Cerita ini diangkat dari kisah nyata yang disajikan dengan menu sadis, tragis, dan ending yang tidak biasa.
Di mana alurnya akan dibuat maju mundur dan dibutuhkan kejelian pembaca untuk menangkapnya. Penulis hanya memberi pesan dalam novel ini agar kita selalu aware terhadap lingkungan sekitar. Di mana pengidap kelainan mental terkadang berasal dari orang terdekat dan tidak disangka.Jika pembaca jeli, penulis sedikit memberi gambaran tahapan seseorang untuk masuk ke dalam fase kanibal dan psikopat.****
Klinik Aborsi
"Kapan kita eksekusi?"
"Nanti malam."" Ok."Telepon ditutup. Dokter cantik itu memang sudah terbiasa berurusan dengan bagian tubuh manusia, jadi takkan sulit rasanya jika hanya menggorok leher seorang wanita.***Namaku Laras, aku adalah bidan di sebuah rumah bersalin. Menolong ibu-ibu melahirkan memang sudah menjadi tugasku setiap hari. Tapi rasanya pengabdian itu tidak sebanding dengan penghasilan yang kudapat.
Hidupku tetap susah. Biaya mengontrak rumah dan biaya menghidupi tiga orang anak membuatku kadang harus memutar otak untuk menutupi kebutuhan. Suamiku meninggal dua tahun yang lalu. Penyakit diabetes karena keturunan adalah faktor utama perenggut nyawanya. Jadilah aku orang tua tunggal bagi ketiga anakku yang saat itu masih kecil-kecil. Dengan honor yang kurasa tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup, aku harus bertahan. Namun, sejak aku melakukan bisnis di luar tugasku di rumah bersalin itu, lambat laun kehidupanku merangkak naik. Kini aku sudah punya rumah sendiri dan klinik kecil yang selama ini aku idamkan. Perkenalanku dengan Mia empat tahun yang lalu di sebuah stasiun adalah titik awal memulai bisnis ini. Mia saat itu mengaku tengah cuti liburan hendak pulang ke kampung halamannya. Ternyata dia satu daerah denganku. Kami pun bicara banyak hal selama dalam perjalanan. Mia adalah seorang dokter kandungan. Tak jauh berbeda profesinya denganku. Kami bekerja di bidang yang sama yakni menolong ibu-ibu dalam proses persalinan. Cerita kehidupanku pun mengalir. Aku saat itu dalam kondisi pailit, tiga anakku butuh biaya yang tidak sedikit dan Mia memberi ide sebuah bisnis yang menggiurkan. Kami memulai rencana pada bulan Januari empat tahun yang lalu. Dengan modal uang dari Mia dan sedikit tabungan simpananku, kami mengontrak rumah sederhana di sebuah perkampungan yang tak jauh dari kota. Kami pun membeli peralatan seadanya dari uang sisa patungan kami tersebut. Rumah kontrakan itu kami sulap menjadi klinik kecil, tempat bisnis baru kami. Aku mulai menerima pasien di sini sebagai pengganti dari gajiku yang tak seberapa dari rumah bersalin itu. Demi bisnis ini, aku dan Mia rela resign dari tempat kerja kami masing-masing. Setelah mengantongi izin, akhirnya klinik kami bisa berjalan dan menerima pasien melahirkan. Tapi, apakah klinik ini fungsinya untuk menolong orang melahirkan saja? Tidak!Kami justru sengaja membuka layanan menggugurkan janin ( aborsi ). Tentunya secara diam-diam dan dari mulut ke mulut.Menurut Mia, kota ini tercatat paling tinggi angka kehamilan di luar pernikahan alias MBA-nya. Benar saja, baru sebulan kami praktik, sudah mendapat sepuluh pasien remaja yang tengah putus asa karena takut ketahuan orang tuanya. Itu artinya, per tiga hari kami melakukan aborsi. Kami bekerja sama ketika mengeksekusi pasien. Mia bagian yang mengeluarkan janin dan aku sebagai asisten yang menyiapkan peralatan dan perlengkapan. Di bisnis ini kita bagi hasil. Masing-masing lima puluh persen. Mia bilang, saham