“Memang usia mereka terpaut cukup jauh.”
Suasana kafe yang cukup sunyi membuat suara lirih itu tidak mampu disamarkan lagi. Dengan jelas, lawan bicaranya mampu mendeteksi bahwa suara tersebut menyimpan tangis dan terpaku.Dewi meletakkan kertas-kertas yang sedari tadi dia bolak-balik dan perhatikan dengan saksama ke atas meja, bercampur dengan segala macam kertas dan dokumen lain yang berserakan di sana.Wanita paruh baya itu melepas kacamatanya, membuat sepasang mata yang telah memerah makin tampak jelas. Entah karena minus matanya yang makin bertambah ditambah ia sudah memelototi berkas-berkas berserakan itu sejak tadi atau karena permohonan sang sahabat yang membuat hatinya teriris perih."Kamu yakin dengan keputusanmu?"Dewi menatap sosok itu, sosok yang langsung dengan sangat mantap menganggukkan kepala sebagai jawaban dari apa yang tadi Dewi tanyakan padanya. Jawaban yang kembali membuat Dewi diliputi kebimbangan yang teramat sangat."Cuma kamu sekeluarga yang bisa tolong aku, Wi. Cuma kamu satu-satunya orang yang aku percaya di dunia ini. Jadi tolong ... jangan kamu tolak permintaan aku ini, Wi!"Dewi mengangguk pelan. Mereka memang sudah lama sekali kenal. Sejak berjuang pre-klinik di universitas sampai sekarang masing-masing sudah menjadi spesialis.Keduanya adalah sahabat dekat, jadi tidak heran kalau Dewi menjadi orang yang paling dipercaya oleh sahabatnya tersebut."Tapi bagaimana dengan mereka, Ra? Seperti yang kamu bilang, selisih umur mereka cukup jauh,” ucap Dewi kemudian. “Kamu yakin anak kamu bakalan mau sama anak aku?"Sejak tadi, inilah yang mengganggu pikiran Dewi. Bila dibandingkan dengan Karina, anak ketiganya, sekalipun, usia putri sahabatnya yang bernama Agatha itu terpaut cukup jauh.Apalagi jika gadis itu harus menikah dengan putra nomor duanya, Kelvin?Dewi tidak bisa membayangkan penolakan yang akan dikoar-koarkan oleh kedua anak tersebut."Masalah itu ... biarkan aku yang atur semua.” Wanita di hadapan Dewi kembali berkata. “Aku yang bakalan kasih penjelasan sama Agatha tentang rencana kita ini. Tugas kamu cuma satu, Wi .... Tolong jelaskan pada Kelvin tentang permintaan aku, tanpa perlu kamu beri tahu soal alasan sesungguhnya. Kamu bisa, kan, Wi?"Sekali lagi suara itu begitu lirih, begitu parau terdengar, membuat Dewi kembali merasakan hatinya teriris pedih. Ia kembali menatap mata memerah itu dengan saksama, sebuah tatapan yang kembali membuat Handira, sahabatnya tersebut, buka suara."Aku percaya, Kelvin bisa jaga dan lindungi Agatha, Wi. Aku percaya ke depannya mereka akan bahagia, meskipun aku tahu, sadar, dan yakin betul semua keputusan ini akan sulit untuk mereka terima pada awalnya. Akan tetapi, aku percaya, suatu hari nanti mereka akan menjadi pasangan yang berbahagia."Dewi menghela napas panjang, ia meraih tangan Handira yang ada di atas meja, meremas lembut tangan itu sebagai bentuk dukungan kepada sosok tangguh yang selama ini berdiri sendiri setelah kematian suaminya."Kenapa kamu nggak jujur aja sih, Ra? Kenapa malah ha--""Cukup aku dan kamu yang tahu tentang semua ini, Wi. Tolong. Jangan sampai anak-anak tahu. Aku mohon!"Dewi terbungkam, ia tidak lagi melanjutkan protes dan pilih kembali menganggukkan kepala. Jujur, kepalanya sejak tadi terasa begitu pusing.Bagaimana tidak? Ia sedang berhadapan dengan permintaan sahabatnya yang agak tidak masuk akal, tetapi tidak bisa ia tolak!"Jadi ... kapan kamu akan bilang ke Agatha?” tanya Dewi pada akhirnya kemudian, Ia benar-benar tidak sanggup menolak permintaan Handira. “Kapan mereka akan kita pertemukan?""Bulan depan kita ada arisan, kan? Kita bawa mereka dan biarkan mereka banyak mengobrol berdua.” Handira menjelaskan. Kali ini, suaranya terdengar lebih kuat. “Mengenai perjodohan ini, aku akan sampaikan secepatnya. Bahkan kalau aku sudah sampai rumah nanti, aku akan langsung bilang ke Agatha.""Bagaimana kalau dia menolak? Dia masih muda sekali, bahkan dia belum lulus SMA, Ra. Siapa tahu juga dia punya pacar." Dewi kembali ragu. Ia juga tidak yakin putranya masih lajang. Kelvin sudah cukup berumur!"Dia tidak akan menolak, Wi! Percaya padaku! Punya atau tidak, satu-satunya lelaki yang aku inginkan menjadi pendamping Agatha cuma Kelvin! Kelvin anakmu, bukan Kelvin yang lain lagi."Dewi kembali mengangguk pelan, rasa bimbang dan galau itu makin memporak-porandakan hatinya. Segala macam kemungkinan berputar dalam otak Dewi.Namun, untuk menolak permintaan Handira, sekali lagi dia tidak mampu."Kamu setuju dengan rencana ini kan, Wi?"