Setelah acara talkshow berakhir, para narasumber diarahkan menuju ruang makan eksklusif di dalam gedung rektorat. Rektor sendiri yang mengundang mereka untuk makan siang bersama sebagai bentuk apresiasi atas waktu dan wawasan yang telah dibagikan kepada para mahasiswa. Syukurnya, orang-orang sibuk tersebut masih menyanggupi dan mungkin tidak tengah terburu-buru untuk menghadiri kegiatan mereka yang lain.
Arina bersama dengan beberapa rekan dosen lainnya turut mengiringi. Menjamu para undangan dengan baik sekaligus mendengarkan arahan selanjutnya dari rektor mengenai kelanjutan atau hasil yang diharapkan dari talkshow kali ini.
Kegiatan bertajuk “Navigating the Future: Strategi Manajemen dan Konsultasi Bisnis di Era Digital" kali itu adalah sebuah talkshow nasional yang menjadi program dari fakultas manajemen. Menghadirkan narasumber ternama dari berbagai bidang terkait dan relevan sehingga bisa memberikan perspektif mereka dari berbagai sudut pandang.
Di antara para narasumber, ada Askara Danendra, seorang praktisi dengan pengalaman kerja yang luas di industri. Sepanjang acara, ia berhasil menyedot perhatian banyak peserta dengan pemaparan yang lugas dan berbobot, mencerminkan pengalamannya yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dunia profesional. Tak luput, visualnya yang harus diakui memukau. Bahkan dalam sesi tanya jawab tadi, tak tanggung-tanggung ada mahasiswa yang menyelipkan pertanyaan tentang username media sosial pria tersebut.
Arina belum punya kesempatan untuk minta maaf lebih lanjut. Jujur, dia merasa sangat risih karena Askara sesekali masih terus menatapnya dengan jenis tatapan yang sulit diartikan. Terserah apakah orang akan menganggapnya terlalu percaya diri atau apa.
Saat hidangan mulai disajikan, suasana makan siang berlangsung hangat. Beberapa narasumber berdiskusi santai, membahas topik yang sempat mereka bahas di talkshow tadi. Rektor sesekali melontarkan pertanyaan, meminta pendapat mereka tentang bagaimana dunia akademik dapat lebih bersinergi dengan industri.
Askara, dengan sikapnya yang tenang namun penuh keyakinan, menyampaikan pemikirannya. “Kolaborasi antara kampus dan industri itu penting. Mahasiswa perlu lebih banyak mendapat exposure terhadap dunia kerja yang sebenarnya,” ujarnya.
Rektor mengangguk setuju. “Kami ingin mengembangkan program magang dan riset bersama dengan berbagai sektor industri. Mungkin Pak Askara bisa membantu membuka beberapa peluang kerja sama?”
Askara tersenyum tipis. Dia yang kini tengah fokus dengan perusahaan konsultasinya sendiri tentu menyambut baik rencana tersebut. “Tentu, Pak. Selalu ada ruang bagi talenta-talenta muda yang siap berkembang.”
Percakapan berlanjut, menciptakan peluang baru yang tak hanya menguntungkan mahasiswa, tetapi juga membuka kemungkinan kerja sama antara akademisi dan para profesional di industri.
“Bu Arina, selanjutnya saya minta tolong untuk follow up Pak Askara mengenai kelanjutan program kerja sama kita itu, ya. Terkait proposal dan lain sebagainya kan sudah kampus siapkan, tinggal menyesuaikan saja,” Rektor bahkan secara khusus menunjuk Arina untuk melakukan follow up pada Askara. Sesuatu yang sedikit tidaknya membuat Arina menjadi setengah kaget. Tapi mana bisa dia menolak?
“Baik, Pak,” Arina menerima pada akhirnya.
Wanita itu ingat dengan misinya. Maka setelah makan siang berakhir, buru-buru Arina mengejar targetnya.
“Permisi Pak Askara,” panggilnya. Askara yang bertubuh tinggi dan berjalan di depannya kini menoleh dan membalik badan saat mendapati presensi Arina menatap kearahnya.
