Pintu rumah tertutup pelan di belakang punggung Arina. Tak ada dentuman marah, hanya desahan napas panjang yang nyaris tak terdengar. Sepatu dilepas seadanya, tas disampirkan asal di sofa, lalu tubuhnya jatuh rebah di ranjang kamar yang selama ini jadi tempatnya mengobati lelah.
Telinganya masih dipenuhi gema suara Nindy yang angkuh membicarakan pesta pernikahan impian, juga Jefan yang memanggilnya dengan sebutan sayang—seolah luka Arina tak pernah ada. Mereka berdiri berdampingan, menyusun rencana dengan pongah, seperti dua orang yang tak pernah mengkhianati atau menghancurkan hidup siapa pun.
Tadi, dia tertawa sinis. Mengangkat dagu tinggi, melempar sindiran tajam, pura-pura tak peduli. Tapi di sini, saat hanya ada dia dan sepi, Arina tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.
Air mata jatuh diam-diam, satu per satu, seperti kenangan yang tak mau pergi. Tetap saja, meskipun Jefan brengsek, tapi laki-laki itulah yang sempat menghiasi hatinya beberapa tahun terakhir—waktu yang sama sekali tidak sebentar.
Kenangan-kenangan manis yang mengisi masa kuliahnya terputar kembali. Bagaimana Jefan dengan senyuman manisnya selalu menyapa Arina setiap mereka berpapasan, Jefan yang selalu mengusap puncak kepalanya lembut, bahkan Jefan yang selalu dengan bangga meneriakkan kata cinta dihadapan semua orang seolah menandai bahwa Arina adalah miliknya.
Masa-masa manis itu begitu membekas. Apalagi hubungan yang terjalin begitu lama. Ada banyak sekali hal yang mereka lewati bersama. Tidak semudah itu menghapus Jefan dari kehidupannya.
Kalau kata Silvia dulunya, Arina itu sudah masuk golongan bucin tolol terverifikasi. Silvia melihat betapa merah seorang Jefan. Tapi Arina justru menerimanya sebagai sisi positif dan negatif manusia yang selalu berdampingan. Kekurangan Jefan, harusnya bisa Arina pahami, begitulah dia pikir dahulu.
Arina hidup sebagai kekasih Jefano yang selalu melakukan apa kata Jefano. Kalau bahasa sekarang, istilahnya Arina juga cukup mothering. Mungkin karena mereka seumuran dan Arina mampu bersikap cukup dewasa dengan membantu Jefano selama ini. Tapi ternyata, itu justru tak cukup dan justru menjadi alasan utama Jefano membutuhkan sekaligus membencinya.
"Kamu bahkan nggak pernah bisa menghargai aku, huh?!"
Arina tertawa dalam tangisnya. Jefano rupanya tak suka kekasihnya sendiri lebih 'menyala' daripada dirinya. Arina menyadari kalimat serupa yang ternyata kerap Jefan katakan ketika dia 'mungkin' merasa terancam atau tidak lebih baik dari Arina. Kalimat yang pada akhirnya menyebabkan Arina menekan potensi dirinya sendiri agar dapat mengisi ego dalam diri Jefan.
Sebenarnya, siapa yang membuat keduanya berada dalam sebuah persaingan?
Arina telah banyak berkorban untuk Jefan. Satu-satunya hal yang tak bisa dia turuti adalah menikah waktu itu dan pasal studi keluar negeri.
Dia terdiam sebentar, kembali meneguhkan pikirannya. Dia tidak bisa sedih berlarut-larut. Lagipula, Jefan telah menunjukkan sendiri belangnya.
Ia mengusap pipi cepat-cepat, menolak jadi korban dari kisah cinta yang tak berakhir adil. Arina tidak tahu lagi mana yang lebih membuatnya sakit. Berpisah dengan Jefan karena diselingkuhi atau kenyataan bahwa dia begitu bodoh dengan mencintai seorang pria egois yang bahkan 'insecure' terhadapnya.
Bangkit dari tempat tidur, langkahnya mantap menuju laci meja, lemari, kotak penyimpanan.
Satu per satu benda bermakna muncul: tiket konser pertama mereka, surat-surat penuh janji, foto-foto usang yang pernah membuatnya tersenyum. Semua dimasukkan ke dalam kotak. Ditatap sebentar, lalu ditutup rapat. Seolah tak akan ada celah bagi siapapun atau apapun untuk masuk kesana.
