Asap telah membumbung tinggi ke udara ketika Layla melangkah ke halaman belakang. Ia mengecek jagung, ikan, dan udang yang telah dibersihkan, juga tusuk bambu yang dibutuhkan.Malam ini, mereka ingin mengadakan acara bakar-bakar. Nenek bilang, mereka selalu melakukan hal itu saat Kiran berulang tahun selama di desa, jadi ia ingin melakukan hal yang sama pada Arsen.Bicara tentang Arsen, pria itu seolah menghindarinya setelah makan siang. Layla bertanya mengenai rencana pembangunan perpustakaan yang dia maksud, tetapi Arsen tidak mau menjawab lebih jauh. Katanya itu sebuah hadiah ulang tahun, jadi masih perlu dirahasiakan.Padahal Layla ingin bilang kalau Arsen tidak perlu melakukan hal itu. Sebuah perpustakaan—terlalu luar biasa untuknya. Ia hanya memberi Arsen dasi dan kemeja sebagai hadiah, bagaimana mungkin dia memberikan perpustakaan sebagai hadiah ulang tahunnya?Layla belum bicara lagi dengan Arsen setelah mengantar ayahnya pulang. Ada beberapa hal penting yang perlu ayahnya sel
Pada pukul delapan malam, semua jagung, ikan, dan udang telah selesai dibakar. Kiran membuat saus asam manis yang enak dan menuangkannya ke dalam beberapa piring.Semua orang sudah tidak sabar untuk makan, tetapi di sisi lain, Layla mengkhawatirkan sang suami yang sejak tadi duduk di tepi danau. Dia sama sekali tidak mendekat ke arah mereka, dan tampak merenung saat menatap air yang tenang."Layla, antarkan ini pada suamimu, Nak."Sebuah piring tersodor di depan Layla. Ia menoleh dan ibu mertuanya mengangsurkannya padanya.Layla mengambilnya, lalu melirik Arsen yang masih bergeming di tempatnya. Ia merasa ragu-ragu untuk mendekati pria itu, tetapi melihat tatapan ibu mertuanya, ia mau tak mau mengangguk."Antarkan padanya dan bicara ya, Nak. Dia sepertinya habis minum jika diam begitu," kata ibu mertuanya dengan suara pelan.Minum?Kenapa akhir-akhir ini Arsen sering minum alkohol? Atau mungkin itu memang kebiasaannya?Sepertinya tidak. Karena selama mereka bertemu sebelumnya, Arsen s
Mata Layla melebar ketika Arsen mulai melumat bibirnya.Arsen memiringkan kepalanya, sementara tangannya turun menuju punggungnya, merabanya dengan lembut. Napas mereka menyatu dan Arsen menekan bibirnya lebih kuat, lalu mendorong lidahnya ke dalam mulut Layla.Layla menekan tangannya ke paha, jantungnya memukul dengan sangat keras layaknya genderang. Bibir Arsen tak meninggalkan mulutnya sedikit pun, bahkan sampai napas Layla mulai terengah."Balas ciumanku, Layla," gumam Arsen serak, suaranya terdengar putus asa.Layla menatap ke dalam mata Arsen dan menemukan hasrat yang membara di sana, perutnya terasa melilit.Tatapan mereka terkunci satu sama lain ketika Arsen kembali menciumnya. Layla dirundung perasaan bingung, tetapi ciuman Arsen terasa menenggelamkannya. Lidah Arsen bergerak menyapu langit-langit hingga renten giginya, membuat Layla tanpa sadar melenguh.Arsen mengubah sudut ciumannya, dan gerakannya menjadi lebih terburu-buru, seolah dia tidak bisa menahan diri untuk mencic
Layla menatap bunga-bunga segar yang tumbuh subur dalam rumah kaca dengan senyum lebar.Ia memutuskan untuk singgah di toko bunga setelah mengantar ibunya kembali ke rumah. Arsen harus mengurus sesuatu, jadi ia pikir ini waktu yang tepat untuk membeli apa yang ia rencanakan selama ini.Layla mendapat beberapa rekomendasi dari pemilik toko, jadi ia membeli beberapa bunga tambahan selain bunga mawar dan bunga bakung. Seperti bunga kertas yang sudah cukup besar dalam pot, bunga kembang sepatu, bunga seruni dan bunga matahari.Ia merasa sangat bersemangat untuk menanam bunganya besok pagi."Nona, saya sudah membungkus semuanya." Pemilik toko—Risa—menghampiri Layla dan menunjuk seluruh tanaman yang telah dibungkus dengan plastik."Ah, terima kasih. Apakah boleh diletakkan di depan saja? Jadi suami saya bisa langsung mengambilnya nanti," kata Layla, menjelaskan.Wanita itu terlihat terkejut saat Layla menyebut kata 'suami'. Layla sudah tidak terlalu terkejut dengan hal itu. Mengingat umur d
