“Dijodohkan?”
Agatha mematung di depan meja rias. Ia menatap bayangan dirinya seraya mengingat kembali apa yang ia curi dengar dari kamar sang mama. Kejutan apa lagi yang mau diberikan Handira untuknya? Dia pikir, ia akan dapat hadiah karena sudah lulus dan nantinya berhasil masuk fakultas kedokteran, ternyata malah begini.“Non ... Non Agatha!”Agatha tersentak mendengar panggilan dan ketukan di pintu kamar. Ia menghela napas panjang dan segera bangkit. Langkahnya sedikit berat, entah mengapa ia jadi macam orang linglung setelah mendengar obrolan Handira kemarin.“Kenapa, Mbak?”Agatha bersandar malas di pintu, tanpa ia tanya, sebenarnya ia sudah paham kenapa sampai asisten rumah tangga mamanya menyusul Agatha ke kamar.“Kok kenapa sih, Non? Jam berapa ini? Udah ditunggu ibu di meja makan, Non!” jawabnya sambil tersenyum.Benar, bukan?Agatha hanya balas tersenyum dengan anggukan kepala cepat. Sudah waktunya sarapan. Ia meraih tas ranselnya, menutup pintu kamar lalu melangkah dengan lunglai menuju tangga. Pikiran Agatha berkecamuk, haruskah dia bertanya perihal apa yang dia dengar semalam?Atau kah ...Agatha mematung sejenak ketika ia sudah berdiri tidak jauh dari meja makan. Sosok Handira sudah duduk di kursinya dengan ponsel yang tidak jauh dari piring. Ia menghela napas panjang, melanjutkan langkah guna menghampiri Handira untuk bergabung sarapan pagi.“Pagi, Ma ....” sapa Agatha dengan sedikit malas.“Oh ... pagi, Sayang. Ayo sarapan dulu!” balas Handira sambil menyunggingkan seulas senyum.Agatha hanya balas tersenyum tipis, ia segera duduk di kursinya dan mencoba membangkitkan seleranya bersantap pagi. Ia begitu serius, hingga tidak sadar Handira tengah memperhatikan dirinya dengan saksama."Pengumuman kelulusan kamu kapan, Sayang?"Handira menatap Agatha yang tengah berkutat dengan sepiring pancake kesukaannya. Nampak potongan pancake berlumur saus yang sudah hampir masuk mulut ia kembali letakkan di piring. "Pertengahan bulan depan, Ma. Kenapa?"Handira sedikit tertegun melihat sorot mata itu. Sebuah sorot mata asing, seperti bukan Agatha yang biasanya Handira lihat. Handira ikut meletakkan sendok, mengabaikan salad di piring dan menatap anak satu-satunya itu dengan saksama. "Mama pengen ngomong penting sama kamu, Ta!" ada secercah perasaan risau menyelimuti hati Handira, namun hanya sekejap, karena buru-buru ia usir semua perasaan itu dengan segera. "Soal?"Kembali Handira tertegun, ini tidak seperti Agatha-nya! Sorot mata, nada bicara dan iritnya kalimat yang keluar dari bibir itu sangat lain dari sosok Agatha yang Handira kenal betul sejak dalam kandungan! Handira menghela napas panjang, meraih cangkir berisi teh daun kelor yang menjadi minuman favoritnya sejak beberapa waktu. "Langsung ke intinya aja ya, Ta ...." Handira menjeda kalimatnya, berusaha menata hati agar tidak lemah berhadapan dengan anak gadisnya. "Mama pengen jodohin kamu sama anak tante Dewi, setelah kelulusan, mama pengen kamu nikah, Ta!"Hening. Agatha menatap lurus ke dalam matanya tanpa ekspresi. Mata itu memerah, membuat Handira menghela napas panjang dan berharap-harap cemas menantikan jawaban. "Jadi yang aku dengar di kamar mama kemarin itu bener, Ma? Mama mau jodohin aku sama anak tante Dewi?" suara itu bergetar hebat, ada segurat perasaan pedih yang menyiksa Handira