Tanpa ragu, Arina menyeret kotak itu keluar. Dibakarnya di halaman kecil belakang rumah. Netra beningnya menangkap setiap percikan yang dia ciptakan, bahkan ketika nyala api menjilat semua kenangan hingga menjadi abu.
Harusnya, setelah ini tak ada lagi ruang untuk Jefan di hatinya. Tidak setelah ia memilih pergi dengan gadis yang menginjak perasaannya tanpa ampun. Nindy, bukan sekali melakukan ini padanya, dan seharusnya Arina cukup menyadari aura negatif macam apa yang selalu dibawa oleh wanita itu tiap mereka berpapasan.
Arina dengan tekadnya yang kuat, berbekal sakit hati yang menancap dalam. Hari ini, Arina tidak hanya menghapus air mata. Ia membakar luka, dan dari bara itu, ia akan lahir kembali. Lebih kuat. Lebih tak tergoyahkan.
Ponsel Arina menyala tepat saat wanita itu membalik badannya. Panggilan dari orang penting yang baru saja dia temui tentu saja harus menjadi prioritas baginya sekarang. Apalagi ketika nomor tersebut yang justru menghubunginya lebih dulu.
"Halo, Selamat Malam Ibu Arina."
Arina tersenyum tipis, berusaha turut menghasilkan suara dengan efek senyum sebisanya. Menekan ke dalam seluruh gemuruh emosi yang sempat menguasainya dan berganti dengan aliran lebih lembut untuk membuatnya tetap menjaga dirinya lebih stabil dan profesional.
"Selamat Malam, Pak Askara. Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.
Arina berusaha mempertahankan senyumnya, namun kalimat selanjutnya yang terucap dari Askara berhasil membuatnya membeku.
"Saya punya proposal lain untuk kamu. Kali ini sama sekali bukan tentang kampus, hanya kita berdua secara pribadi. Kira-kira kamu tertarik?"
“Seberapa keras-pun aku berpikir, sepertinya memang nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain putus. Kamu terlalu egois, aku nggak bisa lagi bertahan sama kamu.”Arina memijit kembali pelipisnya yang berdenyut sakit. Sebenarnya bukan hanya pelipis, bahkan seluruh bagian kepalanya sudah menjerit berat. Dadanya kini juga ikut-ikutan sesak setelah sekelebat kalimat sakti itu lagi dan lagi berteriak tanpa puas mendengung di telinganya. Bahkan kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung secara lisan, tapi mengapa Arina seolah bisa mendengar semuanya dengan jelas?Sekitar lima jam yang lalu ketika pesan itu dia terima via whatsapp. Sebuah pesan yang sepertinya merupakan keputusan sepihak mengingat setelah pesan itu dia terima, Arina bahkan tidak bisa memberikan dan mendapatkan respon balik. Pesan balasan tak dibaca dan telepon pun tak diangkat. Dia benar-benar diputuskan secara sepihak tanpa penjelasan lanjutan dan bahkan hanya melalui chat saja? Oh astaga!Dia menyentuh pelan layar ponsel
Kepalanya terasa berat, seakan ada palu godam yang terus-menerus menghantam pelipisnya. Arina mengerjapkan mata, menyadari dirinya terbangun di sofa. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya semakin berdenyut nyeri.Begitu kesadarannya setengah terkumpul, mual yang mendesak perutnya tak bisa lagi ditahan. Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung meja di depannya, lalu setengah berlari ke kamar mandi. Suara air yang bergemuruh dari keran hampir tidak mampu menutupi suara muntahannya.“Astaga Arin! Berapa banyak yang kamu minum semalam?”Suara cempreng itu membuat Arina sedikit tenang. Dia tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu adalah suara Silvia, sahabat karibnya. Setidaknya dia tidak bangun di ranjang laki-laki asing atau semacamnya. Semalam cukup gila, tapi Arina tidak cukup gila untuk bahkan menyerahkan tubuhnya pada lelaki manapun.Silvia yang sedari tadi terjaga langsung menyusul, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dengan wajah khawatir, ia menepuk punggung Arin