dan tenaga kami sebenarnya sama besar. Aku senang, Mia adalah kawan yang sangat baik. Kami memasang tarif sesuai dengan kondisi janin. Makin besar janin yang tumbuh maka semakin besar pula biaya aborsinya. Saat itu aku dan Mia menarik harga untuk janin berusia enam minggu senilai dua juta rupiah. Silahkan kalikan, berapa pundi rupiah yang kami dapat dalam sebulan jika rata-rata janin yang digugurkan usianya sekitar lima sampai enam bulan. Aku dan Mia tak berfikir akan risiko pasien. Yang kami bayangkan hanya uang dan uang. Lagipula, pasien kami tak ada yang sampai mati, paling pendarahan saja, itu pun hanya satu-dua. Di mana kami kubur janin-janin itu? Kami menguburnya di halaman belakang klinik yang kebetulan adalah kebun pisang. Pekerjaan ini bahaya? Tentu saja, tapi atas arahan Mia kami melobi aparat dan pejabat setempat agar usaha ini berjalan dengan mulus dan lancar tanpa kendala. Dosa? Ah, aku tak ingin sibuk memikirkan dosa. Toh, mereka datang bukan karena aku dan Mia yang memaksa. Justru aku dan Mia 'lah penolong mereka. Urusan janin itu? Biar saja memang takdirnya untuk tidak hidup di dunia. Buat apa terlahir jika calon bapak dan ibunya saja tak siap menerima kehadiran mereka. Iya, 'kan? Jangan tanya tentang warga sekitar, apa mereka tahu bisnis ini? Mungkin mereka tahu. Tapi, sampai detik ini klinik kami berjalan dan warga sekitar seolah bungkam. Tak ada yang berani melapor.Semakin hari pasien kami semakin banyak. Tabungan kami pun semakin melimpah. Klinik yang tadinya kami sewa sekarang sudah jadi milik kami. Aku pun sudah punya cukup tabungan dan rumah sendiri. Itu semua karena kami selalu kebanjiran pasien. Bayangkan saja, setiap hari kami harus mengeksekusi tujuh sampai sepuluh pasien. Tak jarang malam hari pun klinik kami masih diketuk oleh pasien yang datang dari luar kota. Tentu saja, kami pasang tarif berbeda. Apalagi, jika beberapa pasien itu datang dengan mobil mewah. Bahkan pernah ada artis yang datang dan memberikan segepok uang dengan nominal sepuluh kali lipat dari tarif normal rata-rata pasien aborsi. ***Suatu hari, klinik kami didatangi seorang wartawati. Katanya, dia hanya ingin wawancara untuk sebuah acara. Data kami akan tetap aman dan tidak akan diekspose, apalagi sampai kepada aparat. Kami tak mau terjebak dengan rayuan wartawati itu. Kami sengaja menolak untuk diwawancarai. Sekali dua kali wartawati itu datang dan kami masih dengan sikap yang sama, sampai akhirnya dia mengancam akan mengekspose keberadaan klinik kami.Malam itu aku dan Mia merencanakan sesuatu. Kami undang wartawati itu datang ke klinik malam hari. Dengan alasan malam adalah waktu yang pas saat kami sedang tak ada pasien. Undangan kami pun direspon olehnya. Malam itu dia datang sendiri sesuai permintaan kami. ***Seminggu kemudian,
berita koran.Ditemukan mayat seorang wartawati mengambang di sungai dengan luka gorok di leher.Siang itu aku bergegas ke stasiun. Tiket yang sudah kubeli secara online ternyata salah jadwal. Harusnya aku berangkat malam hari. Ini malah untuk jadwal untuk sore hari. Aku dan kedua anakku harus buru-buru sampai di stasiun.Rencanaku pulang kampung adalah untuk menitipkan dua buah hatiku pada kedua orang tua karena aku sudah tak kuat menyewa kontrakan. Selain itu, anak-anak juga tidak ada yang mengasuh. Atas permintaan ibu dan bapak, akhirnya kuboyong mereka semua untuk sekolah dan tinggal di Solo. Jam sudah menunjuk pukul empat sore. Segera kunaiki gerbong yang baru saja berhenti di depan kami. Syukurlah kami tidak terlambat. Hanya tak sempat membeli camilan untuk anak-anak, tapi mereka sudah makan tadi pagi. Semoga saja tidak rewel.Kami duduk dengan kursi berhadapan. Dua seat untuk aku dan putri bungsuku. Si sulung duduk bersebelahan dengan seorang perempuan cantik yang usianya mungkin lebih muda dariku. Jika kutaksir, kami hanya beda beberapa tahun