dengan begitu luar biasa. "Kamu nguping Mama ngobrol sama tante Dewi, Ta?" Suara Handira masih tetap lembut, tampak bahu Agatha naik-turun dengan wajah mulai memerah dan mata berkaca-kaca. "Kenapa, Ma?" Suara itu keluar dengan sangat lirih. "Kenapa gimana?" Handira mulai kelabakan, ia takut luluh dengah pemandangan dan suara merenggek yang keluar dari mulut Agatha. "Kenapa Mama punya pikiran mau nikahin Agatha secepat ini sih, Ma? Agatha bahkan belum lulus SMA!" Suara itu mulai bercampur isak, bersamaan dengan melelehnya bulir-bulir bening dari pelupuk mata."Mama cuma pengen kamu bahagia, Ta. Mama pengen kamu ada yang jagain."Mata berlinang air mata itu membelalak. Mulutnya terbuka, ia tampak sangat terkejut dengan jawaban yang Handira berikan. Handira menghela napas panjang, rasanya sarapan pagi ini akan diwarnai sedikit adu argumen dan perdebatan sengit. "Mama pengen aku bahagia?" Tanya suara itu setengah ketus. "Mama pengen aku bahagia tapi Mama malah nyuruh aku nikah semuda ini dengan lelaki yang bahkan tidak aku kenal betul, Ma?"Protes itu sudah Handira tebak akan keluar dari mulut Agatha. Dia gadis yang cerdas dan kritis, jadi mustahil kalau Agatha hanya akan diam dan menganggukkan kepala ketika Handira menyampaikan tentang rencana perjodohan ini. "Kelvin itu lelaki baik-baik, Ta! Bibit, bobot, dan bebetnya sudah jelas dan pasti! Mama kenal betul dengan keluarga besarnya!" sanggah Handira, menekankan bahwa dia sama sekali tidak ingin dibantah. "Mama yang kenal betul sama mereka, bukan aku! Lantas atas dasar apa Mama sampai bisa mengklaim bahwa aku akan bahagia jika nikah sama si Kelvin itu, Ma? Atas dasar apa?" Suara Agatha meninggi, sedikit menyulut emosi Handira seketika. Handira memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak guna meredam emosinya yang berhasil terpancing oleh nada suara Agatha yang meninggi. "Dia laki-laki baik, dari keluarga baik-baik. Hidup kamu akan terjamin, Ta.""Mama sudah jatuh miskin? Warisan peninggalan Papa sudah habis sampai-sampai Mama tidak bisa menjamin hidupku dan memaksakan aku menikah sama lelaki itu, Ma?"Tangan Handira mengepal, berkali-kali ia menghirup udara banyak-banyak dan mengembuskannya perlahan. Dia tahu, jika emosinya terpancing dan sukses meledak, maka akan berakibat fatal. "Aku belum pengen nikah, Ma! Aku masih pengen kuliah, jadi dokter kayak Mama sama Papa, menuhin keinginan Papa yang pengen liat aku jadi dokter juga. Bukankah Mama dulu juga dukung? Tapi kenapa sekarang mama ma--""Kamu tetap akan lanjut kuliah, Ta. Mama sudah siapkan dana bahkan sampai kamu spesialis. Kamu akan tetap jadi dokter seperti apa yang dulu Papa mau," potong Handira sabar. "Astaga, Ma!" Agatha mendesis. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. "Mama tahu betul gimana ngerinya kuliah kedokteran, kan? Belum nanti koas, internship, dan mama pengen aku jalanin semua masa itu dengan posisi udah nikah? Nggak cuma menuhin kewajibanku di luar, Mama mau aku juga ngelakuin peranku sebagai istri orang? Mama nggak bercanda, kan, Ma?""Kelvin pasti bisa ngerti, bimbing kamu dan tidak akan banyak menuntutmu selama kamu masih study, Ta. Pegang kata-kata Mama!"Agatha tertegun, tampak ekspresi wajahnya berubah datar dan sulit diartikan. Meskipun begitu, Handira tidak melepaskan pandangannya dari sosok