"WOY YANG BENER AJA, YOS!!"
Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta."Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa."Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing."Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain."Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu!"Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha."Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menatap Agatha serius lalu melonjak beberapa detik kemudian karena Gladys menimpuk bahunya."Bodo amat mau dia kek, Angga Yunanda, Rizky Nazar, sampe Nicholas Saputra sekalipun, intinya gue belom pengen kawin!" Tegas Agatha lantas menyeka bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mata.Ketiga temannya saling pandang, mereka kompak menghela napas panjang bersamaan. Sementara Agatha sibuk menyeka air mata yang secara tiba-tiba membajiri wajah."Gue paham gimana posisi elu, Ta. Elu pengen jadi dokter kayak nyokap-bokap elu, kan?"Agatha mengangguk, sekali lagi sambil menyeka air mata."Jadi dokter itu nggak gampang, Jes! Meskipun banyak yang bilang kalo turunan pureblood bakalan lebih mulus jalannya, tapi gue pengen bisa tanpa harus pake bayang-bayang nama ortu gue, apalagi cuma ndompleng nama suami."Ketiganya diam menyimak dengan serius. Hanya Gladys yang terlihat bergerak mengambil tissu dan menyodorkan benda itu ke depan Agatha."Gue masih pengen kayak anak-anak muda seumuran gue yang lain, kayak kalian. Masih bisa seneng-seneng dengan beban kewajiban cuma kuliah doang, bisa nongkrong sana-sini pergi kemana aja yang gue mau. Bisa gue kayak gitu kalo udah kawin nanti? Nggak bakalan bisa, kalian ngerti kan?"Masih hening. Tidak ada yang berani menjawab. Hanya anggukan kepala yang menjadi tanda bahwa mereka mendengarkan dan menyimak apa yang Agatha katakan, sekaligus membenarkan kalimat itu juga."Nah! Ini yang berat buat gue! Nggak pernah gue bayangin kalo gue kudu banget kawin semuda ini sama cowok yang gue nggak kenal betul luar-dalemnya."Jessy tersenyum getir, ia mencengkeram lembut bahu Agatha, membuat Agatha memalingkan wajah menatap ke arahnya."Kalo gitu, coba elu ngomong lagi sama nyokap, Tha. Jangan pake emosi. Coba ajak ngomong pake kepala dingin, sambil bercanda kayak biasanya gitu. Siapa tau dengan begitu nyokap elu luluh dan batalin perjodohan elu, Tha."Agatha tersenyum, kepalanya terangguk dengan jemari menyeka air mata."Iya, mungkin bener saran elu ini. Harus dengan kepala dingin tanpa emosi." Agatha membenarkan, selama ini ia selalu menantang mamanya adu urat tiap membahas perihal perjodohan. Siapa tahu dengan saran Gladys, mamanya bisa berubah pikiran."Semangat! Goodluck, Tha!" Ujar Gladys dengan senyum manis.Bukan hanya Gladys, dua teman mereka pun turut tersenyum dengan kepala terangguk. Hingga beberapa menit kemudian, gantian Jessy yang menyentuh lengan Agatha, membuat Agatha menatap ke arah Jessy."Nyokap elu bener-bener nggak cerita, Tha, apa alasannya dia jodohin elu semuda ini? Pasti dia punya alasan, Tha! Dan elu sama sekali nggak dikasih tahu?"***'... Masih mau lanjut PPDS, kan?'Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kelvin. Sebuah ancaman yang sama sekali tidak bisa membuatnya berkutik. Tentu ia ingin sekali bisa melanjutkan pendidikan hingga menjadi seorang dokter spesialis. Untuk lanjut pendidikan, biayanya tidak sedikit! Bukan hanya perlu biaya pendidikan, Kelvin juga bakalan butuh biaya untuk hidup sehari-hari karena nanti begitu resmi menjadi seorang residen, maka akan kehilangan pemasukan karena SIP-nya dicabut selama menjalani pendidikan."Kenapa mama jadi begini, ya? Tumben gitu!" Desis Kelvin pada dirinya sendiri. Ia hanya seorang diri di