“Pak Askara, boleh saya minta waktu sebentar?” suara Arina terdengar tegas namun tetap sopan.
“Tentu, Bu Arina. Ada yang bisa saya bantu?”
Arina mengangguk, lalu melanjutkan, “Sesuai dengan perbincangan di ruangan tadi, kami di fakultas sedang merancang program magang bagi mahasiswa, dan saya ditugaskan untuk berkoordinasi dengan perusahaan Anda. Saya ingin mendiskusikan beberapa detail teknis, jika bapak berkenan.”
Lelaki itu memeriksa penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. Askara menatap Arina sesaat sebelum menjawab, nada suaranya tetap profesional, namun ada ketertarikan terselubung di sana. “Tentu saja. Saya sangat mendukung program ini. Selain hari ini, kapan Anda punya waktu untuk pertemuan lebih lanjut?”
Arina sedikit terkejut dengan respons yang begitu cepat dan terbuka, tapi ia segera menyesuaikan diri. “Saya fleksibel, Pak. Mungkin bisa melalui email dulu untuk membahas agenda pertemuan?”
Bukannya langsung menyetujui, Askara malah mengeluarkan ponselnya dan menawarkannya kepada Arina. “Mungkin lebih praktis jika saya langsung menyimpan nomor Anda. Supaya komunikasi kita lebih lancar.”
Sejujurnya, Arina bisa saja langsung datang ke kantor Askara, bukan? Sebuah kehormatan baginya untuk bisa berkoordinasi langsung dengan tokoh seperti Askara. Arina sempat ragu sejenak, namun akhirnya mengetikkan nomornya. “Baik, Pak Askara.”
Pria itu menyimpan kontaknya, lalu menatap Arina dengan ekspresi sekilas yang sulit ditebak. “Terima kasih, Bu Arina. Nanti saya hubungi untuk atur jadwal, ya.”
Arina mengangguk sopan. Sementara itu Askara tersenyum tipis lagi, “Kalau begitu saya pamit, bu. Kebetulan ada klien yang harus saya temui,” ujar Askara
Lagi dan lagi Arina hanya dapat mengangguk bak tersihir. Namun beberapa detik kemudian, Arina kembali mengingat hal lain yang mengganggunya sejak tadi. Melihat Askara sudah hendak berjalan, Arina dengan cepat menyusul namun ternyata justru berakhir menabrak punggung laki-laki itu, lagi.
Arina menggosok hidungnya yang sakit, sementara Askara kembali berbalik dan mengernyit sebelah alis saat melihat Arina,
“Maaf Pak Aska, untuk yang tadi pagi, saya bahkan belum meminta maaf secara proper kepada Anda. Saya juga minta maaf karena kurang berhati-hati, lagi,” akunya tak enak hati.
“Bu Arina yakin tidak perlu periksa ke dokter? Saya curiga ibu ada glaukoma yakni tingginya tekanan pada bola mata yang menyebabkan rusaknya saraf optik secara perlahan dan menyebabkan seseorang sering tidak dapat melihat benda di sekitarnya karena penglihatannya menyempit hingga menyerupai melihat terowongan.”
Seingatnya, Askara ini Konsultan Bisnis, bukan tenaga kesehatan.
Arina mengernyit, sementara Askara melanjutkan, “Tapi mungkin masalah psikologis juga?”
Wanita itu berdehem canggung. Sejujurnya sedikit terusik karena kalimat Askara tersebut.
“Sekali lagi saya minta maaf, pak,” dia hanya menyerah akhirnya.
Mendengar kalimat tersebut, Askara hanya menyampaikan senyum kecil lanjutan, “Itu saja? Anda yakin tidak melakukan kesalahan lain selain itu?”Pertanyaan dari Askara terang saja membuat Arina semakin berpikir keras. Dia tidak bisa menyembunyikan raut bingungnya. Memang kapan mereka bertemu? Atau mungkinkah selama talkshow tadi Arina melakukan kesalahan lainnya?
