Mahesa baru saja melingkari angka di kalender kamarnya. Besok, statusnya tidak lagi lajang, melainkan beristrikan seorang Indira. Mahesa tidak pernah tahu, bahwa hidupnya bisa selucu ini. Menolong seorang wanita mabuk yang kemudian melamarnya.
Namun bohong rasanya, jika Mahesa tidak merasa bersalah pada bapak yang sedang mencoba pakaiannya di ruang tamu. Wajah tua itu sedari tadi tidak berhenti tersenyum di depan cermin. Juga memuji dirinya sendiri yang terlihat lebih muda dengan pakaian yang dibelikan Indira. Bisa apa Mahesa, selain berusaha membuat bapak tersenyum—meskipun hanya dalam waktu tiga tahu. Selepas itu—ah, sudahlah! Itu dipikirkan nanti saja.
“Sa, telepon kamu tuh bunyi terus dari tadi,” kabar Bapak dari luar.
Mahesa segera keluar kamar dan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja tamu. Panggilan dari Olive—tumben.
“Ya, Mbak?”
Bapak yang tinggal mengancingkan kancing terakhir di bagian bawah mengerutkan keningnya, melihat putranya terdiam lama. Saat hendak menghampirinya, Mahesa tiba-tiba saja pamit, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan.
Itu tadi telepon dari Olive. Saat telepon tadi, Olive sedang berada di rumah Indira untuk membantu persiapan acara pernikahan besok. Namun, saat dirinya akan mengantarkan makan siang untuk Indira ke kamar, dia tidak menemukan calon pengantinnya di manapun. Bahkan ponsel Indira juga tidak aktif.
Mahesa tidak tahu ke mana harus mencari calon istrinya. Di dalam otaknya, hanya ada satu tempat yang terpikir, apartemen. Dengan motornya, Mahesa melaju menuju apartemen Indira. Berbekal akses yang telah diberikan Indira, Mahesa dengan mudah masuk ke sana.
Mahesa menghela napas lega saat menemukan Indira di sofa. Gadis itu berbaring di sana, terlihat sangat lelap—mungkin karena sebotol wine yang dihabiskannya. Mahesa berpikir untuk membiarkan Indira lebih lama terlelap, saat dirinya sibuk merapikan apartemen. Entah apa yang dilakukan calon istrinya ini, tapi sepertinya bukan hal baik. Dilihat bagaimana botol wine kosong dan sisa piza yang ada di meja. Belum lagi dengan bekas air mata di pipi Indira yang masih sangat kentara.
Mungkin apa yang dilakukan Mahesa saat ini bukanlah hal besar, hanya membereskan apartemen Indira dan memasak sarapan untuknya. Namun, setidaknya Mahesa berharap hal kecil dan tidak penting seperti ini bisa membantu Indira untuk merasa lebih baik. Sesederhana itu.
“Iya, Mbak. Indira ada di apartemen. Sebaiknya jangan, dia sedang butuh waktu sendiri. Mungkin terlalu gugup buat acara besok.”
Setelah menerima panggilan dari Olive, Mahesa segera membawa masakannya yang telah siap ke depan Indira. Perlahan dia membangunkan Indira, gadis itu mengerang sembari memijat pelipisnya. Pasti kepalanya pening, karena masih ada pengaruh alkohol.
“Lo, kenapa ada di sini?”
“Semua orang nyariin kamu pagi ini. Kamunya ditelepon enggak pernah ngangkat,” jawab Mahesa sambil membantu Indira duduk, lalu menyodorkan segelas air mineral hangat. “Minum dulu, biar enakan.”
Indira menerima gelas itu dan beberapa kali tegukan air membasahi tenggorokannya. “Gue baik-baik aja, kok. Mereka aja yang berlebihan.”
“Mereka enggak berlebihan. Mereka khawatir sama kamu. Mereka khawatir, karena sayang dan peduli sama kamu.”
“Gue tahu,” lirih Indira, lalu mengangguk ke arah nasi goreng yang ada di meja. “Buat gue?”
Mahesa mengangguk seraya memberikan sepiring nasi goreng buatannya pada Indira. Wanita di sebelahnya ini langsung menyuapkan sendok demi sendok dengan lahap ke mulutnya.
“Enak,” puji Indira. “Beruntung banget cewek yang nanti bakalan jadi bini lo. Punya suami yang mau kerjain kerjaan rumah, pinter masak, sayang sama keluarga, pokoknya bertanggung jawab banget.”
“Kamu orangnya, kan?”
Untuk sesaat Indira terdiam seperti orang bodoh, setelah mendengar ucapan Mahesa.
“Bener juga! Besok gue jadi bini lo,” kekeh Indira. “Selama tiga tahun ke depan, Olive enggak bakal teriak soal apartemen gue yang berantakan, tumpukan piring kotor, dan sampah bungkus makanan. Beruntungnya gue!” seru Indira sambil mencubit pipi Mahesa.
