Di sudut ruangan dengan pencahayaan remang, Derana berdiri dengan tatapan resah, memikirkan bagaimana nasib dirinya yang masih terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia ini. Musik yang mengalun lembut dan tawa riang para tamu seolah menjadi latar belakang yang kontras dengan perasaannya yang hancur.
Dirinya merasa seperti seorang penonton yang terasing di tengah keramaian pesta. Sedari tadi, pandangannya tak pernah lepas pada Haka, suaminya, yang sedang berdansa dengan wanita lain di tengah lantai dansa. Hatinya terasa seperti diremas-remas, setiap tawa dan senyuman Haka dengan wanita itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Derana mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, namun rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia teringat saat-saat indah mereka dulu, saat Haka masih menjadi pria yang setia dan penuh kasih. Namun kini, semua itu terasa seperti mimpi yang sudah sangat jauh, digantikan oleh kenyataan pahit yang menghancurkan hatinya. Derana merasa terjebak dalam situasi yang membuatnya tak nyaman, tak tahu harus berbuat apa, tak tahu ke mana langkah harus membawanya pergi. Dulu, ia pernah membayangkan jika menikah seperti mengarungi lautan dengan sampan berdua, walau derasnya gelombang menghantam. Mereka akan terus mendayung menerjang penuh asa. Karena cinta adalah kekuatan baginya. Ia yang akan membantu tangan terus mengayuh, menjaga mata terus memandang, memelihara asa di dalam hati dan mendorong agar berlayar jauh ke tengah lautan dalam. Tapi kini, dirinya sadar bahwa biduk rumah tangga tidak semudah itu. Kadang mereka sendiri adalah badai yang mencipta gelombang. Mereka yang merobek dinding biduk itu sendiri dengan benci. Hingga air menyusup melalui lubang-lubang hasil amarah yang membawa mereka pada ambang kehancuran. Karena benci adalah racun, yang membuat mata tak saling memandang, telinga tak saling mendengar. Tak bisa merasakan lagi arti kehangatan. Bahkan membuat hati dipenuhi halimun. Kini, mereka mengayuh ke dua arah yang berlawanan. Benci itu yang membangkitkan amarah, membuang cinta ke tengah laut. Lalu, hilang kendali, merusak apa pun termasuk dirinya sendiri. Akal raib begitu saja. Hati nelangsa. Menangis dalam diam. Pengkhianatan Haka, telah menghancurkan kepercayaan diri yang sudah Derana bangun. Wanita itu merasa kehilangan arah dan tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupnya. Di tengah keramaian itu, Derana merasa sendirian. Ia ingin berteriak, ingin melarikan diri dari semua ini, namun kakinya terasa berat, seolah terikat oleh rantai tak kasat mata yang membelenggunya tetap di sana. Ia hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan suaminya yang telah mengkhianatinya, dan merasakan perasaannya hancur berkeping-keping. Namun di balik kesedihannya, ada secercah harapan yang membuatnya tetap bertahan. Seperti yang sudah dibicarakan kemarin melalui telepon, seseorang yang sangat penting telah berjanji untuk menemuinya di pesta malam ini. Sosok itu adalah Arash, seorang yang berpengaruh dan memiliki kekuatan untuk membantu Derana membalaskan dendam atas pengkhianatan Haka. Wanita itu menunggu dengan cemas, berharap kehadiran Arash akan membawa perubahan besar dalam hidupnya, kehadiran Arash mungkin akan menjadi satu-satunya penyelamat. Derana terus memandangi Haka yang masih asyik berdansa, namun pikirannya kini terpecah antara rasa sakit dan harapan. Sesekali, ia menoleh ke arah pintu masuk setiap kali ada tamu baru yang datang, berharap ia akan melihat sosok yang dinantikannya. Sungguh, ia gelisah. Berkali-kali ia menghela napas, berharap orang yang dinantikannya segera tiba. Sampai akhirnya, pintu akhirnya terbuka kembali, senyum tipis menghiasi wajahnya melihat seorang pria dengan setelan formal dengan aura karisma yang kuat melangkah masuk. Namun, senyum itu segera memudar, menyadari bahwa pria itu bukanlah orang yang ia tunggu Pria tersebut justru menghampiri orang lain, membuat Derana beranjak dari sana dengan perasaan kecewa, ia gegas mengambil segelas minuman untuk menenangkan diri. Sambil meneguk minumannya, Derana bergumam dalam hati. “Kenapa aku masih berharap? Sudah jelas dia tidak akan datang. Mungkin aku hanya membuang-buang waktu di sini.” Ruangan itu dipenuhi dengan suara percakapan yang ramai, tawa, dan denting gelas yang saling beradu. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya hangat yang memantul di dinding berlapis emas. Meja-meja dihiasi dengan bunga-bunga segar dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Aroma makanan lezat menguar dari meja prasmanan di sudut ruangan, menggoda setiap tamu yang lewat. Tak lama, sebuah tawa mengalihkan perhatian Derana. Ia menoleh dan melihat sekelompok orang yang tampak menikmati percakapan mereka. Tawa itu begitu ceria, seolah-olah tidak ada beban di dunia ini. Derana mengenali sosok itu dari deskripsi yang diberikan melalui telepon. “Arash?” Arash adalah seorang pria misterius dengan aura berbeda. Wajahnya tajam dan penuh teka-teki. Rambut hitamnya terurai dengan rapi, dan matanya—seperti mata elang—selalu waspada. Dia selalu mengenakan setelan jas yang elegan, memberikan kesan keberwibawaan dan status sosial yang tinggi. Arash memiliki senyum yang jarang diberikan, tetapi ketika dia melakukannya, itu mengandung banyak rahasia. Bahkan Derana juga banyak mendengar tentang Arash. Namun yang membuat lelaki itu terlihat berbeda karena reputasinya yang terkenal kejam sekaligus licik. Mungkin karena memiliki pengaruh kuat, hal itu yang akan membantunya keluar dari permasalahan pernikahan yang sangat menyedihkan ini. Pada saat itu, Derana terpaku saat tatapan Arash teralihkan pada dirinya. Ada jeda dalam detik sampai lelaki itu terdiam beberapa saat memperhatikannya dari kejauhan. Derana merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia bisa merasakan tatapan tajam pria itu menembus keramaian, langsung tertuju padanya. Sampai kemudian, Arash mendekat dengan sebuah senyum yang membuat Derana nyaris terkesima. “Derana, bukan?” katanya dengan suara rendah. “Saya Arash.” Pria yang baru saja mengenalkan diri itu mengulurkan tangannya di depan Derana. Derana mengangguk lalu menjabat tangannya. “Ya, saya Derana.” “Apakah Anda menikmati pesta ini?” tanya Arash. Derana terkekeh getir. “Seperti yang Anda lihat sekarang.” Setelah mengumbar senyum miring di satu sudut bibirnya, Arash menyapukan pandang pada keramaian. “Di mana, Haka? Aku tidak melihatnya, Dia sama sekali tidak menyambut kehadiranku.” Suara Arash terdengar tenang namun penuh otoritas. “Mau ikut denganku?” Lelaki itu mengulurkan tangannya lagi. “Kita bisa bicara di tempat yang lebih tenang.” Lalu, setelah membuat Derana mengangguk, lelaki itu merengkuh pinggang sang wanita, membawanya ke sudut ruangan yang lebih sepi. Derana mengikutinya keluar dari ruangan utama pesta, menuju balkon yang sepi. Angin malam yang sejuk menyambut mereka, memberikan sedikit kelegaan dari suasana pesta yang menyesakkan dada Derana seorang. “Terima kasih telah datang,” ujar sang wanita, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Arash tersenyum. “Saya tahu banyak hal. Dan saya ingin membantu Anda.” Tanpa bertele-tele, Arash menatapnya dengan mata yang tajam namun penuh pengertian. “Saya mendengar apa yang terjadi. Saya di sini untuk membantu Anda, seperti yang dijanjikan.” Mendengar itu, membuat Derana merasakan harapan yang baru tumbuh di dalam hatinya. Seperti yang pernah ia dengar, benar Arash adalah tipikal lelaki yang tidak banyak berbasa-basi. Derana merasa tertarik pada tawaran ini, meskipun ia juga tidak sepenuhnya memahami konsekuensinya. Ia hanya memberanikan diri untuk menatap mata Arash. Dan di balik keseriusannya, ada sesuatu yang menarik. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang Arash. Derana menghela napas. Ia mengalihkan pandang pada kegelapan malam. “Saya ingin membalas dendam atas apa yang telah dilakukan Haka. Saya tidak bisa membiarkan dia lolos begitu saja.” Arash mengangguk pelan. "Saya mengerti. Kita akan merencanakan ini dengan hati-hati. Anda tidak sendirian dalam hal ini." Di bawah cahaya bulan yang lembut, Derana merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. Dengan kehadiran Arash, ia merasa ada secercah harapan untuk membalas dendam dan memulihkan harga dirinya yang telah hancur. “Tapi—” “Apa yang membuat Anda tertarik membantu saya?” Derana merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia menatap Arash penuh kewaspadaan. Namun, lelaki itu justru menyiratkan ketenangan. Derana tahu, malam ini akan menjadi awal dari sesuatu yang besar. Namun, bagaimana ia akan menghadapi Haka dan apa yang akan terjadi selanjutnya, masih menjadi misteri yang menegangkan. “Kontrak apa yang Anda tawarkan?” “Bagaimana dengan menikah?” ujar Arash. “Apa?” Derana terkejut. “Apa anda sudah benar-benar gila?”Derana duduk di sebuah kafe mewah, tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi. Matanya terus melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Arash. Pikirannya penuh dengan keraguan dan ketakutan, namun juga ada secercah harapan untuk membalaskan dendam pada suaminya yang telah menghancurkan hatinya.Kata-kata Arash semalam masih menggema di hati Derana. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan semangat baru. Pertemuan ini bukan sekadar kebetulan, tetapi sebuah titik balik. Derana berharap, dengan bantuan Arash, ia bisa menemukan kembali makna hidup dan tujuan yang selama ini hilang. Arash bukan hanya seorang CEO, tetapi dia juga dikenal sebagai Ikon Industri, seorang pemimpin yang dihormati dan cukup disegani. Kekayaan yang dimiliki lelaki itu sudah tak terhitung dan jaringan koneksi yang dimilikinya sangat membentang luas. Derana sering mendengarnya, jika banyak orang-orang berbondong-bodong mengejar kerja sama dengan Arash, berharap mendapatkan sepotong dari keberhas
“Apa yang akan Anda rencanakan?” “Rencana ini tidak terlalu sulit untuk Anda. Aku akan menjelaskan nanti di perjalanan.” Lalu, tanpa ingin mendesaknya lagi, Derana mengiakan. Mereka meninggalkan kafe dan menuju mobil mewah Arash yang sudah menunggu di luar. Sepanjang perjalanan, Derana tidak bisa berhenti memikirkan keputusan yang baru saja diambilnya. Apakah ini benar-benar jalan yang tepat? “Kita akan mengadakan konferensi pers besok untuk mengumumkan pernikahan kita. Aku ingin kamu bersiap-siap,” ucap Arash memecah keheningan pada akhirnya. Derana mengangguk pelan. “Tapi bagaimana dengan Haka dan Ilona? Apa rencanamu selanjutnya?” Lelaki di sampingnya itu tersenyum tipis. “Kita akan mulai dengan menghancurkan reputasi mereka. Aku punya beberapa informasi yang bisa kita gunakan. Tapi untuk sekarang, fokuslah pada peranmu sebagai istriku dulu.” Tidak ada tanggapan yang bisa Derana ungkapkan, selain helaan napasnya yang mengalun. Mungkin untuk saat ini, ia akan mengikuti perinta
Malam itu, di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota, Haka dan Ilona sedang menikmati makan malam. Mereka tidak menyadari badai yang akan datang. Tawa dan percakapan mereka mengalir dengan mudah, merasa aman dalam kebohongan mereka. Namun, malam itu akan menjadi awal dari kehancuran mereka. Sebab, di balik itu. Di sudut gelap restoran, seorang pria dengan jaket hitam tengah mengamati mereka dengan seksama. Dia mengambil beberapa foto dengan kamera kecilnya, lalu mengirimkan pesan singkat kepada seseorang yang kini berada di sebuah apartemen mewah di lantai atas gedung pencakar langit, Derana menerima pesan tersebut. Ia tersenyum tipis, mengetahui bahwa rencana balas dendamnya mulai berjalan. Arash telah mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan Haka dan Ilona, termasuk foto-foto dan rekaman percakapan yang bisa menghancurkan reputasi mereka. “Besok pagi, kita akan mengirimkan semua bukti itu ke media,” kata Arash dengan nada dingin. “Aku ingin mereka merasakan rasa mal