itu. Dia membalas tatapan Agatha tanpa takut-takut. "Ma, coba jelasin deh ke aku sekarang. Tujuannya Mama maksa aku nikah sama dia itu apa? Kenapa semua begitu mendadak? Kenapa Mama begitu yakin bahwa hidup aku bakalan baik-baik saja dengan aku nikah sama dia?" Suara gadis itu kembali meninggi, membuat Handira tersenyum getir sambil menghela napas panjang. "Kamu akan bahagia, Ta. Mama cuma pengen kamu bahagia. Cuma itu!" "Kalau Mama pengen aku bahagia, Mama tidak akan pernah maksa aku nikah sedini ini, nikah sama orang yang nggak aku kenal betul. Harusnya Mama percayakan semua itu ke aku buat milih apa pun, mengenai keputusan dalam hidup aku, Ma!"Handira kembali tersenyum getir. Semua sanggahan dan penolakan yang akan keluar dari mulut Agatha sudah ia prediksi sebelumnya. Ia kembali meraih cangkir, menyesap isinya perlahan-lahan lalu meletakkan kembali cangkir itu ke tempatnya. "Mama sudah pikirkan matang-matang semua ini, Ta. Dan Mama punya pandangan dan penilaian lain sebagai orang tua kamu mengenai keputusan mama ini. Jadi tolong ... terima dan hargai keputusan Mama, Ta."Agatha kembali terhenyak, air matanya kembali menitik. "Mulai sekarang, kamu ke mana-mana diantar Pak Sugi. Nggak boleh keluar sendiri. Mama awasi kamu betul, Ta. Secepatnya kalian akan dijadwalkan bertemu, kita akan bahas tanggal dan bagaimana nanti rentetan acara pernikahan kalian sebelum kamu aktif masuk kuliah!"Handira segera berdiri, mengabaikan saladnya yang bahkan baru dia makan dua sendok. Perdebatan ini tidak akan usai kalau ia tidak segera menyingkir dari meja makan. Dengan menahan tangis, Handira melangkah pergi meninggalkan Agatha yang masih mematung di tempatnya. 'Untuk sekarang, kamu tidak perlu tahu apa alasan di balik semua ini, Sayang! Suatu saat, waktu akan menjawab segala macam pertanyaan yang ada di kepalamu!'Agatha menatap nanar kepergian Handira dari meja makan. Jadi dia diundang sarapan hanya untuk berdebat sengit macam tadi dan ditinggalkan begitu saja seperti ini? Tangis Agatha pecah, ia terisak dengan kepala tertuntuk. Segala macam susu dan pancake yang tersaji di meja sama sekali tidak menggiurkan di mata Agatha lagi.“Mama benar-benar sudah gila!” Agatha mendesis, kepalanya mendadak terasa begitu pusing.Bahkan Handira melakukan tindakan ekstrim dengan tidak membiarkan dia kemana-mana sendiri. Dia sudah seperti tahanan kota yang harus diawasi kemanapun dia pergi.“Loh, kok nggak dimakan, Non?”Suara itu nampak terkejut ketika Agatha bangkit dengan membawa tas ranselnya. Ia buru-buru menyeka air mata dan balas menatap sosok itu dengan senyum dipaksakan.“Simpenin buat nanti, Mbak. Aku mau langsung berangkat, ada urusan.” Kilahnya lalu buru-buru pergi.Ia tidak ingin dikasihani oleh siapapun atas nasib buruknya, jadi lebih baik ia segera menyingkir saja. Mbak Indah pasti mendengar se
