Siang itu aku bergegas ke stasiun. Tiket yang sudah kubeli secara online ternyata salah jadwal. Harusnya aku berangkat malam hari. Ini malah untuk jadwal untuk sore hari. Aku dan kedua anakku harus buru-buru sampai di stasiun.
Rencanaku pulang kampung adalah untuk menitipkan dua buah hatiku pada kedua orang tua karena aku sudah tak kuat menyewa kontrakan. Selain itu, anak-anak juga tidak ada yang mengasuh. Atas permintaan ibu dan bapak, akhirnya kuboyong mereka semua untuk sekolah dan tinggal di Solo. Jam sudah menunjuk pukul empat sore. Segera kunaiki gerbong yang baru saja berhenti di depan kami. Syukurlah kami tidak terlambat. Hanya tak sempat membeli camilan untuk anak-anak, tapi mereka sudah makan tadi pagi. Semoga saja tidak rewel. Kami duduk dengan kursi berhadapan. Dua seat untuk aku dan putri bungsuku. Si sulung duduk bersebelahan dengan seorang perempuan cantik yang usianya mungkin lebih muda dariku. Jika kutaksir, kami hanya beda beberapa tahun saja. "Permisi ya, Mbak," ucapku sambil menegur dia yang tengah asyik dengan ponselnya. "Iya, silahkan," jawabnya ramah.Selang beberapa jam kemudian kami pun berkenalan. Awalnya, dia yang menawarkan makanan pada anak-anak. Tentu saja disambut riang oleh si bungsu dan si sulung yang memang sejak naik, kami tak ada makanan sama sekali. Suasana keakraban terjadi. Dia banyak bertanya tentang tujuan kami. Untuk apa, kerja di mana, dan banyak hal lainnya. Kurang lebih delapan jam kami akan tetap duduk berhadapan seperti ini, terbayang akan sangat jenuh jika kami tak saling mengobrol. Untunglah perempuan cantik itu begitu ramah. Sampai akhirnya kami masuk dalam obrolan yang sangat penting. Namanya Mia, dokter Mia, begitu panggilanku saat dia menyebutkan profesinya. Mia hendak pulang ke kampung halaman karena sudah hampir enam tahun dinas di luar negeri. Dia adalah dokter yang cerdas sekali. Tampak dari cerita pengalamannya selama berada di luar negeri. Sepertinya, dokter Mia antusias ingin mengajakku berbisnis. Seketika, aku pun membuka jati diriku. Profesi kami ternyata sejalur. Hanya beda level pendidikan saja. Mia berprofesi sebagai dokter kandungan, sedangkan aku adalah bidan. Pekerjaan kami sama-sama berurusan dengan proses persalinan. Aku yang saat itu memang sedang mencari peluang tambahan uang langsung antusias dengan apa yang dia paparkan. Katanya, selama di luar negeri dia dan beberpa rekan medisnya pun melakukan bisnis itu. Di sana orang dengan bebas melakukan perbuatan apa pun atas nama hak asasi manusia. Selama dilakukan bukan tanpa ancaman dan tekanan maka sah dan legal. Jujur, awalnya aku ragu dengan ajakan Mia. Walau hampir lima tahun aku menjadi bidan, tak tepikir sedikit pun untuk melakukan aborsi pada janin. Apalagi, sampai menjual janin-janin yang tak berdosa itu, seperti apa yang dikatakan oleh Mia di negara sana. Obrolan kami semakin serius saat Mia menawarkan pembagian hasil fifty-fifty. Dia menggambarkan skema keuntungan dari buka praktek semacam ini. Tarif yang cukup fantastis. Terbayang di otakku pundi-pundi uang mengalir hanya dengan melakukan sebuah tindakan yang kami namakan dengan istilah 'eksekusi'."Apakah ini tidak akan bahaya, Mi?" tanyaku penasaran."Tenang, nanti aku yang atur," jawabnya, "lagipula, aku banyak teman yang jadi pejabat di sini, semua bisa kita atur."Aku mengiyakan saja semua rencananya yang tampak begitu matang. Mungkin, karena Mia sudah terampil dan berpengalaman dalam menjalankan bisnis ini. Sesekali perutku terasa mual saat mendengar cerita pengalaman Mia di sana. Dia bukan hanya membuka praktek aborsi, tapi juga terlibat perdagangan janin manusia. Katanya, di sana janin-janin bayi itu barang yang paling dicari oleh perusahaan kosmetik juga beberapa restoran yang menyajikan menu sup janin. Janin dipercaya oleh sebagian orang di sana sebagai asupan makanan pembangkit libido laki-laki. Entahlah .