Cerita ini sudah dikunci. Semoga kalian tetap semangat membaca sampai selesai ya!
Yuk! Selamat membaca!
.
.
Selepas kunjungan dokter, Mahesa hendak pamit untuk menjemput Indira. Siang ini, seperti yang sudah Indira dan Mahesa sepakati, mereka akan bertemu dengan bapak. Langkah Mahesa menuju lift apartemen Indira berhenti di lobi, saat dia mendengar namanya dipanggil.
“Mau jemput Indira?” tanya Papa.
“Iya, Om. Hari ini kami mau jenguk bapak.”
“Bisa kita bicara sebentar?”
Kening Mahesa mengerut mendengar ajakan Papa. Meski bingung dan sedikit takut, Mahesa mengangguk dan mengikuti langkah Papa menuju kafe yang ada di sebelah gedung apartemen.
Entah apa yang ingin dibicarakan Papa, tapi semenjak mereka duduk—15 menit yang lalu—Papa belum mengucapkan sepatah katapun. Keheningan ini, jelas membuat Mahesa jengah. Terlebih ponselnya yang terus bergetar, karena pesan masuk dari Indira yang sibuk memberikan saran apapun untuk Mahesa menghadapi Papa. Bukan bermaksud menjadi pengadu dan pengecut, tapi Mahesa belum terlalu kenal Papa, maka tidaklah menjadi salah jika dirinya meminta sedikit tips dari putri Papa, kan?
“Mahesa.” Papa yang pertama memecah keheningan.
Mahesa mendongak untuk menatap kedua netra Papa.
“Indira putri saya satu-satunya. Saya akan lakukan apapun untuk kebahagiaan Indira.”
Mahesa mengangguk paham.
“Entah apa yang terjadi antara Indira dan Adrian sampai mereka berpisah. Lalu kamu datang menawarkan diri sebagai pengganti Adrian.” Tangan Papa bergerak mencari pegangan cangkir kopinya. “Kamu tahu bagaimana Adrian?”
Mahesa menggeleng. Mahesa tidak tahu bagaimana sosok Adrian, dia juga tidak berminat untuk tahu lebih dalam tentang Adrian. Baginya, cukup sekedar tahu bahwa Adrian adalah mantan calon suami Indira yang kabur. Namun, Papa sepertinya ingin Mahesa lebih tahu tentang Adrian. Terbukti dari kalimat Papa selanjutnya yang menceritakan tentang siapa Adrian dan alasan mengapa Papa dan mama ingin sekali Indira menikah dengan Adrian.
Kenyataan tentang Adrian yang keluar dari mulut Papa, seketika membuat Mahesa merasa kecil. Mahesa bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan Adrian yang seorang dokter dan sedang mengambil sekolah spesialisnya. Sedangkan dirinya, hanya seorang pria yang belum lulus kuliah. Kerja pun serabutan di kelab, banyak hutang, bahkan saat ini dia juga bekerja sebagai calon suami bayaran.
“Apa yang bisa kamu tawarkan pada saya untuk meminang Indira? Kamu tahu, cinta saja tidak cukup. Melihat kondisi kamu saat ini, saya tidak yakin pernikahan kalian akan bertahan lebih dari tiga bulan.” Papa menghela napas. “Saya tidak akan basa-basi sama kamu. Hal yang ingin saya tanyakan, setelah kalian menikah, apa kamu bisa mencukupi kebutuhan Indira?”
Mahesa terdiam. Dia tahu, jawaban yang benar untuk pertanyaan Papa adalah ‘tidak’. Bagaimana Mahesa akan menghidupi Indira setelah menikah? Bahkan dirinya saja mendapatkan gaji dari istrinya. Namun, lain di hati, lain pula di mulut Mahesa.
“Saya yakin, saya bisa membahagiakan Indira dengan cara saya, Om. Saya akan mencukupi seluruh kebutuhan Indira.”
Papa tersenyum. “Bisakah saya pegang omongan kamu?”
Mahesa ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk pasti.
“Kemarin saat kamu ke rumah. Saya tidak ada pilihan lain selain menerima kamu sebagai calon yang dipilih Indira menggantikan Adrian. Melihat bagaimana Indira tersenyum, itu menjadi satu dari sekian banyak tentang Indira yang membuat saya bahagia.”
Mahesa menatap kedua manik mata Papa yang berbinar setiap kali menceritakan tentang putrinya. Binar yang sama, seperti yang ada di mata bapak saat menghadiri acara kelulusan Mahesa saat SMA, juga saat mengadakan syukuran atas diterimanya Mahesa di perguruan tinggi impiannya. Mahesa tidak pernah sanggup melihat binar itu lenyap dari bapak, begitupula dengan Papa. Seorang asing yang sebentar lagi tidak akan dipanggilnya om, melainkan papa untuk beberapa tahun ke depan yang penuh dengan sandiwara.