Melihat ekspresi Arina, Askara lagi dan lagi tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Pria itu melangkah selangkah lebih dekat. Mendekatkan tubuh mereka dalam jarak yang masih cukup aman namun juga berhasil menggelitik hidung Arina untuk menghirup lebih dekat aroma woody yang menguar dari Askara.
“Kamu benar-benar tidak ingat rupanya.”
Askara tersenyum tipis, "Baiklah, tidak apa-apa. Lagipula, itu bukan seratus persen kesalahan," sambungnya setengah berbisik lantas berjalan meninggalkan Arina yang semakin bingung.
“Jefan selingkuh sama Nindy, kan?”Arina hampir melotot saat tiba-tiba Silvia menelpon dan langsung menyambarnya dengan kalimat pembuka yang cukup pedas. Bukannya kaget tentang fakta tersebut, Arina jelas lebih kaget sebab Silvia mengetahui hal ini."Hah?!" Arina bingung membalas apa dan hanya bisa mengeluarkan sepatah kata dengan ragu.Terdengar helaan nafas di seberang panggilan, "Nggak usah ditutup-tutupin segala! Lonte satu itu sudah spill semuanya di instagram! Dia dengan bangga go public! Memposting carrousel menjijikkan tentang hubungannya dengan Jefan!" Terang Silvia.Arina yang juga sambil membuka whatsapp web di laptop lantas membuka link yang Silvia kirimkan. Menunjukkan foto di akun Instagram dengan username nindyasalsa_ yang menampakkan foto mesra antara dirinya dengan Jefano. Dilengkapi dengan caption menjijikkan seolah mendeklarasikan hubungan resmi dengan Jefan sekarang."Pantas saja kemarin mabuk sampai separah itu! Kenapa nggak ngomong kemarin, sih?!" Kesal Silvia l
Usai mengajar, Arina memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat acara bridal shower diadakan semalam. Berangkat menggunakan transportasi online, menjemput mobil kesayangan yang terpaksa bermalam sendirian di hotel sebab terpaksa dia tinggalkan akibat terlalu mabuk. Brio putih kesayangan yang berhasil dibeli lunas dua tahun lalu menggunakan tabungannya sejak SMA dari hasil menang lomba dan aneka pekerjaannya yang palugada ditambah hidup sedikit lebih berhemat. Arina lebih sering membawa bekal, tidak membeli es kopi premium setiap hari, dan tidak menghabiskan uangnya demi membuka table atau mentraktir teman-temannya. Arina juga jarang jalan-jalan ataupun belanja outift sehingga pakaiannya sekarang murni karena upaya kerasnya untuk mix and match pakaian basic yang dia miliki dengan baik.Arina duduk di kursi belakang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Samar-samar, ia teringat tawa riuh, musik menggelegar, dan lampu-lampu temaram yang mengisi pesta semalam. Belum lagi minuman
Restoran itu belum terlalu ramai saat Arina datang, tepat pukul delapan malam. Ia mengenakan blazer abu lembut dan celana panjang hitam, tampak rapi dan profesional meski sempat tergesa dari kampus. Sejenak ia melirik arlojinya, lalu matanya menangkap sosok pria yang duduk di meja pojok dekat jendela—Askara.Restoran itu temaram dan tenang, lampu gantung berpendar lembut di atas meja-meja kayu elegan yang tertata rapi. Askara sudah duduk sambil membuka proposal kerjasama dari Universitas. Saat melihat Arina mendekat, ia segera berdiri dan menyambutnya dengan senyum ramah.Sebenarnya, janji temu pada awalnya dijadwalkan pukul lima sore. Tapi Askara mendadak memindahkan waktunya sebab dia ada pertemuan penting yang mendadak dan tidak bisa ditinggalkan. Sembari menunggu waktu dan konfirmasi lokasi, Arina melanjutkan pekerjaannya di kampus.Pemilik perusahaan konsultan bisnis itu berdiri dan menyambutnya dengan sopan. Arina membalas dengan senyum ramah sebelum keduanya duduk. Di hadapan
