"Nanti saya atur waktunya, sepertinya dia akan pulang minggu depan." Ucap Mia pada seorang laki-laki paruh baya.
"Baik bu, tolong sisakan bagian untuk saya," jawab lelaki itu sambil mengasah golok miliknya. ***Januari.
"Akhirnya, rencana kita bisa terwujud juga ya, Mi," ucapku malam itu saat kami tengah duduk di salah satu ruangan. Proses izin praktek klinik yang semula rumit dan sulit keluar, tiba-tiba disetujui. Upaya kami pun tak sia-sia. Rumah yang kami kontrak untuk dijadikan klinik ini adalah milik seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Bandung. Beliau memberi harga sewa yang murah karena memang sudah bertahun-tahun tak pernah dihuni sejak istrinya meninggal. Bangunannya pun sudah tua dan lebih mirip rumah zaman Belanda. Kokoh, namun sedikit angker. Di belakangnya masih terdapat lahan sekitar dua ratus lima puluh meter. Diisi pohon-pohon pisang yang tak terawat. Kami mendapat informasi tentang rumah ini dari salah satu rekan Mia. Kata Mia, rumah ini pasti membawa keberuntungan. Karena klinik ini bangunannya cukup besar dengan kamar yang lumayan banyak, kami memutuskan untuk tinggal di sini. Kupikir, kita sama-sama perempuan, jadi bisa tinggal satu rumah atau bahkan satu kamar sekali pun, tak mengapa. Tapi, Mia mengatur kamar kami masing-masing. Entah kenapa aku selalu dilarang untuk masuk ke kamarnya. Mia bilang, kamar adalah tempat privasi yang tidak boleh dijamah siapa pun. Dengan begitu, aku sepakat untuk tidak memasuki kamarnya, sekali pun itu hanya mengintip. Aku tak berani. Aku tinggal di kamar lantai atas. Rumah besar dengan bangunan dua lantai ini telah kami sulap menjadi beberapa ruangan untuk tempat pasien menginap nantinya. Sedangkan Mia memilih kamar pojok di lantai bawah yang jendelanya mengarah ke halaman belakang. Mia ingin pemandangan yang segar, katanya. Jadilah kami tinggal bertiga di klinik ini dengan putriku yang kedua. Kebetulan dia tidak mau kubawa ke Solo untuk tinggal bersama nenek dan kakeknya. Putriku ini agak manja dan tidak pernah mau pisah dari ibunya. Mungkin karena jarak usianya yang tak jauh dari adik bungsunya saat itu, jadi kasih sayang belum full terpenuhi, kesundul dengan lahirnya si bungsu. Saat kuantar kaka dan adiknya, dia sempat kutitipkan di rumah tantenya agar aku tak terlalu repot. Lagipula, ongkosnya lumayan hemat. Kulihat Mia sangat sayang pada putriku. Mungkin di usianya yang sudah tiga puluh lima tahun itu, memang ia sudah pantas menikah dan punya anak. Tapi, Mia selalu tertawa jika sesekali kuledek perihal jodoh. Mia bilang, nikah itu buang-buang energi. Agak aneh memang, tapi saat itu kupikir Mia bercanda dan kuanggap biasa. Apalagi, background dia yang sempat tinggal di luar negeri. Kupikir dia tak ingin terikat dengan pernikahan, ingin bebas, tak ada kekangan dan aturan yang mengikat. Perlahan klinik kami ramai, mulai dari pasien melahirkan, keguguran sampai anak-anak remaja tanggung yang hendak menggugurkan kandungannya. Awalnya, pasien kami normal-normal saja. Sampai akhirnya, dari mulut ke mulut klinik kami tersebar menerima pasien untuk aborsi janin.Mia juga piawai menangani berbagai macam kejadian pasien. Hal itu membuat klinik kami semakin hari semakin ramai. Keahlian Mia yang mungkin jarang dipunyai oleh dokter kandungan lain adalah Mia bisa merubah posisi bayi ketika dalam keadaan sungsang tanpa operasi. Keahlian yang entah dia dapat dari mana. Mia hanya memberi beberapa treatment pada si ibu agar bayi bisa berputar pada posisi semula. Amazing-nya cara itu selalu berhasil. Empat tahun berlalu, klinik sudah mempekerjakan beberapa karyawan. Ada Susan bagian pendaftaran pasien, Adit yang biasa mengurus administrasi klinik dan Pak Kusnadi bagian kebersihan. Meski begitu, untuk menangani pasien dan praktek bisnis yang terlarang itu, tetap hanya aku dan Mia yang mengurus. Mereka tak tahu apa-apa. Mia menerima karyawan dengan seleksi yang sangat ketat. Mereka tak boleh bicara pada media, masyarakat atau siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Karena itu, kami menawarkan gaji yang terbilang tinggi untuk klinik kampung ukuran di sini. Jelas mereka sepakat, toh yang penting mereka takkan terlibat atau dilibatkan menangani pasien. Hanya Pak Kusnadi yang tidak Mia seleksi. Entah, aku pun tak pernah tahu alasannya. ***Hari itu aku izin pamit pada Mia untuk menjenguk kedua anakku di kampung. Lagi-lagi putri keduaku tak ingin ikut. Katanya, dia tidak suka naik pesawat karena takut ketinggian. Akhirnya, kuputuskan pulang sendiri dan kutitipkan anakku pada Mia.
