepon. Walau hanya sekilas, mereka bisa mendengar nama asing yang diucapkan Allan. Franz.“Apa kau pernah dengar?” tanya Irene lagi pada Adam. “Sepertinya Grand marah sekali sama orang yang bernama Franz itu.”Sang suami menggeleng. Mereka memutuskan untuk tak lagi membahasnya dan masuk menuju ruang keluarga. Tak mereka sadari, ternyata Allan juga mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Irene sendiri pergi ke kamar untuk menidurkan Noah, sementara Adam berniat untuk menikmati waktu sendirinya di sofa ruang keluarga itu.Allan kemudian duduk di sampingnya dan menikmati teh yang masih ia bawa dari pesta kebun tadi. Dan setelah menyesap tehnya, ia kemudian bertanya, “Apa aku bisa pakai salah satu ruangan yang tak terpakai di rumahmu? Aku kedatangan tamu yang juga ingin kukenalkan pada kalian.” Tanpa bertanya lebih jauh, Adam mengangguk. “Sure, Grand. Aku akan min
“Giana?!” pekik Irene saat ia menghampiri ruang tamu dan mendapati sahabatnya datang dengan tas besar di bahunya. “Ada apa?”Giana terlihat kesal tetapi ia tetap menjawab pertanyaan Irene. Katanya, “Aku kabur.”Dan jawaban singkat itu membuat Irene tercengang. Seburuk-buruknya hidup, Giana bukan tipe perempuan yang kabur begitu saja. Irene segera membawa Giana ke kamar lamanya karena ia sudah tahu kalau sahabatnya itu jelas butuh tempat menginap.“Apa yang terjadi sampai kau kabur, Gi?” tanya Irene setelah menuangkan air untuk Giana minum. “Grandpa mulai mengadakan perjodohan untukku, padahal dia tahu aku nggak suka. Dia bilang aku harus segera menikah sebelum dia mati. Apa-apaan sih dia itu!” keluh Giana dengan nada penuh amarah. Irene pun juga tak habis pikir. Biasanya kakek Giana tak pernah sampai memaksa cucunya melakukan hal yang tak ia sukai. “Tapi kalau sampai Giana kabur, berarti maksanya sudah di luar batas kesabaran.” Irene membatin. Ia merasa ucapan kakek Giana mempunyai