Setelahnya, Mahesa hanya diam di tempatnya. Netranya tidak lepas dari Indira yang sibuk menghabiskan sarapannya. Indira yang ada di sebelahnya saat ini, seperti bukan Indira yang biasa bertemu dengannya. Mereka sama-sama tersenyum, tertawa, tapi tawa dan senyum Indira hari ini berbeda dengan hari kemarin. Berbeda dengan sosok Indira yang selalu tampil di layar kaca dan sampul majalah. Sisa airmata itu, tidak bisa menipu Mahesa.
“Indira.”
“Ya?”
Mahesa meraih sebelah tangan Indira dan menggenggamnya. “Semuanya akan baik-baik saja.”
Mendengar kalimat Mahesa, membuat Indira menatap bingung padanya. Mahesa tidak berniat meneruskan kalimatnya, tapi dari sorot matanya, seolah mengucapkan bahwa Indira dapat percaya padanya. Dan sepertinya Indira tidak punya pilihan lain.
Entah apa yang terjadi, tangis yang semalam Indira pikir telah usai, seketika kembali membasahi wajahnya. Sesak itu kembali menyeruak dalam dadanya. Tangis pilunya, membuat Mahesa merengkuh Indira.
“Gue pikir udah lupain dia, Sa. Gue pikir dengan menikah sama lo, semuanya akan beres. Tapi makin hari, gue makin merasa bersalah sama papa, mama, dan bapak.”
Mahesa mengendurkan pelukannya, lalu membawah wajah Indira yang tertunduk untuk menatapnya. Ternyata, di balik senyum dan sikap tegarnya, seorang Indira menyimpan kebimbangannya sendiri.
“Gue pikir bisa bertahan sampai nanti, tapi nyatanya belum mulai aja, gue udah—”
“Aku paham perasaan kamu. Aku juga ngerasa bersalah sama papa, mama, dan bapak.” Mahesa mengehela napas, seraya menghapus airmata Indira. “Aku ikut keputusan kamu. Kalau kamu berhenti sekarang, aku akan ikut. Kalaupun kamu mau lanjut, aku juga akan berdiri di samping kamu besok.”
“Gue—”
“Untuk sembuh dari luka yang dibuat Adrian, aku enggak bisa berbuat banyak. Aku akan ada buat kamu, kalau kamu butuh temen curhat.” Mahesa mengambil piring dari tangan Indira dan meletakkannya di meja. “Kelak, waktu yang bisa menyembuhkan luka kamu itu.”
Mahesa tersenyum kecil dan hatinya serasa tercubit saat mengatakan kalimat terakhirnya. Satu kalimat nasihat klise bagi orang yang sakit hati, karena putus cinta. Begitu mudah terucap dari bibirnya, yang bahkan dirinya sendiri tidak mampu membuktikan ucapannya itu.
“Jadi, gimana keputusan kamu?”
“Gue takut papa kenapa-kenapa, Sa, kalau tahu yang sebenarnya soal Adrian dan gue.”
“Seperti yang aku bilang, semua keputusan ada di tangan kamu.”
***
Indira mematut dirinya di depan cermin. Hari ini, satu jam lagi, statusnya sebagai lajang akan berubah. Di belakangnya, asisten Lia sedang sibuk mengancingkan gaun pengantinnya.
“Lia belum dateng?”
“Sebentar lagi, Mbak. Ibu Lia sedang dalam perjalanan dari bandara.”
Dan benar, tak sampai sepuluh menit, sosok wanita dengan gaun bahu terbuka yang berwarna senada dengan warna tema pesta masuk ke kamar rias Indira.
“Maaf banget, Dir. Gue baru dateng, gue dari Bangkok langsung terbang ke sini, turunnya di halaman belakang rumah lo.”
Indira tersenyum mendengar kelakar Lia. “Enggak apa-apa, gue tahu lo sibuk banget. Tenang aja, asisten lo udah urus semuanya, kok.”
Lia meminta Indira untuk berdiri, designer muda ini ingin memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan gaun pengantin yang dikenakan Indira. Sebagai profesional dan sepupu yang diminta untuk mengurus gaun pengantin pernikahan Indira, Lia merasa wajib untuk memberikan yang terbaik.
“Perfect!” seru Lia.
“Siapa dulu dong yang buat. Natalia!” puji Indira. “Gaun lo nanti, gue yakin pasti lebih cantik dari ini, kan?”
Lia tersenyum mendengar pujian Indira. “Tapi, Dir. Katanya kalau designer bikin gaun pengantinnya sendiri, pamali! Jadi—Eh bentar, deh. Make-up bagian matanya agak kurang.”
Indira menoleh sebentar ke cermin, dan benar yang diucapkan Lia. Bengkak di matanya masih terlihat, meski samar. Semalam Indira masih menangis memikirkan keputusan yang diambilnya. Masih ada ragu yang menyelimutinya, hingga sampai lelah menangis, dan akhirnya terlelap. Keesokan harinya, teriakan Olive memaksanya membuka mata, sekaligus menyeret Indira menuju rumahnya.