***
“Bapak enggak nyangka lho, kalau Mahesa ini punya pacar. Mana pacarnya cantik kayak Mbak Indira.”
Indira tersenyum mendengar pujian bapak. Sudah sekitar sepuluh menit Indira dan Mahesa sampai di rumah sakit, dan selama itu pula bapak tidak berhenti memuji Indira.
“Apalagi Mbak Indira artis, model terkenal. Kok mau sama anak saya, yang kuliah saja belum selesai. Kerjaan juga serabutan. Saya sebenarnya khawatir, nanti Mahesa tidak sanggup untuk menghidupi Mbak Indira. Apa kata orang tua Mbak Indira kalau tahu tentang Mahesa.”
“Bapak ngomong apa, sih? Rejeki itu bisa dicari, saya yakin Mahesa bisa bahagiain saya. Papa dan mama saya suka kok dengan Mahesa.”
Mahesa yang duduk di hadapan Indira tersenyum kecil. Tentu saja papa dan mama masih menyukainya, karena keduanya belum tahu siapa Mahesa sebenarnya. Mahesa yang bukan pemilik usaha rintisan, Mahesa yang hanya seorang mahasiswa dengan pekerjaan serabutan. Jika papa dan mama tahu yang sebenarnya, Mahesa—sudahlah, dirinya sendiri juga tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan papa pada dirinya. Hal yang bisa Mahesa lakukan sekarang hanya berdoa, semoga sandiwara ini tidak terbongkar sampai akhir.
“Makasih kamu enggak bohong sama bapak,” ujar Mahesa saat perjalanan pulang mengantar Indira.
“Hm.”
“Setelah bapak pulang dari rumah sakit, aku sama bapak akan langsung ke rumah kamu.”
“Buat?”
“Ngelamar kamu dengan benar. Tadi pas ketemu sama Om, beliau minta ketemu bapak. Makanya, sekalian aja nanti buat ngelamar kamu.”
“Papa nanya apa lagi sama lo?”
Baru saja Mahesa akan menjawab, Indira lebih dulu menepuk bahunya, memberi isyarat agar pria itu diam sejenak.
“Ya, Live? Astaga! Gue lupa! Oke, gue langsung ke sana.” Indira memutuskan sambungan ponselnya. “Eh, lo bisa anterin gue ke tempat pemotretan, enggak?”
Mahesa melirik arlojinya. “Di mana?”
“Di daerah selatan.”
Masih ada waktu untuk Mahesa mengantar Indira ke tempat kerjanya, sebelum dia pergi ke kelab. Mahesa mempercepat laju motornya menuju studio Indira.
“Mau langsung ke kelab?” tanya Indira saat mereka sudah sampai.
Mahesa mengangguk. “Nanti malam aku kabari, kapan pastinya bapak sama aku dateng ke rumah lagi buat ngelamar kamu.”
“Ok. Ati-ati, ya.”
Sepeninggalan Mahesa, Indira melangkah menuju studio. Di sana, Olive dengan muka masamnya menyambut Indira, dan secepat kilat menarik Indira menuju ruang ganti.
“Sori, gue lupa kalau hari ini ada pemotretan.”
“Abis darimana emangnya?”
“Ketemu camer.”
“Camer? Bapaknya Mahesa maksud lo?”
Indira mengangguk seraya membuka kancing kemejanya dan mengganti pakaiannya dengan gaun yang ada di tangan Olive.
“Lo beneran mau nikah sama dia?” desis Olive.
“Apaan sih, lo?! Dari kemarin juga gue udah bilang, kan? Mahesa juga udah ketemu papa sama mama, kok.”
“Om pasti enggak setuju, kan? Mana mau bokap lo ngelepas anak kesayangannya buat cowok enggak jelas kayak Mahesa.”
Indira menggerakkan telunjuknya, lalu menyapu bibirnya dengan lipstik. “Sebaliknya, papa malahan demen banget sama dia. Soalnya dapet tandem buat main catur.”
Olive menepuk keningnya. “Bokap lo itu, asalkan cowok yang lo bawa ke rumah bisa main catur, langsung aja dikasih lampu ijo.”
“Siapa bilang? Tadi Mahesa cerita kalau ketemu papa di lobi apartemen. Diinterogasi!”
“Terus?”
Indira mengangkat bahunya. “Mahesa enggak mau cerita. Katanya gue disuruh tenang aja. Soalnya keadaan aman terkendali.”
Setelah melakukan touch-up penampilannya, Indira segera menuju tempat pemotretan. Bergaya lebih dari 25 kali—mungkin—sebelum akhirnya dia dan sang Fotografer menyerukan kata setuju pada tiga hasil foto yang akan diajukan untuk klien mereka kali ini.
“Mau ke mana lo?” tanya Olive saat melihat Indira hendak pulang, selepas pemotretan.
“Pulang. Emang mau ngapain lagi?”
“Lo lupa juga kalau hari ini kita ada bachelorette party-nya Kinan?”