salah satu sudut rumah sakit, duduk seraya memandangi lalu lalang orang."Karin bawa Yudha aja baru sekali langsung dapet ACC kawin dari mama, papa sekaligus. Nah masa gue nggak bisa gitu juga?"Tentu sangat tidak adil sekali jika 2 saudara kelvin yang lain bisa bebas menikahi orang yang mereka cintai sedangkan Kelvin, ia harus dijodohkan seperti ini?"Apa gue ini cuma anak angkat? Atau jangan-jangan ... mereka punya proyek mau bangun rumah sakit? Jadi gue kudu banget kawinin anaknya?"Kelvin mulai berasumsi kesana-kemari. Ini sungguh diluar kebiasaan Dewi! Kelvin bahkan sampai tidak bisa mengenali mamanya sendiri ketika ia mengabarkan perihal perjodohan itu."Gue pikir, Brian itu udah cowok paling ngenes sedunia karena naksir Karina bertahun-tahun dan berujung malah kawin sama orang lain, eh ternyata gue yang lebih ngenes timbang dia!"Bukan salah Kelvin kalau ia menjadi iri pada sahabatnya itu. Meskipun sempat hancur lebur karena ditinggal Karina kawin, sekarang dia sudah menemukan pasangannya! Menemukan gadis yang ia cintai yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat baik Karina. Nah Kelvin? Belum sempat menemukan gadis yang membuat hatinya bergetar, eh dia sudah harus pasrah dijodohkan dengan entah siapa itu."Nggak apalah kalo kudu ngawinin dia. Sapa tau bener mama sama papa mo bikin rumah sakit. Masalah hati, dipikir nanti-nanti aja. Penting gue lanjut spesialis."Kelvin mencoba membesarkan hati. Meskipun dalam hatinya ia masih belum terima, tapi Kelvin bisa apa?"Kalo mama bisa halalin segala cara buat dapetin apa yang dia mau, kenapa gue nggak bisa?"***"Hah, mau pulang, Bang?" Karina membelalak ketika Kelvin kembali masuk ke ruang rawat inapnya."Iya mau pulang aja. Takut ntar malah ribut sama mama, Rin." Jawab Kelvin sambil tersenyum kecut."Tapi kamu belum ada sehari loh. Nggak pengen ketemu bang Brian?" Karina mengerti suasana hati Kelvin sedang tidak baik, tapi pulang dengan suasana hati tidak baik tentu malah membuatnya kepikiran."Udah ketemu tadi sama dia. Dah lah, kapan-kapan deh kesini lagi, jengukin ponakan. Abang balik dulu aja." Kelvin mengacak rambut Karina dengan gemas, kembali senyum getir ia sunggingkan di wajah."Okelah kalo gitu. Ti-ati di jalan. Kabari kalo udah sampe." Pesan Karina yang tidak tega melihat mendung di wajah sang kakak, tidak peduli semenyebalkan apa Kelvin ini."Jangan lupa, kalo kamu dapet info, siapa yang mau mama jodohin ke aku, kamu kabarin aku ya? Ntar kuisiin saldo Sh*pee pay kamu."Mata Karina sontak berbinar cerah, "Beneran loh?" Siapa yang tidak mau diisikan saldo untuk belanja online?"Bener! Kapan sih aku boong, Rin? Tapi kudu akurat ya infonya?"Karina tersenyum dengan anggukan kepala cepat. Kelvin pun ikut tersenyum, kali ini sebuah senyum manis khas Kelvin yang selama ini Karina kenal."Baik-baik ya, kamu udah jadi ibu sekarang. Jangan kebanyakan pecicilan." Pesan Kelvin yang entah mengapa membuat hati Karina bergetar. "Do'ain abangmu ini, moga aja mama cuma bercanda. Oke?""Bercanda?"Kening Karina berkerut, sebagai anak Dewi, tentu ia tahu betul bahwa semua yang Dewi katakan perihal perjodohan sang abang adalah hal yang serius, bukan hanya bercanda. Ingin Karina utarakan itu, tapi melihat d dalam sorot mata Kelvin terdapat secercah harapan, Karina tidak berani memadamkan harapan yang terselip di sana, meskipun harapan itu hanyalah harapan palsu belaka. "Iya, aku berharap banget kalo mama cuma bercanda. Atau ternyata semua ini cuma mimpi." Kelvin tersenyum getir, membuat Karina jatuh iba seketika. Karina memalingkan mata, tidak tega kalau harus terus menatap sorot mata itu. Belum sempat Karina menanggapi, Kelvin sudah lebih dulu kembali bicara. "Tapi kalau pun semua itu beneran harus aku jalani sih ya nggak papa."Karina mengangkat wajah, kembali menatap Kelvin yang masih berdiri di sebelah bednya. Nampak wajah kusut itu memaksakan untuk tersenyum, membuat Karina makin iba dengan sang kakak. "Coba ngomong lagi baik-baik, Bang, sama mama." Hanya itu
