Semoga tetap betah baca lanjutan cerita cinta Mahesa ya ... Kalian akan dibuat baper dan gemes sama pasangan ini sampai di akhir cerita! Belum lagi konfliknya yang udah mirip roller coaster!
.
.
Selamat membaca!
.
.
Mahesa menghela napas lega, saat lampu tanda operasi sudah padam. Seorang dokter mengabarkan operasi tulang bapak sukses. Mahesa langsung mengucap syukur berkali-kali dan mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah mengoperasi bapak.
Setelah dari ruang operasi, bapak kembali beristirahat di kamar rawat. Mahesa terus menatap wajah bapak yang masih terlelap karena obat bius. Hingga lamunan Mahesa buyar oleh dering telepon ponselnya, dari Raga.
"Iya, Ga. Sukses kok. Setelah bapak sadar, gue langsung ke kelab. Iya, hah? Siapa yang nyariin? Duh, sumpah, Ga, gue enggak ngapa-ngapain dia. Gue beneran cuma nganterin dia. Lo bisa tanya satpam malam yang liat gue buka tasnya. Oke, setelah bapak sadar, ya?"
Mahesa memandang nanar ponselnya. Raga baru saja memberitahu bahwa pelanggan wanita yang semalam mabuk berat mencari Mahesa. Sejauh Mahesa mengingat, dia sama sekali tidak melakukan hal aneh atau kurang ajar dengannya. Malah sebaliknya, wanita itu yang tanpa izin memeluk lengan Mahesa.
Mahesa kembali menoleh pada bapak yang mengerang. Orang tua itu tersenyum melihat putranya yang senantiasa menunggunya. Sungguh, bapak sangat bangga dan bersyukur memiliki Mahesa dalam hidupnya.
"Tadi temen kamu yang telepon?"
Mahesa mengangguk.
"Bapak udah mendingan kok. Kamu berangkat kerja aja. Enggak enak sama temen kamu yang udah bantuin nyari kerjaan."
Mahesa mengangguk, lalu setelah memastikan semua keperluan bapak ada dalam jangkauan, Mahesa bergegas pamit pergi. Sepanjang perjalanan, dalam kepala Mahesa, terus berputar banyak pertanyaan tentang pelanggan wanita yang semalam diantarnya pulang. Dalam hati, Mahesa juga takut jika dituntut karena hal-hal yang tidak dia lakukan, apalagi Mahesa sama sekali tidak memiliki bukti.
"Beneran, Ga, gue enggak ngapa-ngapain mbaknya."
Raga mengerutkan keningnya melihat kepanikan di wajah Mahesa.
"Iya, gue percaya. Orang kayak lo mah, mana berani macem-macem. Lurus kayak bambu pokoknya."
"Sialan, lo! Beneran ini, gue enggak bohong."
"Iya-iya, santai aja, Sa. Pak Rudi yang ditelepon tadi, trus katanya tuh mbak-mbak nyariin orang yang nganterin ke apartemen. Emang lo beneran nganterin dia sampai apartemennya?"
Mahesa mengangguk.
"Udah gue bilang, tinggalin aja di depan."
"Ya, gue kasihan sama dia. Subuh gitu kan dingin, Ga."
"Lha, kalau kayak gini? Apa lo enggak malahan kepikiran?" Raga menata satu per satu gelas ke mini bar. "Salah satu aturan di sini biar enggak kena masalah, jangan pernah ikut pelanggan pulang."
Mahesa menghela napas, tahu akan terkena sial seperti ini, lebih baik kemarin dia menuruti ucapan Raga.
"Udah, sana siap-siap. Bentar lagi mau buka. Ntar gue temenin lo kalau tuh mbak-mbak dateng."
"Thank's, Ga," ucap Mahesa, lalu menuju dapur untuk membantu keperluan pembukaan kelab.
***
Sudah hampir tengah malam, tapi Mahesa belum mendapatkan panggilan ke ruangan Pak Rudi. Sepertinya wanita yang kemarin Mahesa tolong mengurungkan niatnya. Mahesa sedikit lega mendapati pikirannya itu, tapi tidak di detik berikutnya. Saat ekor matanya menangkap sinyal dari Raga untuk mengikutinya.
"Halo, lo yang namanya Mahesa? Yang nganterin gue pulang, kan?"
Mahesa mengangguk mendengar pertanyaan Indira.
"Kalau begitu, kami keluar dulu, Mbak," pamit Pak Rudi seraya melangkah keluar meninggalkan ruangannya. "Raga, ayo! Kamu juga keluar dari sini."
"Tapi, Pak—"
Raga mengatupkan kembali bibirnya dan melirik sekilas Mahesa yang menatapnya nanar, tapi tidak punya pilihan lain selain mengangguk, mengiyakan permintaan Pak Rudi.
"Gue Indira."
"Maaf, sebelumnya, Mbak. Saya bukannya bermaksud lancang, kurang ajar, dengan mengantar Mbak Indira pulang. Saya cuma—"
"Gue tahu. Gue ke sini bukan untuk urusan itu." Indira bangkit dari duduknya, mengambil sebuah paper bag di sofa dan memberikannya pada Mahesa. "Udah di-laundry. Gue ke sini mau kembaliin jaket."