Saat melihat bagaimana bahagianya papa, mama, dan bapak yang sedang mengobrol di ruang tamu—menunggu persiapan pesta, membuat ragu yang sebelumnya bergelayut di benak Indira lenyap. Digantikan perasaan tak tega melihat kebahagiaan di wajah ketiga orang itu direnggut paksa. Nasi sudah menjadi bubur, Indira tidak bisa mengulang waktu untuk berbicara jujur tentang hubungannya dengan Adrian. Sekarang yang bisa dilakukannya adalah bersandiwara untuk tiga tahun ke depan. Menebus rasa bersalah, dan berharap ampunan dari orang-orang yang dibohonginya kelak.
“Mbak Lia, bisa ke ruangan groom sebentar?”
“Kenapa, Na?” tanya Lia tanpa mengalihkan fokusnya dari mata Indira yang sedang di-make-up-nya.
“Bagian bahunya agak enggak pas, Mbak.”
Lia menghentikan aktivitasnya yang menatap bingung asistennya. “Kok bisa?” Kemudian mengalihkan lagi tatapannya pada Indira. “Lo bukannya udah fitting baju? Enggak ngajak calon suami lo si Adrian?”
“Ngajak, kok. Tapi waktu itu gue juga udah bilang kekecilan bagian bahunya, tapi dia tetep ngeyel. Lagipula, calon gue bukan Adrian.”
“Hah?!”
“Udah, panjang ceritanya. Mending lo baca aja di berita gosip. Buruan sana benerin baju calon suami gue.”
“Ya udah, gue ke sebelah dulu.”
Setelah kepergian Lia ke kamar persiapan Mahesa, Indira kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Menunggu panggilan dari pihak wedding organizer yang akan memberitahukan pada Indira, kapan tepatnya dia akan memulai semua sandiwara ini.
Saat panggilan itu tiba, Indira menemukan papa, mama, bapak, dan beberapa kerabat hadir di sana menunggunya dengan haru dan penuh harap bahagia. Ketika janji pernikahan terucap, menjadikan Indira milik Mahesa, dan Mahesa milik Indira, di saat itu pula dalam diam ada hati yang terluka.
***
Saat ini Indira tengah berbaring di ranjang, melepas lelah dan penat sepanjang hari. Setelah resepsi sore tadi, Mahesa dan Indira masih harus menemui beberapa tamu relasi dari papa. Baru, ketika jam menunjuk pukul tujuh, Indira dan Mahesa bisa beristirahat.
“Kamu udah selesai bersih-bersih?” tanya Mahesa yang baru saja kembali dari mengambil air minum.
Indira menurunkan ponselnya dan mengangguk. “Di luar masih banyak tamu?”
“Enggak, tinggal dua om kamu yang katanya masih mau ngobrol sama papa,” jawab Mahesa, seraya meletakkan segelas air di nakas, lalu tanpa menatap Indira hendak segera berlalu masuk ke kamar mandi.
“Mahesa,” panggil Indira, membuat Mahesa urung ke kamar mandi. “Lo baik-baik aja?”
Mahesa mengangguk. “Kenapa?”
“Enggak. Sejak awal acara, lo kelihatan aneh. Apa terjadi sesuatu?”
Mahesa menggeleng cepat. “Enggak. Perasaan kamu aja.”
“Dengar Mahesa, gue udah mikir ini dari kemarin. Kalau lo bisa menawarkan diri sebagai teman ngobrol gue, gue pun bisa menawarkan hal yang sama.”
Lagi-lagi Mahesa hanya mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
“Oh. Ok,” jawab Indira. “Kalau gitu aku mau tidur dulu,” putus Indira akhirnya. Menyudahi pembicaraan yang dia tahu tidak akan ada akhirnya, karena jelas ekspresi dan diamnya Mahesa sama seperti saat pria itu berada di makam ibunya tempo hari. Entah apa yang membebaninya, sampai bisa membuat Mahesa yang biasanya banyak omong, tiba-tiba diam seribu bahasa.
Indira belum benar-benar terlelap saat beberapa menit kemudian dia merasakan kasur yang ditidurinya bergerak—Mahesa sedang berbaring di sebelah Indira.
“Indira.”
“Hem?”
“Kamu belum tidur?”
“Hampir.”
Hening untuk beberapa saat. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Kenapa?” tanya Indira akhirnya.
“Apa kamu yakin sandiwara ini bisa bertahan sampai tiga tahun?”
“Kenapa lo tiba-tiba pesimis gitu?”
Indira mengubah posisi tidurnya, kini punggung Mahesa menjadi pemandangan malamnya.
“Enggak. Aku cuma penasaran aja.”
“Apa lo juga sama merasa bersalahnya seperti gue kemarin?”
Kali ini Mahesa memutar tubuhnya, berhadapan dengan Indira.
“Kita melakukan ini semua demi orang tua kita, kan? Aku menerima lamaranmu, untuk kesembuhan bapak. Sedangkan kamu melakukan ini semua demi kebahagiaan papa dan mama. Kamu enggak mau mengecewakan mereka, kan?” tanya Mahesa—yang lebih mirip seperti kalimat untuk menyakinkan Indira dan dirinya sendiri.
“Tapi pada akhirnya nanti, mereka semua akan sama kecewannya.”
“Enggak. Di akhir nanti, mereka hanya akan kecewa sama aku. Sampai saat itu tiba, kita hanya perlu berusaha dan bertahan.”
