Langit terlihat begitu mendung. Awan hitam menggumpal menyelimuti sebagian langit. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.Kubenahi hijab voal-ku dari pantulan kaca jendela, lalu pandangan kembali jatuh pada langit yang terlihat jelas dari lantai tiga pabrik batik.Napas kutarik dalam-dalam, menikmati udara yang masuk dari celah jendela yang sengaja kubuka sedikit.Tak lama kemudian ponsel berdering dari dalam saku celana. Kurogoh kantong celana untuk mengambil benda pipih tersebut. Huuuf ... Kubuang napas kasar. Telepon dari Bang Arman.Aku berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk ponsel. Masih menimbang-nimbang, untuk mengangkat telepon dari Bang Arman atau tidak.Lelaki itu masih saja terus menelepon meski sudah kuabaikan berkali-kali. Ah, lebih baik kuangkat saja. Setidaknya aku tahu maksud dia menelepon itu apa."Halo, mau apa lagi kamu menelepon, Bang?" angkatku ketus."Jangan ketus begitu dong, Dek," tukasnya dengan nada lembut.Bola mataku berputar malas seraya menghembuska
Aku terkesiap mendengar perkataan Mas Abi. Ternyata dia masih memiliki istri? Ugh, ada yang melenguh perih di ulu hati."Oh ya. Aku baru tahu, Mas. Kamu nggak pernah cerita apa-apa selama ini." Aku mencoba untuk tetap bersikap biasa saja."Nama istriku Alicya. Biasa dipanggil Alice. Bapaknya Jawa dan ibunya asli Jerman. Kami menikah tiga tahun lalu," jelasnya."Lalu, di mana Alice sekarang?" tanyaku. Rasa penasaran di balik hati yang merintih perih. Apa-apan ini? Apa aku sudah jatuh cinta pada lelaki kharismatik ini?"Dia pergi meninggalkanku begitu saja, demi seorang pria bule. Aku memergoki mereka di sebuah hotel di Jakarta. Dan dia lebih memilih pergi bersama laki-laki bule tersebut." Tiba-tiba ia menatapku. Dapat terbaca sorot kesedihan di mata teduhnya. Cepat-cepat aku menundukkan kepala. Tak tahan rasanya lama-lama bertemu pandang dengannya."Apa Mas sudah bercerai dari Alice?" tanyaku sangat hati-hati. Khawatir menyinggung perasaannya."Aku sudah menjatuhkan talak ketika memer
"Nggak usah banyak bicara, Nia! Kalau kamu masih mau bertemu dengan anakmu, aku tunggu kamu sekarang juga di rumah ibuku."Klik. Tut ... Tut ... Tut. Panggilan telepon ia putuskan secara sepihak begitu saja.Tanganku yang tengah menggenggam ponsel, bergetar cukup hebat. Astagfirullah, kenapa Indah bisa bersama Bang Arman? Lalu ke mana Mas Darmo dan Mbak Yuli? Kenapa mereka tidak mengabariku tentang hilangnya Indah? Tidak mungkin mereka tidak mengetahuinya."Ada apa Kania? Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa yang sudah Arman katakan?" tanya Mas Abi. Raut wajahnya ikut menyimpan perasaan risau. Mungkin karena melihat wajahku yang pucat pasi."Indah, Mas, Indah ...," ceracauku panik. Tanpa sadar tanganku sudah menggenggam lengan Mas Abi, kemudian mengguncang-guncangkannya."Kamu terangkan dulu diri kamu, Kania. Jelaskan pelan-pelan. Ada apa dengan Indah?" "Indah diculik, Mas," ucapku dengan suara gemetar. Saat ini aku benar-benar panik. Walaupun Indah sedang berada dengan ayah kandungnya,
"Ya sudah, kita langsung saja mengecek keadaan di dalam. Biar aku yang dorong pagarnya." Mas Abi bergegas turun dari mobil, kemudian cepat-cepat ia mendorong pagar bercat hitam itu.Aku menunggu di mobil sambil meremas-remas tangan, khawatir. Jangan-jangan, Bang Arman melakukan sesuatu kepada pasangan suami istri tersebut.Bang Arman kembali masuk ke mobil. Setelah menginjak kopling, lalu kaki kanannya menekan pedal gas langsung masuk ke pekarangan.Begitu mobil berhenti, tanpa membuang waktu aku segera turun dari mobil. Dengan berlari cepat aku masuk ke rumah yang pintunya terbuka lebar."Mas, Mas Darmo ...." Aku berlari dan berteriak hingga ke bagian tengah rumah, sambil mengitari pandangan ke seluruh area rumah. "Mbak Yuli, Mbak, kalian di mana?""Bagaimana Kania? Ada mereka?" Mas Abi berdiri di depan pintu.Aku menjawab dengan gelengan kepala."Biar aku periksa ke rumah mereka.""Tunggu, Mas, aku ikut." Suara flatshoes-ku berderap di atas lantai, saat berlari menyusul Mas Abi.Ter