Langkah Arina terhenti begitu saja. Baru saja ia menekan tombol pada remote mobilnya, dan lampu hazard si putih miliknya itu berkedip menyala, dua sosok yang tak asing—dan sebenarnya paling ia hindari sekaligus sempat ia cari—muncul tepat di hadapannya.Jefan dan Nindy.Dua manusia yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya. Satu sebagai cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun. Satu lagi sebagai teman yang dulu ia anggap saudara. Dan kini? Mereka berdiri bergandengan tangan, dengan senyum menyebalkan yang menempel di wajah mereka seperti topeng murahan.“Arina,” sapa Nindy dengan nada dibuat-buat ramah. “Nggak nyangka kita ketemu di sini." Senyumnya dibuat terlalu lebar untuk terlihat tulus.Arina hanya melirik Nindy dengan raut yang sudah pasti muak. Ia melirik sebelahnya, lelaki yang tujuh tahun belakangan mengisi hatinya. Kini justru membuang muka sembari memasukkan tangan ke dalam kantong. Seolah dia benar-benar sudah tak ingin lagi bertemu atau bahkan menjelaskan apapun pad
Pintu rumah tertutup pelan di belakang punggung Arina. Tak ada dentuman marah, hanya desahan napas panjang yang nyaris tak terdengar. Sepatu dilepas seadanya, tas disampirkan asal di sofa, lalu tubuhnya jatuh rebah di ranjang kamar yang selama ini jadi tempatnya mengobati lelah.Telinganya masih dipenuhi gema suara Nindy yang angkuh membicarakan pesta pernikahan impian, juga Jefan yang memanggilnya dengan sebutan sayang—seolah luka Arina tak pernah ada. Mereka berdiri berdampingan, menyusun rencana dengan pongah, seperti dua orang yang tak pernah mengkhianati atau menghancurkan hidup siapa pun.Tadi, dia tertawa sinis. Mengangkat dagu tinggi, melempar sindiran tajam, pura-pura tak peduli. Tapi di sini, saat hanya ada dia dan sepi, Arina tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.Air mata jatuh diam-diam, satu per satu, seperti kenangan yang tak mau pergi. Tetap saja, meskipun Jefan brengsek, tapi laki-laki itulah yang sempat menghiasi hatinya beberapa tahun terakhir—waktu yang sama se
“Seberapa keras-pun aku berpikir, sepertinya memang nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain putus. Kamu terlalu egois, aku nggak bisa lagi bertahan sama kamu.”Arina memijit kembali pelipisnya yang berdenyut sakit. Sebenarnya bukan hanya pelipis, bahkan seluruh bagian kepalanya sudah menjerit berat. Dadanya kini juga ikut-ikutan sesak setelah sekelebat kalimat sakti itu lagi dan lagi berteriak tanpa puas mendengung di telinganya. Bahkan kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung secara lisan, tapi mengapa Arina seolah bisa mendengar semuanya dengan jelas?Sekitar lima jam yang lalu ketika pesan itu dia terima via whatsapp. Sebuah pesan yang sepertinya merupakan keputusan sepihak mengingat setelah pesan itu dia terima, Arina bahkan tidak bisa memberikan dan mendapatkan respon balik. Pesan balasan tak dibaca dan telepon pun tak diangkat. Dia benar-benar diputuskan secara sepihak tanpa penjelasan lanjutan dan bahkan hanya melalui chat saja? Oh astaga!Dia menyentuh pelan layar ponsel