“Astaga! Gue lupa!” sesal Indira. “Gue enggak ikut, bisa enggak?”
“Mana bisa? Bisa ngamuk si Kinan! Kemarin bukannya lo yang paling semangat buat ngerayainnya.”
“Iya, sebelum Adrian ninggalin gue!”
Olive merangkul pundak Indira. “Justru itu, Dir! Kata Kinan, bakal banyak tamu. Termasuk model dari agensi sebelah, belum lagi kenalan artisnya Kinan. Siapa tahu, kan ada yang nyantol di lo.”
“Gue udah ada Mahesa.”
“Aelah! Banyak yang lebih dari Mahesa.”
“Yang lebih bejat juga banyak!” gerutu Indira.
“Ya udah, sekarang lo maunya gimana? Kinan pasti kecewa banget kalau lo enggak dateng.”
Setelah ditinggal pergi Adrian, Indira tidak memiliki mood untuk pergi ke pesta, apalagi yang menyangkut dengan pasangan. Pergi ke tempat di mana banyak pasangan berbahagia, serasa masuk ke tempat penjagalan. Lebih baik Indira ke kelab sendirian dan minum sampai mabuk untuk melupakan semua kegagalan percintaannya.
Namun, ini adalah Kinan. Teman seperjuangannya saat meniti karir sebagai model untuk pertama kalinya. Indira bertemu dengan Kinan saat keduanya mengikuti seleksi gadis sampul. Kinan adalah mentor Indira yang senantiasa berbagi ilmu dan pengalamannya di dunia seni, model, dan akting.
“Ya udah, deh,” putus Indira akhirnya. “Tapi palingan gue cuma bentar doang ya.”
“Iya, yang penting setor muka aja di Kinan. Yuk! Lo enggak bawa mobil, kan?”
Indira menggeleng, lalu mengekor Olive menuju parkiran gedung dan melaju menuju rumah Kinan.
***
Halaman belakang rumah Kinan yang luas disulap menjadi tempat arena pool party untuk pesta lajangnya. Dihiasi lampu dan diiringi musik dari DJ kenalan Kinan, para tamu tidak berhenti bergoyang. Beberapa tamu terlihat menikmati berendam di kolam renang—tidak peduli kalau mereka besok bisa kena flu. Di sisi lainnya, ada rerumputan yang mendadak menjadi lantai dansa, dan terus menghipnotis mereka untuk berdansa mengikuti irama musik.
“Hai, Dira!” sapa Kinan.
“Selamat ya, Ki,” ujar Indira tulus seraya mencium kedua pipi Kinan. “Rame banget! Gue pikir bakalan private!”
“Tadinya mau gitu. Tapi setelah gue pikir-pikir, kapan lagi gue ngadain bachelorette party, kan? Ya udah, setelah ngobrolin sama Kevin, kita gabungin party-nya dia sama gue.”
“Oh, pantesan.”
“Lo dateng sendiri? Mana calon suami lo yang masih misterius itu?”
“Eh, enggak kok. Gue dateng bareng Olive. Dia lagi parkir mobil.”
“Yah, gue kira lo bakalan go public malam ini.”
“Enggaklah! Gue enggak mau mencuri spotlight tuan rumah. Kan hari ini pesta lo sama Kevin.”
“Kalau gitu kebetulan!” seru Kinan girang. “Tuh lihat! Banyak cowok-cowok temennya Kevin yang kece! Mulai dari pengusaha, atlit, artis juga ada. Lo embat aja, buat selingan.”
“Eh, enggak usah!” elak Indira.
“Udah, santai aja. Tadi salah satu dari mereka pengen banget ketemu sama lo. Namanya Leo, atlit tenis nasional, tapi juga beberapa kali udah menangin turnamen internasional. Yuk!”
Tidak ada gunanya Indira menolak, karena Kinan menyeretnya paksa menuju sekumpulan pria yang sedang mengobrol di tepi kolam. Kinan memanggil Leo, dan seorang pria dengan perawakan tegap menghampiri mereka.
“Indira?”
“Hai,” sahut Indira sekenanya.
“Ya udah, kalian ngobrol yak!” Itu adalah kalimat terakhir dari Kinan yang didengar Indira malam ini. Karena selanjutnya, hingga Indira pulang ke apartemennya, dia tidak lagi bertemu Kinan—bahkan berpamitan pun tidak sempat.
“Minum?” tawar Leo seraya mengulurkan segelas wine kepada Indira.
Indira menerima wine itu dan menyesapnya sembari tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya.
“Gue udah jarang lihat lo di teve, ya?”
Indira mengangguk. “Gue belakangan ini fokus buat model. Kalau akting lebih ke sampingan aja, sih.”
“Oh, pantesan.”
“Kata Kinan, lo nyariin gue? Kenapa?”
“Pengen kenal lo lebih jauh aja. Ya, siapa tahu, kan kita bisa lebih deket, terus punya hubungan.”
