Kapan Revan dan Ratu memadu kasih dalam keadaan sadar?
🏵️🏵️🏵️ Keesokan harinya …. Uek! Uek! Ratu kembali mual seperti biasanya. Rasa itu paling sering muncul saat pagi hari. Revan terbangun mendengar suara Ratu. Ia mendapati wanita itu berjalan menuju kamar mandi. Ia pun segera menghampirinya. “Kamu mual lagi, Sayang?” tanya Revan sambil mengusap-usap leher belakang Ratu. “Ini udah rutinitas pagi, Mas.” “Kamu nggak pernah bilang ke aku.” “Aku sengaja.” “Kenapa?” “Nanti kamu kepikiran.” “Nggak boleh gitu, dong, Sayang. Aku juga harus tahu keadaan kamu. Aku itu suamimu, bertanggung jawab penuh atas kamu.” “Terima kasih, Mas. Aku nggak nyangka akhirnya mendapat perhatian dari suamiku sendiri. Aku benar-benar sangat bahagia.” Mata Ratu berkaca-kaca. “Udah … sekarang kita balik lagi ke tempat tidur.” Revan memapah Ratu menuju tempat tidur. “Terima kasih atas cintamu, Mas.” Ratu mencium punggung tangan suaminya. Revan kemudian menggenggam jemari istrinya itu. “Aku yang harus berterima kasih ke kamu, Sayang. Kamu masih tetap mene
🏵️🏵️🏵️ “Yang saya lihat, sih, Ratu tertekan. Banyak pikiran hingga dia merasa bingung. Jangan sampai berpengaruh pada janinnya.” Penjelasan Dokter Aliyah membuat Bu Bella merasa bersalah. “Mama udah dengar?” Pak Arman langsung melontarkan pertanyaan itu kepada istrinya. Bu Bella hanya bisa terdiam. “Ratu nggak boleh terlalu banyak mikir, dia harus terhibur.” Dokter Aliyah kembali memberikan penjelasan. “Baik, Dok. Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ratu.” Revan menimpali penuturan Dokter Aliyah. “Baiklah … ini saya kasih resep obat yang diperlukan Ratu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya lagi.” Dokter Aliyah menyerahkan selembar kertas kepada Revan. Setelah selesai melakukan pemeriksaan dan menjelaskan tentang kondisi Ratu, Dokter Aliyah segera beranjak meninggalkan kamar Ratu. Ia diantar oleh asisten rumah tangga keluarga Pak Arman hingga ke depan rumah. “Jangan pergi, Mas,” pinta Ratu kepada Revan. “Iya, Sayang, aku di sini.” Revan mengenggam tangan sang istri la
🏵️🏵️🏵️ Cinta dan Bimo akhirnya pulang, kehadiran mereka berdua membuat Ratu merasa bahagia. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu bersama dengan kedua sahabatnya itu. Revan sangat senang melihat keceriaan di wajah istrinya, tetapi ia masih memikirkan tentang sikap Bimo tadi terhadap Ratu. Dua insan yang sedang dimabuk cinta itu memilih melanjutkan kebersamaan di kamar. Revan duduk di tempat tidur sambil bersandar, sedangkan Ratu dalam posisi rebahan dan menjatuhkan bobot kepalanya di pangkuan suaminya. Revan memainkan rambut panjang Ratu dan sesekali mengusap-usap pipinya. Kebahagiaan yang mereka rasakan sungguh nyata. Pasangan suami istri itu kini kembali bersama setelah melewati perpisahan yang menyakitkan. “Sayang … aku boleh nanya sesuatu, nggak?” tanya Revan. “Mau nanya apa, Mas?” “Tentang Bimo.” “Ada apa dengan Bimo?” tanya Ratu heran. “Apa dia pernah menaruh hati padamu?” “Yang aku tahu, sih, nggak. Kok, kamu nanyanya gitu, Mas?” Ratu bingung mendengar pertanyaan s
🏵️🏵️🏵️ “Mau minta apa? Kok, tegang banget ngomongnya.” “Tapi jangan nolak, ya.” “Apa, sih, Mas? Bikin penasaran aja.” “Aku pengen minta hakku sebagai suami pada istriku.” “Kamu bisa aja, Mas.” “Jadi, gimana, Sayang? Mau, ya.” Revan mengusap kedua pipi istrinya. “Iya, Mas. Aku juga minta maaf karena selama ini belum mampu menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.” “Aku ngerti karena di awal kehamilan, kamu masih sangat lemah banget.” “Aku janji, malam ini akan memberikan yang kamu inginkan, Mas.” Heningnya malam menjadi saksi bisu untuk pasangan suami istri yang sedang melaksanakan hasrat memadu kasih yang telah lama terpendam. Kini, dua insan itu bersama mengarungi luasnya samudera cinta. Revan berhasil membawa sang istri terbang tinggi mencapai tujuan yang tertunda selama ini. Keesokan harinya …. Revan masih belum mampu melupakan apa yang telah ia lakukan bersama Ratu hingga pagi ini saat di kantor, ia mengembangkan senyum di ruangan kerjanya. Semalam, untuk pertama
🏵️🏵️🏵️“Nggak nyangka, ya, Mas ….” Ratu menjeda kalimat yang ia ucapkan.“Nggak nyangka apa, Sayang?” Revan mengusap-usap perut sang istri sambil berbaring di tempat tidur.“Awal dari kehamilanku karena ketidaksengajaan.”“Kok, kamu ngomongnya gitu.”“Kenyataannya malam itu terjadi karena kamu nggak sadar.”“Itu jalan untuk mempersatukan kita.”“Saat pertama kali aku mengetahui kehamilan ini, aku takut jika kamu tidak terima, Mas. Aku sudah berpikir untuk membesarkan anak kita seorang diri.”“Kamu salah, Sayang. Aku justru sangat mengharapkan buah hati kita.”“Aku berpikir seperti itu karena ada alasan, Mas. Kamu dulu tidak menginginkan punya anak dariku.”“Udah, dong, Sayang. Kita nggak perlu mengingat itu lagi. Sekarang kita fokus melihat ke depan, membesarkan buah hati kita bersama. Dia anugerah terindah.”“Iya, Mas. Sekarang aku semakin bangga dan bersyukur menjadi istrimu.”“Aku juga beruntung memilikimu. Mampu memberiku kebahagiaan seperti tadi malam.”“Kebahagiaan apa, Mas?”