Kepalanya terasa berat, seakan ada palu godam yang terus-menerus menghantam pelipisnya. Arina mengerjapkan mata, menyadari dirinya terbangun di sofa. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya semakin berdenyut nyeri.Begitu kesadarannya setengah terkumpul, mual yang mendesak perutnya tak bisa lagi ditahan. Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung meja di depannya, lalu setengah berlari ke kamar mandi. Suara air yang bergemuruh dari keran hampir tidak mampu menutupi suara muntahannya.“Astaga Arin! Berapa banyak yang kamu minum semalam?”Suara cempreng itu membuat Arina sedikit tenang. Dia tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu adalah suara Silvia, sahabat karibnya. Setidaknya dia tidak bangun di ranjang laki-laki asing atau semacamnya. Semalam cukup gila, tapi Arina tidak cukup gila untuk bahkan menyerahkan tubuhnya pada lelaki manapun.Silvia yang sedari tadi terjaga langsung menyusul, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dengan wajah khawatir, ia menepuk punggung Arin
“Bu Arina!”Arina menoleh saat namanya disebut. Wanita itu baru saja hendak sedikit bersyukur saat mengetahui bahwa acara hari ini belum mulai karena katanya masih harus menunggu rektor yang masih menyambut tamu penting di kantornya. Tumben sekali Arina bersyukur atas adanya keterlambatan semacam ini. Biasanya dia yang akan paling sebal kalau acara tidak berjalan sesuai rundown.Tapi belum sempat benar-benar bersyukur, Arina harus kembali menarik wajahnya untuk tersenyum saat menemukan Wakil Ketua Prodi memanggilnya dengan wajah ketat.“Bu Arina baru sampai? Saya cari dari tadi nggak ketemu,” ujarnya jutek.Arina menunduk, “Iya bu, maaf. Ada sedikit hal yang harus saya urus tadi,” bohongnya.Wanita itu tahu bagaimana menyeramkannya Wakil Ketua Prodi satu ini.“Bu, tolong hari ini gantikan Bu Widya untuk menjadi moderator acara, ya! Bu Widya mendadak harus ikut acara di fakultas sebelah,” ujar Bu Indira, si Wakil Ketua Prodi yang dia pikir akan marah-marah padanya namun ternyata justru
Pintu rumah tertutup pelan di belakang punggung Arina. Tak ada dentuman marah, hanya desahan napas panjang yang nyaris tak terdengar. Sepatu dilepas seadanya, tas disampirkan asal di sofa, lalu tubuhnya jatuh rebah di ranjang kamar yang selama ini jadi tempatnya mengobati lelah.Telinganya masih dipenuhi gema suara Nindy yang angkuh membicarakan pesta pernikahan impian, juga Jefan yang memanggilnya dengan sebutan sayang—seolah luka Arina tak pernah ada. Mereka berdiri berdampingan, menyusun rencana dengan pongah, seperti dua orang yang tak pernah mengkhianati atau menghancurkan hidup siapa pun.Tadi, dia tertawa sinis. Mengangkat dagu tinggi, melempar sindiran tajam, pura-pura tak peduli. Tapi di sini, saat hanya ada dia dan sepi, Arina tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.Air mata jatuh diam-diam, satu per satu, seperti kenangan yang tak mau pergi. Tetap saja, meskipun Jefan brengsek, tapi laki-laki itulah yang sempat menghiasi hatinya beberapa tahun terakhir—waktu yang sama se
Langkah Arina terhenti begitu saja. Baru saja ia menekan tombol pada remote mobilnya, dan lampu hazard si putih miliknya itu berkedip menyala, dua sosok yang tak asing—dan sebenarnya paling ia hindari sekaligus sempat ia cari—muncul tepat di hadapannya.Jefan dan Nindy.Dua manusia yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya. Satu sebagai cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun. Satu lagi sebagai teman yang dulu ia anggap saudara. Dan kini? Mereka berdiri bergandengan tangan, dengan senyum menyebalkan yang menempel di wajah mereka seperti topeng murahan.“Arina,” sapa Nindy dengan nada dibuat-buat ramah. “Nggak nyangka kita ketemu di sini." Senyumnya dibuat terlalu lebar untuk terlihat tulus.Arina hanya melirik Nindy dengan raut yang sudah pasti muak. Ia melirik sebelahnya, lelaki yang tujuh tahun belakangan mengisi hatinya. Kini justru membuang muka sembari memasukkan tangan ke dalam kantong. Seolah dia benar-benar sudah tak ingin lagi bertemu atau bahkan menjelaskan apapun pad