Dengan senang hati, Mia menyambut anakku untuk tinggal dua hari bersamanya. Di rumahku belum ada pembantu untuk menjaganya. Iya, di tahun keempat ini aku sudah bisa membeli rumah sendiri dengan jarak yang tak jauh dari klinik. Aku berani meninggalkan putriku bersama Mia karena sekarang aku sudah punya cukup uang untuk membeli tiket pesawat. Jadi tak perlu waktu lama untuk menempuh jarak ke kampung halaman. Baru saja menginap semalam, esok paginya aku sudah bergegas pulang.***Pagi itu Mia neneleponku, menyampaikan kabar bahwa putriku hilang tadi pagi. Aku yang sangat kaget dan tak percaya dengan berita itu, langsung pesan tiket pulang.
Aku tiba di klinik sore hari. Mia dan beberapa karyawan terlihat panik. Kulihat dua polisi kawan Mia pun berada di sana. Kami sama-sama mencari putriku yang hilang. Kronologis hilangnya, malam itu putriku tidur bersama Mia dan paginya hilang. Aku sangat panik dengan kejadian ini. Yang kutahu, putriku tak pernah bermain jauh-jauh. Dia hanya suka bersepeda di kawasan klinik atau di belakang. Kadang dia berkeliling ke ruangan bayi. Tapi kata Mia, semua tempat di klinik ini sudah disisir dan tak ada tanda apa pun. Beberapa pasien hari itu pun tak ada yang mencurigakan sebagai pelaku penculikan anak. Polisi hanya menemukan sandal putus milik putriku di depan ruangan tempat Pak kusnadi beristirahat. Satu kali dua puluh empat jam polisi sudah dikerahkan. Aku semalaman tidak bisa tidur, gelisah. Antara bosan menunggu kabar penyelidikan juga geram dengan keadaan yang tak bisa melakukan apa-apa. Mau cari ke mana? Tak ada saksi yang melihat putri keduaku itu hilang. Malam harinya, aku pergi ke pantry. Sengaja aku menginap di klinik untuk memastikan kabar dari polisi. Di dapur aku membuat kopi agar sedikit tenang. Tak sengaja kubuka panci yang biasa dipakai untuk merebus air. Tak biasanya panci itu ditutup rapi. Nafasku sesak, ketika melihat jari-jari tangan dan kaki anak kecil yang masih utuh dengan air rebusan. "Miaaaaa ...!" seketika aku berteriak."Miaaa!!" teriaku saat membuka panci itu. Beberapa saat kemudian Mia datang ke pantry disusul Pak Kusnadi yang memang malam itu menginap juga di klinik."A-apa ... itu?" tanyaku setengah gagap."Mana Laras? Itu hanya potongan sosis. Kamu kenapa?" Mia memeriksa isi panci yang kini telah tumpah berserakan di lantai.Aku mengucek mataku perlahan, tak percaya dengan apa yang dikatakan Mia. Tapi Mia meyakinkan terus bahwa apa yang tadi kulihat seperti jari tangan dan kaki itu hanya potongan sosis.Melihat Pak Kusnadi yang langsung sibuk membereskan tumpahan panci itu, aku tetap histeris. Anehnya aku sangat yakin itu adalah jari, tapi Pak Kusnadi pun sama-sama meyakinkanku. Dia mengatakan itu hanyalah sosis. Sehingga aku merasa, dalam kegelapan aku berhalusinasi. Ah sial, ini memang sosis."Kamu butuh istirahat Laras, Skizofrenia-mu aktif karena kau terlalu depresi mengingat kehilangan Seruni." Perkataan Mia sangat meyakinkan dan aku amat percaya itu adalah hasil
