Share

Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!
Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!
Penulis: Hana Makaira

Kita Beli Kesombongan Mertuamu

Penulis: Hana Makaira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 13:40:01

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!

 

 

 

 

"Mas, tahun ini kita mudik ke rumah ibuku, ya."

 

"Nggak! Kita mudik tempat ibuku!" tolak Bang Arman.

 

"Lho, kita tiap tahun selalu mudik tempat ibumu. Masa sekali pun kita nggak pernah mudik ke rumah ibuku."

 

"Turuti saja perintah suami. Jangan bantah!" Bang Arman membanting sendok ke atas piringnya.

 

"Lho, Bang, kamu mau ke mana? Makan malamnya kok nggak dihabiskan, sih?"

 

"Mending aku pergi. Bikin selera makan hilang saja kamu!"

 

Aku hanya bisa menatap diam punggung Bang Arman yang menghilang di balik pintu, yang juga ditutup dengan dibanting.

 

Sambil menghela napas, kuelus dada yang terasa perih. Seakan ada duri tajam yang menghujam di sana.

 Selama lima tahun menikah, tak sekali pun Bang Arman bersedia diajak mudik ke kampung Bapak dan Ibu. Sekali dua kali, aku masih bisa paham. Tapi, ini sudah menginjak tahun keenam, Bang Arman tetap saja menolak.

 

 

***H_M***

 

 

 

Seperti biasa, seminggu sebelum lebaran, Bang Arman sudah libur bekerja. Kemudian sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk mudik. Dan lagi-lagi, mudik ke rumah ibunya. 

Berkali-kali Bapak menelepon, memohon agar Bang Arman mau membawaku dan Indah--putri semata wayang kami pulang. Tetap saja Bang Arman bergeming dan tidak mengindahkan permintaan Bapak.

 

Setiba di kampung mertua, aku hanya diam seribu bahasa. Sementara Bang Arman larut dalam keseruan bersama kakak dan adiknya juga keluarga besar lainnya. 

 

"Nia, kamu kenapa? Dari tadi diam saja," tegur Kak Ima.

 

"Halah, paling merajuk, karena Arman tak mau membawanya pulang ke kampung bapaknya." Ibu yang menyahut.

 

"Oalah, jadi cuma gara-gara itu, toh? Seperti anak-anak kamu itu, Nia."

 

Hatiku semakin perih mendengar celotehan mereka, yang seakan aku ini adalah lelucon. Keterlaluan.

 

"Nia, dari pada diam di situ saja, mendingan kamu ke dapur, siapin makanan!" perintah Ibu.

 

"Iya nih. Aku sudah lapar banget. Biasanya kamu selalu sigap menyiapkan makanan, Kak Nia," sambung Ella--adik iparku.

 

"Siapkan saja sendiri! Kenapa harus aku?" 

 

Seketika mereka terpaku. Ini kali pertama aku membantah perintah Ibu.

 

"Apa? Kamu berani membantah Ibu, Nia?"

 

"Kenapa nggak, Kak? Selama ini cukup aku mengalah. Kalian perintah apa saja, selalu aku turuti. Tapi, tidak untuk kali ini."

 

"Kamu jangan bikin aku malu, Dek," bisik Bang Arman tertahan.

 

"Apa? Memangnya aku bikin malu apa, Bang? Kurang apa aku selama lima tahun ini mengalah? Setiap mudik ke sini, aku selalu dijadikan seperti babu, aku diam. Kamu selalu menolak diajak mudik ke kampung orang tuaku, aku diam. Tapi kali ini aku nggak akan diam!"

 

Ibu, Kak Ima dan Ella tertawa mendengar ucapanku. Hanya Bang Arman yang terdiam seperti menahan malu.

 

"Kamu mau apa memangnya, huh? Mau marah? Mau minggat? Silakan minggat sana! Memangnya kamu bisa apa tanpa anakku, huh?" ujar Ibu pongah.

 

"Iya, benar. Tanpa abangku, memangnya kamu bisa menghidupi Indah seorang diri. Kamu itu cuma orang kampung!" timpal Ella.

 

"Anak petani kampung saja sudah belagu kamu. Hidupmu itu masih bergantung pada anakku, tahu!"

 

Cepat kutuntun putriku yang berusia empat tahun ke luar. Lama-lama bisa gila kalau terus menerus di sini.

