"Hah? Yang bener?"
Kelvin membelalak, menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Karina yang masih terbaring di atas bed lengkap dengan selang infus pun balas menatap dengan tatapan serius.Melihat bagaimana sang adik berani membalas tatapan matanya, dan tak lupa raut wajah Karina yang begitu serius, Kelvin sontak lemas. Sia-sia sudah niatnya ingin dibantu oleh Karina mencari tahu siapa gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya itu. Mama yang biasanya tidak tahan menyimpan rahasia di depan Karina pun, memilih tutup mulut dan tidak mau terbuka perihal siapa gadis itu."Aku bohong buat apaan sih, Bang? Aku tuh juga kepo kali sama cewek yang mau dijodohin sama kamu itu. Sesuai enggak gitu loh sama selera kamu yang setinggi bintang di langit." Ujar Karina yang kini sudah kembali ke mode somplaknya."Nah kan, mulai!" Gerutu Kelvin yang segera beranjak dari sisi bed Karina. Ia memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa sambil menutup mata dengan lengan."Lagian, kamu itu pengennya dapet cewek yang kayak gimana sih, Bang? Dari dulu loh, heran aku!" Cerocos Karina yang makin membuat Kelvin sakit kepala."Dah lah, diem dulu. Sakit kepala ini!" Tukas Kelvin yang sedang malas berdebat panjang-lebar dengan Karina. Suasana hatinya sedang tidak baik."Serius nih! Kamu juga bakalan mau gitu aja, Bang, dijodohin sama mama? Atau kamu ada rencana lain?"***"Dia nolak, kan?"Dewi menoleh, menatap Ahmad yang sudah ready di balik kemudi. Mereka hendak pulang ke rumah Yudha, setelah menunggui Karina dan menyempatkan say hallo sebentar pada beberapa sejawat di rumah sakit itu."Ya pastilah, Pah." jawab Dewi apa adanya, memang dia mau bilang apa pada suaminya ini? Bohong bahwa Kelvin menerima rencana perjodohan itu dengan suka cita?"Sudah aku duga!" desis Ahmad lalu menghidupkan mesin mobil. "Mana mau dia sama anak ingusan kayak Agatha, Ma?"Dewi menyandarkan tubuh di jok mobil. Matanya terpejam, nampak Dewi beberapa kali menghirup napas dalam-dalam."Aku bahkan belum memberitahu dia siapa wanita yang hendak dia nikahi, Pa." jawab Dewi yang sekali lagi jujur apa adanya."APA?" suara Ahmad melengking, nampak sangat terkejut setelah mengetahui bahwa Kelvin bahkan belum diberitahu dengan siapa dia akan dinikahkan.Dengan malas Dewi membuka mata, menoleh sebentar ke arah sang suami lalu menatap lurus ke depan."Jangan teriak-teriak begitu ah, Pa!" gumam Dewi berusaha santai menanggapi keterkejutan sang suami."Gimana aku nggak teriak? Kamu ini gimana sih, Ma? Jadi tadi nggak kamu kasih tau sekalian dengan siapa dia mau kamu nikahkan?" Ahmad tidak terima, sejak awal dia memang tidak setuju dengan rencana sang istri, namun setelah Handira menemuinya secara langsung, hatinya sedikit luluh.Dewi menghela napas panjang, meskipun wajahnya nampak tegang, tetapi ia terus berusaha tetap tenang. Tidak peduli Ahmad sudah terlihat begitu gusar tidak hanya dari raut wajah tetapi juga suaranya."Belum saatnya, Pa. Nantilah biar dia tahu sendiri."Ahmad mendesah panjang, sementara Dewi, ia kembali memejamkan mata dengan dua tangan yang dia lipat di dada.Tidak ada lagi obrolan membuat Dewi kembali mengingat bagaimana wajah Kelvin tadi, hatinya menjadi iba, namun jika teringat Handira dan Agatha, Dewi tidak tega membatalkan semua perjanjian itu. Sungguh ia benar-benar dilema untuk saat ini."Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana untuk saat ini, Ma. Aku cuma mau mengingatkan, kalau sampai terjadi apa-apa sama Kelvin, kamu siap bertanggung jawab, kan?"