Dalam kondisi hati masih berkecamuk dan belum bisa melupakan kasus putri keduaku, klinik dan pekerjaanku tetap harus berjalan. Mau bagaimana lagi, toh polisi sudah menutup kasusnya. Tak ada yang bisa kuupayakan lagi selain benar-benar ada cara Tuhan yang lain.Kehidupanku pun kembali berjalan. Pasien kami masih lumayan, tapi Mia mulai membatasi partus pervaginam alias melahirkan normal. Dan kami memang lebih kebanjiran pasien aborsi."Ras, dua pasien di depan kita ekskusi langsung aja, yuk! Aku sudah mulai ngantuk, biar cepet." Ujar Mia malam itu.Hari itu memang kami agak banyak terima pasien aborsi. Rata-rata mereka datang dari luar kota, bahkan sampai ada yang datang larut malam sekali.Masuklah dua perempuan, kira-kira usianya masih sekitar tujuh belas sampai dua puluh dua tahun. Kulihat sekilas catatan sang pasien. Perempuan dengan rambut sedikit ikal itu masih duduk di bangku sekolah menengah umum, sedangkan yang satunya adal
"Akan kami kerjakan, tapi tolong buat kesepakatan. Nama anda akan aman, jika anda menjamin klinik ini akan tetap berjalan aman." Ujar Mia pada seorang pria yang didampingi dua asisten pribadi lengkap dengan baju safarinya."Nominal tak jadi masalah, Dok. Selama nama kami bersih, klinik ini akan aman," sahutnya.***"Laras!!" Mia membopongku dalam keadaan setengah tak sadar. Aku mendengar suaranya, tapi sangat jauh.Beberapa menit kemudian aku tersadar. Kulihat Mia sedang mengolesi minyak ke hidungku dan berusaha menepuk pipi yang lama-lama terasa sakit."Laras, bangun ... Laras!" Mia setengah berteriak.Aku yang sangat lemas tak berdaya hanya berusaha membuka mata. Memberi isyarat kalau aku baik-baik saja."Uh, syukurlah kau sadar," ucap Mia penuh syukur.Aku bangun, merubah posisi menjadi duduk. Kulihat meja tempat makan Mia tadi. Bersih. Tak ada hidangan yang sempat kulihat sebelum pingsan. Aroma mulut
"Bawa orang itu malam ini ke tempat biasa, biarkan aku yang menggorok lehernya.""Oke, nanti malam di tempat biasa."***Klinik kami memang terasa berjalan aman-aman saja, namun bukan berarti masyarakat sekitar tidak merasa resah dengan praktek yang kami jalani sekian tahun ini.Aku dan Mia berusaha menjaga hubungan baik dengan lingkungan. Sesekali kami ikuti acara undangan warga sekitar, sampai ikut andil dalam urusan dana. Mia tidak pernah pelit dalam urusan sumbang-menyumbang kegiatan lingkungan sekitar. Bahkan karyawan yang kami pekerjakan itu benar-benar asli warga kampung sekitar. Kata Mia, bagaimanapun kita harus menciptakan lapangan kerja untuk mereka sehingga keberadaan kita terasa bermanfaat.Pernah beberapa kejadian, warga kampung demo di depan klinik kami, tapi Mia selalu bisa mengatasi. Beberapa aparat yang juga teman Mia diturunkan untuk melerai warga. Setelah aparat datang, diskusi tertutup diadakan dan seketika kerumunan
"Tulis saja dalam penyelidikan, penderita skizofrenia itu tak bisa menjadi saksi atas kasus apa pun.""Baik bu, kasus akan kami tutup segera."***Aku sangat gelisah sejak kehilangan putri keduaku. Bagaimanapun hati seorang ibu sangat tajam. Aku terkadang berfikir ini sangat aneh. Jika penculikan, minimal sendal yang ditemukan di depan kamar Pak kusnadi itu bisa jadi barang bukti. Dan perihal jari di dalam panci itu, masih kuyakini adalah bagian tubuh Seruni. Belum lagi, berita tentang hilang dan raibnya pria kampung itu. Polanya sama. Lagi-lagi sendal pria itu ditemukan tak jauh dari belakang kebun pisang klinik kami.Entah. Malam itu aku bertekad dalam hati untuk mendatangi kantor polisi. Kuminta Mia mendampingiku ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sungguh aku curiga pada Pak Kusnadi atas hilangnya putri keduaku. Hanya dia satu-satunya orang yang wajib kucurigai.Beberapa kali aku mengendap ke ruangan miliknya ketika dia te