“Bu Arina!”Arina menoleh saat namanya disebut. Wanita itu baru saja hendak sedikit bersyukur saat mengetahui bahwa acara hari ini belum mulai karena katanya masih harus menunggu rektor yang masih menyambut tamu penting di kantornya. Tumben sekali Arina bersyukur atas adanya keterlambatan semacam ini. Biasanya dia yang akan paling sebal kalau acara tidak berjalan sesuai rundown.Tapi belum sempat benar-benar bersyukur, Arina harus kembali menarik wajahnya untuk tersenyum saat menemukan Wakil Ketua Prodi memanggilnya dengan wajah ketat.“Bu Arina baru sampai? Saya cari dari tadi nggak ketemu,” ujarnya jutek.Arina menunduk, “Iya bu, maaf. Ada sedikit hal yang harus saya urus tadi,” bohongnya.Wanita itu tahu bagaimana menyeramkannya Wakil Ketua Prodi satu ini.“Bu, tolong hari ini gantikan Bu Widya untuk menjadi moderator acara, ya! Bu Widya mendadak harus ikut acara di fakultas sebelah,” ujar Bu Indira, si Wakil Ketua Prodi yang dia pikir akan marah-marah padanya namun ternyata justru
Setelah acara talkshow berakhir, para narasumber diarahkan menuju ruang makan eksklusif di dalam gedung rektorat. Rektor sendiri yang mengundang mereka untuk makan siang bersama sebagai bentuk apresiasi atas waktu dan wawasan yang telah dibagikan kepada para mahasiswa. Syukurnya, orang-orang sibuk tersebut masih menyanggupi dan mungkin tidak tengah terburu-buru untuk menghadiri kegiatan mereka yang lain.Arina bersama dengan beberapa rekan dosen lainnya turut mengiringi. Menjamu para undangan dengan baik sekaligus mendengarkan arahan selanjutnya dari rektor mengenai kelanjutan atau hasil yang diharapkan dari talkshow kali ini.Kegiatan bertajuk “Navigating the Future: Strategi Manajemen dan Konsultasi Bisnis di Era Digital" kali itu adalah sebuah talkshow nasional yang menjadi program dari fakultas manajemen. Menghadirkan narasumber ternama dari berbagai bidang terkait dan relevan sehingga bisa memberikan perspektif mereka dari berbagai sudut pandang.Di antara para narasumber, ada As
“Jefan selingkuh sama Nindy, kan?”Arina hampir melotot saat tiba-tiba Silvia menelpon dan langsung menyambarnya dengan kalimat pembuka yang cukup pedas. Bukannya kaget tentang fakta tersebut, Arina jelas lebih kaget sebab Silvia mengetahui hal ini."Hah?!" Arina bingung membalas apa dan hanya bisa mengeluarkan sepatah kata dengan ragu.Terdengar helaan nafas di seberang panggilan, "Nggak usah ditutup-tutupin segala! Lonte satu itu sudah spill semuanya di instagram! Dia dengan bangga go public! Memposting carrousel menjijikkan tentang hubungannya dengan Jefan!" Terang Silvia.Arina yang juga sambil membuka whatsapp web di laptop lantas membuka link yang Silvia kirimkan. Menunjukkan foto di akun Instagram dengan username nindyasalsa_ yang menampakkan foto mesra antara dirinya dengan Jefano. Dilengkapi dengan caption menjijikkan seolah mendeklarasikan hubungan resmi dengan Jefan sekarang."Pantas saja kemarin mabuk sampai separah itu! Kenapa nggak ngomong kemarin, sih?!" Kesal Silvia l
Usai mengajar, Arina memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat acara bridal shower diadakan semalam. Berangkat menggunakan transportasi online, menjemput mobil kesayangan yang terpaksa bermalam sendirian di hotel sebab terpaksa dia tinggalkan akibat terlalu mabuk. Brio putih kesayangan yang berhasil dibeli lunas dua tahun lalu menggunakan tabungannya sejak SMA dari hasil menang lomba dan aneka pekerjaannya yang palugada ditambah hidup sedikit lebih berhemat. Arina lebih sering membawa bekal, tidak membeli es kopi premium setiap hari, dan tidak menghabiskan uangnya demi membuka table atau mentraktir teman-temannya. Arina juga jarang jalan-jalan ataupun belanja outift sehingga pakaiannya sekarang murni karena upaya kerasnya untuk mix and match pakaian basic yang dia miliki dengan baik.Arina duduk di kursi belakang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Samar-samar, ia teringat tawa riuh, musik menggelegar, dan lampu-lampu temaram yang mengisi pesta semalam. Belum lagi minuman