Setitik rasa lega hadir di dada Mahesa mendengar kalimat Indira, tapi kemudian rasa lega itu kembali direnggut darinya, bersamaan dengan Indira menarik kembali paper bag dan mengatakan bahwa dirinya perlu bantuan Mahesa.
"Kalau saya bisa, pasti saya bantu, Mbak."
"Lo pasti bisa, kok."
"Katakan, Mbak."
"Nikah sama gue."
"Ya?"
"Nikah sama gue."
"Maksudnya, Mbak?"
"Lo tahu siapa gue, kan?"
Mahesa mengangguk. "Mbak Indira?"
Indira menggeram gemas mendengar jawaban polos Mahesa. "Maksud gue, kerjaan gue. Lo tahu, kan?"
Mahesa menggeleng, membuat Indira melotot tak percaya. Indira mengambil ponsel di tasnya, lalu mengetik namanya sendiri di mesin pencari, kemudian menyodorkan ponselnya untuk Mahesa.
Mahesa membaca dengan saksama artikel di ponsel Indira. Ah, Indira ternyata seorang selebritis, lebih tepatnya model, yang sesekali menjadi kameo di film atau FTV.
"Di sini katanya Mbak Indira mau nikah. Terus kenapa malahan sekarang ngajak saya nikah? Memangnya calon suaminya Mbak, kemana?"
Indira mengambil kembali ponselnya. Lalu duduk dengan menyilangkan kaki di sofa.
"Tunangan gue kabur."
"Hah? Terus kenapa saya yang—Mbak kan artis, pasti media tahu—"
"Media enggak ada yang tahu siapa tunangan gue. Mereka tahunya gue mau nikah doang."
"Kalau gitu, batalin saja, Mbak. Masih ada waktu, kan?"
"Kalau segampang itu, gue juga mau. Masalahnya, mau ditarok mana muka gue? Belum lagi bokap gue bisa kumat jantungnya."
"Tapi kenapa saya, Mbak? Maksud saya, Mbak cantik, artis, pasti banyak yang mau gantiin posisi jadi tunangan Mbak, kan?"
"Justru saking banyaknya itu, gue jadi enggak percaya mereka beneran cinta sama gue atau enggak. Laki-laki yang dulunya bilang cinta aja, bisa ninggalin gue gitu aja, kok."
"Maaf, Mbak. Tapi saya enggak berani."
Mahesa tersenyum kecil, lalu berbalik hendak melangkah meninggalkan Indira saat wanita itu menawarkan sesuatu yang sangat dibutuhkan Mahesa saat ini.
"Berapa? Lo minta berapa buat jasa lo ini? Gue bakal bayar lo dengan harga tinggi."
Mahesa menoleh. Dia tidak munafik, Mahesa sangat membutuhkan uang untuk kesembuhan bapak saat ini, meskipun kemarin dia sudah mendapatkan gaji dimuka untuk biaya operasi bapak. Namun, jika dia menerima tawaran Indira, bukankah itu berarti dia harus membohongi banyak orang, termasuk bapak? Lalu, apa Mahesa tega menggunakan uang yang ditawarkan Indira untuk membiayai pengobatan bapak nanti? Batin Mahesa berperang.
"Gue denger, lo minta gaji dimuka buat bayar pengobatan bapak lo?"
Mahesa mengangguk.
"Gue bisa bantu biaya pengobatan itu. Sampai sembuh, bahkan bapak lo bakalan dapet fasilitas kesehatan yang lebih baik. Gimana?"
"Tapi—"
"Tentu saja selain itu, lo juga dapet duit bulanan dari gue. Lo masih boleh kerja di sini buat ngelunasi gaji dimuka lo juga. Atau lo bisa kerja di kantor papa gue?"
"Kalau misal ... ini misal ya, Mbak."
Indira mengangguk, tapi dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi dan senyum kemenangan yang sempat mampir di wajahnya. Indira mulai berhasil membujuk laki-laki di hadapannya ini.
"Katakanlah saya setuju. Lalu bagaimana dengan orang tua Mbak Indira. Meski media tidak tahu siapa tunangan Mbak, saya yakin orang tua Mbak adalah sebaliknya."
"Lo tenang aja, tanggal nikahan masih dua minggu lagi. Selama itu, lo bisa kenalan sama keluarga gue, begitu juga sebaliknya. Kita sama-sama menyakinkan orang tua kita, kalau kita emang udah kenal lama."
Mahesa terdiam mendengarkan tiap kata yang keluar dari bibir merah Indira. Melihat keterdiaman Mahesa, Indira semakin gemas. Sedikt takut jika bujukannya tidak berhasil. Indira sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa agar tetap menikah.
Pilihan membatalkan pernikahannya yang masih dua minggu lagi, memang sempat dia pikirkan. Namun, mengingat papa dan mama yang begitu menginginkan Indira segera berumah tangga—karena mantan tunangannya adalah tipe husband material banget—membuat Indira menyetujuinya.
Bermain kucing-kucingan dengan media selama lima tahun berpacaran dengan Adrian bukanlah hal yang menyenangkan. Papa, mama, dan Olive hanya bisa mengelus dada, melihat gaya berpacaran Indira yang lebih sering menghabiskan waktu di dalam apartemen bersama mantan tunangannya daripada pergi jalan-jalan. Bahkan Olive sampai tidak habis pikir, bagaimana Indira bisa tahan?