Sementara kegaduhan itu terjadi, di tempat lain, Derana dan Arash tengah merayakan kehancuran Haka dan Ilona dari kejauhan. Mereka duduk di balkon apartemen, bersama dinginnya angin malam yang menyapu wajah mereka. Derana mengangkat gelas sampanye, tak terelak jika kini senyum tipis juga menghiasi wajahnya. Sementara Arash, dengan tatapan penuh kemenangan, mengamati setiap gerakan di bawah sana, seolah-olah menikmati setiap detik kehancuran yang mereka ciptakan, sembari mencari kepastian bahwa rencana mereka selanjutnya berjalan sesuai harapan. “Ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu, bukan?” kata Arash dengan suara penuh kepuasan, matanya berkilat dengan kegembiraan. Wanita yang duduk di sampingnya itu mengangguk, “Ya! Itu sedikit membuatku lega.” Sekali lagi mereka bersulang, suara gelas yang beradu menggema di malam yang sunyi, menandai awal dari babak baru dalam hidup mereka. “Ini baru permulaan,” kata Arash lagi dengan nada dingin. “Kita akan memastikan mereka merasakan p
Arash tersenyum penuh keyakinan. “Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan menggunakan bukti-bukti tambahan untuk menekan dewan direksi agar memecat Haka. Setelah itu, kita akan membeli saham-saham perusahaan dengan harga murah.” Sepulangnya mereka dari tempat tersebut, malam itu Derana tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan semua yang telah terjadi dan apa yang akan datang nantinya. Dirinya tahu bahwa jalan yang mereka pilih memang penuh dengan risiko, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Lalu pada keesokan harinya, Arash dan Derana mulai melaksanakan rencana mereka. Mereka gegas mengirimkan bukti-bukti tambahan kepada dewan direksi. Bukti-bukti tersebut tidak hanya mengungkapkan kelicikan Haka dalam penggelapan pajak, tetapi juga menunjukkan keterlibatannya dalam skandal yang lebih mengerikan lagi. Haka ternyata telah memanipulasi laporan keuangan perusahaan selama bertahun-tahun, menyembunyikan kerugian besar dan men
Suara sepatu heels yang beradu dengan lantai dingin itu memecah keheningan ruang yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Sesosok tinggi dengan pakaian rapi itu terlihat datang dari ruang pribadi. Dengan semangat yang masih setengah terjaga, Derana bersiap untuk menghadapi hari baru.Namun, aroma samar kopi yang sudah dingin yang tercium di udara itu membuatnya melangkah ke ruang makan. Tidak ada yang terlihat, kecuali cangkir kosong dengan kehangatan yang tersisa di meja makan. Detak jarum jam yang mengalun lebih keras itu membuat Derana memindai pandang. Dilihatnya jarum jam yang sudah menunjukkan angka delapan yang membuatnya langsung menarik napas dalam-dalam.Kesunyian ruang membuatnya urung untuk menemui Arash. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Arash, “Aku akan keluar sebentar untuk bertemu kolega. Semoga harimu menyenangkan di kantor.” Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Dengan perasaan lega, ia bersiap untuk pergi, berharap pertemuan