Restoran itu belum terlalu ramai saat Arina datang, tepat pukul delapan malam. Ia mengenakan blazer abu lembut dan celana panjang hitam, tampak rapi dan profesional meski sempat tergesa dari kampus. Sejenak ia melirik arlojinya, lalu matanya menangkap sosok pria yang duduk di meja pojok dekat jendela—Askara.Restoran itu temaram dan tenang, lampu gantung berpendar lembut di atas meja-meja kayu elegan yang tertata rapi. Askara sudah duduk sambil membuka proposal kerjasama dari Universitas. Saat melihat Arina mendekat, ia segera berdiri dan menyambutnya dengan senyum ramah.Sebenarnya, janji temu pada awalnya dijadwalkan pukul lima sore. Tapi Askara mendadak memindahkan waktunya sebab dia ada pertemuan penting yang mendadak dan tidak bisa ditinggalkan. Sembari menunggu waktu dan konfirmasi lokasi, Arina melanjutkan pekerjaannya di kampus.Pemilik perusahaan konsultan bisnis itu berdiri dan menyambutnya dengan sopan. Arina membalas dengan senyum ramah sebelum keduanya duduk. Di hadapan
Langkah Arina terhenti begitu saja. Baru saja ia menekan tombol pada remote mobilnya, dan lampu hazard si putih miliknya itu berkedip menyala, dua sosok yang tak asing—dan sebenarnya paling ia hindari sekaligus sempat ia cari—muncul tepat di hadapannya.Jefan dan Nindy.Dua manusia yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya. Satu sebagai cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun. Satu lagi sebagai teman yang dulu ia anggap saudara. Dan kini? Mereka berdiri bergandengan tangan, dengan senyum menyebalkan yang menempel di wajah mereka seperti topeng murahan.“Arina,” sapa Nindy dengan nada dibuat-buat ramah. “Nggak nyangka kita ketemu di sini." Senyumnya dibuat terlalu lebar untuk terlihat tulus.Arina hanya melirik Nindy dengan raut yang sudah pasti muak. Ia melirik sebelahnya, lelaki yang tujuh tahun belakangan mengisi hatinya. Kini justru membuang muka sembari memasukkan tangan ke dalam kantong. Seolah dia benar-benar sudah tak ingin lagi bertemu atau bahkan menjelaskan apapun pad
Pintu rumah tertutup pelan di belakang punggung Arina. Tak ada dentuman marah, hanya desahan napas panjang yang nyaris tak terdengar. Sepatu dilepas seadanya, tas disampirkan asal di sofa, lalu tubuhnya jatuh rebah di ranjang kamar yang selama ini jadi tempatnya mengobati lelah.Telinganya masih dipenuhi gema suara Nindy yang angkuh membicarakan pesta pernikahan impian, juga Jefan yang memanggilnya dengan sebutan sayang—seolah luka Arina tak pernah ada. Mereka berdiri berdampingan, menyusun rencana dengan pongah, seperti dua orang yang tak pernah mengkhianati atau menghancurkan hidup siapa pun.Tadi, dia tertawa sinis. Mengangkat dagu tinggi, melempar sindiran tajam, pura-pura tak peduli. Tapi di sini, saat hanya ada dia dan sepi, Arina tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.Air mata jatuh diam-diam, satu per satu, seperti kenangan yang tak mau pergi. Tetap saja, meskipun Jefan brengsek, tapi laki-laki itulah yang sempat menghiasi hatinya beberapa tahun terakhir—waktu yang sama se
Langkah Arina terhenti begitu saja. Baru saja ia menekan tombol pada remote mobilnya, dan lampu hazard si putih miliknya itu berkedip menyala, dua sosok yang tak asing—dan sebenarnya paling ia hindari sekaligus sempat ia cari—muncul tepat di hadapannya.Jefan dan Nindy.Dua manusia yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya. Satu sebagai cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun. Satu lagi sebagai teman yang dulu ia anggap saudara. Dan kini? Mereka berdiri bergandengan tangan, dengan senyum menyebalkan yang menempel di wajah mereka seperti topeng murahan.“Arina,” sapa Nindy dengan nada dibuat-buat ramah. “Nggak nyangka kita ketemu di sini." Senyumnya dibuat terlalu lebar untuk terlihat tulus.Arina hanya melirik Nindy dengan raut yang sudah pasti muak. Ia melirik sebelahnya, lelaki yang tujuh tahun belakangan mengisi hatinya. Kini justru membuang muka sembari memasukkan tangan ke dalam kantong. Seolah dia benar-benar sudah tak ingin lagi bertemu atau bahkan menjelaskan apapun pad