Dan saat rasa kasihan mereka memuncak, akhirnya mama menginginkan pernikahan Indira terjadi. Bagi Indira, dia tidak masalah untuk nanti-nanti saja menikah, toh, dia sedang meniti karirnya. Tapi tidak dengan mantan tunangannya yang langsung menyetujui usul mama. Namun, lihat kenyataannya, lelaki pengecut itu akhirnya pergi begitu saja meninggalkan Indira yang kebingungan.
Mahesa dan jaketnya yang tiba-tiba muncul di hadapannya, menjadi harapan Indira untuk tidak mengecewakan papa dan mama. Setidaknya untuk beberapa tahun pernikahan yang akan Indira dan Mahesa setujui.
***
"Lo masih waras, kan?"
Olive menyambar segelas air di hadapannya, menatap tak percaya pada Indira yang malah terlihat tak acuh.
"Lo pikir nikah itu gampang? Bohongan lagi!"
"Ya gimana lagi? Gampanglah, ntar gue tinggal kenalin Mahesa ke papa sama mama. Terus ntar Mahesa juga ngenalin gue ke bapaknya."
"Wait! Mahesa? Mahesa yang mana ini?"
Indira mencebik. "Mahesa yang kemarin lo lihat pagi-pagi di sini."
Olive menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangannya, menggeleng tak percaya, lalu memijat pangkal hidungnya. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Indira yang ingin menikahi pemuda yang baru saja dikenalnya. Bahkan pemuda itu kerja di kelab malam! Olive tidak bisa membayangkan berapa banyak konferensi pers yang harus dia jadwalkan untuk Indira, jika wanita yang kini asyik bermain ponselnya, benar-benar menjalankan rencananya.
"Gue tanya sama lo. Siapa nama lengkapnya Mahesa?"
Indira menatap Olive, lalu menggeleng.
"Rumahnya? Kerjanya selain di kelab? Keluarganya?"
Indira lagi-lagi menggeleng, sedangkan Olive langsung memijat pelipisnya.
"Bagus! Lo enggak tahu apa-apa tentang dia, tapi mau nikahin dia?"
"Siapa bilang gue enggak tahu apa-apa tentang dia?"
Kali ini Olive yang menatap penasaran pada Indira.
"Ini." Indira mengangkat ponselnya ke depan wajah Olive. "Gue punya nomor teleponnya kok."
"Dir—"
"Udah, lo tenang aja. Lo cukup urusin tentang gosip di media, kalau-kalau nama mantan sialan itu tiba-tiba nongol di artikel bareng gue."
Olive menghela napas berat.
"Ayolah, Live. Kita udah berapa lama kenal sih? Bukannya lo manajer artis paling kece?"
"Dir, syuting FTV lo yang judulnya Kepentok Cinta Kang Cilok, udah kelar, kan? Ini kehidupan nyata, nikah kontrak, nikah bohongan, atau apapun itu namanya yang kemudian berakhir happy end, happily ever after, itu cuma ada di teve."
Indira tergelak mendengar ucapan Olive. Sahabat sekaligus manajernya ini memang sangat sayang pada Indira. Bahkan Olive yang seumuran dengannya ini, menganggap Indira sebagai kakak perempuan yang tidak pernah Olive punya, begitu juga dengan Indira—karena mereka sama-sama anak tunggal. Indira tidak akan protes dengan kecemasan yang Olive tunjukkan saat ini, tidak ada yang salah.
"Memangnya apa sih yang bisa terjadi dalam sebuah pernikahan bohongan yang cuma bakal gue jalanin bareng Mahesa selama tiga tahun?"
"Hah?! Terus? Ntar setelah tiga tahun, kalian cerai?"
Indira mengangguk. "Mahesa setuju kok. Dan dia bilang, dia yang bakalan ambil peran tukang selingkuh."
"Sinting kalian berdua!"
***
Mahesa duduk termenung menatap kosong pada helm baru di tangannya. Helm yang dibelinya khusus untuk Indira, karena Mahesa memaksa naik motor menuju rumah Indira untuk bertemu dengan orang tuanya. Bisa saja Mahesa mengikuti saran Indira, menyewa sebuah mobil agar terlihat sekelas dengan Indira. Namun, Mahesa tidak mau. Jika Mahesa tidak datang melamar sebagai dirinya sendiri, maka ke depannya akan semakin sulit dan mahal bagi Mahesa untuk menutupi kebohongannya sebagai suami Indira. Setidaknya, jika orang tua Indira tahu bahwa calon suami anaknya ini hanya bisa membonceng putrinya yang seorang selebritis dengan motor warisan bapak, Mahesa tidak akan berkecil hati jika tiba-tiba suatu waktu papa dan mama Indira mendapati putrinya sedang merayakan ulang tahun pernikahan di warung lamongan pinggir jalan.
"Hei, kenapa bengong?"
Mahesa mendongak dan mendapati Indira sudah siap berangkat, kedua tangannya menengadah meminta helm.
