Hai, jangan lupa bagi gemnya, yaaa
Ia menatapku dengan tatapan nyalang. Tebersit rasa iba, karena tersirat kekhawatiran yang mendalam akan kondisi ibunya.Arman memang berbeda dari anak-anakku yang lain. Ima dan Ella saja tidak pernah peduli lagi, sejak tahu kalau aku ternyata memiliki utang yang banyak pada Kania--ipar yang selama ini mereka hina.Tapi, persoalan ini Arman tidak perlu tahu. Biarkanlah aku yang mengatasinya sendiri. "Tapi, Bu. Ibu kelihatannya sedang nggak baik-baik saja. Aku khawatir.""Sudahlah! Ibumu ini bukan anak-anak. Dan kamu tahu kalau ibu itu paling nggak suka diatur-atur 'kan?"Putraku itu mengangguk lirih. Ia memutar tubuhnya dan duduk di sofa.Kulanjutkan langkah menuju lorong samping yang jarang sekali ada yang melewatinya. Karena ini adalah jalan menuju gudang yang sudah tidak terpakai.Cepat kutekan nama Indra dari daftar kontak. Tak lama suara nada sambung terdengar di ujung telepon."Ya, halo, Bu Rahma? Ada yang bisa dibantu?""Oh, tentu saja. Justru karena itu lah aku meneleponmu. Ka
(Masih) POV BU RAHMAAku mulai ketar-ketir dibuat lelaki muda itu. Kurang ajar, malah dia yang balik mengancam. Kalau sampai Indra mundur dari pekerjaan ini, bisa gawat. Mana mungkin aku melakukan itu sendiri."Oke, oke, aku minta maaf sama kamu, Indra," ucapku. "Aku mohon, kamu mau membantuku ya. Tolong, Nak Indra.""Nah, begitu 'kan enak didengar, Bu Rahma. Saya ini bukan detektif abal-abal. Banyak kasus yang saya tangani dengan bayaran yang jauh lebih mahal dari bayaran anda. Jadi, jangan terlalu bertingkah, Bu."Aku meneguk ludah. Bocah ingusan ini membuatku benar-benar mati kutu.Dua hari kemudian, panggilan masuk ke ponsel saat aku tengah sarapan dengan selembar roti dan selai cokelat di atasnya. Sudah dua hari ini, perutku hanya masuk makanan seadanya. Sungguh rasanya tidak bernafsu untuk makan."Halo, Indra. Bagaimana, sudah ada kabar di mana keberadaan suami saya?" tanyaku langsung tanpa berbasa-basi."Ya sudah dong, Bu. Anda tenang saja. Sekarang saya sedang di lokasi di man
"Dasar, lelaki kurang ajar, bia-dab, breng-sek, nggak tahu diri. Ternyata uangku kamu curi demi perempuan ja-lang ini, huh?""Kamu ngomong apa sih, Dek?" tanya Bang Wahyu sok polos."Nggak usah berlagak nggak tahu!" teriakku sampai sampai terdengar membahana di kamar tersebut.Bugh. Aku terkejut karena sebuah pukulan benda tumpul mengenai tengkuk belakang. Ternyata Rossa mencoba melumpuhkanku dengan memukulkan pajangan yang terbuat dari kayu. Hanya saja pukulannya tidak terlalu kuat.Terasa sakit memang. Tapi entah kekuatan dari mana, aku tetap masih bisa berdiri meski menahan rasa sakit.Kuputar balik tubuh dan menatap tajam ke arah wanita berkulit putih itu. "Berani kamu memukul aku? Aku ini istri sah lho! Memang zaman sekarang ini semua pelakor memang nggak punya malu."Kuayunkan kembali tongkat kasti itu ke arah Rossa yang beringsut mundur.Bugh bugh bugh."Aaaaw! Ampuuun ... Sakiiit, Bu, sakiiit," teriaknya.Aku tak peduli. Pukulan terus kulayangkan ke tubuh pelakor itu."Ini c
Langit terlihat begitu mendung. Awan hitam menggumpal menyelimuti sebagian langit. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.Kubenahi hijab voal-ku dari pantulan kaca jendela, lalu pandangan kembali jatuh pada langit yang terlihat jelas dari lantai tiga pabrik batik.Napas kutarik dalam-dalam, menikmati udara yang masuk dari celah jendela yang sengaja kubuka sedikit.Tak lama kemudian ponsel berdering dari dalam saku celana. Kurogoh kantong celana untuk mengambil benda pipih tersebut. Huuuf ... Kubuang napas kasar. Telepon dari Bang Arman.Aku berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk ponsel. Masih menimbang-nimbang, untuk mengangkat telepon dari Bang Arman atau tidak.Lelaki itu masih saja terus menelepon meski sudah kuabaikan berkali-kali. Ah, lebih baik kuangkat saja. Setidaknya aku tahu maksud dia menelepon itu apa."Halo, mau apa lagi kamu menelepon, Bang?" angkatku ketus."Jangan ketus begitu dong, Dek," tukasnya dengan nada lembut.Bola mataku berputar malas seraya menghembuska