Restoran itu belum terlalu ramai saat Arina datang, tepat pukul delapan malam. Ia mengenakan blazer abu lembut dan celana panjang hitam, tampak rapi dan profesional meski sempat tergesa dari kampus. Sejenak ia melirik arlojinya, lalu matanya menangkap sosok pria yang duduk di meja pojok dekat jendela—Askara.Restoran itu temaram dan tenang, lampu gantung berpendar lembut di atas meja-meja kayu elegan yang tertata rapi. Askara sudah duduk sambil membuka proposal kerjasama dari Universitas. Saat melihat Arina mendekat, ia segera berdiri dan menyambutnya dengan senyum ramah.Sebenarnya, janji temu pada awalnya dijadwalkan pukul lima sore. Tapi Askara mendadak memindahkan waktunya sebab dia ada pertemuan penting yang mendadak dan tidak bisa ditinggalkan. Sembari menunggu waktu dan konfirmasi lokasi, Arina melanjutkan pekerjaannya di kampus.Pemilik perusahaan konsultan bisnis itu berdiri dan menyambutnya dengan sopan. Arina membalas dengan senyum ramah sebelum keduanya duduk. Di hadapan
Usai mengajar, Arina memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat acara bridal shower diadakan semalam. Berangkat menggunakan transportasi online, menjemput mobil kesayangan yang terpaksa bermalam sendirian di hotel sebab terpaksa dia tinggalkan akibat terlalu mabuk. Brio putih kesayangan yang berhasil dibeli lunas dua tahun lalu menggunakan tabungannya sejak SMA dari hasil menang lomba dan aneka pekerjaannya yang palugada ditambah hidup sedikit lebih berhemat. Arina lebih sering membawa bekal, tidak membeli es kopi premium setiap hari, dan tidak menghabiskan uangnya demi membuka table atau mentraktir teman-temannya. Arina juga jarang jalan-jalan ataupun belanja outift sehingga pakaiannya sekarang murni karena upaya kerasnya untuk mix and match pakaian basic yang dia miliki dengan baik.Arina duduk di kursi belakang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Samar-samar, ia teringat tawa riuh, musik menggelegar, dan lampu-lampu temaram yang mengisi pesta semalam. Belum lagi minuman
“Jefan selingkuh sama Nindy, kan?”Arina hampir melotot saat tiba-tiba Silvia menelpon dan langsung menyambarnya dengan kalimat pembuka yang cukup pedas. Bukannya kaget tentang fakta tersebut, Arina jelas lebih kaget sebab Silvia mengetahui hal ini."Hah?!" Arina bingung membalas apa dan hanya bisa mengeluarkan sepatah kata dengan ragu.Terdengar helaan nafas di seberang panggilan, "Nggak usah ditutup-tutupin segala! Lonte satu itu sudah spill semuanya di instagram! Dia dengan bangga go public! Memposting carrousel menjijikkan tentang hubungannya dengan Jefan!" Terang Silvia.Arina yang juga sambil membuka whatsapp web di laptop lantas membuka link yang Silvia kirimkan. Menunjukkan foto di akun Instagram dengan username nindyasalsa_ yang menampakkan foto mesra antara dirinya dengan Jefano. Dilengkapi dengan caption menjijikkan seolah mendeklarasikan hubungan resmi dengan Jefan sekarang."Pantas saja kemarin mabuk sampai separah itu! Kenapa nggak ngomong kemarin, sih?!" Kesal Silvia l