"Ma, nggak bisa gitu dong!" Belum sempat Agatha utarakan niatnya, ternyata Handira sudah lebih dulu bisa membaca apa niat dan tujuan dia datang kemari. "Kenapa nggak bisa sih, Tha? Mama nggak sembarangan loh nyariin jodoh buat kamu."Selalu saja! Selalu itu pembelaan dari Handira ketika Agatha mengutarakan penolakan. Padahal, untuk menjadi pendamping hidup Agatha, bukan hanya poin-poin itu saja yang perlu diperhatikan."Ya karena Agatha belum pengen nikah aja, Ma. Belum ada dua puluh tahun loh." Ini adalah alasan terkuat yang Agatha miliki, berharap dengan alasan ini, mamanya bisa terketuk hatinya.Handira mendesah, ia meletakkan sendok dan garpu yang tadinya sudah dalam genggaman. Mereka beradu pandang sejenak, sampai kemudian Handira lebih dulu memalingkan pandangan. "Memang kenapa kalau kamu nikah di umur dua puluh, Tha? Calon mu sudah mapan, apa lagi yang mau kamu cari?" Suara Handira memang terdengar lembut, namun tegas. Agatha bisa merasakannya. "Bukan cuma soal itu, Ma. Aga
"Nggak ada alesan ya, Vin! Apa perlu mama berangkat ke sana sekarang buat jemput kamu?"Kelvin langsung lemas, setelah sekian lama berkelit, kali ini Kelvin tidak berkutik sama sekali. Dia benar-benar harus terbang ke Jakarta guna bertemu dengan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, gadis yang akan Kelvin nikahi. "Ma, seriusan nih. Kemaren dua hari nggak balik. Badan rasanya ngga--.""Kalo kamu nggak berangkat hari ini juga sesuai jadwal penerbangan yang udah mama booking, jangan harap bisa lanjut spesialis ya, Vin!"Alamak!! Kelvin mendesah panjang. Dia tidak benar-benar sakit dan ancaman barusan ... Kelvin mengusap wajahnya dengan gusar. Dia sama sekali tidak mampu berkelit kalau mamanya sudah mengeluarkan ancaman itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kelvin harus berangkat dan itu demi masa depan kariernya. "Oke-oke. Kelvin berangkat. Sampai bandara nanti Kelvin kabarin, Ma. Kelvin mau siap-siap dulu!"Tut! Tanpa menunggu omelan demi omelan yang akan mamanya lancarkan, Kelvin
"Pacar?" Handira membelalak, sedetik kemudian ia tertawa sedikit keras. "Pacar dari mana? Nggak, dia nggak ada pacar."Handira sebenarnya tidak yakin dengan apa yang dia katakan, namun Agatha tidak menceritakan apapun tentang teman lelaki spesialnya, bahkan saat berupaya menolak perjodohan ini pun, Agatha tidak mengatakan bahwa dia sudah memiliki kekasih. Dari inilah Handira menyimpulkan bahwa Agatha tidak memiliki pacar. "Serius? Biasanya kan anak-anak ABG seumuran dia udah pada punya pacar, Ra." Lanjut suara itu terdengar ragu. "Ya serius lah, Wi. Kelvin sendiri gimana? Dia udah cukup mateng umurnya, dia belum ada pacar juga, kan?" Handira menatap ke layar laptop yang meredup, segera ia menyentuh touchpad untuk membuat layarnya tetap standby. "Belum juga, Ra. Dia agak susah anaknya."Handira tertawa, ia lega mendengar jawaban Dewi, namun juga penasaran dengan kata 'susah' yang Dewi katakan. "Susah gimana? Apanya yang susah?" Kelvin cukup tampan, posturnya tinggi tegap dengan ku
