2 minggu setelah Alfred datang berkunjung, Irene merasa jaraknya dengan Adam semakin dekat. Ia sudah tidak canggung memanggil pria itu dengan namanya saja. “Hari ini jadwal penutupan proyek video promosi. Apa kau juga harus ada di sana?” tanya Irene dengan wajah tenang. Sayangnya, nada suara yang ia gunakan tak bisa menutupi rasa kecewa yang ia rasakan.Adam pun terkekeh mendengarnya. “Aku nggak akan buat skandal. Tenang saja, aku nggak berencana menginap juga.”Irene membuang muka. Tak ingin Adam melihat wajah bahagianya. Gadis itu segera beranjak dari hadapan Adam untuk keluar ruangannya. Namun, sebelum pintu tertutup, Irene sempat mengingatkan lagi, “Yeah, jangan buat skandal nggak perlu. Saya permisi.”Setidaknya jawaban Adam sudah membuatnya tenang. Walau ia bukan istrinya sungguhan, dampak adanya skandal bisa membuat berantakan semuanya. “Well, sebenarnya aku cuma nggak suka bayangin dia ada di dekat perempuan itu,” keluh Irene dalam hati. Tak bisa dipungkiri, perasaannya sa
Sesuai dengan arahan Mathilda, Claire menunggu di lift seolah tidak sengaja berpapasan dengan Adam. Dengan natural sang artis pun menggunakan bakatnya untuk mulai berakting. “Ah … saya kenal Pak Adam. Beliau kakak ipar saya. Biar saya antar beliau ke kamar.”Staf hotel yang terpana dengan kecantikan Claire pun menurut saja. Dan karena tubuh Adam jelas cukup berat untuk Claire bawa sendiri, staf tersebut menawarkan diri untuk menemani sampai mereka tiba di lantai 8, kamar yang diatur Mathilda untuk mereka.“Apakah perlu saya antar sampai depan kamar?” tanya staf itu. Tentu saja Claire menolaknya. Karena ia harus terlihat berdua saja dengan Adam. “Tidak perlu. Sepertinya kamar Adam dekat dengan lift.”Tak ingin dianggap mengganggu, staf tersebut pun mengikuti keinginan Claire tanpa bertanya lagi. Setelah keluar dari lift, Claire pun segera memapah Adam untuk berjalan menuju kamar mereka. Claire yang sudah tahu kalau akan ada yang mengambil foto mereka, pun memberikan kemudahan, agar
Sementara itu, keesokan paginya. Di hotel Adam menginap. Sang CEO yang terbangun dengan sakit kepala teramat sangat itu semakin sakit kepala saat melihat dirinya berada di atas ranjang tanpa kemejanya. Ia melihat sekitar dan bisa menebak apa yang sudah terjadi saat ia tak sadarkan diri. Melihat adanya gaun perempuan yang tergeletak di lantai dan juga kemeja miliknya, Adam pun panik. “Gaun itu!”Spontan Adam menyibak selimut di sisi kanan, memastikan kalau tebakannya benar—gaun itu adalah gaun yang dipakai Claire malam kemarin. Namun, ia malah hampir terjatuh dari ranjang ketika melihat Derrick tertidur di sana. “Ha?! Derrick?! Apa yang orang ini lakukan di sini?!” protes Adam sambil menggoyang-goyangkan tubuh sahabat sekaligus rekan sekerjanya itu supaya bangun dan menjelaskan keberadaan mereka saat ini. “Oi! Rick! Bangun!” seru Adam sedikit kencang. Derrick menggeram pelan sebelum akhirnya ia terbangun sambil menggosok-gosok mukanya. “Damn! Sakit banget kepalaku!” protesnya pela
Deg!Seolah itu adalah detak jantung Adam yang terakhir, sepersekian detik ia bisa merasakan pusat kehidupannya terhenti. Bayangan Irene yang terbaring lemah membuat amarahnya memuncak. Lebih dari semua itu, ia takut kehilangan Irene.“Di mana Irene sekarang?” tanya Adam tak lagi peduli dengan perbuatan Claire. Ia segera mengikuti Regan keluar dari hotel itu.“Di tempat Dokter Darren, Bos.”Leon yang mendengarkan juga langsung menanggapi, “Heli sudah saya arahkan di atas gedung ini, Tuan. Urusan Nona Claire biar saya yang mengurusnya.”Adam mengangguk setuju. Ia sudah tak peduli lagi bagaimana mereka akan mengurus Claire, karena saat ini yang memenuhi pikirannya hanyalah Irene. Langkahnya tak terhenti, hingga mereka tiba di rooftop. Adam langsung naik ke dalam helikopter diikuti Regan. Tak lama, mereka pun tiba di kediaman Adam. “Lewat sini, Bos.” Regan segera membuka jalan menuju gedung laboratorium yang berada di bawah tanah. Langkah tergesa Adam membuat Regan sedikit panik. Seja