Restoran itu belum terlalu ramai saat Arina datang, tepat pukul delapan malam. Ia mengenakan blazer abu lembut dan celana panjang hitam, tampak rapi dan profesional meski sempat tergesa dari kampus. Sejenak ia melirik arlojinya, lalu matanya menangkap sosok pria yang duduk di meja pojok dekat jendela—Askara.Restoran itu temaram dan tenang, lampu gantung berpendar lembut di atas meja-meja kayu elegan yang tertata rapi. Askara sudah duduk sambil membuka proposal kerjasama dari Universitas. Saat melihat Arina mendekat, ia segera berdiri dan menyambutnya dengan senyum ramah.Sebenarnya, janji temu pada awalnya dijadwalkan pukul lima sore. Tapi Askara mendadak memindahkan waktunya sebab dia ada pertemuan penting yang mendadak dan tidak bisa ditinggalkan. Sembari menunggu waktu dan konfirmasi lokasi, Arina melanjutkan pekerjaannya di kampus.Pemilik perusahaan konsultan bisnis itu berdiri dan menyambutnya dengan sopan. Arina membalas dengan senyum ramah sebelum keduanya duduk. Di hadapan
Usai mengajar, Arina memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat acara bridal shower diadakan semalam. Berangkat menggunakan transportasi online, menjemput mobil kesayangan yang terpaksa bermalam sendirian di hotel sebab terpaksa dia tinggalkan akibat terlalu mabuk. Brio putih kesayangan yang berhasil dibeli lunas dua tahun lalu menggunakan tabungannya sejak SMA dari hasil menang lomba dan aneka pekerjaannya yang palugada ditambah hidup sedikit lebih berhemat. Arina lebih sering membawa bekal, tidak membeli es kopi premium setiap hari, dan tidak menghabiskan uangnya demi membuka table atau mentraktir teman-temannya. Arina juga jarang jalan-jalan ataupun belanja outift sehingga pakaiannya sekarang murni karena upaya kerasnya untuk mix and match pakaian basic yang dia miliki dengan baik.Arina duduk di kursi belakang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Samar-samar, ia teringat tawa riuh, musik menggelegar, dan lampu-lampu temaram yang mengisi pesta semalam. Belum lagi minuman
“Jefan selingkuh sama Nindy, kan?”Arina hampir melotot saat tiba-tiba Silvia menelpon dan langsung menyambarnya dengan kalimat pembuka yang cukup pedas. Bukannya kaget tentang fakta tersebut, Arina jelas lebih kaget sebab Silvia mengetahui hal ini."Hah?!" Arina bingung membalas apa dan hanya bisa mengeluarkan sepatah kata dengan ragu.Terdengar helaan nafas di seberang panggilan, "Nggak usah ditutup-tutupin segala! Lonte satu itu sudah spill semuanya di instagram! Dia dengan bangga go public! Memposting carrousel menjijikkan tentang hubungannya dengan Jefan!" Terang Silvia.Arina yang juga sambil membuka whatsapp web di laptop lantas membuka link yang Silvia kirimkan. Menunjukkan foto di akun Instagram dengan username nindyasalsa_ yang menampakkan foto mesra antara dirinya dengan Jefano. Dilengkapi dengan caption menjijikkan seolah mendeklarasikan hubungan resmi dengan Jefan sekarang."Pantas saja kemarin mabuk sampai separah itu! Kenapa nggak ngomong kemarin, sih?!" Kesal Silvia l
Setelah acara talkshow berakhir, para narasumber diarahkan menuju ruang makan eksklusif di dalam gedung rektorat. Rektor sendiri yang mengundang mereka untuk makan siang bersama sebagai bentuk apresiasi atas waktu dan wawasan yang telah dibagikan kepada para mahasiswa. Syukurnya, orang-orang sibuk tersebut masih menyanggupi dan mungkin tidak tengah terburu-buru untuk menghadiri kegiatan mereka yang lain.Arina bersama dengan beberapa rekan dosen lainnya turut mengiringi. Menjamu para undangan dengan baik sekaligus mendengarkan arahan selanjutnya dari rektor mengenai kelanjutan atau hasil yang diharapkan dari talkshow kali ini.Kegiatan bertajuk “Navigating the Future: Strategi Manajemen dan Konsultasi Bisnis di Era Digital" kali itu adalah sebuah talkshow nasional yang menjadi program dari fakultas manajemen. Menghadirkan narasumber ternama dari berbagai bidang terkait dan relevan sehingga bisa memberikan perspektif mereka dari berbagai sudut pandang.Di antara para narasumber, ada As
