Share

Bab : 7

Penulis: Hana Makaira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 14:05:34

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! 

Part : 7

*Flashback*

POV ARMAN

"Kamu yakin gadis itu kaya raya, Man?"

"Yakin, Bu. Soalnya, beberapa pekerja mengatakan begitu."

"Bagus 'lah. Jangan mau sama perempuan miskin. Cuma bakalan nyusahin kita nanti, Man. Ya sudah, kapan kita ke sana."

"Besok, Bu. Soalnya, aku malas pacaran lama-lama. Aku rasa dua bulan cukup 'lah. Usiaku sudah 40 tahun, Bu. Keburu makin tua aku nanti."

"Oke, besok kita ke sana."

Matahari bersinar cerah. Ibu, Kak Ima dan Ella sudah siap untuk bertemu dengan Nia, gadis yang tengah kupacari saat ini. Semoga saja Ibu mau menyetujui hubungan kami. Syarat kaya saja sudah cukup untuk mendapatkan restu dari Ibu.

Dengan menggunakan mobilku, kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari area persawahan.

Mobil tidak bisa masuk, karena itu kami harus berjalan kaki sedikit.

"Yang mana sih rumahnya, Man?" tanya Ella--adikku.

"Itu," tunjukku pada rumah mungil yang dikelilingi taman bunga kecil.

"Kamu nggak salah, Man? Kamu bilang gadis itu kaya. Kok rumahnya seperti itu sih? Mana jalannya becek lagi. Kotor kaki Ibu jadinya," sungut Ibu. Kakinya sampai berjinjit-jinjit untuk memilih jalan yang tidak becek. Tadi malam hujan, dan rumah Nia berada di dataran tanah yang masih sangat gembur. Jika diguyur hujan, maka jalan menjadi becek karena genangan lumpur.

Aku tak menjawab. Pasti dalam bayangan Ibu, rumah calon besannya itu mewah dan megah. Huuufff, kuhela napas panjang.

"Assalamualaikum," ucapku ketika sampai di depan rumah berpintu kayu berwarna coklat.

Hening tak ada jawaban.

"Assalamualaikum, Dek Nia." Kucoba memanggil sekali lagi.

"Wa'alaikumussalam." Terdengar sahutan dari belakang rumah. Seorang lelaki paruh baya datang dengan cangkul dipikul di bahu kanan. Pakaian dan celana berbahan kain itu dipenuhi lumpur yang mulai mengering.

Kulirik Ibu yang menatap dengan pandangan jijik. Aduh, sepertinya kedatangan kami sangat tidak tepat.

"Eh, Nak Arman. Ayo, masuk, masuk." Pak Danu--bapaknya Nia mempersilakan kami masuk. "Sebentar, saya mau cuci kaki dulu."

Pak Danu melangkah ke arah samping rumah. Ia mencuci kakinya yang penuh lumpur di bawah kucuran air keran.

"Kamu nggak salah, Arman? Masa orang kaya kotor seperti itu," bisik Ibu.

"Namanya juga *nyawah*, Bu. Ya pasti kotor," balasku juga berbisik.

"Lho, kok masih berdiri di situ saja. Mari masuk." Pak Danu berjalan mendahului kami, masuk ke rumah.

Ibu berjalan menapaki tangga. Matanya berkeliling dengan raut wajah jijik. Ibuku itu memang super pembersih dan *jijikan*.

"Eh, ada nak Arman," sapa Ibu. "Ayo, silakan duduk. Nia, buatkan teh. Ada tamu ini."

Nia muncul dari balik pintu dapur. Ia tersenyum tersipu begitu melihatku, lalu menghilang ke balik pintu tersebut. Sepemalu itu 'kah seorang gadis desa?

"Maaf, kalau boleh tahu, maksud kedatangan nak Arman dan yang lainnya apa ya?"

"Begini, Pak, ini ibu saya, kakak dan adik saya. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar Nia, anak Bapak dan Ibu."