***"Wi, ayolah! Bukankah kita sudah sepakat tadi?"Handira berdiri di depan jendela kamar. Ponsel keluaran terbaru itu menempel rapat di telinga, tampak wajahnya begitu serius."Aku benar-benar takut kalau perjodohan ini hanya akan menyakiti masing-masing anak kita, Ra. Ingat, Agatha masih sangat muda sekali."Handira menghela napas panjang. Matanya terpejam dengan satu tangan memijit pelipis perlahan. Tidak perlu Dewi ingatkan, Handira sudah tahu, tahu betul bahwa Agatha memang masih sangat muda jika dipaksakan menikah. Handira adalah ibu kandung dari Agatha sendiri. Mana mungkin ia tidak menyadarinya?Namun, demi kebaikan putrinya tersebut, perjodohan ini harus tetap dilangsungkan."Tidak akan ada yang tersakiti. Ah mungkin awalnya begitu, tapi sebagai ibu, naluriku mengatakan bahwa mereka akan bahagia, Wi. Mereka cuma butuh waktu!" Handira kembali menegaskan. Untuk masalah ini dia sama sekali tidak mau dibantah!"Tapi, Ra ... apa tidak se--""Sudah kau bicarakan dengan suamimu, Wi?" potong Handira yang sudah tidak ingin mendengar penolakan atau sanggahan apa pun lagi."Be-belum, Ra!"Handira mendesah. Ia menatap nanar halaman rumah belakang dengan ketakutan yang kembali menganggunya. Bayangan Agatha bercokol dalam otak, membuat Handira harus memastikan bahwa rencana perjodohan ini harus berhasil bagaimanapun caranya!"Bicarakan pada suamimu segera. Lalu kita atur pertemuan mereka, Wi. Agatha dan Kelvin harus segera dipertemukan!" tegas Handira.Kini helaan napas berat Handira dengar dari seberang, membuat matanya terpejam dengan hati risau.Bagaimana dia bisa tenang kalau rencananya ini gagal? Apa yang harus dia lakukan padahal dia sama sekali belum menyusun plan B untuk masalah ini."Baik, secepatnya akan aku bicarakan, " ucap suara sahabatnya itu pada akhirnya."Bagus! Terima kasih banyak, Wi.” Handira membalas segera. Namun, tiba-tiba sebuah pertanyaan menyusup ke dalam otaknya. “Wi, Agatha tidak terlalu jauh dari kriteria menantu idaman kamu, kan?"Handira tahu, Agatha masih sangat kekanakan. Tapi ia yakin bahwa kelak, Agatha bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk Kelvin. Bisa menjadi menantu kebanggaan keluarga Dewi dan Ahmad."Agatha sempurna, Ra. Cantik, cerdas, sopan dan tutur katanya baik. Hanya saja untuk kriteria, Kelvin lebih berhak menentukan karena dia yang akan menjalani."Handira tersenyum getir. Dari kalimatnya, ia tahu betul bahwa sahabatnya ini sangat mementingkan perasaan anak-anaknya. Dua dari tiga anak Dewi sudah menikah dan Dewi tidak pernah mendikte kriteria menurut pandangannya pada anak-anak. Mereka dibebaskan memilih sendiri, bahkan anak nomor tiga pasangan itu memilih lelaki yang usianya terpaut cukup jauh dan Dewi sama sekali tidak keberatan asal bibit, bebet, dan bobotnya jelas!"Agatha akan menjadi istri yang baik, pasangan yang baik untuk Kelvin, Wi. Aku janji bahwa anakku tidak akan pernah mengecewakan kalian sekeluarga."Mata Handira memanas, dadanya mendadak sesak membayangkan kelebat wajah itu."Aku percaya soal itu, Ra.” Dewi berucap lembut.Hening.Hingga akhirnya, Dewi kembali berucap, “Baiklah, akan aku kabari segera untuk waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka."Lega sekali hati Handira mendengar kalimat itu. Air matanya menitik bebarengan dengan senyum lega yang mengembang di wajah. Ia menyeka bulir bening yang menitik dari pelupuk mata, kembali fokus dengan obrolan.Wanita paruh baya itu tidak sadar bahwa ada sesosok gadis berdiri di balik pintu kamar yang sedikit terbuka sejak tadi. Tangannya yang putih bersih itu bergetar hebat. Sepasang matanya memanas.Ingin rasanya ia berteriak, tetapi entah mengapa ia seperti kehabisan daya. Batinnya bergumam:“Mama ingin jodohin aku sama anak tante Dewi? Kenapa? Apa yang terjadi?”