Cerita ini diangkat dari kisah nyata yang disajikan dengan menu sadis, tragis, dan ending yang tidak biasa.Di mana alurnya akan dibuat maju mundur dan dibutuhkan kejelian pembaca untuk menangkapnya. Penulis hanya memberi pesan dalam novel ini agar kita selalu aware terhadap lingkungan sekitar. Di mana pengidap kelainan mental terkadang berasal dari orang terdekat dan tidak disangka.Jika pembaca jeli, penulis sedikit memberi gambaran tahapan seseorang untuk masuk ke dalam fase kanibal dan psikopat.****Klinik Aborsi"Kapan kita eksekusi?""Nanti malam."" Ok."Telepon ditutup. Dokter cantik itu memang sudah terbiasa berurusan dengan bagian tubuh manusia, jadi takkan sulit rasanya jika hanya menggorok leher seorang wanita.***Namaku Laras, aku adalah bidan di sebuah rumah bersalin. Menolong ibu-ibu melahirkan memang sudah menjadi tugasku setiap hari. Tapi rasanya pengabdian itu tidak sebanding dengan pen
Siang itu aku bergegas ke stasiun. Tiket yang sudah kubeli secara online ternyata salah jadwal. Harusnya aku berangkat malam hari. Ini malah untuk jadwal untuk sore hari. Aku dan kedua anakku harus buru-buru sampai di stasiun.Rencanaku pulang kampung adalah untuk menitipkan dua buah hatiku pada kedua orang tua karena aku sudah tak kuat menyewa kontrakan. Selain itu, anak-anak juga tidak ada yang mengasuh. Atas permintaan ibu dan bapak, akhirnya kuboyong mereka semua untuk sekolah dan tinggal di Solo. Jam sudah menunjuk pukul empat sore. Segera kunaiki gerbong yang baru saja berhenti di depan kami. Syukurlah kami tidak terlambat. Hanya tak sempat membeli camilan untuk anak-anak, tapi mereka sudah makan tadi pagi. Semoga saja tidak rewel.Kami duduk dengan kursi berhadapan. Dua seat untuk aku dan putri bungsuku. Si sulung duduk bersebelahan dengan seorang perempuan cantik yang usianya mungkin lebih muda dariku. Jika kutaksir, kami hanya beda beberapa tahun
"Mama ... Kak Mia potong leher kucing aku!" teriak sang adik saat memergoki Mia yang tengah asyik menggorok leher kucing kampung itu.***Sejak kecil Mia termasuk anak yang introvert, tapi cerdas luar biasa. Kebiasaannya mengurung diri dan menjauh dari teman-teman sebayanya, menyebabkan dia sering mengalami halusinasi (skizofrenia). Sayangnya, itu diabaikan oleh orang tuanya yang sibuk. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebenarnya keanehan-keanehan pada Mia sering ditemukan oleh kedua orang tuanya. Namun, mereka membiarkan hal tersebut. Lagi-lagi, karena mereka sibuk.Dua kali Mia kepergok sedang menggorok dan menguliti seekor kucing kampung di belakang rumahnya. Ketika ditanya, Mia jawab hanya iseng. Sang adik juga sering memergoki Mia tengah asyik meminum cairan yang sangat mirip darah dari bau amisnya. Tapi, Mia mampu mengelak dan menutupi perbuatannya dengan sangat rapi.Iya, Mia mengidap kelainan jiwa. Kanibalisme tepa