Pak Danu dan Bu Santi saling berpandangan dengan raut wajah kaget.

"Melamar? Kamu dengan Nia 'kan belum lama berhubungan. Apa nggak terlalu cepat, Nak Arman?" tanya Bu Santi.

"Saya sudah telanjur cinta sama Nia, Bu. Lagi pula, laki-laki seusia saya ini, sudah nggak cocok untuk pacaran lama-lama," jelasku.

Tak lama Nia datang dengan nampan berisi empat gelas teh panas. Gadis ini sebenarnya berwajah manis meski kulitnya berwarna coklat. Rambutnya hitam legam sengaja dibiarkan tergerai bebas.

"Ini pacar kamu, Man?" Mata Ibu melotot tak percaya. Pasti karena Nia hanya mengenakan daster batik selutut. Aku yakin, dalam bayangan Ibu, pacarku bergaya modis dan trendi. Sementara yang tersaji di depannya, hanyalah gadis desa yang bergaya kampungan.

"I-iya, Bu. Ini yang namanya Kania, Bu."

Nia menyalami dan menciumi punggung tangan Ibu, kemudian Kak Ima dan Ella.

"Kamu yakin mereka ini orang kaya? Kok penampilannya kampungan banget sih?" tanya Ibu sedikit berbisik. Tapi suaranya aku rasa cukup kuat untuk didengar Pak Danu dan Ibu Santi juga Nia. Terlihat dari wajah mereka yang seketika berubah pias.

"Bu, jangan bicara begitu dong. Malu kedengaran mereka," bisikku merasa tak enak. "Yang penting mereka kaya, Bu. Ingat, mereka pemilik sawah dan kebun teh di sini," lanjutku di telinga Ibu.

Ibu menghela napas panjang sambil membuka kipas kertas. Lantas ia mengipaskan ke wajahnya.

"Oh ya, Pak, Bu. Kebun teh di jalan menurun dan sawah yang di dekat irigasi itu, milik Bapak dan Ibu 'kan?" Kak Ima membuka suara.

"Sawah dan kebun teh itu bukan milik kami. Kami hanya pekerja di sana," jawab Bapak seraya terkekeh.

"Ah, yang benar, Pak. Kata Arman, Bapak pemilik beberapa sawah dan kebun teh di sini," timpal Ibu.

"Bukan, Nak. Bapak serius. Kami di sini cuma pekerja. Kalau kami pemilik sawah dan kebun teh, tentu rumah kami mewah. Pak Asep, maaf, ke sini sebentar." Lelaki berkumis itu memanggil seorang pria yang melintas di depan rumah.

"Ya, Pak Danu, ada apa?"

Bapak berjalan pelan ke arah lelaki bernama Asep tadi.

"Pak Asep." Pak Danu merangkul pundak Pak Asep. "Coba jelaskan pada tamu-tamu saya ini, kalau persawahan di dekat irigasi dan kebun teh di jalan menurun itu bukan punya saya? Kita di saja cuma pekerja saja 'kan, Pak Asep?"

"Eng, eh, i-iya, Pak Danu. Kami di sana cuma pekerja biasa saja kok."

"Tapi, kemarin saya bertanya kepada beberapa pekerja, kalau Nia yang waktu itu sedang memetik teh, adalah anak pemilik kebun teh tersebut," tanyaku gamang.

"Hahaha ... Mereka cuma bercanda itu, Nak Arman. Nak Arman bisa lihat sendiri 'kan, rumah-rumah pemilik kebun teh di sini rata-rata rumahnya bagus-bagus. Nggak seperti kami. Rumah kami sederhana begini ."

"Aaawww!" Ibu mencubit pahaku.

"Kenapa, Nak Arman?"

"Nggak apa-apa kok, Bu."

"Lalu, bagaimana soal lamaran tadi, Nak Arman?"

"Lamaran?" tanya Nia heran.