Indira tergelak mendengar kalimat Leo. Pria ini benar-benar tanpa basa-basi.
“Lo tahu, kan kalau gue ini udah mau nikah?”
“Tau. Tapi sesuai pepatah, sebelum janur kuning melengkung, masih bisa ditikung.”
Iya, bener. Batin Indira.
Leo tidak terlalu buruk. Setidaknya tidak seburuk para pria yang sempat mendekatinya beberapa tahun belakangan ini, termasuk Adrian. Supel dan tidak perlu takut kehabisan topik pembicaraan, jika bersama Leo. Hanya satu hal yang membuat Indira merasa kurang nyaman, risih lebih tepatnya. Yakni, saat pria itu selalu melirik ke arah dada Indira, serta buru-buru mengalihkan pandangan saat Indira memergokinya.
Dasar cabul! Pikir Indira kesal. Sial baginya! Indira pikir selesai pemotretan dia bisa langsung pulang, sehingga dia sengaja tidak memakai dalaman di antara kemeja dan branya. Kemeja putihnya yang sedikit tipis, akan memberikan pemandangan menyenangkan bagi para pria—jika mereka benar-benar memperhatikannya.
Cerita ini bisa dibaca juga di aplikasi karyakarsa dengan harga 20K per 17 bab! Murah banget, kan?! Kalau kalian lebih nyaman baca di goodnovel juga enggak apa-apa. Silakan lanjutkan membacanya! Kalian akan dibuat baper dan gemas sama pasangan ini!
Sepertinya kesialan Indira sudah berakhir, karena Olive menghampirinya dengan sebuah sweater tersampir di lengan kirinya. Olive benar-benar bisa diandalkan! Telepati mereka begitu kuat! Indira menerima uluran sweater itu dan segera memakainya. Dia yakin, Leo sangat kecewa sekarang.
Semakin malam, suasana pesta semakin ramai—sebagian tamu sudah lebih dari mabuk sepertinya. Bahkan Indira yang canggung berada di antara Leo dan teman-temannya, kini sudah tidak ada. Gadis itu bahkan tanpa beban berani menggelayut manja di lengan Leo. Tidak peduli, jika ada wartawan yang menyamar sebagai tamu, untuk sekedar mendapatkan berita miring darinya.
Indira seolah bukan Indira. Indira yang sekarang setengah kesadarannya sudah hampir hilang. Indira yang sekarang, membuat Olive khawatir, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Olive hanya bisa mengawasi Indira dari jauh, memastikan bahwa sahabatnya itu tidak melakukan hal bodoh—seperti berciuman dengan Leo! Itu pasti akan menjadi gosip empuk!
Keadaan pesta semakin kacau! Saat ini, Kinan dan Kevin sedang diarak keliling kolam renang. Dan siapa yang menyangka, setelah putaran ketiga, sepasang calon pengantin itu langsung dilemparkan ke dalam kolam renang!
“Shit!” pekik Olive.
Olive tidak pernah menduga bahwa setelah Kinan dan Kevin yang dilempar, menyusul beberapa tamu yang saling dorong menceburkan temannya—bahkan beberapa menceburkan diri—ke kolam renang. Gelak tawa dan teriakan penuh suka cita mengiringi kegilaan malam ini yang terjadi di halaman belakang rumah Kinan. Liar!
Oh, tidak! Olive segera berlari menuju sahabatnya, saat menyadari Indira sudah berada dalam gendongan Leo yang siap melemparkannya ke dalam kolam renang! Tidak! Indira tidak bisa berenang! Apalagi kondisi Indira yang tengah mabuk!
“Jangan!” teriak Olive, tapi percuma! Suaranya tenggelam di antara keriuhan pesta.
Indira terus meronta dan berteriak. Mencoba melepaskan diri dari gendongan Leo. Namun, sepertinya pria itu pura-pura tuli. Bahkan terkesan tidak peduli dengan Indira yang ketakutan.
“Tenang aja, Dir! Lepasin aja semuanya! Siap?!”
Indira menggeleng. “Jangan!”
Sial! Kalau saja dia bisa mengerem jumlah wine yang diminumnya, pasti saat ini dia bisa melepaskan diri dari Leo. Tapi alkohol sudah mengambil alih kekuatan tubuhnya. Membuat Indira lemas dan mengantuk. Hingga yang tersisa dalam dirinya hanya kesadaran yang kian menipis. Hal terakhir yang dia ingat adalah rasa dingin dan sedikit sakit saat tubuhnya bertemu dengan air. Tamat sudah riwayat Indira! Tajuk utama koran gosip besok pagi adalah Indira yang mati tenggelam, karena mabuk!
***
“Kenapa telat sih lo datengnya?! Gue kan suruh lo cepetan!”
“Maaf, Mbak. Jam kerja saya belum selesai tadi.”
“Lo masih mikirin jam kerja, di saat calon istri lo digrepein cowok lain dan dalam bahaya?!”