Indira mengalihkan tatapannya pada langit-langit kamarnya. Kemudian mengangkat tangan kirinya, kini ditatapnya lekat benda berkilau di jari manisnya. Perlahan dia menarik cincin itu, melepaskannya, dan memberikannya pada Mahesa.
“Lo yang simpen.”
“Itu milik kamu sampai tiga tahun ke depan.”
“Tapi—”
“Cincin itu adalah pesan ibu buat menantunya. Ibu ingin menantunya memakai cincin pernikahan turun temurun yang diwariskan oleh keluarga bapak. Dulu, ibu mendapatkannya juga dari nenekku.”
“Tapi kita kan cuma pura-pura, Sa.”
“Meski pura-pura, status kamu tetap istriku. Menantu bapak dan ibu. Jadi …” Mahesa mengambil cincin di tangan Indira, kemudian memakaikannya kembali ke jari manisnya. “Pakai aja. Kalau kamu merasa keberatan, kamu simpen bareng perhiasaan kamu yang lainnya.”
Indira kembali memperhatikan benda berkilau di jarinya. Kemudian beralih kembali menatap Mahesa. Meminta pria yang berbaring di sebelahnya ini saja sudah merupakan suatu hal berat bagi Indira. Kini ditambah pula dengan cincin emas milik keluarga Mahesa yang menjadi bukti bahwa Indira adalah milik Mahesa.
***
Keesokan harinya setelah sarapan, Mahesa dan Indira memutuskan untuk kembali ke apartemen. Meski papa dan mama sempat menolak keinginan Indira untuk tinggal di apartemen, tapi mendengar alasan bahwa Indira dan suaminya ingin belajar hidup mandiri, membuat papa dan mama mengalah.
Sesampainya di apartemen, Mahesa langsung menggeret masuk kopernya dan juga koper Indira. Kemudian ke dapur untuk menuang jus sebagai pelepas dahaga—siang ini sungguh terik!
“Koper kamu mau aku masukin ke kamar sekalian?”
“Ehm, enggak usah. Nanti gue masukin sendiri.”
“Ok. Lalu untuk kamarku?”
Indira menepuk keningnya. Dirinya benar-benar lupa, kalau di apartemen ini hanya ada satu kamar tidur, sedangkan kamar yang berukuran lebih kecil dari kamarnya, dan berada di dekat dapur sudah dijadikannya gudang peralatan kebersihan!
“Sa! Gue lupa! Harusnya kemarin ada orang dateng beresin kamar yang di dekat dapur buat lo!” kabar Indira penuh sesal. “Tapi gara-gara gue terlalu mabok, mungkin gue enggak denger orangnya dateng.”
Mahesa tersenyum mendengar penjelasan Indira. Dia tidak akan menyalahkan istrinya.
“Enggak apa-apa. Nanti aku beresin sendiri. Sementara, aku bisa tidur di sofa.”
“Sofa? Badan kamu apa enggak capek? Mana sofanya pendek gitu!”
“Enggak apa-apa.”
“Tapi—bentar! Gue ada ide!”
Indira bergegas mencari ponselnya di dalam tas, lalu menekan nomer telepon Olive. Setelah tiga kali nada sambung, Indira bisa mendengar suara serak Olive yang pasti baru bangun tidur.
“Live! Tolongin gue, ya, please. Pesenin bed buat—halo? Halo?” Indira menatap bingung layar ponselnya. “Kok dimatiin, sih?” kesal Indira, seraya mencoba kembali menghubungi Olive, tapi ponselnya sudah dimatikan.
“Kenapa?”
“Dimatiin sama Olive. Padahal kan gue mau minta dia beli bed buat lo tidur sementara.”
“Aku beneran enggak apa-apa kok tidur di sofa.”
“Guenya yang apa-apa. Kalau lo sampai sakit, bisa-bisa papa sama mama marahin gue. Tau sendiri, sekarang lo itu mantu kesayangan sekaligus satu-satunya papa sama mama. Enggak lihat tuh makanan banyak gitu dibungkusin buat siapa?”
Mahesa menahan senyum mendengar kekesalan Indira tentang orang tuanya. “Terus gimana sekarang?”
“Ehm, kita beli aja yuk!”
“Beli?”
“Iya, sekalian ntar buat ngisi kamar lo yang baru. O iya, kemarin juga lo pengen punya panci baru, kan?”
Belum sempat Mahesa menjawab, Indira sudah menarik tangan Mahesa untuk melaju menuju sebuah toko perlengkapan rumah. Sesampainya di sana—lagi-lagi—tanpa persetujuan Mahesa, istrinya langsung memilih apapun barang yang sekiranya berguna untuk Mahesa.
“Indira, enggak usah beli ini,” tolak Mahesa sambil menunjuk ranjang berukuran besar. “Beli kasurnya aja, nanti bisa ditaruh di bawah aja kasurnya.”
Indira menimbang sejenak, tapi akhirnya setuju dengan usulan Mahesa. Setelah itu mereka menuju kebutuhan peralatan dapur.
“Kamu mau pindahan?”