"Ayo turun! Kita pasti sudah ditunggu!"Kelvin menghela napas panjang, berakhir juga ceramah panjang-lebar yang harus dia terima. Kini mereka sudah sampai di salah satu cafe yang cukup privat dan mahal. Tempat di mana Kelvin pada akhirnya untuk pertama kali bertemu dengan calon istri pilihan mamanya. "Inget ya, jangan cari gara-gara, Vin. Mama serius buat cabut dana pendidikan spesialismu. Ngerti?""Iya-iya, Kelvin ngerti, Ma! Serem amat sih dari kemaren itu mulu ancemannya!" Dewi tahu betul kelemahan Kelvin. Begitu kalimat tadi dia lontarkan, maka Kelvin sudah tidak berkutik sama sekali. Dewi hanya tersenyum simpul, ditariknya Kelvin agar mengikuti langkahhya masuk ke dalam cafe. "Gara-gara kamu sih, kita telat, kan?" Kembali Dewi menggerutu, membuat Kelvin gemas setengah mati. "Ayolah, Ma ... Kita cuma telat sepuluh menit!" Kilah Kelvin bosan sejak tadi terus diceramahi. "Ya begitulah orang Indonesia, selalu menyepelekan kedisiplinan waktu!""Nah ini salah satu alasan Kelvin su
"Kenapa jadi Om yang jemput?"Agatha langsung bersungut-sungut begitu membuka pintu mobil dan mendapati bukan pak Sugi yang ada di dalam, melainkan itu. "Kalo bukan mama kamu yang nyuruh, saya juga males kali jemput kamu!" Jawabnya yang makin membuat Agatha kesal. "Kamu cuma mau berdiri di situ? Nggak mau pulang?"Agatha mencebik, tanpa menjawab ia segera masuk dan duduk di atas jok. Ia baru hendak menutup pintu ketika lelaki itu kembali bersuara. "Duduk depan sini! Saya bukan supir kamu!" Ujarnya dingin. "Loh kenapa harus? Ini kan mobil ma--.""Mau cepet sampe rumah nggak? Saya nggak ada banyak waktu. Jadi tolong jangan bawel dan nurut aja!" Potong suara itu yang seketika diikuti dengan langkah kesal Agatha turun kembali dari mobil.Pintu mobil ditutupnya dengan sedikit kasar. Seat belt pun dia tarik sama kasarnya, ia bahkan sama sekali tidak menoleh maupun melirik ke arah lelaki itu. "Sudah, kan? Kita pulang sekarang."Ditanya begitu pun, Agatha tidak menjawab. Ia hanya berdehem
"Kenapa harus dijemput sama dia sih, Ma?" Jelas Agatha memprotes, kenapa mamanya ini terkesan bebal? Agatha sudah menolak jika diantar-jemput oleh Kelvin? Handira mendesah, ia menatap Agatha dengan tatapan gemas. "Kamu perlu banyak waktu berdua untuk saling mengenal satu sama lain, Sayang! Bukankah tadi sudah kita bicarakan?"Menyebalkan! Agatha sontak terduduk lemas di kursinya. Selera makan Agatha anjlok seketika. Bukan hanya rencana pernikahan mereka saja yang tidak bisa Agatha tolak, rupanya yang ini juga tidak bisa Agatha tolak sama sekali. "Tapi Ma ....""Tha, ini demi kebaikan kamu, kebaikan kalian. Masa kalian mau nikah tapi tidak saling mengenal satu sama lain?" Handira kembali menasehati. Keinginan Agatha untuk kembali membantah sontak lenyap. Ia hanya bisa mendesah panjang sambil mendengarkan satu demi satu wejangan yang diberikan Handira kepadanya. Sesekali Agatha melirik jam di dindin, kapan kesialannya ini berakhir? "Tha? Diam saja tadi tadi, kamu paham sama apa yan
"NGGAK PA-PA PALA LO?!"Sontak Agatha, Jessy dan Yosa berteriak kencang, sementara Gladys, ia tertawa terbahak-bahak melihat teman-temannya murka seperti itu. Agatha menghela napas panjang, agaknya dia harus menyudahi video call grup dengan tiga orang sahabatnya itu sebelum ia hipertensi. "Loh ... Kan nanti ujungnya kawin juga, kan? Ibarat test drive dulu, Tha! Cek ordedilnya orisinil nggak!" Bela Gladys sambil menahan tawa. "Orisinil mbahmu! Lu kira dia macam Lucinta Luma yang ordedilnya pasangan semua?" Semprot Jessy gemas, dia baru tahu kalau dari gengnya ada yang lebih parah konsletnya dari si Yosa. Gladys tidak menjawab, ia malah makin terbahak-bahak, sementara Agatha, ia hanya diam menyimak teman-teman saling beradu argumen macam itu. "Udah-udah, yang mo kawin si Agatha kenapa malah jadi kalian yang war?" Yosa mendadak begitu kalem, wajahnya berubah serius. "Gladys tuh! Somplaknya nggak ketulungan!" Jessy tidak terima, semua gara-gara Gladys! "Udah stop! Gue lupa tanya sa
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A