Akhirnya suster Ratna memutuskan untuk memenuhi permintaan wanita tersebut."Baiklah, Bu, saya akan meninggalkan kalian berdua di sini. Tapi, saya harap, tidak ada perbuatan yang mungkin bisa menggangu kenyamanan pasien.""Suster, tenang saja. Saya nggak mungkin mengganggu atau bahkan membahayakan kakak saya sendiri," tegas wanita itu terus berusaha meyakinkan Suster Ratna.Tak lama kemudian suster Ratna pun beranjak keluar meninggalkan kamar Bu Rahma.Sepeninggal Suster Ratna, wanita itu perlahan mendekati Bu Rahma yang masih terus memandang keluar jendela. Ia menarik sebuah kursi, kemudian duduk tepat di sebelah wanita paruh baya itu, dengan posisi menghadap ke tubuh Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma sudah sangat gatal untuk ingin segera menoleh ke arah wanita di sisinya. Rasa penasaran atas siapa sosok wanita itu sungguh sudah sangat menggelitik. Tapi, lagi-lagi ia harus bersabar. Sandiwaranya ini tidak boleh ada satupun yang tahu. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tamatlah sudah r
POV AUTHOR"Ternyata kita memiliki dendam pada orang yang sama, Mbak." Kelihatan amarah terpancar di mata sahabatnya itu."Dendam yang sama? Maksud kamu?""Haduh, kelihatan banget ya, yang sudah kelihatan tuanya. Sudah mulai pikun ya, Mbak."Bu Rahma menepuk lengan sahabatnya itu. "Enak saja. Sembarangan kamu kalau bicara." "Habisnya kamu sih, Mbak. Masa kamu lupa, tentang persoalanku dengan wanita tua yang bernama Saraswati itu."Dahi Bu Rahma berkerut berusaha mengingat kembali."Oh iya, kasus yang kamu dituduh melakukan penggelapan di pabrik itu ya.""Ya, betul banget. Dan gara-gara itu, aku sampai harus mendekam di penjara selama tujuh tahun, Mbak." Sesekali pandangan Ningsih mengarah ke pintu. Berjaga-jaga siapa tahu perawat atau mungkin ada orang yang mendengar pembicaraan mereka saat ini."Lalu, apa rencanamu, Ningsih?""Lihat saja nanti, Mbak. Aku akan membalas penderitaanku selama bertahun-tahun di dalam penjara.""Bukankah dendammu itu pada almarhumah Saraswati? Lalu, kamu
Kania tiba di rumah mantan mertuanya, dengan diantar Abimanyu juga Danu--bapaknya. Hanya saja mereka tidak mengantarkannya sampai di depan rumah. Karena sesuai dengan ancaman Harman tadi, untuk tidak membawa siapapun. Sehingga itu mengharuskan Abimanyu dan Pak Danu menunggu dari jarak yang cukup jauh. Tapi, masih tetap bisa memantau langkah Kania."Jangan lupa, Kania. Kalau terjadi sesuatu, langsung telepon aku ya," pesan Abimanyu tadi sebelum Kania turun dari mobil.Kania menatap ragu pada rumah yang menyimpan banyak kenangan-kenangan buruk di dalamnya. Selama lima tahun, ia menjalani hidup dengan sangat tersiksa di sini."Hai, Nia sayang. Akhirnya kamu datang juga," sambut Arman. Sedari tadi Arman memang sudah menunggu kedatangan Kania.Arman berjalan membukakan pagar untuk Kania."Silakan masuk, Sayang. Selamat datang di rumah ini kembali." Arman mengangkat tangannya untuk merangkul bahu Kania."Jangan sentuh aku," ketus Kania sambil menepis tangan Arman."Wow, istriku galak banget
Bab 28POV AUTHOR"Kurang ajar." Tiba-tiba dari belakang Arman merampas ponsel dari tangan Kania. "Kan sudah kubilang jangan coba-coba menipuku, Nia!" Arman dengan cepat merampas ponsel Kania dari belakang. "Kembalikan handphone-ku, Bang!" Tania berusaha merampas kembali ponselnya."Nggak akan pernah aku kembalikan! Kamu jangan coba main-main dengan aku, Nia!""Kembalikan, Bang! Aku bilang kembalikan handphone-ku!" Sambil tertawa-tawa, Arman mengangkat tangan yang sedang memegang ponsel Kania itu, tinggi-tinggi ke udara. Lelaki itu sepertinya begitu menikmati kondisi Kania yang tengah melompat-lompat karena berusaha untuk menggapai ponselnya yang ditahan oleh Arman."Tolong kembalikan handphone-ku, Bang. Aku mohon." Kania sampai menangkupkan kedua tangannya di depan dada."Mengembalikan handphone kamu? Supaya apa? Supaya kamu bisa menghubungi laki-laki yang bernama Abimanyu itu? Atau supaya bapak kamu juga datang kemari bersama polisi, terus menangkap aku? Hohoho, aku nggak akan biar
Di balik jendela, Abi dan Pak Danu saling pandang. Masing-masing dari mereka, menebak apa yang terjadi pada Kania di dalam sana. Karena mereka sempat mendengar suara teriakan yang cukup kuat dari dalam."Ya, Allah, Pakde, apa yang terjadi dengan Kania?" Suara Abimanyu sampai bergetar karena khawatir. Pak Danu menggeleng. "Pakde juga nggak tahu, Nak Abi. Lebih baik kita segera masuk untuk melihat keadaan Kania. Tapi, bagaimana caranya?"" Kita pecahkan saja kacanya, Pakde!""Apa?""Ya, kita pecahkan saja kaca jendela ini." Selepas berucap Abi bergerak menuju taman kecil. Kebetulan kamar Kania dan Arman dulu itu, memang menghadap ke arah taman kecil.Mata lelaki itu tertuju pada sebatang kayu yang teronggok di dekat pot pohon palem. Diraihnya kayu tersebut lalu dibawa menuju jendela.Sementara di dalam kamar, Arman masih berdiri terpaku, dengan dipenuhi rasa takut dan bingung. Lantaran melihat keadaan Kania yang masih mengerang sakit, dan orang yang mengetuk kuat kaca jendela kamarnya.