“Hah? Enggak,” bingung Indira sambil menunjuk sebuah microwave. “Lo mau ini, enggak? Takutnya ntar pas masak apa gitu, lo butuh buat angetin sesuatu. Soalnya di apartemen enggak ada.”
“Kamu ini beneran enggak pernah masak di dapur apartemen, ya?”
Indira menatap bingung Mahesa.
“Ada microwave baru dan masih belum dipakai. Ada di bagian rak atas, dekat tempat cuci piring,” ujar Mahesa sembari menghela napas. “Beli kasur aja. Lainnya udah ada di apartemen.”
“Tapi gue mau beliin lo, Sa.”
Mahesa kembali menghela napas. “Semua yang kamu kasih sampai saat ini, udah lebih dari cukup. Yuk!” sahut Mahesa, lalu mengajak Indira ke kasir, sebelum istrinya kembali memilih barang-barang.
“Dira.”
Indira menoleh ke bagian antrian kasir di sebelahnya. Ada Lia yang juga sedang mengantri untuk membayar belanjaannya.
“Eh, beli apaan?”
“Ini, beliin mama selimut sama takaran kue. Tau sendiri, kan kalau nyokap demen banget bikin kue.”
“Wah iya! Lama juga gue enggak dapet kiriman kue dari tante Anin.”
“Entar gue bilangin mama buat kirim ke lo.”
“Eh, enggak usah. Ngerepotin, lagian gue cuma bercanda.”
“Enggak, kok. Lo sendiri beli apaan?”
“Oh ini, gue—”
“Aku tunggu di depan sana, ya,” potong Mahesa tiba-tiba, lalu tanpa menunggu persetujuan Indira, Mahesa langsung pergi.
“Lho, Sa. Ini Lia, yang kemarin design baju kita. Eh, ya udah kalau lo maunya gitu,” jawab Indira akhirnya saat melihat Mahesa pergi. “Eh, sampai lupa sama lo, ini gue beli kasur.”
“Kasur? Emang di apartemen lo enggak ada kasur?”
Indira memaki dirinya dalam hati. Dia baru sadar kalau jawabannya tentu saja akan terdengar aneh. Apalagi bagi Lia yang sudah tahu setiap sudut apartemennya.
“Kurang gede,” jawab Indira akhirnya, sambil berharap Lia percaya dan tidak lagi mengajukan pertanyaan.
Beruntung petugas kasir langsung melayani Indira, dan dia selesai lebih dulu. Bukan bermaksud tidak sopan pada Lia yang sudah membuat pernikahannya menjadi indah, tapi Indira harus buru-buru menyusul Mahesa—karena suaminya itu tidak ditemukan di manapun!
Indira segera menelepon ponsel Mahesa, tapi sampai panggilan ketiga, suaminya itu tidak menjawab. Indira hendak ke pusat informasi dan memanggil Mahesa, tapi tiba-tiba saja seseorang mencekal tangannya. Indira menoleh dan mendapati orang yang paling tidak ingin dilihatnya sedang mencengkeram lengannya.
“Apa kabar, Indira?”
***
Mahesa terburu membuka akses pintu masuk apartemen Indira, dan kegelapan menyambutnya, ketika dirinya sudah berhasil masuk. Buru-buru dia menghidupkan lampu, dan tidak ada tanda-tanda Indira sudah kembali dari toko perlengkapan. Mahesa kembali memeriksa ponsel, tidak ada kabar dari Indira. Sedari tadi, Mahesa juga sudah berulang kali mencoba menghubungi Indira, tapi ponselnya tidak aktif. Mahesa juga urung untuk menelepon mama dan papa, takut membuat mereka khawatir. Apalagi, baru kemarin mereka resmi menjadi suami-istri.“Kamu di mana, Indira?” gumam Mahesa, lalu tiba-tiba saja ponselnya berdering. “Ya, Mbak? Belum. Dia juga belum hubungin Mbak Olive? Mungkin Mbak Olive ada bayangan, ke mana kira-kira Indira pergi, misalkan saat dia benar-benar butuh sendiri?”Tak ada informasi berarti yang didapat Mahesa dari Olive. Olive juga sama butanya dengan Mahesa atas keberadaan Indira. Mahesa melangkah menuju kamar Indira, diperiksanya kamar istrinya&m
“Lo gimana, sih? Lo suaminya, masak enggak tahu kalau Indira itu alergi sama kacang?! Adonan es krim ini tuh ada kacangnya! Untung aja gue lihat! Lo tahu, gimana Indira kalau—”“Lia, udah. Kan, guenya enggak apa-apa.”“Enggak bisa gitu, Dir! Lo juga, kenapa enggak ngasih tahu suami lo, kalau lo punya alergi?!” marah Lia sambil menunjuk wajah Indira dan Mahesa bergantian.“Iya-iya. Gue yang salah. Udah, dong. Malu dilihatin orang,” desis Indira berusaha menenangkan amarah sepupunya. “Udah, sini duduk. Makan, biar enggak rese lo.”“Gue ini ngasih tahu yang bener ke suami lo ya, Dir. Gue—”“Maaf.” Mahesa mengambil gelas es krim di tangan Natalia. “Lain kali aku akan lebih berhati-hati saat memesankan makanan untuk Indira. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya.”“Udah-udah. Yuk, sini duduk. Gue traktir lo makan,” ujar Indira se