Mahesa tertunduk mendengar kalimat penuh amarah Olive yang belum berhenti sejak 15 menit yang lalu. Mahesa jadi serba salah. Di satu sisi, dirinya dan Indira memiliki perjanjian tidak akan mencampuri urusan masing-masing. Di sisi lain, Olive memakinya tanpa henti, karena tidak segera datang menjemput Indira di rumah Kinan.
Tadi, Mahesa sedang membantu Raga mencuci gelas ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Indira, tapi yang berada di seberang telepon bukanlah suara lembut Indira seperti biasanya, melainkan suara melengking bak biola rusak milik Olive yang panik dan memintanya segera datang ke alamat yang dikirimnya melalui pesan singkat. Bukannya tidak peduli dengan Indira, hanya saja Mahesa tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya begitu saja.
“Tadi lo telat dikit aja, gue enggak tahu apa yang bakalan terjadi sama Dira.” Olive menggeleng pelan. Tubuhnya masih merinding setiap kali mengingat kejadian saat Indira tenggelam dan tidak ada satupun orang yang menyadarinya. Mereka malah sibuk menertawakan Indira dan berpesta—seolah tidak terjadi apa-apa. Jika telat sedetik saja Mahesa muncul, mungkin Indira tidak akan pernah selamat.
Di sinilah akhirnya Mahesa berada. Di sebuah rumah sakit dan dirinya bersama Olive sedang berada di ruang tunggu—menggigil kedinginan—menanti Indira selesai diperiksa.
Tak berapa lama, seorang dokter keluar dari ruang UGD dan mengabarkan bahwa kondisi Indira baik-baik saja. Air yang sempat masuk ke paru-parunya sudah dikeluarkan dan saat ini tinggal menunggu Indira sadar dari mabuknya.
“Mahesa?”
Mahesa menoleh, mendapati papa dan mama dengan wajah panik menghampirinya dan Olive.
“Gimana keadaan Indira?” tanya Mama.
“Sudah baikan. Sekarang tinggal tunggu Indira sadar dari—aw!”
“Sadar dari pingsannya, Tante,” potong Olive cepat, lalu matanya melotot pada Mahesa, meminta pria itu diam.
“Kamu kenapa basah gini, Sa?” tanya Papa saat melihat kondisi Mahesa. “Ini, pake jaket Papa. Nanti kamu sakit.”
“Enggak usah, Om.”
“Papa maksa! Buruan pake! Indira bisa marah kalau kamu sakit!”
Mahesa tidak punya pilihan lain selain menerima jaket yang diulurkan papa. Memakainya dan duduk beberapa saat menemani papa dan mama, sebelum akhirnya Mahesa pamit.
***
Bersambung ...
Aku udah kirim uangnya.Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Mahesa—dari Indira. Tanpa pikir panjang, Mahesa langsung menekan tombol panggilan untuk terhubung dengan Indira.“Ehm, gimana kabar kamu? Syukurlah. Maaf, kemarin aku langsung pulang, karena harus nungguin bapak. Iya, nanti aku cek. Apa nanti malam aku dan bapak bisa ke rumah? Aku juga inginnya besok atau lusa, biarin bapak istirahat dulu. Tapi bapak maksa. Baiklah, nanti aku bilang ke bapak, mungkin sekitar jam tujuh kami sampai. Indira, terima kasih.”Sambungan ponsel Mahesa terputus setelah ucapan terima kasihnya tanpa berbalas. Mungkin Indira sedang sibuk. Berbekal uang transferan dari Indira, Mahesa bergegas menuju meja kasir rumah sakit untuk menyelesaikan masalah administrasi.Setelah selesai, Mahesa kembali ke kamar rawat bapak. Di sana, bapak sudah siap untuk pulang. Sebelah pundaknya menenteng tas pakaian bapak, sedangan kedua tangannya mendo
Selamat membaca! . . Olive melempar remot teve—yang sejak lima menit lalu digenggamnya—ke sofa, membuat Indira dan Mahesa menjengit kaget. Sembari berjalan mondar-mandir dan mengurut pelipisnya. “Duduk, Live.” Olive mengangkat telunjuknya, mengisyaratkan agar Indira diam untuk beberapa saat. “Maaf, Mbak.” Telunjuk Olive bergerak untuk Mahesa. “Lo.” Olive menunjuk Indira. “Terpaksa harus ngadain konferensi pers atas semua kegilaan yang dilakukan cowok ini,” ujarnya sambil beralih menunjuk Mahesa. “Enggak usah dipeduliin, biar aja.” “Kalau lo masih mau berkarir di dunia penuh nyinyiran ini, lebih baik lo buka semuanya tentang pernikahan lo. Kecuali soal Adrian.” Olive melangkah mendekati Mahesa, lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi pandangan mereka. “Dan lo, berhenti kerja di kelab malam.” “Mana bisa, Mbak? Saya masih punya huta