…Delapan jam pun berlalu. Kami turun dan saling berpamitan. Mia memberiku sebuah kartu nama, menyuruhku mampir ke rumah orang tuanya jika sempat. Nomor handphone sudah kami simpan masing - masing."Jangan berfikir terlalu lama ya, Laras. Kalau kamu tidak berminat, aku akan ajak partner yang lain." Mia memegang bahu dan menatapku dengan tajam. Aku hanya mengangguk dan tersenyum penuh kepastian. Tak lama kemudian dia pergi bersama dengan supir keluarga yang menjemputnya."Mama ... Kak Mia potong leher kucing aku!" teriak sang adik saat memergoki Mia yang tengah asyik menggorok leher kucing kampung itu.***Sejak kecil Mia termasuk anak yang introvert, tapi cerdas luar biasa. Kebiasaannya mengurung diri dan menjauh dari teman-teman sebayanya, menyebabkan dia sering mengalami halusinasi (skizofrenia). Sayangnya, itu diabaikan oleh orang tuanya yang sibuk. Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebenarnya keanehan-keanehan pada Mia sering ditemukan oleh kedua orang tuanya. Namun, mereka membiarkan hal tersebut. Lagi-lagi, karena mereka sibuk.Dua kali Mia kepergok sedang menggorok dan menguliti seekor kucing kampung di belakang rumahnya. Ketika ditanya, Mia jawab hanya iseng. Sang adik juga sering memergoki Mia tengah asyik meminum cairan yang sangat mirip darah dari bau amisnya. Tapi, Mia mampu mengelak dan menutupi perbuatannya dengan sangat rapi.Iya, Mia mengidap kelainan jiwa. Kanibalisme tepa
"Nanti saya atur waktunya, sepertinya dia akan pulang minggu depan." Ucap Mia pada seorang laki-laki paruh baya."Baik bu, tolong sisakan bagian untuk saya," jawab lelaki itu sambil mengasah golok miliknya.***Januari."Akhirnya, rencana kita bisa terwujud juga ya, Mi," ucapku malam itu saat kami tengah duduk di salah satu ruangan.Proses izin praktek klinik yang semula rumit dan sulit keluar, tiba-tiba disetujui. Upaya kami pun tak sia-sia. Rumah yang kami kontrak untuk dijadikan klinik ini adalah milik seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Bandung. Beliau memberi harga sewa yang murah karena memang sudah bertahun-tahun tak pernah dihuni sejak istrinya meninggal. Bangunannya pun sudah tua dan lebih mirip rumah zaman Belanda. Kokoh, namun sedikit angker. Di belakangnya masih terdapat lahan sekitar dua ratus lima puluh meter. Diisi pohon-pohon pisang yang tak terawat. Kami mendapat informasi tentang rumah ini dari salah satu rekan Mia. Kat
"Miaaa!!" teriaku saat membuka panci itu. Beberapa saat kemudian Mia datang ke pantry disusul Pak Kusnadi yang memang malam itu menginap juga di klinik."A-apa ... itu?" tanyaku setengah gagap."Mana Laras? Itu hanya potongan sosis. Kamu kenapa?" Mia memeriksa isi panci yang kini telah tumpah berserakan di lantai.Aku mengucek mataku perlahan, tak percaya dengan apa yang dikatakan Mia. Tapi Mia meyakinkan terus bahwa apa yang tadi kulihat seperti jari tangan dan kaki itu hanya potongan sosis.Melihat Pak Kusnadi yang langsung sibuk membereskan tumpahan panci itu, aku tetap histeris. Anehnya aku sangat yakin itu adalah jari, tapi Pak Kusnadi pun sama-sama meyakinkanku. Dia mengatakan itu hanyalah sosis. Sehingga aku merasa, dalam kegelapan aku berhalusinasi. Ah sial, ini memang sosis."Kamu butuh istirahat Laras, Skizofrenia-mu aktif karena kau terlalu depresi mengingat kehilangan Seruni." Perkataan Mia sangat meyakinkan dan aku amat percaya itu adalah hasil
Dalam kondisi hati masih berkecamuk dan belum bisa melupakan kasus putri keduaku, klinik dan pekerjaanku tetap harus berjalan. Mau bagaimana lagi, toh polisi sudah menutup kasusnya. Tak ada yang bisa kuupayakan lagi selain benar-benar ada cara Tuhan yang lain.Kehidupanku pun kembali berjalan. Pasien kami masih lumayan, tapi Mia mulai membatasi partus pervaginam alias melahirkan normal. Dan kami memang lebih kebanjiran pasien aborsi."Ras, dua pasien di depan kita ekskusi langsung aja, yuk! Aku sudah mulai ngantuk, biar cepet." Ujar Mia malam itu.Hari itu memang kami agak banyak terima pasien aborsi. Rata-rata mereka datang dari luar kota, bahkan sampai ada yang datang larut malam sekali.Masuklah dua perempuan, kira-kira usianya masih sekitar tujuh belas sampai dua puluh dua tahun. Kulihat sekilas catatan sang pasien. Perempuan dengan rambut sedikit ikal itu masih duduk di bangku sekolah menengah umum, sedangkan yang satunya adal