***"INI ORANGNYA, THA?"Agatha melonjak kaget, ia menatap teman-temannya yang nampak terkejut setelah Agatha menunjukkan foto Kelvin yang ada di ponselnya.Bukan Agatha yang menyimpan foto itu, secara kebetulan ia dan Kelvin berteman di Facebo*k sejak beberapa tahun yang lalu, entah kapan, yang jelas akun mereka terhubung meskipun kini Faceb*ok itu sudah tidak aktif lagi."GILA ... GANTENG BANGET, WOY!" Yosa nampak heboh, matanya berbinar cerah dengan gaya centil khas Yosa kalau berhubungan dengan cowok ganteng."Mana udah dokter lagi! Ini mah namanya elu ketiban durian runtuh, Tha!"Agatha yang sedari tadi diam, kini menghela napas panjang. Ia merebut ponsel dari tangan Gladys, memasukkan benda itu ke dalam saku bajunya."Mampus orangnya kalo beneran ketiban duren." Ujar Agatha dengan bibir mengerucut."Iya ini elu juga mujur mampus, Tha! Ya bener kalo gitu kaya nyokap lu, dia pengen yang terbaik buat elu, masa depan lu, sepotensial ini, Tha!" Jessy ikut menggebu-gebu, membuat Agatha mendadak sakit kepala melihat reaksi teman-temannya."Jadi kalian setuju nih gue dipaksa kawin sama nyokap di usia semuda ini?"Tepat seperti dugaan Agatha, semua teman-temannya berbalik arah mendukung rencana perjodohan dirinya dengan anak tante Dewi. Agatha menghela napas panjang, mendadak ia lemas seketika. Kenapa sekarang tidak ada satu pun yang berada dipihaknya?"Ya jelas kalo calonnya sepotensial ini, Tha. Ganteng, perkerjaan mentereng, keluarganya oke, kurang apa, Tha? Kurang apa?" Yosa kembali bersuara, dengan gaya dan penekanan yang terlihat menyebalkan sekali di mata Agatha."Bener! Perfect banget ini mah!" Sambung Gladys menimpali."Ya tapi kan nggak bisa gi--.""Emangnya elu carinya laki model gimana, Tha? Model si Ferdy itu?" Potong Jessy cepat.Kontan Agatha menimpuk punggung Jessy keras-keras. Kenapa jadi kampret satu itu dibawa-bawa?"Idih! Yang ini aja gue nggak sudi, apalagi si Ferdy?" Sahut Agatha dengan muka di tekuk."NAH!" Gladys menjentikkan jari-jari, menatap Agatha dengan tatapan serius."Jadi mending si om dokter ini, kan?""Ya jelas mendingan ini lah!" Yosa menimpali dengan cepat."Ya tapi kan--.""Belum tentu loh kalo elu nyari sendiri dapet yang spek begini, Tha! Sumpah ini perfect banget!"Agatha menghela napas panjang. Salah rupanya ia berharap mendapat dukungan dari teman satu geng, nyatanya mereka malah berbalik dan mendukung perjodohan gila itu dilaksanakan."Apa gini, Tha, gue kasih solusi deh!" Yosa tiba-tiba kembali bersuara, membuat semua kontan menoleh ke arahnya."Solutif nggak nih?" Agatha belum berpaling dari Yosa, menatap gadis itu dengan tatapan serius."Tau nih! Curiga gue kalo sarannya nggak bener!" Gladys pun sama, meskipun kini mulutnya dipenuhi batagor, ia tetap menatap Yosa dengan tatapan penuh menyelidik."Eh jangan suudzon dulu napa sih? Gue mau bantuin Agatha nih dari perjodohan yang tidak dia inginkan itu!" Yosa mencebik, memoyongkan bibir sambil melirik kesal ke arah Gladys."Iya deh iya, emang apaan saran lu?" Jessy ikut menimpali, tangannya sibuk menganduk es pesanannya dengan sedotan."Lu serius nggak mau kawin sama om dokter ini, Tha?" Tanya Yosa dengan wajah yang teramat serius."Ya jelaslah! Kalo enggak, ngapain gue sekarang puyeng, Yos!" Agatha kesal, memang mereka pikir dia ini main-main, apa?"Tau nih! Cepetan saran elu apa?" Desak Gladys yang sudah tidak sabar."Cukup simpel dan mudah sekali, Tha! Lu cukup nyuruh nyokap elu jodohin dia sama gue, Tha! Gampang, kan?"---Senang bisa kembali up lagi. Doakan bisa terus rajin update seperti dulu ya. Untuk dua judul yang lain, nanti slow update sampai tamat. Terimakasih."WOY YANG BENER AJA, YOS!!"Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta. "Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa. "Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing. "Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain. "Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu! "Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha. "Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menata