"Mah, yang bener aja lah! Mama bercanda, kan?"Kelvin keluar dari ruang rawat inap Karina, adiknya yang baru saja beres melahirkan. Langkah kaki Kelvin terburu mengejar sang mama. Ia harus memperjelas apa yang barusan dia dengar di dalam tadi. "Astaga, Vin! Mana ada waktu buat mama bercanda?" Dewi membalikkan badan, menatap Kelvin dengan tatapan serius. Seketika Kelvin lemas. Semangatnya datang ke kota ini guna menengok keponakan baru dan tentu saja mengerjai sang adik, mendadak runtuh. Sorot mata dan nada bicara Dewi tidak bisa membohongi dirinya. Mamanya ini benar-benar serius dengan apa yang tadi dia katakan pada Kelvin di dalam ruangan. "Astaga, Ma ... Kelvin bisa cari sendiri!" Kelvin menegaskan, ia sedikit tidak terima, apakah dia seburuk itu sampai tidak bisa mencari jodoh sendiri? "Nggak ... Nggak! Pokoknya mama udah ada calon yang tepat dan potensial buat kamu!"Kelvin membelalak, ia hendak kembali buka mulut ketika langkah kaki Dewi kembali terayun menuju pintu keluar ba
"Lu nggak coba cari tahu dulu sama siapa elu di jodohin? Kali aja anak dirut atau malah yang punya rumah sakit, Vin." Cerocos Brian setelah Kelvin cukup lama diam. Terdengar helaan napas kasar, tidak perlu menoleh ke sumber suara, Brian tahu betul dari mana asal suara itu. Ia malah dengan begitu santai meneguk air mineral dalam botol, suasana hati Kelvin sedang kacau, berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang suka tantrum bahkan mengamuk ketika suasana hati kacau, Kelvin malah kebalikannya. "Diem lu, makin pusing pala gue, Yan!" Umpatnya dengan wajah ditekuk. Brian tersenyum simpul, ia menepuk punggung Kelvin dengan sedikit keras. Hampir saja botol air yang tadi Brian sodorkan meluncur jatuh. "Opsi lu cuma dua, Vin. Cari cewe, bawa ke depan nyokap atau diam pasrah dijodohin." Brian menatap mata yang tengah menatap tajam ke arahnya dengan santai, menyunggingkan senyum simpatik yang seketika mampu menurunkan kadar tajam sorot mata Kelvin. "Opsi pertama, nggak mungkin bisa berhas
"Hah? Yang bener?"Kelvin membelalak, menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Karina yang masih terbaring di atas bed lengkap dengan selang infus pun balas menatap dengan tatapan serius. Melihat bagaimana sang adik berani membalas tatapan matanya, dan tak lupa raut wajah Karina yang begitu serius, Kelvin sontak lemas. Sia-sia sudah niatnya ingin dibantu oleh Karina mencari tahu siapa gadis yang hendak dijodohkan dengan dirinya itu. Mama yang biasanya tidak tahan menyimpan rahasia di depan Karina pun, memilih tutup mulut dan tidak mau terbuka perihal siapa gadis itu. "Aku bohong buat apaan sih, Bang? Aku tuh juga kepo kali sama cewek yang mau dijodohin sama kamu itu. Sesuai enggak gitu loh sama selera kamu yang setinggi bintang di langit." Ujar Karina yang kini sudah kembali ke mode somplaknya. "Nah kan, mulai!" Gerutu Kelvin yang segera beranjak dari sisi bed Karina. Ia memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa sambil menutup mata dengan lengan. "Lagian, kamu itu pengennya da
"WOY YANG BENER AJA, YOS!!"Agatha menepuk jidatnya dengan gemas, sementara teman-temannya yang lain berteriak seraya menimpuki Yosa dengan membabi-buta. "Nah kan apa gue bilang? Pasti nggak bener ini sarannya!" Omel Gladys yang belum mau berhenti menimpuki Yosa. "Andai bisa segampang itu mah nggak masalah, tapi kan ini nggak bisa segampang itu!" Agatha akhirnya berkomentar, kepalanya malah jadi bertambah pusing. "Tau tuh! Lagian apa si om dokter bakalan mau sama elu?" Jessy menonyor kepala Yosa, terlihat juga bahwa dia sama gemasnya dengan yang lain. "Eh jelas mau lah! Gue nggak kalah cantik kok sama Agatha!" Yosa melotot tidak terima, dia tidak sejelek itu! "Udah udah!" Agatha melerai, kalau tidak bisa terus-terusan mereka saling toyor dan beradu argumen. "Sekarang gue kudu gimana nih? Seriusan gue belum pengen kawin."Suasana sontak hening, kembali pada mode serius setelah melihat ada bayangan bening di mata jernih Agatha. "Sekalipun calonnya perfect begini, Tha?" Yosa menata