 

"Jangan dikejar, Man. Nanti dia ngelunjak. Ingat, harga dirimu sebagai suami!" Masih kudengar suara Ibu yang menahan Bang Arman agar tak mengejarku.

 

Drrrttt drrrttt. Ponsel android jadulku bergetar di dalam saku celana. Nama Bapak tertera di sana.

 

"Assalamualaikum, Pak."

 

"Wa'alaikumussalam, Nduk. Kamu ndak diizinkan suamimu untuk mudik?"

 

Aku diam menunduk. Hanya air mata yang menetes jatuh ke sudut bibir. 

 

"Aku sudah nggak tahan, Pak," desisku lirih.

 

"Kalau sudah nggak tahan, pulang sini sama bapak dan Ibu, Nduk. Kalau hanya menghidupi kamu dan cucu bapak, bapak masih sanggup. Pulang lah, Nduk. Kebun sawit kita sudah laku. Ditambah eyangmu juga memberikan warisan untuk kamu. Kita beli kesombongan mertuamu, Nduk." Aku bisa menangkap geram di suara Bapak.

 

Cepat kuseka air mata. "Bapak serius?"

 

"Serius, Nduk. Suamimu yang sombong itu 'kan ndak pernah kenal eyangmu yang di Jogja. Dia juga kan ndak tahu kalau kebun sawit itu milik bapak. Mentang-mentang bapakmu ini petani, mereka pikir kita miskin. Kita buktikan, kita ini lebih dari mereka."

 

"Baik, Pak. Aku segera pulang."

 

 

***H_M***

 

 

 

 

Aku berjalan cuek menuju kamar. Tak kuhiraukan tatapan tajam yang seakan ingin menelan diri ini bulat-bulat.

 

Beruntung pakaian belum dikeluarkan semua. Segera kuringkas pakaian kemudian membawa ke luar tas yang berisi pakaianku dan Indah.

 

"Kamu mau ke mana, Dek?" tanya Bang Arman.

 

"Aku mau pulang ke kampung orang tuaku," ketusku.

 

"Kamu benar-benar sudah berani melawanku, Nia? Aku ini suamimu!" 

 

"Aku ini juga istrimu, Bang. Tapi, apa pernah kamu mendengarkanku sekaliii aja. Bahkan kamu selalu diam melihat keluargamu memperlakukanku seperti pembantu."

 

Bang Arman terdiam. 

 

"Sudahlah, Arman. Jangan dengarkan dia! Ingat, kamu itu kepala keluarga. Jangan mau dibo-dohi istri, Man!" hasut Ibu. 

 

"Tapi, Bu--"

 

"Diam, Arman. Kamu berani membantah Ibu?"

 

Aku berbalik dan melanjutkan langkah, sambil menuntun Indah. Tak ada gunanya bertahan dengan lelaki yang memiliki pendirian seperti Bang Arman.

 

"Dek!"

 

"Sudah lah, Arman," senggak Ibu. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!"

 

 

 

 

💞

 

 

 

*BERSAMBUNG*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Abya Chici Car
seru... liku liku ceritanya........
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
baru mulai membaca kaya nya tertarik dtcerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 2

    Part : 2❣"Dek!""Sudah lah, Arman," senggak Ibu. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!"Kuusap dada sambil meneruskan langkah dengan menuntun Indah. Gadis kecil itu menatap dalam. Kupalingkan pandangan pura-pura tak melihatnya. Air mata ini sudah akan jatuh luruh sebentar lagi. Hanya saja masih berusaha ditahan. Mereka tidak boleh mengira diri ini lemah."Bunda ...."Aku mengerjap. Duh, air mata sia-lan ini justru jatuh di saat tidak tepat."Ya, Sayang." Aku mendongak menatap langit yang sedikit mendung."Bunda menangis?" tanyanya polos. Di usia empat tahun, Indah sudah bicara dengan lancar, kecuali ketika huruf "R" di tengah kalimat, baru ia kesulitan."Ah, nggak. Siapa bilang?" Cepat kuusap air mata yang jatuh."Bunda jangan bohong sama aku. Bunda nangis kan?"Kuhela napas panjang. Gadis kecil itu sedikit kesulitan hendak naik ke bangku halte."Sini bunda bantu, Sayang." Kugen

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 3

    Part : 3 Happy reading. ❣ ❣ POV AUTHOR "Dek!" "Sudah lah, Arman," senggak Bu Rahma. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!" Arman kembali terduduk di kursinya. Sebenarnya ia ingin sekali mengejar Nia. Tapi, larangan ibunya membuat ia harus mengurungkan niat. "Kamu itu laki-laki, Man. Jangan sampai kamu menjatuhkan harga dirimu demi wanita kampung itu," tegas Bu Rahma. "Tapi, Nia itu istriku, Bu. Aku masih mencintainya." Arman bersikeras. "Halah, per-setan dengan cinta. Kamu bisa mendapatkan seribu wanita yang lebih cantik dan lebih sepantaran dengan kita." "Iya, benar yang dikatakan Ibu, Man. Kamu ini jangan terlalu mengemis cinta sama wanita ndeso seperti itu. Nanti akan kakak kenalkan kamu sama wanita modis dan yang jelas kelasnya sama dengan kita," timpal Ima--kakak tertua Arman. Arman hanya tertunduk. Ia memang tidak bisa membantah apa yang dikatakan ibu dan kakaknya

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 4

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 4❣ ❣"Bagaimana, Nia? Cepat putuskan sekarang juga! Aku nggak punya waktu banyak!" tekan Bang Arman.Aku terdiam. Tak kupungkiri rasa cinta tentu masih ada. Pernikahan lima tahun rasanya bukan waktu yang sebentar. Tapi, jika mengingat apa yang sudah mereka lakukan, hinaan demi hinaan yang terus dilontarkan tak hanya padaku tapi juga pada Bapak dan Ibu, rasanya tak mungkin dapat termaafkan. Apalagi ketika Bapak dan Ibu ingin menemui, selalu saja dihalang-halangi. Padahal jarak Jakarta-Bandung tidak lah terlalu jauh. Sampai-sampai mereka kapok dan tidak mau mendatangiku lagi, sampai Indah sebesar sekarang."Nia! Kamu dengar nggak sih?" bentak Bang Arman menyadarkanku."Ya, aku dengar." "Cepat jawab! Lama amat sih tinggal jawab doang."Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjawab yang sejujurnya."Aku nggak akan kembali sama kamu. Apalagi ke rumah ibumu," jawabku tegas. "Mak-maksud kamu?""Apa ucapanku kurang jelas? Aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 5

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Pesawat mendarat dengan sukses di bandara baru Yogyakarta International Airport. Kota Jogja ini adalah kota asal di mana aku dilahirkan. Setelah berusia tujuh tahun, aku diboyong pindah ke Bandung, karena Bapak membeli sawah dan perkebunan teh di sana. Kemudian Bapak membeli perkebunan sawit di Jambi. Setelah maju dan memiliki banyak pekerja, Bapak hanya sesekali saja ke sana, sekedar untuk memeriksa kemajuannya.Tapi, Bapak dan Ibu sosok yang sangat sederhana. Tak ada yang mengira kalau Bapak adalah juragan sawit, padi dan teh. Karena penampilan yang tetap "ngampung", ikut turun ke sawah bahkan ikut juga memetik teh."Ayo, Nduk. Taksi kita sudah datang," ajak Bapak."Baik, Pak," sahutku. Kubantu Bapak dan Ibu untuk menaikkan tas dan koper ke bagasi mobil. Kemudian, mobil meluncur membelah jalan kota pelajar tersebut.Sesampai di sebuah rumah yang ber-desain etnik jawa kental, kami disambut oleh seorang pria yang menggunakan blangkon di kepalany

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 6

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 6Aku sudah berteriak minta tolong, Bang Arman tetap saja tak peduli. Ia berusaha menarik tanganku masuk ke rumah.Tiba-tiba, byuuurrr ... Seember air tumpah membasahi tubuh Bang Arman."Aaarrrgggh ... Siapa yang menyiramku?" pekik Bang Arman geram."Saya! Kenapa, kamu mau marah sama saya?" sahut Bapak. Seketika Bang Arman terdiam. "Tapi, kenapa aku disiram, Pak?" "Masih untung kamu saya siram air biasa, bukan air comberan. Kenapa kamu memaksa anak saya, huh? Memangnya kamu siapa?""Saya suaminya. Saya yang lebih berhak atas Nia.""Lelaki seperti kamu itu nggak pantas disebut suami. Lepaskan anak saya! Atau saya teriakin kamu maling!" ancam Bapak.Perlahan cengkeraman di tanganku mengendur. Kuusap-usap bekas cengkeraman Bang Arman tadi. Masih terasa panas dan perih."Ngapain kamu di sini? Dan dari mana kamu tahu kalau kami di Jogja?" tanya Bapak ketus."Kemarin aku ke Lembang. Tapi kalian nggak ada. Aku nanya ke tetangga. Katanya kalian