"Maaf ya, Mbak. Saya punyanya cuma motor."
"Aduh, lo jangan manggil gue pake mbak dong," protes Indira, sambil memasang pengait helm warna merah muda dengan gambar kuda poni di bagian belakangnya. "Awas kalau nanti pas di rumah malah keceplosan."
"Maaf, Mbak, eh Indira."
Indira mengangguk kecil, lalu segera naik ke motor Mahesa, begitu dipersilakan oleh si empunya. Mahesa menarik gas pelan, bahkan lajunya tidak lebih dari 30 km/jam. Mahesa takut, boneka porselen yang sekarang sedang memeluk pinggangnya itu ketakutan.
"Motor lo enggak bisa cepetan dikit?" teriak Indira tepat di samping telinga kiri Mahesa yang tertutup helm.
"Maaf, Indira. Motor ini kemarin baru selesai diservis, karena abis kecelakaan sama bapak. Masih dalam tahap penyembuhan."
"Tahap penyembuhan? Emang lo pikir ini motor abis operasi?" sungut Indira.
Mahesa melirik sekilas wajah kesal Indira dari pantulan spion, tidak pernah sekalipun dia berani bermimpi akan membonceng seorang selebritis—meskipun awalnya dia tidak tahu—menuju rumahnya, untuk melamarnya pula!
"Apa lihat-lihat? Ntar naksir, lho!"
Mahesa buru-buru mengalihkan fokusnya pada jalanan di hadapannya.
"Inget ya, walaupun enggak ada hitam di atas putih, kalau lo berani macem-macem, gue tabok lo!"
Setengah jam kemudian, motor Mahesa sudah berhenti di depan pagar sebuah rumah yang tampak asri. Pekarangannya luas, di sana tumbuh banyak pohon—kebanyakan buah-buahan—lalu di sisi kirinya juga ada kolam ikan dengan air terjun mini yang suara gemericiknya menambah asri suasana.
Mahesa melangkah mengikut Indira yang mempersilakannya menunggu di ruang tamu. Mahesa memperhatikan keadaan rumah Indira. Sangat luas dengan perabotan yang Mahesa yakini harganya lebih mahal daripada rumah bapak beserta isinya, ditambah dengan kebun teh bapak yang tidak terlalu luas.
Cerita ini bisa dibaca juga di aplikasi karyakarsa dengan harga 20K! Murah banget, kan?! Kalau kalian lebih nyaman baca di goodnovel juga enggak apa-apa. Silakan lanjutkan membacanya! Kalian akan dibuat baper dan gemas sama pasangan ini!
Ragu kemudian menyergap batinnya bersamaan dengan rasa bersalah yang teramat saat mengingat bapak. Kemarin Mahesa sudah memberitahu bapak tentang Indira dan niatnya untuk melamar anak gadis orang. Reaksi bapak? Tentu saja kaget, ternyata bapak lebih gaul daripada Mahesa. Bapak tahu siapa Indira, tentu saja karena selama di rumah sakit, bapak sering menonton teve. Dari sanalah bapak tahu tentang Indira.
"Bapak ngikut kamu aja. Daripada zina, kalau memang kalian sudah kenal lama dan pengen banget nikah, bapak merestuinya. Enggak nyangka, bapak bakal punya mantu artis."
Itu yang diucapkan bapak sebagai penutupnya, setelah selama hampir dua jam menginterogasi Mahesa, bahkan curiga bahwa dirinya sudah lebih dulu menghamili Indira. Sedih hati Mahesa mengingat semua yang diucapkannya pada bapak kemarin adalah kebohongan.
Mahesa segera mengusir segala pikiran buruknya yang membuatnya kehilangan fokus, saat Indira sudah kembali ke ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Seorang pria yang umurnya sedikit lebih tua dari bapak, berkumis, dan uban yang hampir memenuhi kepalanya tersenyum pada Mahesa.
"Apa kabar, Mahesa?"
"Baik, Om."
Mahesa membalas senyuman papa dan mama Indira yang sudah duduk di hadapannya. Mereka terlihat ramah dan tidak heran melihat kedatangan Mahesa. Ini berarti, Indira sudah lebih dulu menceritakan tentang maksud kedatangannya kemari.
"Mahesa lagi sibuk apa sekarang?" tanya Mama Indira, sambil membantu seorang pembantu untuk meletakkan gelas di depan papa.
"Kerja, Tante. Sebenarnya kuliah sambil kerja, hanya saja saya cuti untuk semester ini."
"Kamu masih kuliah? Belum lulus?"
Mahesa menggeleng. "Sedang skripsi, Tante."
Sedetik kemudian setelah Mahesa selesai menjawab, dia bisa melihat sekejap tatapan tidak percaya dari mama. Lalu menoleh pada putrinya yang tersenyum.
"Mahesa ini lagi sibuk ngembangin start-up company, Ma, bareng temen-temennya. Makanya kuliahnya keteteran."
Mahesa mendesah pelan. Indira melanggar satu perjanjian tidak tertulis mereka. Tidak ada kebohongan pada orang tua mereka, kecuali tentang pernikahan mereka.
"Di keluarga kami, menyelesaikan pendidikan itu penting."