POV AUTHOR"Ayo, Bu, diminum obatnya," ujar salah seorang perawat. Namun Bu Rahma tetap saja bergeming. Pandangannya kosong. Hanya menatap lurus ke luar jendela. Perawat wanita tersebut tak putus asa. Ia mengambil beberapa jenis obat-obatan yang berbentuk pil dan ada juga yang berbentuk kapsul. Pelan ia mengusap punggung Bu Rahma. Kemudian ia mengangsurkan empat jenis obat tersebut beserta segelas air di tangannya, ke arah wanita paruh baya itu."Ayo, dong, Cantik, diminum obatnya. Biar cepat sembuh, nanti kalau sudah sembuh bisa pulang," bujuk gadis itu lagi.Dan Bu Rahma tetap saja diam bergeming dengan tatapan kosong. Entah apa yang menjadi pusat perhatiannya di depan sana. Sepertinya ia begitu menikmati titik pandangnya di depan sana, ketimbang perawat tadi.Perawat bernama Ratna itu menghela napas. Sebenarnya ia sudah terbiasa menghadapi pasien seperti Bu Rahma ini. Mendingan pasiennya yang satu ini hanya diam. Banyak sudah pasien yang ia hadapi dalam keadaan mengamuk, menangis
Akhirnya suster Ratna memutuskan untuk memenuhi permintaan wanita tersebut."Baiklah, Bu, saya akan meninggalkan kalian berdua di sini. Tapi, saya harap, tidak ada perbuatan yang mungkin bisa menggangu kenyamanan pasien.""Suster, tenang saja. Saya nggak mungkin mengganggu atau bahkan membahayakan kakak saya sendiri," tegas wanita itu terus berusaha meyakinkan Suster Ratna.Tak lama kemudian suster Ratna pun beranjak keluar meninggalkan kamar Bu Rahma.Sepeninggal Suster Ratna, wanita itu perlahan mendekati Bu Rahma yang masih terus memandang keluar jendela. Ia menarik sebuah kursi, kemudian duduk tepat di sebelah wanita paruh baya itu, dengan posisi menghadap ke tubuh Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma sudah sangat gatal untuk ingin segera menoleh ke arah wanita di sisinya. Rasa penasaran atas siapa sosok wanita itu sungguh sudah sangat menggelitik. Tapi, lagi-lagi ia harus bersabar. Sandiwaranya ini tidak boleh ada satupun yang tahu. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tamatlah sudah r
POV AUTHOR"Ternyata kita memiliki dendam pada orang yang sama, Mbak." Kelihatan amarah terpancar di mata sahabatnya itu."Dendam yang sama? Maksud kamu?""Haduh, kelihatan banget ya, yang sudah kelihatan tuanya. Sudah mulai pikun ya, Mbak."Bu Rahma menepuk lengan sahabatnya itu. "Enak saja. Sembarangan kamu kalau bicara." "Habisnya kamu sih, Mbak. Masa kamu lupa, tentang persoalanku dengan wanita tua yang bernama Saraswati itu."Dahi Bu Rahma berkerut berusaha mengingat kembali."Oh iya, kasus yang kamu dituduh melakukan penggelapan di pabrik itu ya.""Ya, betul banget. Dan gara-gara itu, aku sampai harus mendekam di penjara selama tujuh tahun, Mbak." Sesekali pandangan Ningsih mengarah ke pintu. Berjaga-jaga siapa tahu perawat atau mungkin ada orang yang mendengar pembicaraan mereka saat ini."Lalu, apa rencanamu, Ningsih?""Lihat saja nanti, Mbak. Aku akan membalas penderitaanku selama bertahun-tahun di dalam penjara.""Bukankah dendammu itu pada almarhumah Saraswati? Lalu, kamu
Kania tiba di rumah mantan mertuanya, dengan diantar Abimanyu juga Danu--bapaknya. Hanya saja mereka tidak mengantarkannya sampai di depan rumah. Karena sesuai dengan ancaman Harman tadi, untuk tidak membawa siapapun. Sehingga itu mengharuskan Abimanyu dan Pak Danu menunggu dari jarak yang cukup jauh. Tapi, masih tetap bisa memantau langkah Kania."Jangan lupa, Kania. Kalau terjadi sesuatu, langsung telepon aku ya," pesan Abimanyu tadi sebelum Kania turun dari mobil.Kania menatap ragu pada rumah yang menyimpan banyak kenangan-kenangan buruk di dalamnya. Selama lima tahun, ia menjalani hidup dengan sangat tersiksa di sini."Hai, Nia sayang. Akhirnya kamu datang juga," sambut Arman. Sedari tadi Arman memang sudah menunggu kedatangan Kania.Arman berjalan membukakan pagar untuk Kania."Silakan masuk, Sayang. Selamat datang di rumah ini kembali." Arman mengangkat tangannya untuk merangkul bahu Kania."Jangan sentuh aku," ketus Kania sambil menepis tangan Arman."Wow, istriku galak banget