Di pagi yang mendung itu, dengan langkah pasti, Derana masuk ke dalam gedung seorang diri. Tak ayal jika kehadirannya langsung membuat pasang mata di sana mengalihkan perhatian. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggetarkan lantai, memancarkan aura yang begitu kuat hingga tak seorang pun bisa mengabaikannya. Wajahnya memancarkan ketegasan, dengan tatapan matanya yang tajam. Bahkan orang-orang di sekitarnya pun terdiam, seakan waktu berhenti sejenak untuk menghormati kehadirannya. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, membicarakan siapa gerangan sosok yang mampu menguasai ruangan hanya dengan kehadirannya. Wanita itu tidak perlu berkata-kata bahwa kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang jelas. Aura kuatnya bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kepercayaan diri dan ketenangan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Tidak seperti kemarin, hari ini ada yang berbeda. Ia tidak akan bersembunyi lagi di balik perlindungan Arash. Ada api yang menyal
Senja mulai merangkak turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah, sisa hujan sore tadi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Burung-burung terakhir kembali ke sarangnya, meninggalkan jejak kicauan yang perlahan memudar. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang kecil yang menghiasi cakrawala.Di tengah keindahan senja itu, lobi apartemen menjadi tempat peralihan yang hangat dan nyaman. Pintu kaca besar yang menghadap ke luar memantulkan cahaya senja, menciptakan bayangan yang indah di lantai marmer sebelum suasana sore perlahan berubah menjadi malam.Setelah bertukar sapa dengan seorang penjaga lobi yang memberikan senyum ramah kepada siapa saja—Derana bergegas masuk dengan langkah cepat, ia ingin mengusir rasa lelah setelah seharian bekerja di kantor. Ponsel digenggamannya tiba-tiba berdering. Terlihat nama Arash dari laman layar depan, yang membuatnya langsung men
Derana ingin berteriak, namun suaranya tertahan di tenggorokan, hanya menghasilkan suara gemuruh yang nyaris tak terdengar. Panik mulai merayapi dirinya, jantungnya berdetak semakin cepat.Dengan sekuat tenaga, Derana berusaha melepaskan diri. Ia menggeliat dan meronta, menggunakan seluruh kekuatannya untuk melawan cengkeraman yang menahannya. Akhirnya, ia berhasil melepaskan diri dan berbalik badan dengan cepat. Tatapan matanya langsung berkaca-kaca saat melihat sosok di depannya.“Arash,” Satu tetes air matanya jatuh, mengalir perlahan di pipinya. Derana tertangkap basah. Namun, alih-alih merasa takut, perasaan kalut menguasai hatinya. Mereka saling menatap dalam kebisuan, membiarkan mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. Derana bisa melihat keterkejutan serta kekhawatiran melalui pantulan bening lelaki itu. Keheningan yang mencekam menyelimuti keduanya, seolah waktu ikut berhenti sejenak.Namun setelahnya, isak tangis sang wanita yang memecah su
Gelapnya malam perlahan-lahan tersingkir oleh cahaya keemasan yang menyebar dari timur. Matahari bergerak cepat di langit, dan sebelum menyadarinya, senja tiba dengan warna-warna indahnya.Hari itu berlalu dalam kabut kelelahan. Ketika akhirnya matahari mulai tenggelam, Derana merasa seperti pelaut yang akhirnya melihat daratan setelah berhari-hari terombang-ambing di lautan.Langkah kaki lelah itu menggema di koridor kantor, suasana sepi semakin terasa saat dirinya tiba di basement. Hanya beberapa mobil yang tersisa, berjejer seperti saksi bisu dari hiruk-pikuk hari yang telah berlalu. Keheningan malam menyelimuti tempat itu, membuat setiap suara kecil terdengar jelas dan menggema di ruang kosong.Degh.Langkahnya terhenti, seiring dengan detak jantungnya yang mengikuti. Spontan, derap langkahnya pun memantul di dinding beton—mengundang langkah kaki lain juga ikut terhenti, seolah pemiliknya mendengar dan merespons kehadirannya—dia sigap menoleh. Dua figur itu membuat Derana berdiri