Mahesa mengangguk. "Tahun ini keluarga saya mengalami banyak musibah, yang mengharuskan saya untuk cuti sementara, Tante. Tapi tahun depan, kalau tidak ada halangan, saya akan menyelesaikannya."
Mama Indira mengangguk mengerti, lalu mempersilakan Mahesa untuk menyantap kudapan dan teh hangat yang sudah tersaji.
Perkenalan Mahesa dan kedua orang tua Indira berjalan dengan baik. Meski di awal mama sempat ragu, tapi setelah melihat papa begitu senang mendapat lawan main catur yang bisa mengimbanginya, mama berubah pikiran.
"Dira, Mama tahu bukan Mahesa yang seharusnya mendampingi kamu. Ada apa ini?" tanya mama saat beliau bersama Indira menyiapkan makan siang dibantu oleh Bik Harsi.
Indira menghela napas, wajahnya menunduk menatap wortel yang sedang dikupasnya. "Enggak ada. Aku sama dia udah selesai, Ma. Lalu Mahesa datang menawarkan hatinya. Mama enggak yakin sama Mahesa?"
Mama menggeleng. "Mahesa anak yang baik. Meski belum selesai kuliahnya, tapi dia berhasil menyakinkan Mama, kalau dia enggak patah semangat di tengah musibahnya. Dia pemuda yang baik."
Indira tersenyum.
"Bodohnya dia, mau sama kamu yang lebih tua," kekeh Mama. "Tuh, lihat aja, ngupas wortel yang tadinya gemuk malahan tinggal selidi."
Indira cemberut mendengar cibiran mamanya dan Bik Harsi yang tergelak.
Selepas makan siang, Mahesa kembali melaju mengantarkan Indira kembali ke apartemennya.
"Kamu kenapa bohong sama mama?" tanya Mahesa saat mereka sampai di lobi apartemen.
"Bohong gimana?" bingung Indira sambil masih berusaha melepaskan kaitan helmnya.
"Bilang kalau aku lagi bangun start-up company sama temen-temen. Kamu tahu sendiri kalau aku—"
"Ya gue terpaksa. Mama sama papa enggak akan setuju kita nikah kalau tahu lo cuti kuliah, kerja di kelab lagi. Ih! Susah banget sih ngelepasinnya!"
Mahesa menghela napas. Dalam hati menyetujui ucapan Indira. Di dunia ini, orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Terlebih lagi, Indira yang anak perempuan tunggal dan sudah terbiasa hidup enak. Mana mungkin orang tuanya akan menyerahkan Indira begitu saja pada Mahesa kalau tahu dirinya bekerja di kelab.
"Sini," ujar Mahesa sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Indira melepas helmnya. Lalu sempat merapikan sedikit rambut Indira yang berantakan dan menyerahkan helmnya pada Indira. "Bawa aja."
"Ya udah, ati-ati di jalan."
Mahesa mengangguk, lalu mulai menghidupkan kembali mesin motornya.
"Besok jam berapa kamu jemput?"
"Kayak tadi, dan tolong besok kalau ketemu bapak jangan bohong pada beliau."
Indira tergelak keras sekali mendengar permintaan Mahesa. "Lo ini lucu banget! Kita pura-pura pacaran, terus nikah, itu aja udah bohongin bapak lo."
"Setidaknya jangan nambah kebohongan. Aku enggak mau saat ini berakhir nanti, bapak kecewa terlalu dalam sama aku."
"Enggak. Bapak lo enggak akan kecewa, beliau pasti ngerti, lo ngelakuin ini semua juga demi kesehatan beliau, kan?"
"Ya udah, aku balik dulu."
Mahesa mengangguk sebelum akhirnya menarik tuas gas di tangan kanannya dan mulai melaju menjauh meninggalkan Indira yang tersenyum lega.
***
Bersambung ...