Jarum jam sudah hampir menunjuk pukul sepuluh malam, dan belum ada tanda-tanda Mahesa pulang. Bahkan Indira sudah menghabiskan dua porsi panas spesial ayam KFC terhitung mulai dari kepulangan Olive tadi sore. Berulang kali Indira mencoba menghubungi Mahesa, tapi hanya voice mail yang menjawab. Sial! Mahesa kembali berulah!Baru saja Indira hendak beranjak ke dapur untuk membuang bungkus sisa makanannya, saat dia mendengar suara panel pintu apartemen dibuka. Mahesa tersenyum menyapanya, setelah mengucapkan salam.“Ke mana aja lo?”“Aku ke rumah, ambil buku-buku aku buat bahan skripsi. Kemarin aku lupa, jadi hari ini aku balik lagi.”Indira melihat dua tas berukuran sedang yang terlihat sangat berat di tangan Mahesa. Lalu membiarkan Mahesa menuju kamarnya untuk menyimpan bukunya. Tak berapa lama kemudian, Mahesa muncul di sebelah Indira dan membantunya mencuci piring. Indira membiarkan hal itu, lalu dirinya sendiri mengambil
Indira menatap tampilannya di depan cermin. Dirinya memastikan, bahwa make-up-nya sudah pantas untuk ke acara pertemuan Mahesa dan teman-temannya. Dia tidak mau terlihat seperti tante-tante genit dan berondongnya—meskipun usia mereka hanya terpaut lima tahun. Olive sengaja mengosongkan jadwal Indira akhir pekan ini, agar perempuan itu bisa mengawasi tingkah suaminya.Indira beranjak keluar kamar dan tertegun melihat Mahesa yang malah sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu sepertinya semalam tidak tidur sama sekali.“Lo enggak tidur semalem?”“Hah?”Benar, kan? Mahesa seperti orang linglung dan hanya melongo menatap Indira yang sudah rapi.“Kamu mau ke mana?”“Siang ini, lo ada acara ketemuan sama temen-temen lo, kan?”“Kamu jadinya ikut?”Indira mengangguk. “Gih, buruan siap-siap sana.”Mahesa mengangguk, lalu melangkah menuju kamar
Indira baru saja membuka matanya saat melihat Mahesa sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Kemarin suaminya bilang, kalau hari ini dia akan ada di kampus seharian, jadi Mahesa sudah mewanti-wanti Indira agar tidak pergi dengan Adrian dulu.Mahesa menoleh kepada Indira yang terduduk dan menatapnya dalam diam di atas ranjang. Lalu tersenyum menyapa, “Pagi.”“Hm. Udah mau berangkat lo?”“Iya. Inget ya, hari ini jangan pergi dulu sama Adrian. Kalaupun memang terpaksa, bilang aja kamu mau me time, soalnya aku udah bilang ke mama juga kalau aku akan di kampus sampai sore.”Indira mengangguk mengerti.“Aku udah masakin sarapan buat kamu,” ujar Mahesa, lalu mengambil tas laptopnya, mengecup kepala Indira, lalu keluar kamar.Tunggu! Apa itu tadi? Mahesa mengecup kepalanya? Beraninya pria itu! Minta diberi pelajaran sepertinya! Indira melompat turun dari kasurnya, kemudian berlari mengejar Ma
Sialan! Gara-gara lamunan mesumnya, Indira baru bisa memejamkan mata menjelang subuh. Setiap kali dia menutup mata, di saat yang sama potongan lamunan mesumnya bersama Mahesa terus melintas. Bahkan pagi tadi dia sengaja melewatkan sarapan dan buru-buru berangkat, tapi suara mama dari dapur langsung menghentikan langkah masuk mobil Indira. Mama bersikeras agar dirinya berangkat diantar Mahesa saja, kebetulan memang Mahesa sudah siap berangkat. Dan sepanjang perjalanan, Mahesa tidak berhenti bertanya tentang Kesehatan Indira.“Kamu yakin enggak apa-apa? Kamu diem aja dari tadi.”Oh! Seandainya Mahesa tahu alasan Indira menjadi diam seperti sekarang ini—entahlah, Indira tidak bisa membayangkan, apakah suaminya akan bangga menjadi bahan mesum Indira, atau malah sebaliknya merasa jijik?Ketika sampai di kantor, Indira merasa ada yang aneh. Dilihatnya arloji di tangan kirinya yang sudah menunjuk pukul sembilan, tapi tidak ada seorang pun di lantai ya
Mahesa baru saja mengetik tiga paragraf di bab empat tugas akhirnya, saat ponselnya yang ada di sebelah nampan berisi bungkus cheeseburger bergetar. Setelah mengantar Indira bertemu dengan Adrian tadi, sebenarnya Mahesa tidak benar-benar pergi dari restoran cepat saji ini. Dirinya memutar arah kembali setir mobilnya dan memilih menghabiskan waktu menunggu Indira dengan mengerjakan tugas akhirnya di McD—seperti kebanyakan anak kuliah lainnya. Oh iya, Mahesa melihat layar ponselnya berkedip, tanda sebuah panggilan. “Ya, Ma?” Mahesa tidak punya pilihan lain selain berbohong saat ini. “Aku sama Indira mungkin pulang menjelang pagi. Iya, di sini Olive dan yang lainnya belum selesai pesta. Iya, Ma. Ok, aku akan jaga Indira baik-baik.” Setelah sambungan terputus, Mahesa masih menatap layar ponselnya. Menjaga Indira? Apa istrinya itu perlu dijaga? Bahkan saat ini, wanita itu ada di pelukan pria yang sangat dicintai dan mencintainya. “Kak Mahe