“Dijodohkan?”Agatha mematung di depan meja rias. Ia menatap bayangan dirinya seraya mengingat kembali apa yang ia curi dengar dari kamar sang mama. Kejutan apa lagi yang mau diberikan Handira untuknya? Dia pikir, ia akan dapat hadiah karena sudah lulus dan nantinya berhasil masuk fakultas kedokteran, ternyata malah begini.“Non ... Non Agatha!”Agatha tersentak mendengar panggilan dan ketukan di pintu kamar. Ia menghela napas panjang dan segera bangkit. Langkahnya sedikit berat, entah mengapa ia jadi macam orang linglung setelah mendengar obrolan Handira kemarin.“Kenapa, Mbak?”Agatha bersandar malas di pintu, tanpa ia tanya, sebenarnya ia sudah paham kenapa sampai asisten rumah tangga mamanya menyusul Agatha ke kamar.“Kok kenapa sih, Non? Jam berapa ini? Udah ditunggu ibu di meja makan, Non!” jawabnya sambil tersenyum.Benar, bukan?Agatha hanya balas tersenyum dengan anggukan kepala cepat. Sudah waktunya sarapan. Ia meraih tas ranselnya, menutup pintu kamar lalu melangkah dengan
Agatha menatap nanar kepergian Handira dari meja makan. Jadi dia diundang sarapan hanya untuk berdebat sengit macam tadi dan ditinggalkan begitu saja seperti ini? Tangis Agatha pecah, ia terisak dengan kepala tertuntuk. Segala macam susu dan pancake yang tersaji di meja sama sekali tidak menggiurkan di mata Agatha lagi.“Mama benar-benar sudah gila!” Agatha mendesis, kepalanya mendadak terasa begitu pusing.Bahkan Handira melakukan tindakan ekstrim dengan tidak membiarkan dia kemana-mana sendiri. Dia sudah seperti tahanan kota yang harus diawasi kemanapun dia pergi.“Loh, kok nggak dimakan, Non?”Suara itu nampak terkejut ketika Agatha bangkit dengan membawa tas ranselnya. Ia buru-buru menyeka air mata dan balas menatap sosok itu dengan senyum dipaksakan.“Simpenin buat nanti, Mbak. Aku mau langsung berangkat, ada urusan.” Kilahnya lalu buru-buru pergi.Ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun atas nasib buruknya, jadi lebih baik ia segera menyingkir saja. Mbak Indah pasti mendengar se
"Mah, yang bener aja lah! Mama bercanda, kan?"Kelvin keluar dari ruang rawat inap Karina, adiknya yang baru saja beres melahirkan. Langkah kaki Kelvin terburu mengejar sang mama. Ia harus memperjelas apa yang barusan dia dengar di dalam tadi. "Astaga, Vin! Mana ada waktu buat mama bercanda?" Dewi membalikkan badan, menatap Kelvin dengan tatapan serius. Seketika Kelvin lemas. Semangatnya datang ke kota ini guna menengok keponakan baru dan tentu saja mengerjai sang adik, mendadak runtuh. Sorot mata dan nada bicara Dewi tidak bisa membohongi dirinya. Mamanya ini benar-benar serius dengan apa yang tadi dia katakan pada Kelvin di dalam ruangan. "Astaga, Ma ... Kelvin bisa cari sendiri!" Kelvin menegaskan, ia sedikit tidak terima, apakah dia seburuk itu sampai tidak bisa mencari jodoh sendiri? "Nggak ... Nggak! Pokoknya mama udah ada calon yang tepat dan potensial buat kamu!"Kelvin membelalak, ia hendak kembali buka mulut ketika langkah kaki Dewi kembali terayun menuju pintu keluar ba
"Lu nggak coba cari tahu dulu sama siapa elu di jodohin? Kali aja anak dirut atau malah yang punya rumah sakit, Vin." Cerocos Brian setelah Kelvin cukup lama diam. Terdengar helaan napas kasar, tidak perlu menoleh ke sumber suara, Brian tahu betul dari mana asal suara itu. Ia malah dengan begitu santai meneguk air mineral dalam botol, suasana hati Kelvin sedang kacau, berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang suka tantrum bahkan mengamuk ketika suasana hati kacau, Kelvin malah kebalikannya. "Diem lu, makin pusing pala gue, Yan!" Umpatnya dengan wajah ditekuk. Brian tersenyum simpul, ia menepuk punggung Kelvin dengan sedikit keras. Hampir saja botol air yang tadi Brian sodorkan meluncur jatuh. "Opsi lu cuma dua, Vin. Cari cewe, bawa ke depan nyokap atau diam pasrah dijodohin." Brian menatap mata yang tengah menatap tajam ke arahnya dengan santai, menyunggingkan senyum simpatik yang seketika mampu menurunkan kadar tajam sorot mata Kelvin. "Opsi pertama, nggak mungkin bisa berhas