Cerita ini sudah dikunci. Semoga kalian tetap semangat membaca sampai selesai ya! Yuk! Selamat membaca! . . Selepas kunjungan dokter, Mahesa hendak pamit untuk menjemput Indira. Siang ini, seperti yang sudah Indira dan Mahesa sepakati, mereka akan bertemu dengan bapak. Langkah Mahesa menuju lift apartemen Indira berhenti di lobi, saat dia mendengar namanya dipanggil. “Mau jemput Indira?” tanya Papa. “Iya, Om. Hari ini kami mau jenguk bapak.” “Bisa kita bicara sebentar?” Kening Mahesa mengerut mendengar ajakan Papa. Meski bingung dan sedikit takut, Mahesa mengangguk dan mengikuti langkah Papa menuju kafe yang ada di sebelah gedung apartemen. Entah apa yang ingin dibicarakan Papa, tapi semenjak mereka duduk—15 menit yang lalu—Papa belum mengucapkan sepatah katapun. Keheningan ini, jelas membuat Mahesa jengah. Terlebih ponselnya yang terus bergeta
Aku udah kirim uangnya.Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Mahesa—dari Indira. Tanpa pikir panjang, Mahesa langsung menekan tombol panggilan untuk terhubung dengan Indira.“Ehm, gimana kabar kamu? Syukurlah. Maaf, kemarin aku langsung pulang, karena harus nungguin bapak. Iya, nanti aku cek. Apa nanti malam aku dan bapak bisa ke rumah? Aku juga inginnya besok atau lusa, biarin bapak istirahat dulu. Tapi bapak maksa. Baiklah, nanti aku bilang ke bapak, mungkin sekitar jam tujuh kami sampai. Indira, terima kasih.”Sambungan ponsel Mahesa terputus setelah ucapan terima kasihnya tanpa berbalas. Mungkin Indira sedang sibuk. Berbekal uang transferan dari Indira, Mahesa bergegas menuju meja kasir rumah sakit untuk menyelesaikan masalah administrasi.Setelah selesai, Mahesa kembali ke kamar rawat bapak. Di sana, bapak sudah siap untuk pulang. Sebelah pundaknya menenteng tas pakaian bapak, sedangan kedua tangannya mendo
Selamat membaca! . . Olive melempar remot teve—yang sejak lima menit lalu digenggamnya—ke sofa, membuat Indira dan Mahesa menjengit kaget. Sembari berjalan mondar-mandir dan mengurut pelipisnya. “Duduk, Live.” Olive mengangkat telunjuknya, mengisyaratkan agar Indira diam untuk beberapa saat. “Maaf, Mbak.” Telunjuk Olive bergerak untuk Mahesa. “Lo.” Olive menunjuk Indira. “Terpaksa harus ngadain konferensi pers atas semua kegilaan yang dilakukan cowok ini,” ujarnya sambil beralih menunjuk Mahesa. “Enggak usah dipeduliin, biar aja.” “Kalau lo masih mau berkarir di dunia penuh nyinyiran ini, lebih baik lo buka semuanya tentang pernikahan lo. Kecuali soal Adrian.” Olive melangkah mendekati Mahesa, lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi pandangan mereka. “Dan lo, berhenti kerja di kelab malam.” “Mana bisa, Mbak? Saya masih punya huta
Mahesa baru saja melingkari angka di kalender kamarnya. Besok, statusnya tidak lagi lajang, melainkan beristrikan seorang Indira. Mahesa tidak pernah tahu, bahwa hidupnya bisa selucu ini. Menolong seorang wanita mabuk yang kemudian melamarnya.Namun bohong rasanya, jika Mahesa tidak merasa bersalah pada bapak yang sedang mencoba pakaiannya di ruang tamu. Wajah tua itu sedari tadi tidak berhenti tersenyum di depan cermin. Juga memuji dirinya sendiri yang terlihat lebih muda dengan pakaian yang dibelikan Indira. Bisa apa Mahesa, selain berusaha membuat bapak tersenyum—meskipun hanya dalam waktu tiga tahu. Selepas itu—ah, sudahlah! Itu dipikirkan nanti saja.“Sa, telepon kamu tuh bunyi terus dari tadi,” kabar Bapak dari luar.Mahesa segera keluar kamar dan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja tamu. Panggilan dari Olive—tumben.“Ya, Mbak?”Bapak yang tinggal mengancingkan kancing terakhir di bagian bawah
Mahesa terburu membuka akses pintu masuk apartemen Indira, dan kegelapan menyambutnya, ketika dirinya sudah berhasil masuk. Buru-buru dia menghidupkan lampu, dan tidak ada tanda-tanda Indira sudah kembali dari toko perlengkapan. Mahesa kembali memeriksa ponsel, tidak ada kabar dari Indira. Sedari tadi, Mahesa juga sudah berulang kali mencoba menghubungi Indira, tapi ponselnya tidak aktif. Mahesa juga urung untuk menelepon mama dan papa, takut membuat mereka khawatir. Apalagi, baru kemarin mereka resmi menjadi suami-istri.“Kamu di mana, Indira?” gumam Mahesa, lalu tiba-tiba saja ponselnya berdering. “Ya, Mbak? Belum. Dia juga belum hubungin Mbak Olive? Mungkin Mbak Olive ada bayangan, ke mana kira-kira Indira pergi, misalkan saat dia benar-benar butuh sendiri?”Tak ada informasi berarti yang didapat Mahesa dari Olive. Olive juga sama butanya dengan Mahesa atas keberadaan Indira. Mahesa melangkah menuju kamar Indira, diperiksanya kamar istrinya&m