Indira menarik napas dalam-dalam sembari jemarinya memainkan cangkir teh di hadapannya. Mahesa menolak berbicara saat di rumah Tante Anin tadi, dengan alasan terlalu banyak orang, masuk akal memang. Terlalu beresiko kalau sampai ada orang yang tahu, tentang apa yang ingin Indira bicarakan saat ini. Hingga akhirnya, sepanjang pesta, keduanya kembali bersandiwara seperti biasa, dan kembali saling diam ketika perjalanan pulang.Setelah sampai di apartemen dan keduanya sudah membersihkan diri, Mahesa menarik kursi makan dan langsung duduk berhadapan dengan Indira.“Apa yang ingin kamu bicarakan?”Satu kalimat dari Mahesa. Tenang, tapi mampu membuat Indira kehilangan kata-kata. Memulai pembicaraan serius seperti ini, setelah tidak saling menyapa selama hampir seminggu, bukanlah perkara mudah.“Bisa enggak kita kayak dulu lagi? Anggap kejadian waktu di rumah mama, itu enggak pernah terjadi?”“Bukannya sekarang yang kita jala
DELETE SCENE TERSEDIA GRATIS DI KARYAKARSA6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSASILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI...Olive mengigiti kuku jarinya sejak lima menit yang lalu. Dirinya panik, khawatir, dan tidak tahu harus melakukan apa selain terus berusaha menghubungi Mahesa. Namun, entah mengapa sosok Mahesa yang biasanya langsung mengangkat telepon pada nada sambung ketiga, kini sulit sekali dihubungi.Olive bergantian menatap layar ponselnya dan Indira yang sedang memastikan bahwa mama sudah membawa paspornya. Ini mungkin akan menjadi kesempatan terakhir Olive membantu Mahesa untuk menyakinkan Indira, bahwa mereka layak mendapatkan kesempatan kedua, setelah hari berganti minggu dan Mahesa selalu gagal.“Ga! Lo di mana? Udah ketemu Mahesa? Buruan! Dira udah mau last call! Ya carilah! Tanya suster
DELETE SCENE TERSEDIA GRATIS DI KARYAKARSA6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSASILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ...Mama perlahan menutup pintu, lalu mengusap air matanya. Berusaha keras tersenyum saat menatap Mahesa yang sedari tadi menunggu di luar bersama bapak.“Maaf, Mahesa. Dira enggak mau ketemu siapapun. Termasuk kamu.”“Tapi Ma—”Mama kembali menyeka pipinya. “Tolong mengerti, Sa.”“Apa kata dokter?”“Dira syok dan harus banyak istirahat.”Mahesa mengangguk mengerti.“Ya udah, Mama masuk dulu.”“Ma,” panggil Mahesa, menghentikan langkah Mama yang hendak menutup pintu. “Tolong sampaikan pada Indira … Saya cinta Indira.”Mendengar kalimat Mahesa, m
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. 6 Bab ekstra dan Spin Off tersedia di KARYAKARSA...Pagi itu, mama menemukan sesuatu yang berbeda pada diri putri semata wayangnya. Jika biasanya di pagi hari, mama masih mendapati Indira mengurung diri di dalam kamarnya, tidak untuk hari ini. Sedari pagi, Indira sudah sibuk bersama Bik Harsi di dapur membuat bubur.“Masih enggak ada rasanya ya, Bik? Kurang gurih?”“Gampang, Non. Tambahin santan aja. Bentar, Bibik beli di warung depan ya.”“Kamu masak buat siapa, Dir? Tumben banget?”“Mama?!”Indira buru-buru mematikan kompornya, lalu tersenyum pada mama.“Kenapa kaget gitu? Kamu masa
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. ..Pekarangan rumah itu masih tampak asri, bahkan sepertinya koleksi pohon buah dan bunga mama bertambah. Mama masih di sana, masih menjalankan rutinitas berkebunnya. Kali ini sedikit berbeda. Tidak ada papa yang menemaninya menyiram tanaman atau memilih membaca koran pagi di kursi santai teras.Mahesa mendorong pagar, lalu mengucapkan salam, dan—seperti dugaan Mahesa—mama tak mengacuhkannya seperti biasanya. Tidak apa, setidaknya mama tidak lagi melempar sendal ke wajahnya seperti saat di rumah sakit.“Mau apa kamu? Indira enggak ada di sini.”“Saya ke sini mau ketemu sama Mama.”Mama masih tak acuh, sibuk mematikan keran air, lalu duduk untuk mulai men