"Mama ... Kak Mia potong leher kucing aku!" teriak sang adik saat memergoki Mia yang tengah asyik menggorok leher kucing kampung itu.***Sejak kecil Mia termasuk anak yang introvert, tapi cerdas luar biasa. Kebiasaannya mengurung diri dan menjauh dari teman-teman sebayanya, menyebabkan dia sering mengalami halusinasi (skizofrenia). Sayangnya, itu diabaikan oleh orang tuanya yang sibuk. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebenarnya keanehan-keanehan pada Mia sering ditemukan oleh kedua orang tuanya. Namun, mereka membiarkan hal tersebut. Lagi-lagi, karena mereka sibuk.Dua kali Mia kepergok sedang menggorok dan menguliti seekor kucing kampung di belakang rumahnya. Ketika ditanya, Mia jawab hanya iseng. Sang adik juga sering memergoki Mia tengah asyik meminum cairan yang sangat mirip darah dari bau amisnya. Tapi, Mia mampu mengelak dan menutupi perbuatannya dengan sangat rapi.Iya, Mia mengidap kelainan jiwa. Kanibalisme tepa
"Nanti saya atur waktunya, sepertinya dia akan pulang minggu depan." Ucap Mia pada seorang laki-laki paruh baya."Baik bu, tolong sisakan bagian untuk saya," jawab lelaki itu sambil mengasah golok miliknya.***Januari."Akhirnya, rencana kita bisa terwujud juga ya, Mi," ucapku malam itu saat kami tengah duduk di salah satu ruangan.Proses izin praktek klinik yang semula rumit dan sulit keluar, tiba-tiba disetujui. Upaya kami pun tak sia-sia. Rumah yang kami kontrak untuk dijadikan klinik ini adalah milik seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Bandung. Beliau memberi harga sewa yang murah karena memang sudah bertahun-tahun tak pernah dihuni sejak istrinya meninggal. Bangunannya pun sudah tua dan lebih mirip rumah zaman Belanda. Kokoh, namun sedikit angker. Di belakangnya masih terdapat lahan sekitar dua ratus lima puluh meter. Diisi pohon-pohon pisang yang tak terawat. Kami mendapat informasi tentang rumah ini dari salah satu rekan Mia. Kat
"Miaaa!!" teriaku saat membuka panci itu. Beberapa saat kemudian Mia datang ke pantry disusul Pak Kusnadi yang memang malam itu menginap juga di klinik."A-apa ... itu?" tanyaku setengah gagap."Mana Laras? Itu hanya potongan sosis. Kamu kenapa?" Mia memeriksa isi panci yang kini telah tumpah berserakan di lantai.Aku mengucek mataku perlahan, tak percaya dengan apa yang dikatakan Mia. Tapi Mia meyakinkan terus bahwa apa yang tadi kulihat seperti jari tangan dan kaki itu hanya potongan sosis.Melihat Pak Kusnadi yang langsung sibuk membereskan tumpahan panci itu, aku tetap histeris. Anehnya aku sangat yakin itu adalah jari, tapi Pak Kusnadi pun sama-sama meyakinkanku. Dia mengatakan itu hanyalah sosis. Sehingga aku merasa, dalam kegelapan aku berhalusinasi. Ah sial, ini memang sosis."Kamu butuh istirahat Laras, Skizofrenia-mu aktif karena kau terlalu depresi mengingat kehilangan Seruni." Perkataan Mia sangat meyakinkan dan aku amat percaya itu adalah hasil