“Kau bisa coba pancing dia, Dam.” Derrick mulai menuangkan pendapatnya. Adam tengah mengurus beberapa berkas di kantor, sementara Derrick berkunjung untuk mencari tahu apa ada yang terjadi antara Adam dengan Irene setelah kejadian Claire. Sebenarnya Derrick ingin melaporkan perbuatan Claire pada keluarga Allaster, tapi Adam mencegahnya. Ia tidak mau berurusan dengan Aldrich maupun Adolf terkait Claire. Adam lebih memikirkan hubungannya dengan Irene yang entah kenapa terasa jauh. Lebih jauh dibanding saat pertemuan pertama mereka. Dan kini, sang CEO tengah membahas hal itu dengan sahabatnya.“Pancing bagaimana?” tanya Adam tak mengerti dengan ucapan Derrick. “Well, pancing dia buat lihat dia cinta atau nggak. Kau bisa coba ajak dia bercinta. Kalau dia mau, bukannya berarti kalian saling cinta? Berarti apa kata Darren bener. Dia cemburu.”Penjelasan Derrick membuat Adam terdiam. Tak lama setelahnya, ia pun menghela napas panjang dan mengakhiri percakapan mereka. “Nggak perlu. Aku ng
Adam tercengang mendengar ucapan Irene. Ia bahkan terkejut gadis itu bisa berteriak padanya. Sadar kalau jawaban dari semua pertanyaan ‘apakah dia juga menyukaiku?’, adalah sebuah penolakan, Adam pun mundur. Sementara turun dari tempat tidur, Adam berkata pelan, “Jadi itu yang kau pikirkan. Baiklah.” Dan tanpa menunggu reaksi Irene, Adam pun memutuskan pergi dari ruangan itu dengan rasa marah dan terluka. Otaknya memproses kejadian tersebut sebagai penolakan. “Seharusnya aku nggak melakukan apa yang disarankan Derrick. Padahal aku sudah tahu, hal seperti ini hanya akan menyusahkanku,” tegur Adam pada dirinya sendiri. Pikirannya penuh dengan berbagai hal negatif. “Pada akhirnya, perasaan seperti ini lagi yang kualami. Kupikir semua akan berbeda, dibanding saat dengan Claire dulu. Sepertinya aku berharap terlalu tinggi.”Dan sekali lagi, Adam memutuskan untuk menutup hatinya.***Sementara itu, Irene yang masih sedikit ketakutan karena sikap Adam yang memaksa tadi, belum juga berhe
“Nggak ada celah, Ir. Kau nggak bisa mengelak,” kekeh Darren dengan wajah mengejek geli. “CCTV-ku juga pasti menangkap ucapan yang sama. Punyaku dilengkapi alat perekam.”Irene sibuk menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam. Tak mau mengakui perasaannya lagi, gadis itu memilih untuk tidak berkomentar. Malahan, Irene terlihat bergegas pergi dari sana. “Ya–yang penting kandunganku sehat. Aku pamit dulu.”Darren tergelak melihat Irene tersipu malu. “Jelas itu nggak selalu ada hubungannya sama ngidam sih. Pasti gara-gara Adam yang nggak bisa mengekspresikan perasaan dia. Haaah! Biar sajalah mereka urus masalah mereka sendiri. Aku nggak mau ikut campur.”Walau begitu, ia tetap melaporkan progres dan kondisi kehamilan Irene pada Adam. Sementara itu, Irene yang sudah kembali ke kamarnya, langsung bergegas bersiap ke kantor. Walau ia masih dalam keadaan panik karena Darren mengetahui perasaannya, tapi jadwal kerjanya tidak bisa menunggu. “Ugh! Kenapa aku keceplosan,” gerutunya k
Sementara itu di kediaman Irene. Gadis itu tengah membersihkan kamar tidurnya dibantu oleh Giana. “Ir, kamu yakin tinggal di sini nggak apa-apa? Kamu kan masih terikat kontrak sama Adam.” Giana melirik sang sahabat sementara tangannya sibuk menyarungi bantal dan guling. Walau tidak ingin pertanyaannya membuat Irene sedih, ia tetap harus mengingatkan gadis itu. Ia juga tidak mau kalau Irene sampai menghadapi masalah karena melanggar isi kontrak.“Tapi Adam nggak pernah menyebut kalau aku harus berada di rumahnya kok. Kurasa aman saja.” Irene menjawab dengan sikap tak peduli. Kini ia sibuk menata pakaiannya di dalam lemari.Giana menghela napas panjang. “Aku hanya nggak ingin kau nanti malah punya hutang sama Pak Adam itu. Rumah ini dia juga yang beli balik. Belum lagi dia juga renovasi rumah ini.”“Iya, aku tahu. Aku cuma … nggak enak tinggal di sana, sementara dia nggak pulang ke rumahnya sendiri karena ada aku.” Akhirnya Irene mengakui apa yang sedang terjadi di kediaman Adam.Mend