“Lo gimana, sih? Lo suaminya, masak enggak tahu kalau Indira itu alergi sama kacang?! Adonan es krim ini tuh ada kacangnya! Untung aja gue lihat! Lo tahu, gimana Indira kalau—”“Lia, udah. Kan, guenya enggak apa-apa.”“Enggak bisa gitu, Dir! Lo juga, kenapa enggak ngasih tahu suami lo, kalau lo punya alergi?!” marah Lia sambil menunjuk wajah Indira dan Mahesa bergantian.“Iya-iya. Gue yang salah. Udah, dong. Malu dilihatin orang,” desis Indira berusaha menenangkan amarah sepupunya. “Udah, sini duduk. Makan, biar enggak rese lo.”“Gue ini ngasih tahu yang bener ke suami lo ya, Dir. Gue—”“Maaf.” Mahesa mengambil gelas es krim di tangan Natalia. “Lain kali aku akan lebih berhati-hati saat memesankan makanan untuk Indira. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya.”“Udah-udah. Yuk, sini duduk. Gue traktir lo makan,” ujar Indira se
Jarum jam sudah hampir menunjuk pukul sepuluh malam, dan belum ada tanda-tanda Mahesa pulang. Bahkan Indira sudah menghabiskan dua porsi panas spesial ayam KFC terhitung mulai dari kepulangan Olive tadi sore. Berulang kali Indira mencoba menghubungi Mahesa, tapi hanya voice mail yang menjawab. Sial! Mahesa kembali berulah!Baru saja Indira hendak beranjak ke dapur untuk membuang bungkus sisa makanannya, saat dia mendengar suara panel pintu apartemen dibuka. Mahesa tersenyum menyapanya, setelah mengucapkan salam.“Ke mana aja lo?”“Aku ke rumah, ambil buku-buku aku buat bahan skripsi. Kemarin aku lupa, jadi hari ini aku balik lagi.”Indira melihat dua tas berukuran sedang yang terlihat sangat berat di tangan Mahesa. Lalu membiarkan Mahesa menuju kamarnya untuk menyimpan bukunya. Tak berapa lama kemudian, Mahesa muncul di sebelah Indira dan membantunya mencuci piring. Indira membiarkan hal itu, lalu dirinya sendiri mengambil
Indira menatap tampilannya di depan cermin. Dirinya memastikan, bahwa make-up-nya sudah pantas untuk ke acara pertemuan Mahesa dan teman-temannya. Dia tidak mau terlihat seperti tante-tante genit dan berondongnya—meskipun usia mereka hanya terpaut lima tahun. Olive sengaja mengosongkan jadwal Indira akhir pekan ini, agar perempuan itu bisa mengawasi tingkah suaminya.Indira beranjak keluar kamar dan tertegun melihat Mahesa yang malah sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu sepertinya semalam tidak tidur sama sekali.“Lo enggak tidur semalem?”“Hah?”Benar, kan? Mahesa seperti orang linglung dan hanya melongo menatap Indira yang sudah rapi.“Kamu mau ke mana?”“Siang ini, lo ada acara ketemuan sama temen-temen lo, kan?”“Kamu jadinya ikut?”Indira mengangguk. “Gih, buruan siap-siap sana.”Mahesa mengangguk, lalu melangkah menuju kamar
DELETE SCENE TERSEDIA GRATIS DI KARYAKARSA6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSASILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI...Olive mengigiti kuku jarinya sejak lima menit yang lalu. Dirinya panik, khawatir, dan tidak tahu harus melakukan apa selain terus berusaha menghubungi Mahesa. Namun, entah mengapa sosok Mahesa yang biasanya langsung mengangkat telepon pada nada sambung ketiga, kini sulit sekali dihubungi.Olive bergantian menatap layar ponselnya dan Indira yang sedang memastikan bahwa mama sudah membawa paspornya. Ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhir Olive membantu Mahesa untuk menyakinkan Indira, bahwa mereka layak mendapatkan kesempatan kedua, setelah hari berganti minggu dan Mahesa selalu gagal.“Ga! Lo di mana? Udah ketemu Mahesa? Buruan! Dira udah mau last call! Ya carilah! Tanya suster
DELETE SCENE TERSEDIA GRATIS DI KARYAKARSA6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSASILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ...Mama perlahan menutup pintu, lalu mengusap air matanya. Berusaha keras tersenyum saat menatap Mahesa yang sedari tadi menunggu di luar bersama bapak.“Maaf, Mahesa. Dira enggak mau ketemu siapapun. Termasuk kamu.”“Tapi Ma—”Mama kembali menyeka pipinya. “Tolong mengerti, Sa.”“Apa kata dokter?”“Dira syok dan harus banyak istirahat.”Mahesa mengangguk mengerti.“Ya udah, Mama masuk dulu.”“Ma,” panggil Mahesa, menghentikan langkah Mama yang hendak menutup pintu. “Tolong sampaikan pada Indira … Saya cinta Indira.”Mendengar kalimat Mahesa, m
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. 6 Bab ekstra dan Spin Off tersedia di KARYAKARSA...Pagi itu, mama menemukan sesuatu yang berbeda pada diri putri semata wayangnya. Jika biasanya di pagi hari, mama masih mendapati Indira mengurung diri di dalam kamarnya, tidak untuk hari ini. Sedari pagi, Indira sudah sibuk bersama Bik Harsi di dapur membuat bubur.“Masih enggak ada rasanya ya, Bik? Kurang gurih?”“Gampang, Non. Tambahin santan aja. Bentar, Bibik beli di warung depan ya.”“Kamu masak buat siapa, Dir? Tumben banget?”“Mama?!”Indira buru-buru mematikan kompornya, lalu tersenyum pada mama.“Kenapa kaget gitu? Kamu masa
