Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.
“Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! ❣ "Mas, tahun ini kita mudik ke rumah ibuku, ya." "Nggak! Kita mudik tempat ibuku!" tolak Bang Arman. "Lho, kita tiap tahun selalu mudik tempat ibumu. Masa sekali pun kita nggak pernah mudik ke rumah ibuku." "Turuti saja perintah suami. Jangan bantah!" Bang Arman membanting sendok ke atas piringnya. "Lho, Bang, kamu mau ke mana? Makan malamnya kok nggak dihabiskan, sih?" "Mending aku pergi. Bikin selera makan hilang saja kamu!" Aku hanya bisa menatap diam punggung Bang Arman yang menghilang di balik pintu, yang juga ditutup dengan dibanting. Sambil menghela napas, kuelus dada yang terasa perih. Seakan ada duri tajam yang menghujam di sana. Selama lima tahun menikah, tak sekali pun Bang Arman bersedia diajak mudik ke kampung Bapak dan Ibu. Sekali dua kali, aku masih bisa paham. Tapi, ini sudah menginjak tahun keenam, Bang Arman tetap saja menolak. ***H_M*** Seperti biasa, seminggu sebelum lebaran, Bang Arman sudah libur bekerja. Kemud
Part : 2❣"Dek!""Sudah lah, Arman," senggak Ibu. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!"Kuusap dada sambil meneruskan langkah dengan menuntun Indah. Gadis kecil itu menatap dalam. Kupalingkan pandangan pura-pura tak melihatnya. Air mata ini sudah akan jatuh luruh sebentar lagi. Hanya saja masih berusaha ditahan. Mereka tidak boleh mengira diri ini lemah."Bunda ...."Aku mengerjap. Duh, air mata sia-lan ini justru jatuh di saat tidak tepat."Ya, Sayang." Aku mendongak menatap langit yang sedikit mendung."Bunda menangis?" tanyanya polos. Di usia empat tahun, Indah sudah bicara dengan lancar, kecuali ketika huruf "R" di tengah kalimat, baru ia kesulitan."Ah, nggak. Siapa bilang?" Cepat kuusap air mata yang jatuh."Bunda jangan bohong sama aku. Bunda nangis kan?"Kuhela napas panjang. Gadis kecil itu sedikit kesulitan hendak naik ke bangku halte."Sini bunda bantu, Sayang." Kugen
Part : 3 Happy reading. ❣ ❣ POV AUTHOR "Dek!" "Sudah lah, Arman," senggak Bu Rahma. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!" Arman kembali terduduk di kursinya. Sebenarnya ia ingin sekali mengejar Nia. Tapi, larangan ibunya membuat ia harus mengurungkan niat. "Kamu itu laki-laki, Man. Jangan sampai kamu menjatuhkan harga dirimu demi wanita kampung itu," tegas Bu Rahma. "Tapi, Nia itu istriku, Bu. Aku masih mencintainya." Arman bersikeras. "Halah, per-setan dengan cinta. Kamu bisa mendapatkan seribu wanita yang lebih cantik dan lebih sepantaran dengan kita." "Iya, benar yang dikatakan Ibu, Man. Kamu ini jangan terlalu mengemis cinta sama wanita ndeso seperti itu. Nanti akan kakak kenalkan kamu sama wanita modis dan yang jelas kelasnya sama dengan kita," timpal Ima--kakak tertua Arman. Arman hanya tertunduk. Ia memang tidak bisa membantah apa yang dikatakan ibu dan kakaknya
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 4❣ ❣"Bagaimana, Nia? Cepat putuskan sekarang juga! Aku nggak punya waktu banyak!" tekan Bang Arman.Aku terdiam. Tak kupungkiri rasa cinta tentu masih ada. Pernikahan lima tahun rasanya bukan waktu yang sebentar. Tapi, jika mengingat apa yang sudah mereka lakukan, hinaan demi hinaan yang terus dilontarkan tak hanya padaku tapi juga pada Bapak dan Ibu, rasanya tak mungkin dapat termaafkan. Apalagi ketika Bapak dan Ibu ingin menemui, selalu saja dihalang-halangi. Padahal jarak Jakarta-Bandung tidak lah terlalu jauh. Sampai-sampai mereka kapok dan tidak mau mendatangiku lagi, sampai Indah sebesar sekarang."Nia! Kamu dengar nggak sih?" bentak Bang Arman menyadarkanku."Ya, aku dengar." "Cepat jawab! Lama amat sih tinggal jawab doang."Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjawab yang sejujurnya."Aku nggak akan kembali sama kamu. Apalagi ke rumah ibumu," jawabku tegas. "Mak-maksud kamu?""Apa ucapanku kurang jelas? Aku
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Pesawat mendarat dengan sukses di bandara baru Yogyakarta International Airport. Kota Jogja ini adalah kota asal di mana aku dilahirkan. Setelah berusia tujuh tahun, aku diboyong pindah ke Bandung, karena Bapak membeli sawah dan perkebunan teh di sana. Kemudian Bapak membeli perkebunan sawit di Jambi. Setelah maju dan memiliki banyak pekerja, Bapak hanya sesekali saja ke sana, sekedar untuk memeriksa kemajuannya.Tapi, Bapak dan Ibu sosok yang sangat sederhana. Tak ada yang mengira kalau Bapak adalah juragan sawit, padi dan teh. Karena penampilan yang tetap "ngampung", ikut turun ke sawah bahkan ikut juga memetik teh."Ayo, Nduk. Taksi kita sudah datang," ajak Bapak."Baik, Pak," sahutku. Kubantu Bapak dan Ibu untuk menaikkan tas dan koper ke bagasi mobil. Kemudian, mobil meluncur membelah jalan kota pelajar tersebut.Sesampai di sebuah rumah yang ber-desain etnik jawa kental, kami disambut oleh seorang pria yang menggunakan blangkon di kepalany
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 6Aku sudah berteriak minta tolong, Bang Arman tetap saja tak peduli. Ia berusaha menarik tanganku masuk ke rumah.Tiba-tiba, byuuurrr ... Seember air tumpah membasahi tubuh Bang Arman."Aaarrrgggh ... Siapa yang menyiramku?" pekik Bang Arman geram."Saya! Kenapa, kamu mau marah sama saya?" sahut Bapak. Seketika Bang Arman terdiam. "Tapi, kenapa aku disiram, Pak?" "Masih untung kamu saya siram air biasa, bukan air comberan. Kenapa kamu memaksa anak saya, huh? Memangnya kamu siapa?""Saya suaminya. Saya yang lebih berhak atas Nia.""Lelaki seperti kamu itu nggak pantas disebut suami. Lepaskan anak saya! Atau saya teriakin kamu maling!" ancam Bapak.Perlahan cengkeraman di tanganku mengendur. Kuusap-usap bekas cengkeraman Bang Arman tadi. Masih terasa panas dan perih."Ngapain kamu di sini? Dan dari mana kamu tahu kalau kami di Jogja?" tanya Bapak ketus."Kemarin aku ke Lembang. Tapi kalian nggak ada. Aku nanya ke tetangga. Katanya kalian