Layla keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri sebentar. Ia menggosok rambutnya dengan handuk dan melangkah ke depan meja rias. Ia menatap pantulannya cukup lama di cermin, lalu beralih ke sekeliling kamar Arsen.Atau, haruskah ia menyebutnya kamar mereka?Walaupun keluarga mereka telah meninggalkan rumah ini setelah perayaan ulang tahun Arsen, Layla masih tidak bisa kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mengingat bahwa nenek dan Kiran bisa datang sewaktu-waktu setelah berkemas di desa, Arsen meminta agar mereka tetap satu kamar sampai dia bisa memastikan segalanya.Layla tidak memprotes karena memindahkan seisi kamar bukan hal yang mudah, apalagi dalam situasi yang mengejutkan. Waktu itu, mereka hanya beruntung.Jika keluarga tahu mereka tidak sekamar, Layla tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka. Ia tidak akan bisa menjelaskan apa pun, terutama pada kedua orang tuanya.Meskipun, tinggal sekamar dengan Arsen juga bukan sesuatu yang mudah? Atau indah? Bagaim
Layla berlutut di depan lemari dan menatap dua buku yang dibelinya kemarin, menimbang-nimbang untuk menyimpannya di mana.Semalam, ia tetap menyimpannya di dalam tas, tetapi ia tidak bisa terus menyembunyikannya di sana untuk jangka panjang. Layla belum sempat membacanya. Ia hanya membuka buku kedua sebentar, rupanya berisi tips-tips untuk menyenangkan hati para suami.Jenis baju seksi seperti jaring laba-laba yang pernah disarankan Kiran, tidak luput dari daftar isi buku tersebut.Tetapi tetap saja Layla tidak bisa membayangkan dirinya memakai pakaian seperti itu.Ya ampun. Memangnya ia memiliki kesempatan untuk memakai itu?Layla membaca bagian pertama tentang bagaimana seorang pria bisa menjadi orang yang sangat pencemburu, terutama jika sang istri membicarakan pria lain (meskipun tidak sengaja) di depan wajahnya.Mungkin ada yang pandai menyembunyikan kecemburuannya, tetapi lambat laun hal itu akan tetap kentara untuk dilihat. Sikapnya terkadang akan berubah, seperti dia menjadi t
Rinai hujan terdengar berdebam keras di luar.Layla memandang ranting pohon angsana yang bergoyang karena tertiup angin kencang. Bunga-bunganya gugur, jatuh memenuhi halaman belakang rumah.Udara dingin kembali berembus melewati tubuhnya. Ia menatap hujan yang mulai mereda, lantas menutup pintu halaman belakang. Tadinya, ia ingin bersantai di dekat danau buatan, tetapi hujan tiba-tiba mengguyur di pagi hari yang cerah.Layla berjalan ke dapur dan memutuskan untuk menyeduh teh dan kopi. Teh untuk dirinya sendiri, sementara kopi untuk Arsen. Pria itu ingin pergi menemui asistennya di sebuah restoran, katanya ingin berbicara mengenai masalah perusahaan yang tidak bisa Arsen tangani secara langsung waktu itu.Karena aku sakit, batinnya.Arsen membatalkan penerbangannya keluar kota demi merawat Layla yang sedang demam.Ia berharap ia bisa membantu, tetapi Arsen bilang tidak ada lagi yang perlu dicemaskan.Layla mengaduk-ngaduk kedua cangkir dan segera membawanya ke beranda depan. Arsen dudu
Tidak pernah sekalipun Layla mengira bahwa Olivia akan datang menemuinya.Seperti apa yang terjadi sore ini.Bukankah Arsen mengatakan bahwa Olivia tidak akan datang ke rumah ini, tetapi kenapa dia di sini?Awalnya, Layla mencoba berpikir positif. Olivia mungkin saja memiliki keperluan mendesak atau membutuhkan bantuan Arsen sampai datang ke sini, tetapi setelah memperhatikan penampilannya yang luar biasa, pikiran itu langsung sirna.Wanita itu memang sengaja datang ke sini.Dia memakai dress ketat berwarna merah cerah yang memperlihatkan dengan jelas belahan dadanya. Rambut pirangnya diikat tinggi. Sepatu runcing ber-hak tinggi membungkus kakinya. Tidak lupa lipstik merah yang sama dengan warna bajunya.Salah satu sudut bibir Olivia terangkat, menatap Layla dengan senyum yang terkesan merendahkan. Layla balas menatapnya, sama sekali tidak terpengaruh dengan perilaku wanita itu.Olivia dengan terang-terangan meneliti penampilan Layla, lalu terlihat seolah ingin tertawa. Layla mengenaka
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp