"Mama ... Kak Mia potong leher kucing aku!" teriak sang adik saat memergoki Mia yang tengah asyik menggorok leher kucing kampung itu.
***Sejak kecil Mia termasuk anak yang introvert, tapi cerdas luar biasa. Kebiasaannya mengurung diri dan menjauh dari teman-teman sebayanya, menyebabkan dia sering mengalami halusinasi (skizofrenia). Sayangnya, itu diabaikan oleh orang tuanya yang sibuk.
Sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebenarnya keanehan-keanehan pada Mia sering ditemukan oleh kedua orang tuanya. Namun, mereka membiarkan hal tersebut. Lagi-lagi, karena mereka sibuk.Dua kali Mia kepergok sedang menggorok dan menguliti seekor kucing kampung di belakang rumahnya. Ketika ditanya, Mia jawab hanya iseng. Sang adik juga sering memergoki Mia tengah asyik meminum cairan yang sangat mirip darah dari bau amisnya. Tapi, Mia mampu mengelak dan menutupi perbuatannya dengan sangat rapi. Iya, Mia mengidap kelainan jiwa. Kanibalisme tepatnya. Kebiasaan memakan daging yang tak lazim itu bermula saat Mia duduk di kelas enam sekolah dasar. Mia sering sekali mengalami kerasukan dan halusinasi. Dia merasa tubuhnya ada yang memerintah, suara-suara pembisik yang membuat Mia sebenarnya sangat butuh teman untuk tempat berlindung. Tapi sayang, kedua orang tuanya yang sama-sama sibuk bekerja, jarang sekali ada waktu untuk Mia. Dan potensi bahaya yang terjadi pada Mia terakomodir menjadi gejala gangguan mental yang sangat membahayakan diri Mia di masa mendatang. Orang-orang pengidap kelainan ini memang sangat lihai menyembunyikan perbuatannya. Terlihat tidak sedih, tidak ada masalah, dan cenderung baik-baik saja, walaupun sedikit pendiam. Selain jiwanya yang terlihat super tenang, Mia juga memiliki kemampuan meredam ingatan orang lain. Dibuatnya orang-orang yang memergoki keanehan tersebut bungkam seketika. Seperti hari itu, saat adiknya menjerit melihat Mia yang tengah asyik menggorok leher kucing miliknya. Seketika, Mia bisa membuat adiknya bungkam dan tak lagi mengadu pada orang tuanya. "Awas kalo kau beri tahu ayah dan ibu!" Sambil menodongkan pisau di leher sang adik dan memberi sedikit ancaman, akhirnya sang adik pun menuruti apa yang dikatakannya.Mia yang tetap terlihat tenang selalu menampakkan wajah dan perilaku yang manis kepada orang tuanya, sehingga mereka sama sekali tak pernah tahu, apa yang sebenarnya Mia alami selama bertahun-tahun. Dengan memakan daging hewan-hewan tak lazim seperti kucing, tikus, dan lain-lain hasil sembelihannya sendiri, Mia merasa tenang. Fase memakan daging hewan itu pun mulai berubah menjadi rasa penasaran untuk beralih pada daging manusia. Mia berpikir, memakan daging manusia memunculkan rasa kepuasan tersendiri. Dengan memakan daging atau kulit manusia, Mia merasa orang yang dia makan akan menjadi bagian dari dirinya. Mia merasa tidak sendiri lagi karena berhasil telah menguasai orang tersebut.***Ketika kuliah, Mia yang berhasil masuk kedokteran dengan nilai sempurna, membuat gangguan mental yang dia alami itu tertutup sangat rapi. Tak akan ada yang menyangka bahwa seorang mahasiswa kedokteran dengan nilai kelulusan terbaik, ternyata seorang pegidap kanibalisme. Padahal, beberapa teman kosnya dulu sempat memergoki Mia diam-diam tengah mengambil potongan tubuh jenazah yang sedang mereka jadikan praktek. Mia bilang, beberapa bagian tubuh itu akan dia jadikan bahan uji coba untuk penelitian yang lain. Teman-temannya menganggap Mia memang sangat cerdas. Kadang ide yang muncul melebihi apa yang dipikirkan sebagian orang. Mereka pun percaya begitu saja dengan alasan yang dia berikan.
Seringkali Mia juga memakan daging beku di dalam kulkas tanpa dimasaknya terlebih dahulu. Katanya, lebih sehat dan juicy. Walau jawaban Mia dianggap kurang masuk akal, namun teman-temannya percaya dan cenderung mengabaikan. Mereka percaya jika Mia bisa menghasilkan sebuah eksperimen baru dengan kemampuannya menganalisa sesuatu, atau justru percaya dengan teori makan daging mentah itu lebih lezat dan sehat. Padahal, mereka sendiri tidak tahu daging apa yang tengah Mia makan. ***Jiwa kanibal Mia semakin hari semakin meningkat. Apalagi, setelah Mia lulus dan menjadi dokter kandungan. Ia mulai menikmati pemandangan janin segar yang ia tangani saat membantu seorang ibu yang tengah keguguran. Tapi, Mia tahu di negeri ini takkan mudah mendapat semua yang dia butuhkan. Karena itu, dalam kurun waktu satu tahun Mia berencana pindah keluar negeri. Dengan alasan melanjutkan study-nya, Mia berhasil mendapat kampus sekaligus pekerjaan di rumah sakit ternama, di mana di negara tersebut dengan sangat mudah menemukan komunitas para penikmat daging manusia.
Di negeri Panda itu, Mia selain dengan bebas mendapatkan aneka macam asupan daging manusia termasuk janin, kebiasaannya merambah menjadi sebuah bisnis. Janin-janin hasil aborsi yang sengaja digugurkan itu dijual dengan sistem kerja sama. Gilanya lagi, di sana ada yang sengaja melakukan kegiatan seksual untuk bisa menjual janinnya. Lagi-lagi, uang adalah pangkal utama kehidupan para kaum hedon. Mereka tak segan menawarkan diri untuk saling beruhubungan intim. Dengan jarak empat sampai lima bulan, kandungan itu digugurkan, lalu dijual melalui tangan-tangan handal. Banyak dokter yang melakukan praktek amoral tersebut. Siapa yang tak tergiur. Janin yang segar bugar itu distandarkan dengan harga dolar penjualan barang berharga. Tak berhenti sampai di situ, bisnis Mia merambah di bidang kosmetik. Seorang CEO kosmetik ternama sempat menghubunginya dengan maksud yang sama. Mereka butuh plasenta bayi untuk bahan dasar pelembab, pemutih bahkan untuk dibuat kapsul anti jerawat dan flek. Lalu, kenapa Mia tiba-tiba memutuskan pulang ke Indonesia? Bukankah di negeri bermata sipit itu dia sudah menemukan apa yang dia butuhkan? Sebuah komunitas kanibal dan penikmat sup janin yang bisa dengan bebas ia peroleh di beberapa restoran, serta bisnis yang hasilnya tak bisa dibilang biasa? Mia bahkan sempat berhubungan dengan Willy, laki-laki sesama penganut kanibalisme. Makin sempurnalah hidup Mia di tengah para pemakan daging tak lazim itu. Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk Mia membangun karir. Program study-nya pun selesai dengan nilai sangat sempurna. Tapi hari itu, Mia memutuskan pulang ke Indonesia, meninggalkan negeri tirai bambu dalam keadaan buron. ***Pada suatu malam, mata Mia tiba-tiba berubah merah menyala, di mana kebiasaan orang-orang yang memiliki gangguan mental jenis kanibal seringkali mengalami halusinasi dan kerasukan (skizofrenia) awalnya.
Terdengar ocehan Mia seperti sedang berkomunikasi, entah dengan siapa. Mia berjalan perlahan menuju dapur, tangannya meraih pisau dan kembali ke kamar. Terlihat Willy yang tengah tertidur pulas. Ya, sejak pacaran dua tahun lalu Mia memang tinggal di apartemen Willy dan hidup bersama. "Mia, kamu kenapa? " Teriak Willy, kaget ketika terbangun melihat Mia dengan posisi duduk di atas tubuhnya dengan sebilah pisau. Tak lama kemudian, darah muncrat keluar dari leher sang kekasih. Suara erangan Willy yang sudah tak berdaya itu dinikmati Mia sebagai tontonan yang menyenangkan.."Nanti saya atur waktunya, sepertinya dia akan pulang minggu depan." Ucap Mia pada seorang laki-laki paruh baya."Baik bu, tolong sisakan bagian untuk saya," jawab lelaki itu sambil mengasah golok miliknya.***Januari."Akhirnya, rencana kita bisa terwujud juga ya, Mi," ucapku malam itu saat kami tengah duduk di salah satu ruangan.Proses izin praktek klinik yang semula rumit dan sulit keluar, tiba-tiba disetujui. Upaya kami pun tak sia-sia. Rumah yang kami kontrak untuk dijadikan klinik ini adalah milik seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Bandung. Beliau memberi harga sewa yang murah karena memang sudah bertahun-tahun tak pernah dihuni sejak istrinya meninggal. Bangunannya pun sudah tua dan lebih mirip rumah zaman Belanda. Kokoh, namun sedikit angker. Di belakangnya masih terdapat lahan sekitar dua ratus lima puluh meter. Diisi pohon-pohon pisang yang tak terawat. Kami mendapat informasi tentang rumah ini dari salah satu rekan Mia. Kat
"Miaaa!!" teriaku saat membuka panci itu. Beberapa saat kemudian Mia datang ke pantry disusul Pak Kusnadi yang memang malam itu menginap juga di klinik."A-apa ... itu?" tanyaku setengah gagap."Mana Laras? Itu hanya potongan sosis. Kamu kenapa?" Mia memeriksa isi panci yang kini telah tumpah berserakan di lantai.Aku mengucek mataku perlahan, tak percaya dengan apa yang dikatakan Mia. Tapi Mia meyakinkan terus bahwa apa yang tadi kulihat seperti jari tangan dan kaki itu hanya potongan sosis.Melihat Pak Kusnadi yang langsung sibuk membereskan tumpahan panci itu, aku tetap histeris. Anehnya aku sangat yakin itu adalah jari, tapi Pak Kusnadi pun sama-sama meyakinkanku. Dia mengatakan itu hanyalah sosis. Sehingga aku merasa, dalam kegelapan aku berhalusinasi. Ah sial, ini memang sosis."Kamu butuh istirahat Laras, Skizofrenia-mu aktif karena kau terlalu depresi mengingat kehilangan Seruni." Perkataan Mia sangat meyakinkan dan aku amat percaya itu adalah hasil
Dalam kondisi hati masih berkecamuk dan belum bisa melupakan kasus putri keduaku, klinik dan pekerjaanku tetap harus berjalan. Mau bagaimana lagi, toh polisi sudah menutup kasusnya. Tak ada yang bisa kuupayakan lagi selain benar-benar ada cara Tuhan yang lain.Kehidupanku pun kembali berjalan. Pasien kami masih lumayan, tapi Mia mulai membatasi partus pervaginam alias melahirkan normal. Dan kami memang lebih kebanjiran pasien aborsi."Ras, dua pasien di depan kita ekskusi langsung aja, yuk! Aku sudah mulai ngantuk, biar cepet." Ujar Mia malam itu.Hari itu memang kami agak banyak terima pasien aborsi. Rata-rata mereka datang dari luar kota, bahkan sampai ada yang datang larut malam sekali.Masuklah dua perempuan, kira-kira usianya masih sekitar tujuh belas sampai dua puluh dua tahun. Kulihat sekilas catatan sang pasien. Perempuan dengan rambut sedikit ikal itu masih duduk di bangku sekolah menengah umum, sedangkan yang satunya adal
"Akan kami kerjakan, tapi tolong buat kesepakatan. Nama anda akan aman, jika anda menjamin klinik ini akan tetap berjalan aman." Ujar Mia pada seorang pria yang didampingi dua asisten pribadi lengkap dengan baju safarinya."Nominal tak jadi masalah, Dok. Selama nama kami bersih, klinik ini akan aman," sahutnya.***"Laras!!" Mia membopongku dalam keadaan setengah tak sadar. Aku mendengar suaranya, tapi sangat jauh.Beberapa menit kemudian aku tersadar. Kulihat Mia sedang mengolesi minyak ke hidungku dan berusaha menepuk pipi yang lama-lama terasa sakit."Laras, bangun ... Laras!" Mia setengah berteriak.Aku yang sangat lemas tak berdaya hanya berusaha membuka mata. Memberi isyarat kalau aku baik-baik saja."Uh, syukurlah kau sadar," ucap Mia penuh syukur.Aku bangun, merubah posisi menjadi duduk. Kulihat meja tempat makan Mia tadi. Bersih. Tak ada hidangan yang sempat kulihat sebelum pingsan. Aroma mulut
"Bawa orang itu malam ini ke tempat biasa, biarkan aku yang menggorok lehernya.""Oke, nanti malam di tempat biasa."***Klinik kami memang terasa berjalan aman-aman saja, namun bukan berarti masyarakat sekitar tidak merasa resah dengan praktek yang kami jalani sekian tahun ini.Aku dan Mia berusaha menjaga hubungan baik dengan lingkungan. Sesekali kami ikuti acara undangan warga sekitar, sampai ikut andil dalam urusan dana. Mia tidak pernah pelit dalam urusan sumbang-menyumbang kegiatan lingkungan sekitar. Bahkan karyawan yang kami pekerjakan itu benar-benar asli warga kampung sekitar. Kata Mia, bagaimanapun kita harus menciptakan lapangan kerja untuk mereka sehingga keberadaan kita terasa bermanfaat.Pernah beberapa kejadian, warga kampung demo di depan klinik kami, tapi Mia selalu bisa mengatasi. Beberapa aparat yang juga teman Mia diturunkan untuk melerai warga. Setelah aparat datang, diskusi tertutup diadakan dan seketika kerumunan
"Tulis saja dalam penyelidikan, penderita skizofrenia itu tak bisa menjadi saksi atas kasus apa pun.""Baik bu, kasus akan kami tutup segera."***Aku sangat gelisah sejak kehilangan putri keduaku. Bagaimanapun hati seorang ibu sangat tajam. Aku terkadang berfikir ini sangat aneh. Jika penculikan, minimal sendal yang ditemukan di depan kamar Pak kusnadi itu bisa jadi barang bukti. Dan perihal jari di dalam panci itu, masih kuyakini adalah bagian tubuh Seruni. Belum lagi, berita tentang hilang dan raibnya pria kampung itu. Polanya sama. Lagi-lagi sendal pria itu ditemukan tak jauh dari belakang kebun pisang klinik kami.Entah. Malam itu aku bertekad dalam hati untuk mendatangi kantor polisi. Kuminta Mia mendampingiku ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sungguh aku curiga pada Pak Kusnadi atas hilangnya putri keduaku. Hanya dia satu-satunya orang yang wajib kucurigai.Beberapa kali aku mengendap ke ruangan miliknya ketika dia te
Cerita ini diangkat dari kisah nyata yang disajikan dengan menu sadis, tragis, dan ending yang tidak biasa.Di mana alurnya akan dibuat maju mundur dan dibutuhkan kejelian pembaca untuk menangkapnya. Penulis hanya memberi pesan dalam novel ini agar kita selalu aware terhadap lingkungan sekitar. Di mana pengidap kelainan mental terkadang berasal dari orang terdekat dan tidak disangka.Jika pembaca jeli, penulis sedikit memberi gambaran tahapan seseorang untuk masuk ke dalam fase kanibal dan psikopat.****Klinik Aborsi"Kapan kita eksekusi?""Nanti malam."" Ok."Telepon ditutup. Dokter cantik itu memang sudah terbiasa berurusan dengan bagian tubuh manusia, jadi takkan sulit rasanya jika hanya menggorok leher seorang wanita.***Namaku Laras, aku adalah bidan di sebuah rumah bersalin. Menolong ibu-ibu melahirkan memang sudah menjadi tugasku setiap hari. Tapi rasanya pengabdian itu tidak sebanding dengan pen
Siang itu aku bergegas ke stasiun. Tiket yang sudah kubeli secara online ternyata salah jadwal. Harusnya aku berangkat malam hari. Ini malah untuk jadwal untuk sore hari. Aku dan kedua anakku harus buru-buru sampai di stasiun.Rencanaku pulang kampung adalah untuk menitipkan dua buah hatiku pada kedua orang tua karena aku sudah tak kuat menyewa kontrakan. Selain itu, anak-anak juga tidak ada yang mengasuh. Atas permintaan ibu dan bapak, akhirnya kuboyong mereka semua untuk sekolah dan tinggal di Solo. Jam sudah menunjuk pukul empat sore. Segera kunaiki gerbong yang baru saja berhenti di depan kami. Syukurlah kami tidak terlambat. Hanya tak sempat membeli camilan untuk anak-anak, tapi mereka sudah makan tadi pagi. Semoga saja tidak rewel.Kami duduk dengan kursi berhadapan. Dua seat untuk aku dan putri bungsuku. Si sulung duduk bersebelahan dengan seorang perempuan cantik yang usianya mungkin lebih muda dariku. Jika kutaksir, kami hanya beda beberapa tahun