Senja mulai merayap di langit kota ketika Derana akhirnya tiba di rumah setelah hari yang panjang di kantor. Kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap bersemangat untuk menyiapkan hidangan makan malam. Aroma bawang putih serta rempah-rempah mulai memenuhi dapur kecilnya, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya malam di luar. “Ting-Tong.”Bunyi bel pintu memecah fokusnya, Derana mengernyit. Rasa penasaran membuatnya bergegas mematikan kompor. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu dan membukanya. Di sana, berdiri sekretaris Arash dengan sebuah dokumen di tangannya. Sebuah senyum terpatri ketika tatapan keduanya bertemu. “Selamat malam, Nyonya,” ucap pria berjas rapi itu, membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat.“Selamat malam,” balas Derana, senyumnya tetap terjaga, “Ada yang bisa saya bantu? Arash, ada di dalam.”Sekretaris itu mengeluarkan sebuah map dari tasnya, “Saya hanya ingin menitipkan dokumen ini untuk Tuan Arash. Bisakah Anda menyampaika
Pada saat yang sama, di sebuah kediaman yang megah, pagi itu terasa berbeda bagi Haka pada Ilona. Mereka duduk di meja makan, bersiap untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. Namun, suasana pagi ini terasa aneh. Ilona tampak tidak peduli padanya, tidak menunjukkan perhatian seperti biasanya.Diam-diam lelaki itu terus mencuri pandang, memperhatikan Ilona yang sedang berkutat menikmati sarapannya.Ada yang berbeda pada wanita itu. Dia terlihat tersenyum-senyum tanpa sebab, seolah pikirannya sedang melayang ke tempat lain. Padahal Haka, duduk tepat di depannya, namun Ilona tampak tenggelam dalam dunianya sendiri.Haka mencoba bertanya, “Apa dasi baruku sudah dicuci?”“Yaa...” Tanpa menoleh mengalihkan perhatiannya, Ilona hanya menjawab singkat.Karena hal itu membuat pikiran yang tidak seharusnya bermunculan. Haka menyipit, “Ilona, kamu baik-baik saja?”“Yaa, tentu!” jawabnya dengan antusias, “Aku baik-baik saja!”Pada saat itu, Ilona sama sekali tidak mendongak. Wanita itu tetap foku
Derana duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan hati-hati. Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa SMA-nya. Saat itu, dirinya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Cinta yang begitu murni dan polos, membuat hatinya berdebar setiap kali melihat senyum kekasihnya.Ia ingat bagaimana mereka sering bertemu di perpustakaan, berpura-pura belajar padahal hanya ingin menghabiskan waktu bersama. Kekasihnya selalu tahu cara membuatnya tertawa, bahkan di hari-hari tersulit. Mereka berbagi mimpi dan harapan, merencanakan masa depan yang indah bersama.Namun, takdir berkata lain. Lelaki itu menghilang tanpa kabar, meninggalkan luka mendalam di hati Derana. Tanpa kepastian, dia pergi begitu saja, seolah hilang ditelan bumi. Meski sejak saat itu, Derana sudah pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah membiarkan dirinya jatuh cinta lagi, ia justru menikah dengan Haka karena pilihan orang tua.Tapi sekarang, melihat wajah Arash yang begitu dekat, perasaan lama itu kembali muncul. Ja
Derana menatap inisial itu dengan penuh kebingungan, “A?”Inisial itu bisa berarti banyak hal, tapi yang paling mengganggunya adalah kemungkinan bahwa itu adalah singkatan dari nama seseorang yang sangat ia kenal, pikirannya langsung melayang ke beberapa nama.“Arash?” Dia terkekeh, “Tidak mungkin.”Tapi bagaimana jika itu adalah pesan dari seseorang yang ingin memperingatkannya tentang Arash? Atau mungkin itu adalah nama seseorang yang terlibat dalam rencana besar? Derana mencoba mengabaikan pikiran itu, lalu menghela napas sembari melipat surat tersebut kembali, mungkin terlalu banyak risiko jika Arash mengetahui apa yang baru saja ditemukannya.“Derana.” Suara itu membuatnya tersentak. Derana berbalik dan refleks menyembunyikan benda itu di belakang tubuhnya. Senyum tipis terpatri di wajahnya, berusaha tenang menutupi kegugupannya.Sementara itu, Arash berdiri sembari menggaruk tengkuknya, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat ia merasa tidak nyaman. “Kamu sedang sibuk, ya?”