"Ya, Nduk. Arman dan keluarganya datang jauh-jauh dari Jakarta ke sini, untuk melamar kamu. Bagaimana, Nduk?" tanya Bapak.

"Eng, soal lamaran tadi, sepertinya nanti dulu deh. Saya harus bicarakan lagi dengan Arman dan anak-anak saya yang lainnya. Kami pulang dulu. Permisi." Ibu berdiri sambil memberi isyarat, agar kami mengikuti langkahnya.

❣ HM ❣

"Arman!"

Aku tersentak ketika Ibu menepuk pundakku kuat.

"Ya, Bu."

"Apa yang kamu lamunkan? Istrimu yang mis-kin dan som-bong itu?"

Lagi, aku terdiam. Jujur rasa cinta masih sangat besar untuk Nia. Tapi sayangnya, diri ini tak mampu melawan kuasa Ibu, yang selalu mengatur kehidupanku selama ini. Bahkan, Ayah saja tak mampu melawan Ibu.

❣ Bersambung ❣

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Fx Mujito
cukup bagus pelajaran supaya TDK sombong
goodnovel comment avatar
Waty Rosilawaty
Bukan salah mereka klau pak Danu sepelekan atau dipandang sebelah mata, krn perbuatan pak Danu yg membohongi mereka, jadinya akan terus di hina, pdhal tdk semestinya begitu, seharusnya dr awal jujur supaya kelanjutan pernikahan anaknya lebih bahagia dan langgeng
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ibunya ternyata matre
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab : 8

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!" Part : 8POV KANIABang Arman dan keluarganya berpamitan pulang. Raut wajah ibunya seperti tidak menyukaiku. Dan sepintas aku mendengar Bu Rahma mengatakan kami miskin. "Nduk."Aku yang tengah membereskan gelas-gelas bekas keluarga Bang Arman tadi menyahut, "Ya, Pak.""Keluarga Arman itu sombong sekali, Nduk. Bapak nggak suka."Tanpa menjawab, aku hanya berjalan ke belakang menyimpan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian piring."Lalu, itu yang membuat Bapak berbohong soal sawah dan kebun teh pada mereka tadi?" Terdengar suara Ibu."Ya, aku mau melihat. Apa 'kah mereka tetap menerima Nia, setelah tahu Nia itu ternyata orang miskin.""Terus, kalau akhirnya Arman mundur, bagaimana, Pak?""Itu lebih baik. Dari pada anak kita menderita nantinya."❣ HM ❣Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktu di kebun teh. Cuaca hari ini cerah dan lumayan terik. Topi caping pun selalu menjadi teman setiaku untuk melindungi wajah dari panas matahari. Sedangkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 9

    Part : 9 Agenda sidang kami hari ini masih sidang mediasi. Ada mediator yang menengahi kami untuk mencoba mendamaikan dan kembali mempersatukan. Namun keputusan sudah bulat untuk berpisah dari Bang Arman. Aku tidak bisa terus bertahan dalam rumah tangga, yang masih seratus persen dicampuri ibunya. Lima tahun aku dipaksa untuk berbakti pada ibunya, tanpa boleh berbakti pada orang tua sendiri. Selama hampir lima tahun pula, aku tak diizinkan bertemu orang tua, padahal jarak kota yang tak terlalu jauh. Jika ingat itu, hati ini melenguh perih. Lima tahun rasanya seperti lima abad tersiksa. Sampai tubuh ini bergidik ngeri membayangkan hal itu lagi. Aku terus bersikeras untuk bercerai, kendati mediator berusaha untuk meminta kembali berpikir akan keputusanku. Ia meminta agar mengingat ada Indah yang akan menjadi korban nantinya dari perceraian kami. Tapi, aku sudah tidak peduli. Sebagai seorang Ibu, aku harus memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Karena itu juga akan mempengaruhi ke Indah