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 7

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 7*Flashback* POV ARMAN"Kamu yakin gadis itu kaya raya, Man?""Yakin, Bu. Soalnya, beberapa pekerja mengatakan begitu.""Bagus 'lah. Jangan mau sama perempuan miskin. Cuma bakalan nyusahin kita nanti, Man. Ya sudah, kapan kita ke sana.""Besok, Bu. Soalnya, aku malas pacaran lama-lama. Aku rasa dua bulan cukup 'lah. Usiaku sudah 40 tahun, Bu. Keburu makin tua aku nanti.""Oke, besok kita ke sana."❣Matahari bersinar cerah. Ibu, Kak Ima dan Ella sudah siap untuk bertemu dengan Nia, gadis yang tengah kupacari saat ini. Semoga saja Ibu mau menyetujui hubungan kami. Syarat kaya saja sudah cukup untuk mendapatkan restu dari Ibu.Dengan menggunakan mobilku, kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari area persawahan.Mobil tidak bisa masuk, karena itu kami harus berjalan kaki sedikit."Yang mana sih rumahnya, Man?" tanya Ella--adikku."Itu," tunjukku pada rumah mungil yang dikelilingi taman bunga kecil."Kamu nggak sala

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 8

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!" Part : 8POV KANIABang Arman dan keluarganya berpamitan pulang. Raut wajah ibunya seperti tidak menyukaiku. Dan sepintas aku mendengar Bu Rahma mengatakan kami miskin. "Nduk."Aku yang tengah membereskan gelas-gelas bekas keluarga Bang Arman tadi menyahut, "Ya, Pak.""Keluarga Arman itu sombong sekali, Nduk. Bapak nggak suka."Tanpa menjawab, aku hanya berjalan ke belakang menyimpan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian piring."Lalu, itu yang membuat Bapak berbohong soal sawah dan kebun teh pada mereka tadi?" Terdengar suara Ibu."Ya, aku mau melihat. Apa 'kah mereka tetap menerima Nia, setelah tahu Nia itu ternyata orang miskin.""Terus, kalau akhirnya Arman mundur, bagaimana, Pak?""Itu lebih baik. Dari pada anak kita menderita nantinya."❣ HM ❣Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktu di kebun teh. Cuaca hari ini cerah dan lumayan terik. Topi caping pun selalu menjadi teman setiaku untuk melindungi wajah dari panas matahari. Sedangkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 9

    Part : 9 Agenda sidang kami hari ini masih sidang mediasi. Ada mediator yang menengahi kami untuk mencoba mendamaikan dan kembali mempersatukan. Namun keputusan sudah bulat untuk berpisah dari Bang Arman. Aku tidak bisa terus bertahan dalam rumah tangga, yang masih seratus persen dicampuri ibunya. Lima tahun aku dipaksa untuk berbakti pada ibunya, tanpa boleh berbakti pada orang tua sendiri. Selama hampir lima tahun pula, aku tak diizinkan bertemu orang tua, padahal jarak kota yang tak terlalu jauh. Jika ingat itu, hati ini melenguh perih. Lima tahun rasanya seperti lima abad tersiksa. Sampai tubuh ini bergidik ngeri membayangkan hal itu lagi. Aku terus bersikeras untuk bercerai, kendati mediator berusaha untuk meminta kembali berpikir akan keputusanku. Ia meminta agar mengingat ada Indah yang akan menjadi korban nantinya dari perceraian kami. Tapi, aku sudah tidak peduli. Sebagai seorang Ibu, aku harus memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Karena itu juga akan mempengaruhi ke Indah

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11

Bab terbaru

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 53

    “Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 52

    Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 51

    Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 50

    Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 49

    Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 48

    "Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 47

    Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 46

    Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Season 2 Part 45

    Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status