Delete Scene tersedia GRATIS di KARYAKARSA. Disarankan membaca cerita ini sampai tamat terlebih dahulu, sehingga tidak bingung saat membaca Delete Scene di KARYAKARSA. Silakan cari akun: KOMOREBI. ..“Ah gila! Capek banget gue ngurusin si Mak Lampir!” keluh Olive yang tiba-tiba masuk ke kamar Indira dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Ngapain lo, Dir?”“Baca laporan.”Olive mengubah posisinya menjadi miring menghadap Indira dengan sebelah tangannya sebagai tumpuan. Diperhatikannya sosok sahabatnya ini yang benar-benar berubah. Indira yang ada di hadapannya ini, bukan lagi Indira yang dulu selalu berbagi gosip dengannya, tertawa bersama, bahkan takut padanya. Indira yang sekarang, jauh lebih pendiam dan hanya tersenyum—itu pun dipaksakan—pada orang-orang tertentu saja.“Laporan mulu! Udah ada Raga sama Santi, kan?”“
6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI APLIKASI DAN WEBSITE KARYAKARSA. SILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ..“Kamu enggak nerima lamaran Adrian, kan?”“Apa ucapanku kemarin kurang jelas? Aku enggak mau ketemu apalagi ngomong sama kamu!” tegas Indira, lalu membereskan barang-barangnya, dan hendak beranjak. Namun, Mahesa sudah lebih dulu menghalangi langkahnya. “Kamu mau bikin aku jadi bahan gosip lagi? Kamu mau aku jadi bahan olokan orang-orang yang ada di sini? Lepasin, Sa!” desis Indira.“Indira, aku enggak bermaksud seperti itu. Kita bicara sekarang, ya?”Tanpa menunggu persetujuan Indira, Mahesa langsung menggandeng tangan Indira. Namun, pekikan kesakitan langsung membuat Mahesa berhenti dan menoleh. Dilihatnya Indira menunduk, menyentuh kakinya yang masih terbalut perban. Mahesa berjongkok untuk melihat kondisinya.“Masih sak
6 BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA TERSEDIA DI APLIKASI DAN WEBSITE KARYAKARSA. SILAKAN CARI AKUN: KOMOREBI. ..“Gimana, Ma?”Mama menoleh dan mendapati Adrian sudah berdiri di sebelahnya. Wanita itu tersenyum, lalu mengangguk ke arah Indira, memberi semangat pada putrinya yang sedang ikut menjalani terapi.“Udah kemajuan banget dua minggu ikut terapi. Kemarin dia udah enggak pake kruk.”“Syukurlah.”“Mama belum sempet ngucapin makasih sama kamu. Makasih ya, Ian.”“Buat apa, Ma?”“Kamu selalu ada buat Dira. Kapan pun dan di mana pun. Beruntung Dira punya kamu, Ian.”“Aku yang beruntung punya Dira, Ma.”Mama kembali melemparkan tatapannya pada putri semata wayangnya yang tengah tertawa bersama terapisnya. “Ian, kamu enggak berencana ngelamar Dira lagi? Apa orang tua kamu
6 bab ekstra dan Spin Off hanya tersedia di aplikasi / web KaryaKarsa. Silakan cari akun: Komorebi..Mahesa masih berdiri di sana. Menatap dua petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai dan membersihkan kamar mandi. Kamar itu sudah kosong, dan itu artinya Mahesa kembali kehilangan jejak Indira.Mahesa pikir, dia sudah cukup kuat menyiapkan hatinya saat bertemu kembali dengan Indira. Menyusun setiap kata maaf dan penjelasan yang akan diucapkannya. Namun, saat wanitanya itu menjerit histeris dan mengusirnya, semua hancur berantakan.Mahesa kira dirinya masih—meskipun sedikit—dicintai oleh Indira dan angin kebahagiaan yang diberikan Raga akan bertahan sedikit lebih lama, tapi nyatanya semua itu kembali direnggut paksa, karena kalimat Raga kala itu, tidak berakhir di sana.“Indira dan Adrian, hubungan mereka bukan seperti itu. Mereka bukan suami-istri. Mereka enggak p
Extra Part dan Spin Off hanya tersedia di apps / web KARYAKARSASilakan cari akun: Komorebi.Berkebun mungkin adalah salah satu cara mama untuk tidak terus larut dalam kesedihan setelah ditinggalkan papa. Seperti saat ini, beliau tengah menikmati udara sore yang masih hangat, sembari bersenandung, dan memotong cabang tanamannya yang mati. Secangkir teh hijau juga menjadi temannya menikmati kudapan saat tubuhnya perlu diistirahatkan.“Sore, Ma,” sapa Indira yang baru turun dari mobil dan langsung menghampiri mama untuk mencium kedua pipinya.“Kamu sore banget ke sininya? Nanti pulangnya enggak kemalaman?”“Aku mau nginep di sini malam ini, kan weekend.”“Tumben. Memangnya kamu enggak ada janji makan malam sama Adrian weekend ini? Udah lama banget dia enggak ke sini. Terakhir waktu kalian pergi sama Arya, kan?”Indira menghela napas lelah, lalu duduk di kursi teras