Mahesa baru saja melingkari angka di kalender kamarnya. Besok, statusnya tidak lagi lajang, melainkan beristrikan seorang Indira. Mahesa tidak pernah tahu, bahwa hidupnya bisa selucu ini. Menolong seorang wanita mabuk yang kemudian melamarnya.Namun bohong rasanya, jika Mahesa tidak merasa bersalah pada bapak yang sedang mencoba pakaiannya di ruang tamu. Wajah tua itu sedari tadi tidak berhenti tersenyum di depan cermin. Juga memuji dirinya sendiri yang terlihat lebih muda dengan pakaian yang dibelikan Indira. Bisa apa Mahesa, selain berusaha membuat bapak tersenyum—meskipun hanya dalam waktu tiga tahu. Selepas itu—ah, sudahlah! Itu dipikirkan nanti saja.“Sa, telepon kamu tuh bunyi terus dari tadi,” kabar Bapak dari luar.Mahesa segera keluar kamar dan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja tamu. Panggilan dari Olive—tumben.“Ya, Mbak?”Bapak yang tinggal mengancingkan kancing terakhir di bagian bawah
Mahesa terburu membuka akses pintu masuk apartemen Indira, dan kegelapan menyambutnya, ketika dirinya sudah berhasil masuk. Buru-buru dia menghidupkan lampu, dan tidak ada tanda-tanda Indira sudah kembali dari toko perlengkapan. Mahesa kembali memeriksa ponsel, tidak ada kabar dari Indira. Sedari tadi, Mahesa juga sudah berulang kali mencoba menghubungi Indira, tapi ponselnya tidak aktif. Mahesa juga urung untuk menelepon mama dan papa, takut membuat mereka khawatir. Apalagi, baru kemarin mereka resmi menjadi suami-istri.“Kamu di mana, Indira?” gumam Mahesa, lalu tiba-tiba saja ponselnya berdering. “Ya, Mbak? Belum. Dia juga belum hubungin Mbak Olive? Mungkin Mbak Olive ada bayangan, ke mana kira-kira Indira pergi, misalkan saat dia benar-benar butuh sendiri?”Tak ada informasi berarti yang didapat Mahesa dari Olive. Olive juga sama butanya dengan Mahesa atas keberadaan Indira. Mahesa melangkah menuju kamar Indira, diperiksanya kamar istrinya&m
“Lo gimana, sih? Lo suaminya, masak enggak tahu kalau Indira itu alergi sama kacang?! Adonan es krim ini tuh ada kacangnya! Untung aja gue lihat! Lo tahu, gimana Indira kalau—”“Lia, udah. Kan, guenya enggak apa-apa.”“Enggak bisa gitu, Dir! Lo juga, kenapa enggak ngasih tahu suami lo, kalau lo punya alergi?!” marah Lia sambil menunjuk wajah Indira dan Mahesa bergantian.“Iya-iya. Gue yang salah. Udah, dong. Malu dilihatin orang,” desis Indira berusaha menenangkan amarah sepupunya. “Udah, sini duduk. Makan, biar enggak rese lo.”“Gue ini ngasih tahu yang bener ke suami lo ya, Dir. Gue—”“Maaf.” Mahesa mengambil gelas es krim di tangan Natalia. “Lain kali aku akan lebih berhati-hati saat memesankan makanan untuk Indira. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya.”“Udah-udah. Yuk, sini duduk. Gue traktir lo makan,” ujar Indira se
Jarum jam sudah hampir menunjuk pukul sepuluh malam, dan belum ada tanda-tanda Mahesa pulang. Bahkan Indira sudah menghabiskan dua porsi panas spesial ayam KFC terhitung mulai dari kepulangan Olive tadi sore. Berulang kali Indira mencoba menghubungi Mahesa, tapi hanya voice mail yang menjawab. Sial! Mahesa kembali berulah!Baru saja Indira hendak beranjak ke dapur untuk membuang bungkus sisa makanannya, saat dia mendengar suara panel pintu apartemen dibuka. Mahesa tersenyum menyapanya, setelah mengucapkan salam.“Ke mana aja lo?”“Aku ke rumah, ambil buku-buku aku buat bahan skripsi. Kemarin aku lupa, jadi hari ini aku balik lagi.”Indira melihat dua tas berukuran sedang yang terlihat sangat berat di tangan Mahesa. Lalu membiarkan Mahesa menuju kamarnya untuk menyimpan bukunya. Tak berapa lama kemudian, Mahesa muncul di sebelah Indira dan membantunya mencuci piring. Indira membiarkan hal itu, lalu dirinya sendiri mengambil
Indira menatap tampilannya di depan cermin. Dirinya memastikan, bahwa make-up-nya sudah pantas untuk ke acara pertemuan Mahesa dan teman-temannya. Dia tidak mau terlihat seperti tante-tante genit dan berondongnya—meskipun usia mereka hanya terpaut lima tahun. Olive sengaja mengosongkan jadwal Indira akhir pekan ini, agar perempuan itu bisa mengawasi tingkah suaminya.Indira beranjak keluar kamar dan tertegun melihat Mahesa yang malah sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu sepertinya semalam tidak tidur sama sekali.“Lo enggak tidur semalem?”“Hah?”Benar, kan? Mahesa seperti orang linglung dan hanya melongo menatap Indira yang sudah rapi.“Kamu mau ke mana?”“Siang ini, lo ada acara ketemuan sama temen-temen lo, kan?”“Kamu jadinya ikut?”Indira mengangguk. “Gih, buruan siap-siap sana.”Mahesa mengangguk, lalu melangkah menuju kamar