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. ..Pekarangan rumah itu masih tampak asri, bahkan sepertinya koleksi pohon buah dan bunga mama bertambah. Mama masih di sana, masih menjalankan rutinitas berkebunnya. Kali ini sedikit berbeda. Tidak ada papa yang menemaninya menyiram tanaman atau memilih membaca koran pagi di kursi santai teras.Mahesa mendorong pagar, lalu mengucapkan salam, dan—seperti dugaan Mahesa—mama tak mengacuhkannya seperti biasanya. Tidak apa, setidaknya mama tidak lagi melempar sendal ke wajahnya seperti saat di rumah sakit.“Mau apa kamu? Indira enggak ada di sini.”“Saya ke sini mau ketemu sama Mama.”Mama masih tak acuh, sibuk mematikan keran air, lalu duduk untuk mulai men
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. ..“Ah gila! Capek banget gue ngurusin si Mak Lampir!” keluh Olive yang tiba-tiba masuk ke kamar Indira dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Ngapain lo, Dir?”“Baca laporan.”Olive mengubah posisinya menjadi miring menghadap Indira dengan sebelah tangannya sebagai tumpuan. Diperhatikannya sosok sahabatnya ini yang benar-benar berubah. Indira yang ada di hadapannya ini, bukan lagi Indira yang dulu selalu berbagi gosip dengannya, tertawa bersama, bahkan takut padanya. Indira yang sekarang, jauh lebih pendiam dan hanya tersenyum—itu pun dipaksakan—pada orang-orang tertentu saja.“Laporan mulu! Udah ada Raga sama Santi, kan?”“
6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI APLIKASI DAN WEBSITE KARYAKARSA. SILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ..“Kamu enggak nerima lamaran Adrian, kan?”“Apa ucapanku kemarin kurang jelas? Aku enggak mau ketemu apalagi ngomong sama kamu!” tegas Indira, lalu membereskan barang-barangnya, dan hendak beranjak. Namun, Mahesa sudah lebih dulu menghalangi langkahnya. “Kamu mau bikin aku jadi bahan gosip lagi? Kamu mau aku jadi bahan olokan orang-orang yang ada di sini? Lepasin, Sa!” desis Indira.“Indira, aku enggak bermaksud seperti itu. Kita bicara sekarang, ya?”Tanpa menunggu persetujuan Indira, Mahesa langsung menggandeng tangan Indira. Namun, pekikan kesakitan langsung membuat Mahesa berhenti dan menoleh. Dilihatnya Indira menunduk, menyentuh kakinya yang masih terbalut perban. Mahesa berjongkok untuk melihat kondisinya.“Masih sak
6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI APLIKASI DAN WEBSITE KARYAKARSA. SILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ..“Gimana, Ma?”Mama menoleh dan mendapati Adrian sudah berdiri di sebelahnya. Wanita itu tersenyum, lalu mengangguk ke arah Indira, memberi semangat pada putrinya yang sedang ikut menjalani terapi.“Udah kemajuan banget dua minggu ikut terapi. Kemarin dia udah enggak pake kruk.”“Syukurlah.”“Mama belum sempet ngucapin makasih sama kamu. Makasih ya, Ian.”“Buat apa, Ma?”“Kamu selalu ada buat Dira. Kapan pun dan di mana pun. Beruntung Dira punya kamu, Ian.”“Aku yang beruntung punya Dira, Ma.”Mama kembali melemparkan tatapannya pada putri semata wayangnya yang tengah tertawa bersama terapisnya. “Ian, kamu enggak berencana ngelamar Dira lagi? Apa orang tua kamu
6 bab ekstra dan Spin Off hanya tersedia di aplikasi / web KaryaKarsa. Silakan cari akun: Komorebi..Mahesa masih berdiri di sana. Menatap dua petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai dan membersihkan kamar mandi. Kamar itu sudah kosong, dan itu artinya Mahesa kembali kehilangan jejak Indira.Mahesa pikir, dia sudah cukup kuat menyiapkan hatinya saat bertemu kembali dengan Indira. Menyusun setiap kata maaf dan penjelasan yang akan diucapkannya. Namun, saat wanitanya itu menjerit histeris dan mengusirnya, semua hancur berantakan.Mahesa kira dirinya masih—meskipun sedikit—dicintai oleh Indira dan angin kebahagiaan yang diberikan Raga akan bertahan sedikit lebih lama, tapi nyatanya semua itu kembali direnggut paksa, karena kalimat Raga kala itu, tidak berakhir di sana.“Indira dan Adrian, hubungan mereka bukan seperti itu. Mereka bukan suami-istri. Mereka enggak p
Extra Part dan Spin Off hanya tersedia di apps / web KARYAKARSASilakan cari akun: Komorebi.Berkebun mungkin adalah salah satu cara mama untuk tidak terus larut dalam kesedihan setelah ditinggalkan papa. Seperti saat ini, beliau tengah menikmati udara sore yang masih hangat, sembari bersenandung, dan memotong cabang tanamannya yang mati. Secangkir teh hijau juga menjadi temannya menikmati kudapan saat tubuhnya perlu diistirahatkan.“Sore, Ma,” sapa Indira yang baru turun dari mobil dan langsung menghampiri mama untuk mencium kedua pipinya.“Kamu sore banget ke sininya? Nanti pulangnya enggak kemalaman?”“Aku mau nginep di sini malam ini, kan weekend.”“Tumben. Memangnya kamu enggak ada janji makan malam sama Adrian weekend ini? Udah lama banget dia enggak ke sini. Terakhir waktu kalian pergi sama Arya, kan?”Indira menghela napas lelah, lalu duduk di kursi teras