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 10

    KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 10 "Tapi, kenapa mereka bisa memiliki utang sebanyak itu, Mas?" tanyaku pada Mas Abimanyu. Ia melemparkan senyum sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. "Itu 'lah yang masih aku pertanyakan. Selama ini Pak Wahyu yang memegang toko. Pak Wahyu itu bapak mertuamu 'kan?" "Ya, benar. Dia bapak mertuaku. Dan kebun teh juga dia yang meng-handle." "Padahal, toko batik mereka itu cukup terkenal laris. Tapi, entah kenapa, mereka bisa sampai terlilit utang seperti sekarang ini." "Kebun teh mereka juga setahuku sangat maju sih, Mas. Tapi--" Kuaduk lemon tea dengan sedotan sambil berpikir keras. Selama ini permasalahan keluarga Bang Arman sama sekali tak kuketahui. Karena mereka selalu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Ternyata, mereka menyimpan sebuah berita besar. "Hei!" Aku tersentak kaget. "Ah, ya, Mas." "Mikirin opo?" "Nggak, Mas. Aku cuma berpikiran, kalau memang toko dan kebun teh itu maju, kenapa sampai bisa mereka terlilit utang b

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 11

    "Alhamdulillah semua lancar ya, Nduk," ujar Ibu. "Alhamdulillah, Bu. Lega rasanya." "Bagus 'lah, Nduk. Nggak ada gunanya kamu mempertahankan rumah tangga dengan laki-laki labil seperti Arman itu," timpal Bapak. "Apa? Kamu mengatakan anak saya laki-laki labil?" celetuk Ibu tiba-tiba dari belakang. "Memang anakmu itu labil dan nggak punya pendirian 'kan? Salahnya di mana?" sahut Ibu. "Laki-laki seperti ini nggak bisa dijadikan kepala rumah tangga. Karena segala sesuatu urusan dalam rumah tangga, masih dicampuri sama ibunya. Seharusnya kamu jangan menikah, Arman. Tapi terus saja mene-tek pada ibumu." "Kurang a-jar banget kamu. Kamu pikir kamu siapa? Orang miskin saja sombong!" Lagi-lagi kata-kata itu yang ke luar dari mulutnya. "Itu emas yang kamu pakai, palingan juga imitasi 'kan?" Bu Rahma ini benar-benar keterlaluan. Dia tidak tahu, kalung emas yang melingkar di leher ibuku itu bukan emas biasa, melainkan emas murni. "Sudah, Bu. Jangan dilawan. Anggap saja orang gi-la," tukas Ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 12

    KITA BELI KESOMBONSepertinya ini alasan kebun teh milik ibunya Bang Arman mengalami kebangkrutan dan toko mereka juga sampai berutang pada kami. Benar kata Mas Abi. Lelaki yang diam saja ketika ditekan istri, ternyata melawan dengan bermain belakang. Kuputuskan untuk menghampiri ayahnya Bang Arman. Gatal rasanya jika tidak mengganggu kemesraan ABG tua itu dengan kekasihnya. Sekalian membayar tagihan ke kasir. Perlahan aku berjalan menghampiri meja yang berada di tengah itu. Sengaja melintasi meja itu untuk memancing apakah Pak Wahyu menyadari ada aku yang mengawasinya. "Sayang, aku mau beli tas nanti sampai di mall ya," ucap gadis yang lebih cocok menjadi anaknya itu bernada manja. "Oke, Sayang. Apa sih yang aku berikan untuk kamu? Asal kamu bahagia dan jangan pernah meninggalkanku ya. Bisa ma-ti aku kalau kamu pergi." Mataku membelalak. Tak kusangka, pria tua bangka itu bucin juga ternyata. Padahal jika di depan istrinya, lagaknya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kuterusk

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 13

    "Kamu sendiri 'kan tahu dan melihat sendiri bagaimana perlakuan ibunya Arman padaku. Aku ini bukan suami baginya. Melainkan tak lebih dari jongos saja. Puluhan tahun ibunya terus menekan dan menjadikanku layaknya alas kaki. Aku stres, Nia. Aku stres!" tuturnya. "Kenapa Bapak lebih memilih bertahan? Kenapa nggak ceraikan saja wanita sombong seperti dia?" Lelaki itu mengusap dahinya. "Aku ini sebatang kara, nggak punya keluarga. Kalau cerai dari ibunya Arman, aku jadi gembel lagi dan aku nggak mau itu terjadi!" Ternyata Pak Wahyu ini rela menjatuhkan harga dirinya demi harta. Sungguh tidak menyangka ada sosok pria seperti ini di dunia. Tapi, lelaki bertubuh kurus ini licik juga. Dikurasnya harta istri yang sudah menindasnya selama ini. Panggilan kembali terdengar. Dan aku sudah tidak ada waktu banyak lagi. "Pesawatku akan berangkat, Pak. Urusan ini bukan urusanku. Karena Bapak tahu sendiri 'kan aku dan Bang Arman sudah resmi bercerai." "Apa? Kamu dan Arman sudah bercerai?" "Bapak

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 14

    Acara yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Event organizer yang kata Mas Abimanyu sudah menjadi langganan Surya Prabaswara Grup, telah berhasil menyulap ruangan ballroom Hotel berbintang lima itu menjadi sangat mewah dan elegan. Surya diambil dari nama almarhum Eyang Kung Prapto Suryoprawiro dan Prabaswara nama ayah dari Mas Abimanyu. Mereka bersahabat dan mendirikan perusahaan bersama-sama. "Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Bapak. Malam itu Bapak menggunakan batik berwarna golden brown bercorak khas batik Jogja. Sedangkan Ibu menggunakan gaun modern dengan corak batik yang serupa dengan Bapak dan juga aku. Sedikit brokat di bagian depan sebagai pelengkap keindahan gaun keluaran terbaru yang akan launching malam ini. "Sudah, Pak," sahutku pasti. "Kamu cantik banget malam ini, Nduk. Benar-benar cocok disebut sebagai owner PT. Surya Prabaswara Grup mendampingi nak Abimanyu. Bukan begitu, Nak Abi?" "Eng, eh, Bapak bisa saja." Kali ini wajah Mas Abi yang bersemu merah. "Tapi, anakku ini m

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11
  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Bab 15

    "Hayo, pada penasaran ya?" goda MC lelaki itu, disambut dengan tawa riuh para undangan. "Pewaris tunggal dari PT. Surya Pradana Grup adalah cucu dari almarhum Bapak Prapto dan Ibu Saraswati, yang selama ini tinggal di Lembang, Bandung, mengurus kebun teh dan sawah di sana. Dia adalah ...." Lampu ballroom dimatikan. Lantas lampu sorot yang berputar berkeliling, seakan mencari sasaran. Genderang drum dari band ibu kota yang terkenal semakin menambah tegang suasana. "Baik 'lah para hadirin, mari kita sambut, bos baru kita di PT. Surya Pradana Grup untuk naik ke atas pentas. Dipersilakan Ibu Dewi Kania Suryoprawiro untuk maju." Lampu sorot pun berhenti ke arahku. Ratusan pasang mata ikut mengarah padaku. Tak terkecuali keluarga matre dan pongah yang berdiri di depan kami. "Mari Bu Kania, silakan maju ke depan." "A-apa? Ka-kania bos Surya Pradana?" pekik Bu Rahma. Matanya membelalak dan mulut menganga lebar. "Nggak, nggak mungkin! Ini mimpi 'kan?" Tak ada yang menjawab. Ketiga anaknya

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-11

Bab terbaru

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 53

    “Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 52

    Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 51

    Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 50

    Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 49

    Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 48

    "Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 47

    Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   S2 Part 46

    Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola

  • Kita Beli Kesombongan Mertuamu, Nduk!   Season 2 Part 45

    Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status