Dalam kegelapan malam, mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan berbicara. Wajah mereka semakin dekat, napas mereka hampir bersatu. Saat bibir mereka hampir bersentuhan, dering telepon mengacaukan segalanya. Arash tersentak, menarik diri dengan cepat, “Maaf.” Derana hanya mengangguk, meski wajahnya tertunduk menahan malu. Pipinya memanas, ingin sekali rasanya menghilang dari muka bumi secepat mungkin. Tampak tak jauh dari hadapannya, lelaki itu gegas merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel yang beberapa kali berdering. “Halo?” Suaranya terdengar sedikit serak, bahkan dia terdengar berdeham, mencerminkan kegugupan yang masih tersisa dari momen sebelumnya. Dia berusaha fokus pada percakapan di telepon, meski pikirannya masih terpecah antara panggilan itu dan Derana yang berdiri di depannya.Hanya saja lelaki itu tidak mengetahui, saat membelakangi Derana yang tengah meringis sembari memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan, mencoba mengusir rasa malu yang membara. Bibir
Sepasang kaki jangkung itu menghampiri pintu restoran mewah dengan tergesa-gesa, menerjang masuk menggunakan langkah panjangnya. Suasana restoran yang ramai dengan obrolan dan tawa riuh itu menyambut kedatangannya, nyaris menutupi suara langkah kakinya yang cepat. Ia menatap sekeliling dengan cermat, memperhatikan setiap sudut dan setiap meja, namun tidak menemukan yang dicari. Sembari mengatur napas, sesekali lelaki jangkung itu menatap jam di tangannya dengan cemas. Kemacetan lalu lintas yang mengular di sepanjang perjalanan, membuatnya terlambat hampir setengah jam yang lalu. Padahal, meski tanpa kemacetan pun, ia sudah terlambat dari jadwal semula. Perasaan cemas itu semakin mendera, setiap detik yang berlalu hanya membuatnya semakin gelisah.Sementara itu, di lantai tertinggi sebuah restoran pusat kota, suasana malam yang gemerlap terlihat jelas dari balik jendela kaca besar. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang, menciptakan pemandangan yang memukau. Di sana, seoran
Derana terkesiap, napasnya terhenti seketika saat cengkeraman Haka tiba-tiba mendarat di lehernya.“Jangan pernah meremehkan aku lagi, Derana!” Haka berkata dengan gigi terkatup.Matanya menyala dengan kebencian. Sementara Derana berusaha melepaskan diri dari cengkeraman yang semakin menekan lehernya, membuat napas Derana semakin tersendat.”“Aku akan memastikan kau dan Arash membayar untuk semua ini. Kalian berdua tidak tahu dengan siapa kalian berurusan,” Haka menegaskan kembali.“Kau akan menyesalnya!” Haka mengancam.“Kau benar-benar sudah ada di ambang kehancuran, Haka!” Derana berkata dengan terbata-bata.Derana tidak bisa berkutik, tubuhnya membeku dalam cengkeraman dingin yang semakin kuat. Rasa sakit yang tajam menjalar, seolah tulang lehernya hampir patah.Tatapan mata tajam itu, seakan ingin menelan seluruh keberanian yang tersisa dalam dirinya. Meski hatinya bergetar ketakutan, Derana membalas tatapan itu dengan kilatan yang tak kalah menusuk. Wanita itu menolak untuk men