Dalam kondisi hati masih berkecamuk dan belum bisa melupakan kasus putri keduaku, klinik dan pekerjaanku tetap harus berjalan. Mau bagaimana lagi, toh polisi sudah menutup kasusnya. Tak ada yang bisa kuupayakan lagi selain benar-benar ada cara Tuhan yang lain.Kehidupanku pun kembali berjalan. Pasien kami masih lumayan, tapi Mia mulai membatasi partus pervaginam alias melahirkan normal. Dan kami memang lebih kebanjiran pasien aborsi."Ras, dua pasien di depan kita ekskusi langsung aja, yuk! Aku sudah mulai ngantuk, biar cepet." Ujar Mia malam itu.Hari itu memang kami agak banyak terima pasien aborsi. Rata-rata mereka datang dari luar kota, bahkan sampai ada yang datang larut malam sekali.Masuklah dua perempuan, kira-kira usianya masih sekitar tujuh belas sampai dua puluh dua tahun. Kulihat sekilas catatan sang pasien. Perempuan dengan rambut sedikit ikal itu masih duduk di bangku sekolah menengah umum, sedangkan yang satunya adal
"Akan kami kerjakan, tapi tolong buat kesepakatan. Nama anda akan aman, jika anda menjamin klinik ini akan tetap berjalan aman." Ujar Mia pada seorang pria yang didampingi dua asisten pribadi lengkap dengan baju safarinya."Nominal tak jadi masalah, Dok. Selama nama kami bersih, klinik ini akan aman," sahutnya.***"Laras!!" Mia membopongku dalam keadaan setengah tak sadar. Aku mendengar suaranya, tapi sangat jauh.Beberapa menit kemudian aku tersadar. Kulihat Mia sedang mengolesi minyak ke hidungku dan berusaha menepuk pipi yang lama-lama terasa sakit."Laras, bangun ... Laras!" Mia setengah berteriak.Aku yang sangat lemas tak berdaya hanya berusaha membuka mata. Memberi isyarat kalau aku baik-baik saja."Uh, syukurlah kau sadar," ucap Mia penuh syukur.Aku bangun, merubah posisi menjadi duduk. Kulihat meja tempat makan Mia tadi. Bersih. Tak ada hidangan yang sempat kulihat sebelum pingsan. Aroma mulut
"Bawa orang itu malam ini ke tempat biasa, biarkan aku yang menggorok lehernya.""Oke, nanti malam di tempat biasa."***Klinik kami memang terasa berjalan aman-aman saja, namun bukan berarti masyarakat sekitar tidak merasa resah dengan praktek yang kami jalani sekian tahun ini.Aku dan Mia berusaha menjaga hubungan baik dengan lingkungan. Sesekali kami ikuti acara undangan warga sekitar, sampai ikut andil dalam urusan dana. Mia tidak pernah pelit dalam urusan sumbang-menyumbang kegiatan lingkungan sekitar. Bahkan karyawan yang kami pekerjakan itu benar-benar asli warga kampung sekitar. Kata Mia, bagaimanapun kita harus menciptakan lapangan kerja untuk mereka sehingga keberadaan kita terasa bermanfaat.Pernah beberapa kejadian, warga kampung demo di depan klinik kami, tapi Mia selalu bisa mengatasi. Beberapa aparat yang juga teman Mia diturunkan untuk melerai warga. Setelah aparat datang, diskusi tertutup diadakan dan seketika kerumunan
"Tulis saja dalam penyelidikan, penderita skizofrenia itu tak bisa menjadi saksi atas kasus apa pun.""Baik bu, kasus akan kami tutup segera."***Aku sangat gelisah sejak kehilangan putri keduaku. Bagaimanapun hati seorang ibu sangat tajam. Aku terkadang berfikir ini sangat aneh. Jika penculikan, minimal sendal yang ditemukan di depan kamar Pak kusnadi itu bisa jadi barang bukti. Dan perihal jari di dalam panci itu, masih kuyakini adalah bagian tubuh Seruni. Belum lagi, berita tentang hilang dan raibnya pria kampung itu. Polanya sama. Lagi-lagi sendal pria itu ditemukan tak jauh dari belakang kebun pisang klinik kami.Entah. Malam itu aku bertekad dalam hati untuk mendatangi kantor polisi. Kuminta Mia mendampingiku ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sungguh aku curiga pada Pak Kusnadi atas hilangnya putri keduaku. Hanya dia satu-satunya orang yang wajib kucurigai.Beberapa kali aku mengendap ke ruangan miliknya ketika dia te