Setelah acara talkshow berakhir, para narasumber diarahkan menuju ruang makan eksklusif di dalam gedung rektorat. Rektor sendiri yang mengundang mereka untuk makan siang bersama sebagai bentuk apresiasi atas waktu dan wawasan yang telah dibagikan kepada para mahasiswa. Syukurnya, orang-orang sibuk tersebut masih menyanggupi dan mungkin tidak tengah terburu-buru untuk menghadiri kegiatan mereka yang lain.Arina bersama dengan beberapa rekan dosen lainnya turut mengiringi. Menjamu para undangan dengan baik sekaligus mendengarkan arahan selanjutnya dari rektor mengenai kelanjutan atau hasil yang diharapkan dari talkshow kali ini.Kegiatan bertajuk “Navigating the Future: Strategi Manajemen dan Konsultasi Bisnis di Era Digital" kali itu adalah sebuah talkshow nasional yang menjadi program dari fakultas manajemen. Menghadirkan narasumber ternama dari berbagai bidang terkait dan relevan sehingga bisa memberikan perspektif mereka dari berbagai sudut pandang.Di antara para narasumber, ada As
“Bu Arina!”Arina menoleh saat namanya disebut. Wanita itu baru saja hendak sedikit bersyukur saat mengetahui bahwa acara hari ini belum mulai karena katanya masih harus menunggu rektor yang masih menyambut tamu penting di kantornya. Tumben sekali Arina bersyukur atas adanya keterlambatan semacam ini. Biasanya dia yang akan paling sebal kalau acara tidak berjalan sesuai rundown.Tapi belum sempat benar-benar bersyukur, Arina harus kembali menarik wajahnya untuk tersenyum saat menemukan Wakil Ketua Prodi memanggilnya dengan wajah ketat.“Bu Arina baru sampai? Saya cari dari tadi nggak ketemu,” ujarnya jutek.Arina menunduk, “Iya bu, maaf. Ada sedikit hal yang harus saya urus tadi,” bohongnya.Wanita itu tahu bagaimana menyeramkannya Wakil Ketua Prodi satu ini.“Bu, tolong hari ini gantikan Bu Widya untuk menjadi moderator acara, ya! Bu Widya mendadak harus ikut acara di fakultas sebelah,” ujar Bu Indira, si Wakil Ketua Prodi yang dia pikir akan marah-marah padanya namun ternyata justru
Kepalanya terasa berat, seakan ada palu godam yang terus-menerus menghantam pelipisnya. Arina mengerjapkan mata, menyadari dirinya terbangun di sofa. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya semakin berdenyut nyeri.Begitu kesadarannya setengah terkumpul, mual yang mendesak perutnya tak bisa lagi ditahan. Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung meja di depannya, lalu setengah berlari ke kamar mandi. Suara air yang bergemuruh dari keran hampir tidak mampu menutupi suara muntahannya.“Astaga Arin! Berapa banyak yang kamu minum semalam?”Suara cempreng itu membuat Arina sedikit tenang. Dia tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu adalah suara Silvia, sahabat karibnya. Setidaknya dia tidak bangun di ranjang laki-laki asing atau semacamnya. Semalam cukup gila, tapi Arina tidak cukup gila untuk bahkan menyerahkan tubuhnya pada lelaki manapun.Silvia yang sedari tadi terjaga langsung menyusul, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dengan wajah khawatir, ia menepuk punggung Arin
“Seberapa keras-pun aku berpikir, sepertinya memang nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain putus. Kamu terlalu egois, aku nggak bisa lagi bertahan sama kamu.”Arina memijit kembali pelipisnya yang berdenyut sakit. Sebenarnya bukan hanya pelipis, bahkan seluruh bagian kepalanya sudah menjerit berat. Dadanya kini juga ikut-ikutan sesak setelah sekelebat kalimat sakti itu lagi dan lagi berteriak tanpa puas mendengung di telinganya. Bahkan kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung secara lisan, tapi mengapa Arina seolah bisa mendengar semuanya dengan jelas?Sekitar lima jam yang lalu ketika pesan itu dia terima via whatsapp. Sebuah pesan yang sepertinya merupakan keputusan sepihak mengingat setelah pesan itu dia terima, Arina bahkan tidak bisa memberikan dan mendapatkan respon balik. Pesan balasan tak dibaca dan telepon pun tak diangkat. Dia benar-benar diputuskan secara sepihak tanpa penjelasan lanjutan dan bahkan hanya melalui chat saja? Oh astaga!Dia menyentuh pelan layar ponsel