“Bu Arina!”Arina menoleh saat namanya disebut. Wanita itu baru saja hendak sedikit bersyukur saat mengetahui bahwa acara hari ini belum mulai karena katanya masih harus menunggu rektor yang masih menyambut tamu penting di kantornya. Tumben sekali Arina bersyukur atas adanya keterlambatan semacam ini. Biasanya dia yang akan paling sebal kalau acara tidak berjalan sesuai rundown.Tapi belum sempat benar-benar bersyukur, Arina harus kembali menarik wajahnya untuk tersenyum saat menemukan Wakil Ketua Prodi memanggilnya dengan wajah ketat.“Bu Arina baru sampai? Saya cari dari tadi nggak ketemu,” ujarnya jutek.Arina menunduk, “Iya bu, maaf. Ada sedikit hal yang harus saya urus tadi,” bohongnya.Wanita itu tahu bagaimana menyeramkannya Wakil Ketua Prodi satu ini.“Bu, tolong hari ini gantikan Bu Widya untuk menjadi moderator acara, ya! Bu Widya mendadak harus ikut acara di fakultas sebelah,” ujar Bu Indira, si Wakil Ketua Prodi yang dia pikir akan marah-marah padanya namun ternyata justru
Kepalanya terasa berat, seakan ada palu godam yang terus-menerus menghantam pelipisnya. Arina mengerjapkan mata, menyadari dirinya terbangun di sofa. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya semakin berdenyut nyeri.Begitu kesadarannya setengah terkumpul, mual yang mendesak perutnya tak bisa lagi ditahan. Ia buru-buru bangkit, hampir tersandung meja di depannya, lalu setengah berlari ke kamar mandi. Suara air yang bergemuruh dari keran hampir tidak mampu menutupi suara muntahannya.“Astaga Arin! Berapa banyak yang kamu minum semalam?”Suara cempreng itu membuat Arina sedikit tenang. Dia tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu adalah suara Silvia, sahabat karibnya. Setidaknya dia tidak bangun di ranjang laki-laki asing atau semacamnya. Semalam cukup gila, tapi Arina tidak cukup gila untuk bahkan menyerahkan tubuhnya pada lelaki manapun.Silvia yang sedari tadi terjaga langsung menyusul, berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dengan wajah khawatir, ia menepuk punggung Arin
“Seberapa keras-pun aku berpikir, sepertinya memang nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain putus. Kamu terlalu egois, aku nggak bisa lagi bertahan sama kamu.”Arina memijit kembali pelipisnya yang berdenyut sakit. Sebenarnya bukan hanya pelipis, bahkan seluruh bagian kepalanya sudah menjerit berat. Dadanya kini juga ikut-ikutan sesak setelah sekelebat kalimat sakti itu lagi dan lagi berteriak tanpa puas mendengung di telinganya. Bahkan kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung secara lisan, tapi mengapa Arina seolah bisa mendengar semuanya dengan jelas?Sekitar lima jam yang lalu ketika pesan itu dia terima via whatsapp. Sebuah pesan yang sepertinya merupakan keputusan sepihak mengingat setelah pesan itu dia terima, Arina bahkan tidak bisa memberikan dan mendapatkan respon balik. Pesan balasan tak dibaca dan telepon pun tak diangkat. Dia benar-benar diputuskan secara sepihak tanpa penjelasan lanjutan dan bahkan hanya melalui chat saja? Oh astaga!Dia menyentuh pelan layar ponsel