Layla keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri sebentar. Ia menggosok rambutnya dengan handuk dan melangkah ke depan meja rias. Ia menatap pantulannya cukup lama di cermin, lalu beralih ke sekeliling kamar Arsen.Atau, haruskah ia menyebutnya kamar mereka?Walaupun keluarga mereka telah meninggalkan rumah ini setelah perayaan ulang tahun Arsen, Layla masih tidak bisa kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mengingat bahwa nenek dan Kiran bisa datang sewaktu-waktu setelah berkemas di desa, Arsen meminta agar mereka tetap satu kamar sampai dia bisa memastikan segalanya.Layla tidak memprotes karena memindahkan seisi kamar bukan hal yang mudah, apalagi dalam situasi yang mengejutkan. Waktu itu, mereka hanya beruntung.Jika keluarga tahu mereka tidak sekamar, Layla tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka. Ia tidak akan bisa menjelaskan apa pun, terutama pada kedua orang tuanya.Meskipun, tinggal sekamar dengan Arsen juga bukan sesuatu yang mudah? Atau indah? Bagaim
Layla berlutut di depan lemari dan menatap dua buku yang dibelinya kemarin, menimbang-nimbang untuk menyimpannya di mana.Semalam, ia tetap menyimpannya di dalam tas, tetapi ia tidak bisa terus menyembunyikannya di sana untuk jangka panjang. Layla belum sempat membacanya. Ia hanya membuka buku kedua sebentar, rupanya berisi tips-tips untuk menyenangkan hati para suami.Jenis baju seksi seperti jaring laba-laba yang pernah disarankan Kiran, tidak luput dari daftar isi buku tersebut.Tetapi tetap saja Layla tidak bisa membayangkan dirinya memakai pakaian seperti itu.Ya ampun. Memangnya ia memiliki kesempatan untuk memakai itu?Layla membaca bagian pertama tentang bagaimana seorang pria bisa menjadi orang yang sangat pencemburu, terutama jika sang istri membicarakan pria lain (meskipun tidak sengaja) di depan wajahnya.Mungkin ada yang pandai menyembunyikan kecemburuannya, tetapi lambat laun hal itu akan tetap kentara untuk dilihat. Sikapnya terkadang akan berubah, seperti dia menjadi t
Rinai hujan terdengar berdebam keras di luar.Layla memandang ranting pohon angsana yang bergoyang karena tertiup angin kencang. Bunga-bunganya gugur, jatuh memenuhi halaman belakang rumah.Udara dingin kembali berembus melewati tubuhnya. Ia menatap hujan yang mulai mereda, lantas menutup pintu halaman belakang. Tadinya, ia ingin bersantai di dekat danau buatan, tetapi hujan tiba-tiba mengguyur di pagi hari yang cerah.Layla berjalan ke dapur dan memutuskan untuk menyeduh teh dan kopi. Teh untuk dirinya sendiri, sementara kopi untuk Arsen. Pria itu ingin pergi menemui asistennya di sebuah restoran, katanya ingin berbicara mengenai masalah perusahaan yang tidak bisa Arsen tangani secara langsung waktu itu.Karena aku sakit, batinnya.Arsen membatalkan penerbangannya keluar kota demi merawat Layla yang sedang demam.Ia berharap ia bisa membantu, tetapi Arsen bilang tidak ada lagi yang perlu dicemaskan.Layla mengaduk-ngaduk kedua cangkir dan segera membawanya ke beranda depan. Arsen dudu
Tidak pernah sekalipun Layla mengira bahwa Olivia akan datang menemuinya.Seperti apa yang terjadi sore ini.Bukankah Arsen mengatakan bahwa Olivia tidak akan datang ke rumah ini, tetapi kenapa dia di sini?Awalnya, Layla mencoba berpikir positif. Olivia mungkin saja memiliki keperluan mendesak atau membutuhkan bantuan Arsen sampai datang ke sini, tetapi setelah memperhatikan penampilannya yang luar biasa, pikiran itu langsung sirna.Wanita itu memang sengaja datang ke sini.Dia memakai dress ketat berwarna merah cerah yang memperlihatkan dengan jelas belahan dadanya. Rambut pirangnya diikat tinggi. Sepatu runcing ber-hak tinggi membungkus kakinya. Tidak lupa lipstik merah yang sama dengan warna bajunya.Salah satu sudut bibir Olivia terangkat, menatap Layla dengan senyum yang terkesan merendahkan. Layla balas menatapnya, sama sekali tidak terpengaruh dengan perilaku wanita itu.Olivia dengan terang-terangan meneliti penampilan Layla, lalu terlihat seolah ingin tertawa. Layla mengenaka