"Bercanda?"Kening Karina berkerut, sebagai anak Dewi, tentu ia tahu betul bahwa semua yang Dewi katakan perihal perjodohan sang abang adalah hal yang serius, bukan hanya bercanda. Ingin Karina utarakan itu, tapi melihat d dalam sorot mata Kelvin terdapat secercah harapan, Karina tidak berani memadamkan harapan yang terselip di sana, meskipun harapan itu hanyalah harapan palsu belaka. "Iya, aku berharap banget kalo mama cuma bercanda. Atau ternyata semua ini cuma mimpi." Kelvin tersenyum getir, membuat Karina jatuh iba seketika. Karina memalingkan mata, tidak tega kalau harus terus menatap sorot mata itu. Belum sempat Karina menanggapi, Kelvin sudah lebih dulu kembali bicara. "Tapi kalau pun semua itu beneran harus aku jalani sih ya nggak papa."Karina mengangkat wajah, kembali menatap Kelvin yang masih berdiri di sebelah bednya. Nampak wajah kusut itu memaksakan untuk tersenyum, membuat Karina makin iba dengan sang kakak. "Coba ngomong lagi baik-baik, Bang, sama mama." Hanya itu
"Ma, nggak bisa gitu dong!" Belum sempat Agatha utarakan niatnya, ternyata Handira sudah lebih dulu bisa membaca apa niat dan tujuan dia datang kemari. "Kenapa nggak bisa sih, Tha? Mama nggak sembarangan loh nyariin jodoh buat kamu."Selalu saja! Selalu itu pembelaan dari Handira ketika Agatha mengutarakan penolakan. Padahal, untuk menjadi pendamping hidup Agatha, bukan hanya poin-poin itu saja yang perlu diperhatikan."Ya karena Agatha belum pengen nikah aja, Ma. Belum ada dua puluh tahun loh." Ini adalah alasan terkuat yang Agatha miliki, berharap dengan alasan ini, mamanya bisa terketuk hatinya.Handira mendesah, ia meletakkan sendok dan garpu yang tadinya sudah dalam genggaman. Mereka beradu pandang sejenak, sampai kemudian Handira lebih dulu memalingkan pandangan. "Memang kenapa kalau kamu nikah di umur dua puluh, Tha? Calon mu sudah mapan, apa lagi yang mau kamu cari?" Suara Handira memang terdengar lembut, namun tegas. Agatha bisa merasakannya. "Bukan cuma soal itu, Ma. Aga
"Nggak ada alesan ya, Vin! Apa perlu mama berangkat ke sana sekarang buat jemput kamu?"Kelvin langsung lemas, setelah sekian lama berkelit, kali ini Kelvin tidak berkutik sama sekali. Dia benar-benar harus terbang ke Jakarta guna bertemu dengan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, gadis yang akan Kelvin nikahi. "Ma, seriusan nih. Kemaren dua hari nggak balik. Badan rasanya ngga--.""Kalo kamu nggak berangkat hari ini juga sesuai jadwal penerbangan yang udah mama booking, jangan harap bisa lanjut spesialis ya, Vin!"Alamak!! Kelvin mendesah panjang. Dia tidak benar-benar sakit dan ancaman barusan ... Kelvin mengusap wajahnya dengan gusar. Dia sama sekali tidak mampu berkelit kalau mamanya sudah mengeluarkan ancaman itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kelvin harus berangkat dan itu demi masa depan kariernya. "Oke-oke. Kelvin berangkat. Sampai bandara nanti Kelvin kabarin, Ma. Kelvin mau siap-siap dulu!"Tut! Tanpa menunggu omelan demi omelan yang akan mamanya lancarkan, Kelvin
"Pacar?" Handira membelalak, sedetik kemudian ia tertawa sedikit keras. "Pacar dari mana? Nggak, dia nggak ada pacar."Handira sebenarnya tidak yakin dengan apa yang dia katakan, namun Agatha tidak menceritakan apapun tentang teman lelaki spesialnya, bahkan saat berupaya menolak perjodohan ini pun, Agatha tidak mengatakan bahwa dia sudah memiliki kekasih. Dari inilah Handira menyimpulkan bahwa Agatha tidak memiliki pacar. "Serius? Biasanya kan anak-anak ABG seumuran dia udah pada punya pacar, Ra." Lanjut suara itu terdengar ragu. "Ya serius lah, Wi. Kelvin sendiri gimana? Dia udah cukup mateng umurnya, dia belum ada pacar juga, kan?" Handira menatap ke layar laptop yang meredup, segera ia menyentuh touchpad untuk membuat layarnya tetap standby. "Belum juga, Ra. Dia agak susah anaknya."Handira tertawa, ia lega mendengar jawaban Dewi, namun juga penasaran dengan kata 'susah' yang Dewi katakan. "Susah gimana? Apanya yang susah?" Kelvin cukup tampan, posturnya tinggi tegap dengan ku
"Ayo turun! Kita pasti sudah ditunggu!"Kelvin menghela napas panjang, berakhir juga ceramah panjang-lebar yang harus dia terima. Kini mereka sudah sampai di salah satu cafe yang cukup privat dan mahal. Tempat di mana Kelvin pada akhirnya untuk pertama kali bertemu dengan calon istri pilihan mamanya. "Inget ya, jangan cari gara-gara, Vin. Mama serius buat cabut dana pendidikan spesialismu. Ngerti?""Iya-iya, Kelvin ngerti, Ma! Serem amat sih dari kemaren itu mulu ancemannya!" Dewi tahu betul kelemahan Kelvin. Begitu kalimat tadi dia lontarkan, maka Kelvin sudah tidak berkutik sama sekali. Dewi hanya tersenyum simpul, ditariknya Kelvin agar mengikuti langkahhya masuk ke dalam cafe. "Gara-gara kamu sih, kita telat, kan?" Kembali Dewi menggerutu, membuat Kelvin gemas setengah mati. "Ayolah, Ma ... Kita cuma telat sepuluh menit!" Kilah Kelvin bosan sejak tadi terus diceramahi. "Ya begitulah orang Indonesia, selalu menyepelekan kedisiplinan waktu!""Nah ini salah satu alasan Kelvin su
"Kenapa jadi Om yang jemput?"Agatha langsung bersungut-sungut begitu membuka pintu mobil dan mendapati bukan pak Sugi yang ada di dalam, melainkan itu. "Kalo bukan mama kamu yang nyuruh, saya juga males kali jemput kamu!" Jawabnya yang makin membuat Agatha kesal. "Kamu cuma mau berdiri di situ? Nggak mau pulang?"Agatha mencebik, tanpa menjawab ia segera masuk dan duduk di atas jok. Ia baru hendak menutup pintu ketika lelaki itu kembali bersuara. "Duduk depan sini! Saya bukan supir kamu!" Ujarnya dingin. "Loh kenapa harus? Ini kan mobil ma--.""Mau cepet sampe rumah nggak? Saya nggak ada banyak waktu. Jadi tolong jangan bawel dan nurut aja!" Potong suara itu yang seketika diikuti dengan langkah kesal Agatha turun kembali dari mobil.Pintu mobil ditutupnya dengan sedikit kasar. Seat belt pun dia tarik sama kasarnya, ia bahkan sama sekali tidak menoleh maupun melirik ke arah lelaki itu. "Sudah, kan? Kita pulang sekarang."Ditanya begitu pun, Agatha tidak menjawab. Ia hanya berdehem
"Kenapa harus dijemput sama dia sih, Ma?" Jelas Agatha memprotes, kenapa mamanya ini terkesan bebal? Agatha sudah menolak jika diantar-jemput oleh Kelvin? Handira mendesah, ia menatap Agatha dengan tatapan gemas. "Kamu perlu banyak waktu berdua untuk saling mengenal satu sama lain, Sayang! Bukankah tadi sudah kita bicarakan?"Menyebalkan! Agatha sontak terduduk lemas di kursinya. Selera makan Agatha anjlok seketika. Bukan hanya rencana pernikahan mereka saja yang tidak bisa Agatha tolak, rupanya yang ini juga tidak bisa Agatha tolak sama sekali. "Tapi Ma ....""Tha, ini demi kebaikan kamu, kebaikan kalian. Masa kalian mau nikah tapi tidak saling mengenal satu sama lain?" Handira kembali menasehati. Keinginan Agatha untuk kembali membantah sontak lenyap. Ia hanya bisa mendesah panjang sambil mendengarkan satu demi satu wejangan yang diberikan Handira kepadanya. Sesekali Agatha melirik jam di dindin, kapan kesialannya ini berakhir? "Tha? Diam saja tadi tadi, kamu paham sama apa yan
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A