POV AUTHORKania sudah masuk ke ruang yang di mana pasti ia akan diatasi dengan baik oleh tim medis. Alangkah baiknya jika Abimanyu kembali ke rumah Arman tadi, mengecek keadaan di sana. Toh juga tidak terlalu jauh dari lokasi rumah sakit.Dengan kecepatan cukup tinggi, ia mengemudikan mobilnya menuju kontrakan Arman. Ia ingin sekali mengha-jar muka lelaki yang sudah tega menyakiti Kania. Memangnya dia lupa, kalau ibunya juga seorang wanita?Hanya membutuhkan sekitar dua puluh menit, Abimanyu tiba di kontrakan yang cukup besar itu. Dirinya masih melihat polisi masih berada di sana. Sepertinya Arman masih belum tertangkap.Lelaki bertubuh tegap itu turun dari mobil dan segera menghampiri para petugas."Bagaimana, Pak, apakah Arman sudah tertangkap?""Belum. Dia nggak ada di dalam. Sepertinya dia sudah melarikan diri."Abimanyu menghela napas. Tak sengaja matanya menangkap sesosok lelaki di antara pepohonan pisang, tengah mengendap-endap."Itu Arman, Pak. Itu orangnya. Dia berusaha untu
Ningsih menceritakan semua sebab yang membuat Arman ditangkap. "Dasar gobl0k! Begitu aja nggak becus sih kamu, Ning!" Rahma memijat dahinya yang berdenyut. "Rencana kita untuk menghancurkan Kania dan keluarganya. Karena kebetulan kita memiliki dendam yang sama. Tapi kenapa bisa sampai Arman yang tertangkap, Ningsih?""Aku juga nggak tahu, Mbak. Aku menyuruh Arman untuk menculik Kania. Tapi bodohnya Arman, bukannya dia membawa Kania ke luar kota, malah dia membawa wanita itu ke kontrakannya. Tentu saja jejak Kania lebih mudah untuk ditemukan," jelas Ningsih."Arman memang benar-benar anak bod0h!" geram Rahma kesal. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Ning?""Entah lah, otak ini masih buntu, Mbak."Tiba-tiba saja pintu terbuka. Wahyu berdiri di sana bersama dokter yang biasa menangani Rahma dan juga beberapa orang polisi."Benar dugaan saya 'kan, Pak? Dia hanya berpura-pura gila supaya tidak terjerat hukum. Lihat, dia baik-baik saja 'kan?""Mas-Mas Wahyu? Ka-kamu masih hidup?"
"Iya, Mas. Nggak usah. Sakitnya nggak terlalu berarti kok," tukas Kania tanpa melihat. Ia takut kalau-kalau Abimanyu menyadari pipinya yang mulai terasa panas. Pasti merah seperti kepiting rebus. "Alhamdulillah kalau begitu. Aku senang kalau kamu sudah baik-baik saja. Karena melihat keadaanmu tadi, aku benar-benar khawatir." "Mas khawatir padaku?" "Ya iyalah, Kania. Pakai ditanya lagi." "Kok bisa?" "Bisa lah." "Karena apa?" "Karena aku suka sama kamu." Kedua alis Kania terangkat sambil tersenyum kecil. Pancingannya berhasil. Tinggal Abimanyu yang menutup mulut seraya merutuki kebodohan dirinya. Bagaimana bisa aku keceplosan? "Kamu suka sama aku, Mas?" goda Kania. Dalam hati ia bersorak. Karena ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. "Aku ... Aku ...." "Sudah akui saja, Nak Abi. Kami setuju kok, kalau kamu memperistri anak kami." Tiba-tiba Pak Danu masuk bersama istrinya yang membawa Indah dalam gendongan. "Pakde, Bude," ujar Abimanyu sembari menggaruk-garuk ke
“Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya
Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.
Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny
Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke
Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir
"Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka
Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh
Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola
Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,