Indira baru saja membuka matanya saat melihat Mahesa sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Kemarin suaminya bilang, kalau hari ini dia akan ada di kampus seharian, jadi Mahesa sudah mewanti-wanti Indira agar tidak pergi dengan Adrian dulu.Mahesa menoleh kepada Indira yang terduduk dan menatapnya dalam diam di atas ranjang. Lalu tersenyum menyapa, “Pagi.”“Hm. Udah mau berangkat lo?”“Iya. Inget ya, hari ini jangan pergi dulu sama Adrian. Kalaupun memang terpaksa, bilang aja kamu mau me time, soalnya aku udah bilang ke mama juga kalau aku akan di kampus sampai sore.”Indira mengangguk mengerti.“Aku udah masakin sarapan buat kamu,” ujar Mahesa, lalu mengambil tas laptopnya, mengecup kepala Indira, lalu keluar kamar.Tunggu! Apa itu tadi? Mahesa mengecup kepalanya? Beraninya pria itu! Minta diberi pelajaran sepertinya! Indira melompat turun dari kasurnya, kemudian berlari mengejar Ma
DELETE SCENE TERSEDIA GRATIS DI KARYAKARSA6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSASILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI...Olive mengigiti kuku jarinya sejak lima menit yang lalu. Dirinya panik, khawatir, dan tidak tahu harus melakukan apa selain terus berusaha menghubungi Mahesa. Namun, entah mengapa sosok Mahesa yang biasanya langsung mengangkat telepon pada nada sambung ketiga, kini sulit sekali dihubungi.Olive bergantian menatap layar ponselnya dan Indira yang sedang memastikan bahwa mama sudah membawa paspornya. Ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhir Olive membantu Mahesa untuk menyakinkan Indira, bahwa mereka layak mendapatkan kesempatan kedua, setelah hari berganti minggu dan Mahesa selalu gagal.“Ga! Lo di mana? Udah ketemu Mahesa? Buruan! Dira udah mau last call! Ya carilah! Tanya suster
DELETE SCENE TERSEDIA GRATIS DI KARYAKARSA6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSASILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ...Mama perlahan menutup pintu, lalu mengusap air matanya. Berusaha keras tersenyum saat menatap Mahesa yang sedari tadi menunggu di luar bersama bapak.“Maaf, Mahesa. Dira enggak mau ketemu siapapun. Termasuk kamu.”“Tapi Ma—”Mama kembali menyeka pipinya. “Tolong mengerti, Sa.”“Apa kata dokter?”“Dira syok dan harus banyak istirahat.”Mahesa mengangguk mengerti.“Ya udah, Mama masuk dulu.”“Ma,” panggil Mahesa, menghentikan langkah Mama yang hendak menutup pintu. “Tolong sampaikan pada Indira … Saya cinta Indira.”Mendengar kalimat Mahesa, m
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. 6 Bab ekstra dan Spin Off tersedia di KARYAKARSA...Pagi itu, mama menemukan sesuatu yang berbeda pada diri putri semata wayangnya. Jika biasanya di pagi hari, mama masih mendapati Indira mengurung diri di dalam kamarnya, tidak untuk hari ini. Sedari pagi, Indira sudah sibuk bersama Bik Harsi di dapur membuat bubur.“Masih enggak ada rasanya ya, Bik? Kurang gurih?”“Gampang, Non. Tambahin santan aja. Bentar, Bibik beli di warung depan ya.”“Kamu masak buat siapa, Dir? Tumben banget?”“Mama?!”Indira buru-buru mematikan kompornya, lalu tersenyum pada mama.“Kenapa kaget gitu? Kamu masa
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. ..Pekarangan rumah itu masih tampak asri, bahkan sepertinya koleksi pohon buah dan bunga mama bertambah. Mama masih di sana, masih menjalankan rutinitas berkebunnya. Kali ini sedikit berbeda. Tidak ada papa yang menemaninya menyiram tanaman atau memilih membaca koran pagi di kursi santai teras.Mahesa mendorong pagar, lalu mengucapkan salam, dan—seperti dugaan Mahesa—mama tak mengacuhkannya seperti biasanya. Tidak apa, setidaknya mama tidak lagi melempar sendal ke wajahnya seperti saat di rumah sakit.“Mau apa kamu? Indira enggak ada di sini.”“Saya ke sini mau ketemu sama Mama.”Mama masih tak acuh, sibuk mematikan keran air, lalu duduk untuk mulai men