Layla terbangun dengan bagian belakang kepala yang berkedut nyeri. Irisnya memperhatikan sekeliling ruangan, menyadari bahwa ia telah berada di kamar. Kilasan kejadian sebelumnya berputar-putar di kepalanya.Kedatangan Olivia, hinaannya, pertengkarannya dengan Arsen, Layla yang menangis, Arsen yang mencoba menenangkannya, dan kemudian, ia tidak ingat lagi.Sepertinya kepalanya sakit dan ia pingsan?Layla melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. Ia meraba sisi tempat tidur yang terasa hangat, yang berarti kalau Arsen belum lama meninggalkan kasur.Apakah dia pergi ke ruang kerjanya?Layla tidak ingin mengganggu, jadi ia kembali berbaring di kasur. Ia berbaring miring dan mencoba untuk tidur, tetapi setelah beberapa saat, kantuk tak kunjung membuatnya terlelap.Layla mengubah posisi hingga enam kali, tetapi tetap saja ia masih tidak bisa tidur. Sepertinya, ia butuh udara segar atau mungkin teh sebelum mencoba untuk tidur lagi.Beranjak dari tempatnya, Layla berjalan tanp
Layla baru selesai membersihkan pagi itu, tepat di jam sembilan ketika mendengar berita buruk dari ibunya.Ayahnya mengalami kecelakaan.Ibunya mengatakan bahwa ayahnya berencana untuk pergi ke pelabuhan, tetapi kondisinya sedang tidak fit. Ayahnya memaksakan diri dan akhirnya kecelakaan itu terjadi. Untungnya tidak parah. Hanya saja, tangan ayahnya yang terjepit kursi mobil nyaris mengalami patah tulang sehingga harus dipasangi gips selama proses penyembuhan. Dokter bilang tidak ada cedera lain, ayahnya hanya perlu beristirahat karena kelelahan.Melissa baru menghubungi putrinya ketika sang suami telah mendapat penanganan. Ia tidak mau membuat Layla khawatir, apalagi jarak menuju rumah sakit terbilang jauh.Ayah Layla dilarikan ke rumah sakit terdekat dari pelabuhan, satu-satunya rumah sakit di kota itu, sudah tua, dan jauh dari keramaian.Jalan menuju pelabuhan sendiri cukup sepi. Sepanjang perjalanan hanya terlihat pohon-pohon akasia yang berjejer di pinggir jalan. Dahangnya saling
"Kak Layla, Sayangku. Halo!"Layla menjauhkan sejenak ponselnya mendengar suara teriakan Kiran di seberang sana. Seperti biasa, gadis itu selalu heboh sekali.Layla sebenarnya tidak bermaksud untuk menelepon, ia hanya mengirim pesan mengenai apa yang ia lihat tadi pagi, tetapi Kiran katanya ingin bicara secara langsung."Pelankan suaramu, Kiran," ucapnya.Gadis itu terdengar cengengesan, kemudian bicara dengan suara sangat pelan, "Jadi bagaimana kejadian lengkapnya? Kakak hanya melihat wanita licik itu sebentar? Kak Arsen tidak melihatnya?""Ya, hanya sebentar, tapi aku melihatnya dengan jelas. Dia bersama pria yang merangkulnya dengan mesra, lalu mereka memasuki kafe. Arsen tidak sempat melihatnya.""Kakak tidak memberitahunya?""Tidak," jawab Layla. Ia melirik ke dalam kamar ayahnya, Arsen terlihat masih tidur pulas di atas sofa. "Dia tidak akan percaya jika tidak melihatnya secara langsung."Kiran menghela napas. "Hm, benar juga," gumamnya, berdecak pelan. "Tapi wanita licik itu, h
Layla menatap mesin cuci yang berputar dan menghela napas panjang. Ia beralih menatap dinding, kemudian meja setrika, lalu keranjang berisi pakaian suaminya.Tidak ada apa pun yang bisa mengalihkan perhatiannya di sini.Layla tidak bisa berhenti memikirkan kejadian satu jam yang lalu, ketika Arsen menangkap celana dalamnya dan memberikannya padanya.Kemudian ekspresi pria itu ...Kalau Layla bisa menyembunyikan wajahnya, maka ia akan melakukannya. Ia merasa sangat malu. Entah bagaimana ia menatap wajah pria itu saat makan malam nanti.Ia harap Arsen mengabaikan kejadian itu dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Layla juga akan bersikap seperti itu.'Bukankah bagus kalau kak Arsen melihat celana dalam Kakak? Itu hal wajar untuk suami-istri, bukan?'Kata-kata Kiran malah ikut terngiang. Gadis itu kabur setelah puas menertawai Layla dan memberi saran-saran yang aneh. Selain gila, Kiran rupanya juga orang yang pantang menyerah jika ingin mewujudkan sesuatu, seperti keinginannya untu
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp