"Mah, yang bener aja lah! Mama bercanda, kan?"
Kelvin keluar dari ruang rawat inap Karina, adiknya yang baru saja beres melahirkan. Langkah kaki Kelvin terburu mengejar sang mama. Ia harus memperjelas apa yang barusan dia dengar di dalam tadi. "Astaga, Vin! Mana ada waktu buat mama bercanda?" Dewi membalikkan badan, menatap Kelvin dengan tatapan serius. Seketika Kelvin lemas. Semangatnya datang ke kota ini guna menengok keponakan baru dan tentu saja mengerjai sang adik, mendadak runtuh. Sorot mata dan nada bicara Dewi tidak bisa membohongi dirinya. Mamanya ini benar-benar serius dengan apa yang tadi dia katakan pada Kelvin di dalam ruangan. "Astaga, Ma ... Kelvin bisa cari sendiri!" Kelvin menegaskan, ia sedikit tidak terima, apakah dia seburuk itu sampai tidak bisa mencari jodoh sendiri? "Nggak ... Nggak! Pokoknya mama udah ada calon yang tepat dan potensial buat kamu!"Kelvin membelalak, ia hendak kembali buka mulut ketika langkah kaki Dewi kembali terayun menuju pintu keluar bangsal. "Loh, nggak bisa gitu dong, Ma! Hanya karena Kelvin belum pernah kenalin cewek ke mama, lantas mama bisa judge Kelvin nggak pinter cari jodoh dan main jodohin Kelvin gitu aja dong!" Kelvin protes, kakak dan adiknya saja bebas memilih jodoh mereka sendiri, siapa orang yang mau mereka nikahi, kenapa Kelvin tidak? Dewi tidak menghentikan langkah, ia terus mengayunkan kaki tidak peduli Kelvin mengerjarnya dengan mimik muka tak suka. "Ma ... Ayolah Kelvin serius ini!" Kelvin terus mengejar, ia berharap Dewi hanya mengerjai dirinya. Walapun sekali lagi sorot mata dan nada bicara Dewi sama sekali tidak mendukung harapannya. Langkah Dewi terhenti, ia memutar badan hingga kini Kelvin bisa menatap wajah sang mama. Nampak ia menghela napas panjang, menatap Kelvin dengan tatapan serius yang makin membuat Kelvin tidak karu-karuan. "Vin, mama juga serius! Mama udah bilang, kan, dari tadi? Mama ini serius! Mama udah nemuin jodoh yang cocok dan pantas buat kamu." Kembali suara itu menegaskan. "Tapi kenapa, Ma? Mama nggak percaya sama Kelvin kalo Kelvin bisa cari jodoh sendiri? Mama nggak per--""Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Vin. Sebagai ibu, tentu mama inginkan hal itu. Dan pilihan mama ini benar-benar yang terbaik buat kamu. Jadi mama harap kamu bisa legowo. Semua mama lakukan demi kamu!"Mata Kelvin membulat. Tahu apa mamanya soal yang terbaik untuk Kelvin dalam masalah jodoh? Apakah mamanya tahu dengan begitu detail tentang itu sampai berani berkata demikian? "Ma ... Tapi, kan--.""Nggak ada tapi, Vin!" Potong Dewi tegas. "Atur jadwalmu, mama pesankan tiket nanti. Kamu harus ketemu dan kenalan sama calon istri kamu." Kelvin lemas selemas-lemasnya, ia baru saja hendak kembali mengutarakan penolakan, ketika suara Dewi kembali mendominasi dan membungkam mulutnya seketika. "Nggak ada penolakan, ya? Atau kamu tahu apa yang akan mama lakukan kalau kamu menolak, Vin?" Suara itu kini bernadakan ancaman. "Masih pengen lanjut sekolah spesialis kan, Vin?"***"Begini amat nasib!" Kelvin merintih, ia memutuskan untuk duduk di deretan kursi yang ada di depan ICU daripada harus kembali ke kamar Karina. Pikirannya suntuk, kepalanya mendadak pusing. Segala macam kalimat yang keluar dari mulut Dewi kembali berputar dan mendengung di kepalanya. "Mama ini kesambet apaan sih? Main acara jodoh-jodohan segala?"Bukan salah Kelvin kalau tidak terima. Pasalnya, dari tiga anak, hanya Kelvin yang hendak dijodohkan! Ini sama sekali tidak adil! Kelvin menyandarkan tubuh di kursi, menghirup udara banyak-banyak untuk menenangkan dirinya yang jujur sangat terkejut dengan apa yang dia dengar. "Nih minum dulu!"Kelvin membuka matanya, menoleh dan mendapatkan Brian sudah kembali datang dengan dua botol air mineral di tangan. "Thanks, Yan!" Kelvin menerima botol air dari tangan Brian, membuka tutup dan meneguk isinya sedikit. Untung Kelvin berhasil menahan Brian untuk tidak ikut pacarnya pergi menengok Karina, jadi dia ada teman yang bisa dia ajak cerita perihal kegalauan hatinya, terlebih Brian adalah salah satu sahabat Kelvin bahkan sejak SMA. Mereka terpisah ketika beres pre klinik, dan beruntung sekali hari ini mereka bertemu, Brian dinas di rumah sakit tempat Karina koas dan melahirkan! "Jadi gimana? Kenapa mendadak tante mau jodohin elu?"Kelvin mendesah mendengar pertanyaan itu. Ia tidak langsung menjawab. Jemarinya memutar tutup botol dengan pandangan mata ke depan. "Gue juga nggak tau, Yan. Baru aja tadi nyokap ngomong soal itu. Bilang kalo gue kudu longgarin jadwal buat diajak ketemu sama dia." Jelas Kelvin apa adanya. "Anak mana sih? Anaknya siapa? Elu kenal?"Sebagai keturunan full blood murni, bukan salah Brian kalau bertanya perihal itu. Siapa tahu Brian atau orang tua atau keluarga lainnya yang juga berprofesi dokter mengenal calon istri Kelvin. "Entah. Gue nggak tau dan nggak minat tanya. Langsung syok gue tadi!" Kelvin memang tidak menanyakan siapa gadis itu, baginya tidak penting. Yang terpenting adalah alasan kenapa sang mama tega menjodohkan dirinya. Brian ikut mendesah, Kelvin sampai menoleh dan menatapnya dengan saksama. Mereka diam membisu dalam pikiran masing-masing hingga kemudian suara Brian memecah keheningan di antara mereka. "Lu emang nggak ada calon gitu yang bisa elu bawa ke depan nyokap? Siapa tau bisa buat gagalin rencana perjodohan itu, Vin."Kelvin memutar tutup botol, kembali meneguk isi botol itu hingga tinggal separuh. Pacar? Calon? Ah ... bukankah ini yang menjadi salah satu alasan sang mama menjodohkan dirinya? "Nggak ada, Yan. Gue belum nemu aja yang klik sama gue." jawab Kelvin apa adanya. "Ah ... elu ini emang susah ya dari dulu!" Desah Brian grmas, "Mau cari yang kayak gimana sih, Vin? Selera lu ketinggian makanya sampe sekarang nggak nemu-nemu!"Kelvin mencebik, kalau saja suasana hatinya tidak seburuk ini, sudah dia tabok lelaki yang ada di sampingnya. Namun Kelvin sedang benar-benar malas sekarang, jadi dia enggan meladeni Brian yang mulai muncul sikap patennya. "Gue suka yang dewasa, Yan. Lu kan tahu ndiri? Males gue sama cewek manja yang ujungnya cuma bikin sakit kepala.""Lu suka sama tante-tante, Vin?"Nah kan! Kelvin mendesah, ia menoleh dan menatap gemas Brian yang juga tengah menatapnya dengan tatapan terkejut. "Dewasa, Yan! Dewasa! Dewasa dalam hal ini sifat dan pembawaan dia! Bukan umurnya!" Kelvin menjelaskan, ia sedang tidak ingin baku hantam sekarang. "Kalo umur, gue juga pengen tetep yang di bawah umur gue, bukan di atas.""Ah! Padahal cewek manja tuh gemesin loh. Ya emang sih kalau berlebihan bikin keki juga." Komentar Brian yang kembali membuat Kelvin menoleh. "Gemesin apanya? Ngeselin yang ada!" Balas Kelvin kembali menegaskan kriteria wanita idamannya. "Terus jadinya ini elu mau gimana, Vin? Diam dan nerima perjodohan ini? Atau gimana?""Lu nggak coba cari tahu dulu sama siapa elu di jodohin? Kali aja anak dirut atau malah yang punya rumah sakit, Vin." Cerocos Brian setelah Kelvin cukup lama diam. Terdengar helaan napas kasar, tidak perlu menoleh ke sumber suara, Brian tahu betul dari mana asal suara itu. Ia malah dengan begitu santai meneguk air mineral dalam botol, suasana hati Kelvin sedang