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. ..“Ah gila! Capek banget gue ngurusin si Mak Lampir!” keluh Olive yang tiba-tiba masuk ke kamar Indira dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Ngapain lo, Dir?”“Baca laporan.”Olive mengubah posisinya menjadi miring menghadap Indira dengan sebelah tangannya sebagai tumpuan. Diperhatikannya sosok sahabatnya ini yang benar-benar berubah. Indira yang ada di hadapannya ini, bukan lagi Indira yang dulu selalu berbagi gosip dengannya, tertawa bersama, bahkan takut padanya. Indira yang sekarang, jauh lebih pendiam dan hanya tersenyum—itu pun dipaksakan—pada orang-orang tertentu saja.“Laporan mulu! Udah ada Raga sama Santi, kan?”“
6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI APLIKASI DAN WEBSITE KARYAKARSA. SILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ..“Kamu enggak nerima lamaran Adrian, kan?”“Apa ucapanku kemarin kurang jelas? Aku enggak mau ketemu apalagi ngomong sama kamu!” tegas Indira, lalu membereskan barang-barangnya, dan hendak beranjak. Namun, Mahesa sudah lebih dulu menghalangi langkahnya. “Kamu mau bikin aku jadi bahan gosip lagi? Kamu mau aku jadi bahan olokan orang-orang yang ada di sini? Lepasin, Sa!” desis Indira.“Indira, aku enggak bermaksud seperti itu. Kita bicara sekarang, ya?”Tanpa menunggu persetujuan Indira, Mahesa langsung menggandeng tangan Indira. Namun, pekikan kesakitan langsung membuat Mahesa berhenti dan menoleh. Dilihatnya Indira menunduk, menyentuh kakinya yang masih terbalut perban. Mahesa berjongkok untuk melihat kondisinya.“Masih sak
6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI APLIKASI DAN WEBSITE KARYAKARSA. SILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ..“Gimana, Ma?”Mama menoleh dan mendapati Adrian sudah berdiri di sebelahnya. Wanita itu tersenyum, lalu mengangguk ke arah Indira, memberi semangat pada putrinya yang sedang ikut menjalani terapi.“Udah kemajuan banget dua minggu ikut terapi. Kemarin dia udah enggak pake kruk.”“Syukurlah.”“Mama belum sempet ngucapin makasih sama kamu. Makasih ya, Ian.”“Buat apa, Ma?”“Kamu selalu ada buat Dira. Kapan pun dan di mana pun. Beruntung Dira punya kamu, Ian.”“Aku yang beruntung punya Dira, Ma.”Mama kembali melemparkan tatapannya pada putri semata wayangnya yang tengah tertawa bersama terapisnya. “Ian, kamu enggak berencana ngelamar Dira lagi? Apa orang tua kamu
6 bab ekstra dan Spin Off hanya tersedia di aplikasi / web KaryaKarsa. Silakan cari akun: Komorebi..Mahesa masih berdiri di sana. Menatap dua petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai dan membersihkan kamar mandi. Kamar itu sudah kosong, dan itu artinya Mahesa kembali kehilangan jejak Indira.Mahesa pikir, dia sudah cukup kuat menyiapkan hatinya saat bertemu kembali dengan Indira. Menyusun setiap kata maaf dan penjelasan yang akan diucapkannya. Namun, saat wanitanya itu menjerit histeris dan mengusirnya, semua hancur berantakan.Mahesa kira dirinya masih—meskipun sedikit—dicintai oleh Indira dan angin kebahagiaan yang diberikan Raga akan bertahan sedikit lebih lama, tapi nyatanya semua itu kembali direnggut paksa, karena kalimat Raga kala itu, tidak berakhir di sana.“Indira dan Adrian, hubungan mereka bukan seperti itu. Mereka bukan suami-istri. Mereka enggak p
Extra Part dan Spin Off hanya tersedia di apps / web KARYAKARSASilakan cari akun: Komorebi.Berkebun mungkin adalah salah satu cara mama untuk tidak terus larut dalam kesedihan setelah ditinggalkan papa. Seperti saat ini, beliau tengah menikmati udara sore yang masih hangat, sembari bersenandung, dan memotong cabang tanamannya yang mati. Secangkir teh hijau juga menjadi temannya menikmati kudapan saat tubuhnya perlu diistirahatkan.“Sore, Ma,” sapa Indira yang baru turun dari mobil dan langsung menghampiri mama untuk mencium kedua pipinya.“Kamu sore banget ke sininya? Nanti pulangnya enggak kemalaman?”“Aku mau nginep di sini malam ini, kan weekend.”“Tumben. Memangnya kamu enggak ada janji makan malam sama Adrian weekend ini? Udah lama banget dia enggak ke sini. Terakhir waktu kalian pergi sama Arya, kan?”Indira menghela napas lelah, lalu duduk di kursi teras