🏵️🏵️🏵️ Lani sangat yakin mengucapkan kalimat itu di depan Revan, padahal laki-laki itu sudah mengingatkan bahwa dirinya, kini hanya mendambakan Ratu seorang. Namun, Lani tetap terobsesi untuk kembali bersama laki-laki yang telah memiliki istri. “Kamu sudah gila, Lani!” “Aku gila karena cintamu. Apa perlu aku menghubungi istrimu untuk memberitahukan tentang pertemuan kita?” “Kamu jangan nekat! Jangan ganggu istriku!” Revan membentak Lani. “Aku nggak suka kalau kamu perhatian padanya.” “Dia istriku dan sudah seharusnya perhatianku hanya untuknya.” “Kamu jahat, Van! Dulu kamu selalu menyanjungku, menugucapkan kata cinta padaku.” “Itu dulu! Kamu harus ingat! Bagiku sekarang, kamu nggak lebih dari masa lalu.” “Kita lihat aja nanti.” Lani memberikan tantangan kepada Revan. Revan sangat takut dengan apa yang Lani lontarkan kepadanya. Wanita itu selalu membuatnya kesal hingga mengundang emosi dan amarah. Seperti yang terjadi hari ini, Lani memaksa untuk bertemu dengannya. Namun,
🏵️🏵️🏵️ “Apa-apaan ini? Revan keterlaluan!” Bu Bella mengeluarkan isi amplop tersebut. “Berhenti, Mah. Ratu nggak sanggup.” Bening kristal dari pelupuk mata Ratu akhirnya jatuh membasahi pipi. Ratu tidak kuat menyaksikan foto-foto mesra Revan bersama wanita lain. Ia tidak percaya kalau suaminya itu sudah sangat jauh melangkah saat masih berhubungan dengan masa lalunya. Di kertas tebal itu terlihat jelas seperti apa kedekatan mereka. Dalam amplop tersebut diselipkan sepucuk surat yang isinya makin menyayat hati Ratu. Ia tidak pernah menyangka kalau hubungan Revan bersama masa lalunya sudah seperti pasangan yang tidak terpisahkan. [Perkenalkan, aku Lani, wanita yang sangat Revan cintai. Setelah melihat foto-foto mesra kami, kamu pasti sudah tahu seperti apa kedekatan kami di masa lalu. Kami pasangan yang tidak dapat bersatu karena kamu sebagai orang ketiga. Kamu telah merebut laki-laki yang mengisi hidupku. Kamu jangan mimpi kalau Revan mencintaimu. Cintanya hanya untukku seorang
🏵️🏵️🏵️ Revan masih sangat ingat saat Ratu mengantarkannya hingga di depan pintu. Senyuman indah dan menawan tetap ia dapatkan dari istri tercinta. Ciuman hangat juga ia berikan di dahi wanita yang sangat ia cintai dan sayangi itu. “Aku berangkat dulu, ya, Sayang.” Revan mengucapkan kalimat itu kepada Ratu saat akan berangkat kerja tadi. “Iya, Mas. Kamu hati-hati, ya.” Ratu mencium punggung tangan suaminya. “Papa kerja dulu, ya, Sayang.” Revan seperti biasa mencium perut istrinya. Revan bingung dengan situasi saat ini, ia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saat baru tiba di rumah sakit, dirinya langsung mendapatkan tamparan keras dari ibu mertuanya. Tidak cukup hanya sampai di situ, Bu Bella juga memberikan tuduhan yang tidak dapat ia pahami. Pikiran Revan masih penuh tanda tanya hingga tidak menyadari kehadiran Dokter Aliyah. “Revan ….” Suara itu mengagetkan laki-laki pemilik hidung bangir itu. “Iya, Dok,” jawab Revan gugup. “Kamu diminta masuk oleh dokter yang menangan