kacau, berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang suka tantrum bahkan mengamuk ketika suasana hati kacau, Kelvin malah kebalikannya. "Diem lu, makin pusing pala gue, Yan!" Umpatnya dengan wajah ditekuk. Brian tersenyum simpul, ia menepuk punggung Kelvin dengan sedikit keras. Hampir saja botol air yang tadi Brian sodorkan meluncur jatuh. "Opsi lu cuma dua, Vin. Cari cewe, bawa ke depan nyokap atau diam pasrah dijodohin." Brian menatap mata yang tengah menatap tajam ke arahnya dengan santai, menyunggingkan senyum simpatik yang seketika mampu menurunkan kadar tajam sorot mata Kelvin. "Opsi pertama, nggak mungkin bisa berhas
"Hah? Yang bener?"Kelvin membelalak, menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Karina yang masih terbaring di atas bed lengkap dengan selang infus pun balas menatap dengan tatapan serius. Melihat bagaimana sang adik berani membalas tatapan matanya, dan tak lupa raut wajah Karina yang begitu serius, Kelvin sontak lemas. Sia-sia sudah niatnya ingin dibantu oleh Karina mencari tahu siapa gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya itu. Mama yang biasanya tidak tahan menyimpan rahasia di depan Karina pun, memilih tutup mulut dan tidak mau terbuka perihal siapa gadis itu. "Aku bohong buat apaan sih, Bang? Aku tuh juga kepo kali sama cewek yang mau dijodohin sama kamu itu. Sesuai enggak gitu loh sama selera kamu yang setinggi bintang di langit." Ujar Karina yang kini sudah kembali ke mode somplaknya. "Nah kan, mulai!" Gerutu Kelvin yang segera beranjak dari sisi bed Karina. Ia memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa sambil menutup mata dengan lengan. "Lagian, kamu itu pengennya da
"WOY YANG BENER AJA, YOS!!"Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta. "Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa. "Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing. "Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain. "Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu! "Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha. "Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menata
"Bercanda?"Kening Karina berkerut, sebagai anak Dewi, tentu ia tahu betul bahwa semua yang Dewi katakan perihal perjodohan sang abang adalah hal yang serius, bukan hanya bercanda. Ingin Karina utarakan itu, tapi melihat d dalam sorot mata Kelvin terdapat secercah harapan, Karina tidak berani memadamkan harapan yang terselip di sana, meskipun harapan itu hanyalah harapan palsu belaka. "Iya, aku berharap banget kalo mama cuma bercanda. Atau ternyata semua ini cuma mimpi." Kelvin tersenyum getir, membuat Karina jatuh iba seketika. Karina memalingkan mata, tidak tega kalau harus terus menatap sorot mata itu. Belum sempat Karina menanggapi, Kelvin sudah lebih dulu kembali bicara. "Tapi kalau pun semua itu beneran harus aku jalani sih ya nggak papa."Karina mengangkat wajah, kembali menatap Kelvin yang masih berdiri di sebelah bednya. Nampak wajah kusut itu memaksakan untuk tersenyum, membuat Karina makin iba dengan sang kakak. "Coba ngomong lagi baik-baik, Bang, sama mama." Hanya itu