"Akan kami kerjakan, tapi tolong buat kesepakatan. Nama anda akan aman, jika anda menjamin klinik ini akan tetap berjalan aman." Ujar Mia pada seorang pria yang didampingi dua asisten pribadi lengkap dengan baju safarinya."Nominal tak jadi masalah, Dok. Selama nama kami bersih, klinik ini akan aman," sahutnya.***"Laras!!" Mia membopongku dalam keadaan setengah tak sadar. Aku mendengar suaranya, tapi sangat jauh.Beberapa menit kemudian aku tersadar. Kulihat Mia sedang mengolesi minyak ke hidungku dan berusaha menepuk pipi yang lama-lama terasa sakit."Laras, bangun ... Laras!" Mia setengah berteriak.Aku yang sangat lemas tak berdaya hanya berusaha membuka mata. Memberi isyarat kalau aku baik-baik saja."Uh, syukurlah kau sadar," ucap Mia penuh syukur.Aku bangun, merubah posisi menjadi duduk. Kulihat meja tempat makan Mia tadi. Bersih. Tak ada hidangan yang sempat kulihat sebelum pingsan. Aroma mulut
"Bawa orang itu malam ini ke tempat biasa, biarkan aku yang menggorok lehernya.""Oke, nanti malam di tempat biasa."***Klinik kami memang terasa berjalan aman-aman saja, namun bukan berarti masyarakat sekitar tidak merasa resah dengan praktek yang kami jalani sekian tahun ini.Aku dan Mia berusaha menjaga hubungan baik dengan lingkungan. Sesekali kami ikuti acara undangan warga sekitar, sampai ikut andil dalam urusan dana. Mia tidak pernah pelit dalam urusan sumbang-menyumbang kegiatan lingkungan sekitar. Bahkan karyawan yang kami pekerjakan itu benar-benar asli warga kampung sekitar. Kata Mia, bagaimanapun kita harus menciptakan lapangan kerja untuk mereka sehingga keberadaan kita terasa bermanfaat.Pernah beberapa kejadian, warga kampung demo di depan klinik kami, tapi Mia selalu bisa mengatasi. Beberapa aparat yang juga teman Mia diturunkan untuk melerai warga. Setelah aparat datang, diskusi tertutup diadakan dan seketika kerumunan
"Tulis saja dalam penyelidikan, penderita skizofrenia itu tak bisa menjadi saksi atas kasus apa pun.""Baik bu, kasus akan kami tutup segera."***Aku sangat gelisah sejak kehilangan putri keduaku. Bagaimanapun hati seorang ibu sangat tajam. Aku terkadang berfikir ini sangat aneh. Jika penculikan, minimal sendal yang ditemukan di depan kamar Pak kusnadi itu bisa jadi barang bukti. Dan perihal jari di dalam panci itu, masih kuyakini adalah bagian tubuh Seruni. Belum lagi, berita tentang hilang dan raibnya pria kampung itu. Polanya sama. Lagi-lagi sendal pria itu ditemukan tak jauh dari belakang kebun pisang klinik kami.Entah. Malam itu aku bertekad dalam hati untuk mendatangi kantor polisi. Kuminta Mia mendampingiku ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sungguh aku curiga pada Pak Kusnadi atas hilangnya putri keduaku. Hanya dia satu-satunya orang yang wajib kucurigai.Beberapa kali aku mengendap ke ruangan miliknya ketika dia te
Cerita ini diangkat dari kisah nyata yang disajikan dengan menu sadis, tragis, dan ending yang tidak biasa.Di mana alurnya akan dibuat maju mundur dan dibutuhkan kejelian pembaca untuk menangkapnya. Penulis hanya memberi pesan dalam novel ini agar kita selalu aware terhadap lingkungan sekitar. Di mana pengidap kelainan mental terkadang berasal dari orang terdekat dan tidak disangka.Jika pembaca jeli, penulis sedikit memberi gambaran tahapan seseorang untuk masuk ke dalam fase kanibal dan psikopat.****Klinik Aborsi"Kapan kita eksekusi?""Nanti malam."" Ok."Telepon ditutup. Dokter cantik itu memang sudah terbiasa berurusan dengan bagian tubuh manusia, jadi takkan sulit rasanya jika hanya menggorok leher seorang wanita.***Namaku Laras, aku adalah bidan di sebuah rumah bersalin. Menolong ibu-ibu melahirkan memang sudah menjadi tugasku setiap hari. Tapi rasanya pengabdian itu tidak sebanding dengan pen