Aku terkesiap mendengar perkataan Mas Abi. Ternyata dia masih memiliki istri? Ugh, ada yang melenguh perih di ulu hati."Oh ya. Aku baru tahu, Mas. Kamu nggak pernah cerita apa-apa selama ini." Aku mencoba untuk tetap bersikap biasa saja."Nama istriku Alicya. Biasa dipanggil Alice. Bapaknya Jawa dan ibunya asli Jerman. Kami menikah tiga tahun lalu," jelasnya."Lalu, di mana Alice sekarang?" tanyaku. Rasa penasaran di balik hati yang merintih perih. Apa-apan ini? Apa aku sudah jatuh cinta pada lelaki kharismatik ini?"Dia pergi meninggalkanku begitu saja, demi seorang pria bule. Aku memergoki mereka di sebuah hotel di Jakarta. Dan dia lebih memilih pergi bersama laki-laki bule tersebut." Tiba-tiba ia menatapku. Dapat terbaca sorot kesedihan di mata teduhnya. Cepat-cepat aku menundukkan kepala. Tak tahan rasanya lama-lama bertemu pandang dengannya."Apa Mas sudah bercerai dari Alice?" tanyaku sangat hati-hati. Khawatir menyinggung perasaannya."Aku sudah menjatuhkan talak ketika memer
"Nggak usah banyak bicara, Nia! Kalau kamu masih mau bertemu dengan anakmu, aku tunggu kamu sekarang juga di rumah ibuku."Klik. Tut ... Tut ... Tut. Panggilan telepon ia putuskan secara sepihak begitu saja.Tanganku yang tengah menggenggam ponsel, bergetar cukup hebat. Astagfirullah, kenapa Indah bisa bersama Bang Arman? Lalu ke mana Mas Darmo dan Mbak Yuli? Kenapa mereka tidak mengabariku tentang hilangnya Indah? Tidak mungkin mereka tidak mengetahuinya."Ada apa Kania? Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa yang sudah Arman katakan?" tanya Mas Abi. Raut wajahnya ikut menyimpan perasaan risau. Mungkin karena melihat wajahku yang pucat pasi."Indah, Mas, Indah ...," ceracauku panik. Tanpa sadar tanganku sudah menggenggam lengan Mas Abi, kemudian mengguncang-guncangkannya."Kamu terangkan dulu diri kamu, Kania. Jelaskan pelan-pelan. Ada apa dengan Indah?" "Indah diculik, Mas," ucapku dengan suara gemetar. Saat ini aku benar-benar panik. Walaupun Indah sedang berada dengan ayah kandungnya,
"Ya sudah, kita langsung saja mengecek keadaan di dalam. Biar aku yang dorong pagarnya." Mas Abi bergegas turun dari mobil, kemudian cepat-cepat ia mendorong pagar bercat hitam itu.Aku menunggu di mobil sambil meremas-remas tangan, khawatir. Jangan-jangan, Bang Arman melakukan sesuatu kepada pasangan suami istri tersebut.Bang Arman kembali masuk ke mobil. Setelah menginjak kopling, lalu kaki kanannya menekan pedal gas langsung masuk ke pekarangan.Begitu mobil berhenti, tanpa membuang waktu aku segera turun dari mobil. Dengan berlari cepat aku masuk ke rumah yang pintunya terbuka lebar."Mas, Mas Darmo ...." Aku berlari dan berteriak hingga ke bagian tengah rumah, sambil mengitari pandangan ke seluruh area rumah. "Mbak Yuli, Mbak, kalian di mana?""Bagaimana Kania? Ada mereka?" Mas Abi berdiri di depan pintu.Aku menjawab dengan gelengan kepala."Biar aku periksa ke rumah mereka.""Tunggu, Mas, aku ikut." Suara flatshoes-ku berderap di atas lantai, saat berlari menyusul Mas Abi.Ter
POV AUTHOR"Ayo, Bu, diminum obatnya," ujar salah seorang perawat. Namun Bu Rahma tetap saja bergeming. Pandangannya kosong. Hanya menatap lurus ke luar jendela. Perawat wanita tersebut tak putus asa. Ia mengambil beberapa jenis obat-obatan yang berbentuk pil dan ada juga yang berbentuk kapsul. Pelan ia mengusap punggung Bu Rahma. Kemudian ia mengangsurkan empat jenis obat tersebut beserta segelas air di tangannya, ke arah wanita paruh baya itu."Ayo, dong, Cantik, diminum obatnya. Biar cepat sembuh, nanti kalau sudah sembuh bisa pulang," bujuk gadis itu lagi.Dan Bu Rahma tetap saja diam bergeming dengan tatapan kosong. Entah apa yang menjadi pusat perhatiannya di depan sana. Sepertinya ia begitu menikmati titik pandangnya di depan sana, ketimbang perawat tadi.Perawat bernama Ratna itu menghela napas. Sebenarnya ia sudah terbiasa menghadapi pasien seperti Bu Rahma ini. Mendingan pasiennya yang satu ini hanya diam. Banyak sudah pasien yang ia hadapi dalam keadaan mengamuk, menangis
“Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya
Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.
Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny
Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke
Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir
"Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka
Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh
Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola
Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,