"Bercanda?"Kening Karina berkerut, sebagai anak Dewi, tentu ia tahu betul bahwa semua yang Dewi katakan perihal perjodohan sang abang adalah hal yang serius, bukan hanya bercanda. Ingin Karina utarakan itu, tapi melihat d dalam sorot mata Kelvin terdapat secercah harapan, Karina tidak berani memadamkan harapan yang terselip di sana, meskipun harapan itu hanyalah harapan palsu belaka. "Iya, aku berharap banget kalo mama cuma bercanda. Atau ternyata semua ini cuma mimpi." Kelvin tersenyum getir, membuat Karina jatuh iba seketika. Karina memalingkan mata, tidak tega kalau harus terus menatap sorot mata itu. Belum sempat Karina menanggapi, Kelvin sudah lebih dulu kembali bicara. "Tapi kalau pun semua itu beneran harus aku jalani sih ya nggak papa."Karina mengangkat wajah, kembali menatap Kelvin yang masih berdiri di sebelah bednya. Nampak wajah kusut itu memaksakan untuk tersenyum, membuat Karina makin iba dengan sang kakak. "Coba ngomong lagi baik-baik, Bang, sama mama." Hanya itu
"Ma, nggak bisa gitu dong!" Belum sempat Agatha utarakan niatnya, ternyata Handira sudah lebih dulu bisa membaca apa niat dan tujuan dia datang kemari. "Kenapa nggak bisa sih, Tha? Mama nggak sembarangan loh nyariin jodoh buat kamu."Selalu saja! Selalu itu pembelaan dari Handira ketika Agatha mengutarakan penolakan. Padahal, untuk menjadi pendamping hidup Agatha, bukan hanya poin-poin itu saja yang perlu diperhatikan."Ya karena Agatha belum pengen nikah aja, Ma. Belum ada dua puluh tahun loh." Ini adalah alasan terkuat yang Agatha miliki, berharap dengan alasan ini, mamanya bisa terketuk hatinya.Handira mendesah, ia meletakkan sendok dan garpu yang tadinya sudah dalam genggaman. Mereka beradu pandang sejenak, sampai kemudian Handira lebih dulu memalingkan pandangan. "Memang kenapa kalau kamu nikah di umur dua puluh, Tha? Calon mu sudah mapan, apa lagi yang mau kamu cari?" Suara Handira memang terdengar lembut, namun tegas. Agatha bisa merasakannya. "Bukan cuma soal itu, Ma. Aga
"Nggak ada alesan ya, Vin! Apa perlu mama berangkat ke sana sekarang buat jemput kamu?"Kelvin langsung lemas, setelah sekian lama berkelit, kali ini Kelvin tidak berkutik sama sekali. Dia benar-benar harus terbang ke Jakarta guna bertemu dengan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, gadis yang akan Kelvin nikahi. "Ma, seriusan nih. Kemaren dua hari nggak balik. Badan rasanya ngga--.""Kalo kamu nggak berangkat hari ini juga sesuai jadwal penerbangan yang udah mama booking, jangan harap bisa lanjut spesialis ya, Vin!"Alamak!! Kelvin mendesah panjang. Dia tidak benar-benar sakit dan ancaman barusan ... Kelvin mengusap wajahnya dengan gusar. Dia sama sekali tidak mampu berkelit kalau mamanya sudah mengeluarkan ancaman itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Kelvin harus berangkat dan itu demi masa depan kariernya. "Oke-oke. Kelvin berangkat. Sampai bandara nanti Kelvin kabarin, Ma. Kelvin mau siap-siap dulu!"Tut! Tanpa menunggu omelan demi omelan yang akan mamanya lancarkan, Kelvin
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A