"Hah? Yang bener?"Kelvin membelalak, menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Karina yang masih terbaring di atas bed lengkap dengan selang infus pun balas menatap dengan tatapan serius. Melihat bagaimana sang adik berani membalas tatapan matanya, dan tak lupa raut wajah Karina yang begitu serius, Kelvin sontak lemas. Sia-sia sudah niatnya ingin dibantu oleh Karina mencari tahu siapa gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya itu. Mama yang biasanya tidak tahan menyimpan rahasia di depan Karina pun, memilih tutup mulut dan tidak mau terbuka perihal siapa gadis itu. "Aku bohong buat apaan sih, Bang? Aku tuh juga kepo kali sama cewek yang mau dijodohin sama kamu itu. Sesuai enggak gitu loh sama selera kamu yang setinggi bintang di langit." Ujar Karina yang kini sudah kembali ke mode somplaknya. "Nah kan, mulai!" Gerutu Kelvin yang segera beranjak dari sisi bed Karina. Ia memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa sambil menutup mata dengan lengan. "Lagian, kamu itu pengennya da
"WOY YANG BENER AJA, YOS!!"Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta. "Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa. "Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing. "Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain. "Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu! "Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha. "Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menata
"Bercanda?"Kening Karina berkerut, sebagai anak Dewi, tentu ia tahu betul bahwa semua yang Dewi katakan perihal perjodohan sang abang adalah hal yang serius, bukan hanya bercanda. Ingin Karina utarakan itu, tapi melihat d dalam sorot mata Kelvin terdapat secercah harapan, Karina tidak berani memadamkan harapan yang terselip di sana, meskipun harapan itu hanyalah harapan palsu belaka. "Iya, aku berharap banget kalo mama cuma bercanda. Atau ternyata semua ini cuma mimpi." Kelvin tersenyum getir, membuat Karina jatuh iba seketika. Karina memalingkan mata, tidak tega kalau harus terus menatap sorot mata itu. Belum sempat Karina menanggapi, Kelvin sudah lebih dulu kembali bicara. "Tapi kalau pun semua itu beneran harus aku jalani sih ya nggak papa."Karina mengangkat wajah, kembali menatap Kelvin yang masih berdiri di sebelah bednya. Nampak wajah kusut itu memaksakan untuk tersenyum, membuat Karina makin iba dengan sang kakak. "Coba ngomong lagi baik-baik, Bang, sama mama." Hanya itu
"Ma, nggak bisa gitu dong!" Belum sempat Agatha utarakan niatnya, ternyata Handira sudah lebih dulu bisa membaca apa niat dan tujuan dia datang kemari. "Kenapa nggak bisa sih, Tha? Mama nggak sembarangan loh nyariin jodoh buat kamu."Selalu saja! Selalu itu pembelaan dari Handira ketika Agatha mengutarakan penolakan. Padahal, untuk menjadi pendamping hidup Agatha, bukan hanya poin-poin itu saja yang perlu diperhatikan."Ya karena Agatha belum pengen nikah aja, Ma. Belum ada dua puluh tahun loh." Ini adalah alasan terkuat yang Agatha miliki, berharap dengan alasan ini, mamanya bisa terketuk hatinya.Handira mendesah, ia meletakkan sendok dan garpu yang tadinya sudah dalam genggaman. Mereka beradu pandang sejenak, sampai kemudian Handira lebih dulu memalingkan pandangan. "Memang kenapa kalau kamu nikah di umur dua puluh, Tha? Calon mu sudah mapan, apa lagi yang mau kamu cari?" Suara Handira memang terdengar lembut, namun tegas. Agatha bisa merasakannya. "Bukan cuma soal itu, Ma. Aga
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A