"Ma, nggak bisa gitu dong!" Belum sempat Agatha utarakan niatnya, ternyata Handira sudah lebih dulu bisa membaca apa niat dan tujuan dia datang kemari. "Kenapa nggak bisa sih, Tha? Mama nggak sembarangan loh nyariin jodoh buat kamu."Selalu saja! Selalu itu pembelaan dari Handira ketika Agatha mengutarakan penolakan. Padahal, untuk menjadi pendamping hidup Agatha, bukan hanya poin-poin itu saja yang perlu diperhatikan."Ya karena Agatha belum pengen nikah aja, Ma. Belum ada dua puluh tahun loh." Ini adalah alasan terkuat yang Agatha miliki, berharap dengan alasan ini, mamanya bisa terketuk hatinya.Handira mendesah, ia meletakkan sendok dan garpu yang tadinya sudah dalam genggaman. Mereka beradu pandang sejenak, sampai kemudian Handira lebih dulu memalingkan pandangan. "Memang kenapa kalau kamu nikah di umur dua puluh, Tha? Calon mu sudah mapan, apa lagi yang mau kamu cari?" Suara Handira memang terdengar lembut, namun tegas. Agatha bisa merasakannya. "Bukan cuma soal itu, Ma. Aga
"Nggak ada alesan ya, Vin! Apa perlu mama berangkat ke sana sekarang buat jemput kamu?"Kelvin langsung lemas, setelah sekian lama berkelit, kali ini Kelvin tidak berkutik sama sekali. Dia benar-benar harus terbang ke Jakarta guna bertemu dengan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, gadis yang akan Kelvin nikahi. "Ma, seriusan nih. Kemaren dua hari nggak balik. Badan rasanya ngga--.""Kalo kamu nggak berangkat hari ini juga sesuai jadwal penerbangan yang udah mama booking, jangan harap bisa lanjut spesialis ya, Vin!"Alamak!! Kelvin mendesah panjang. Dia tidak benar-benar sakit dan ancaman barusan ... Kelvin mengusap wajahnya dengan gusar. Dia sama sekali tidak mampu berkelit kalau mamanya sudah mengeluarkan ancaman itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kelvin harus berangkat dan itu demi masa depan kariernya. "Oke-oke. Kelvin berangkat. Sampai bandara nanti Kelvin kabarin, Ma. Kelvin mau siap-siap dulu!"Tut! Tanpa menunggu omelan demi omelan yang akan mamanya lancarkan, Kelvin
"Pacar?" Handira membelalak, sedetik kemudian ia tertawa sedikit keras. "Pacar dari mana? Nggak, dia nggak ada pacar."Handira sebenarnya tidak yakin dengan apa yang dia katakan, namun Agatha tidak menceritakan apapun tentang teman lelaki spesialnya, bahkan saat berupaya menolak perjodohan ini pun, Agatha tidak mengatakan bahwa dia sudah memiliki kekasih. Dari inilah Handira menyimpulkan bahwa Agatha tidak memiliki pacar. "Serius? Biasanya kan anak-anak ABG seumuran dia udah pada punya pacar, Ra." Lanjut suara itu terdengar ragu. "Ya serius lah, Wi. Kelvin sendiri gimana? Dia udah cukup mateng umurnya, dia belum ada pacar juga, kan?" Handira menatap ke layar laptop yang meredup, segera ia menyentuh touchpad untuk membuat layarnya tetap standby. "Belum juga, Ra. Dia agak susah anaknya."Handira tertawa, ia lega mendengar jawaban Dewi, namun juga penasaran dengan kata 'susah' yang Dewi katakan. "Susah gimana? Apanya yang susah?" Kelvin cukup tampan, posturnya tinggi tegap dengan ku
"Ayo turun! Kita pasti sudah ditunggu!"Kelvin menghela napas panjang, berakhir juga ceramah panjang-lebar yang harus dia terima. Kini mereka sudah sampai di salah satu cafe yang cukup privat dan mahal. Tempat di mana Kelvin pada akhirnya untuk pertama kali bertemu dengan calon istri pilihan mamanya. "Inget ya, jangan cari gara-gara, Vin. Mama serius buat cabut dana pendidikan spesialismu. Ngerti?""Iya-iya, Kelvin ngerti, Ma! Serem amat sih dari kemaren itu mulu ancemannya!" Dewi tahu betul kelemahan Kelvin. Begitu kalimat tadi dia lontarkan, maka Kelvin sudah tidak berkutik sama sekali. Dewi hanya tersenyum simpul, ditariknya Kelvin agar mengikuti langkahhya masuk ke dalam cafe. "Gara-gara kamu sih, kita telat, kan?" Kembali Dewi menggerutu, membuat Kelvin gemas setengah mati. "Ayolah, Ma ... Kita cuma telat sepuluh menit!" Kilah Kelvin bosan sejak tadi terus diceramahi. "Ya begitulah orang Indonesia, selalu menyepelekan kedisiplinan waktu!""Nah ini salah satu alasan Kelvin su
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A