Suara samarnya terdengar semakin jelas di telinga Bara, yang kemudian membuatnya berdecak kesal, lalu terkekeh. "Sial! Halusinasi ku berlebihan!""Kenapa Anda tertawa? Anda tidak apa-apakan?" tanya Kara memastikan bahwa pria yang tiba-tiba terjatuh di pelukannya itu baik-baik saja.Namun bukan jawaban yang didapatkan Kara, tapi justru sebuah kecupan. Kecupan manis yang kemudian berlanjut sedikit lebih liar saat Bara membuka mulut Kara dengan lidahnya.Kecupan yang berubah menjadi pergulatan lidah. Hingga membuat suhu tubuh keduanya meningkat drastis hanya dalam hitungan detik. Napas Kara menjadi pendek, tak sanggup mengikuti ciuman Bara yang semakin memburu.Entah mengapa, Kara merasa ciuman Bara sedikit berbeda. Terasa lebih brutal dan penuh gairah dari biasanya. Padahal sebelumnya, dia tidak pernah melihat Bara kehilangan akal seperti ini.Kara mendorong Bara dan melepaskan ciumannya untuk mengatur napas yang sempat memburu. Namun hanya beberapa detik, Bara kembali meraih bibir gadi
Gurat amarah di wajah Lee terlihat jelas saat melempar setumpuk berkas ke atas meja,hingga membuat Kara terhenyak kaget."Aku tidak mengerti, kenapa kamu menolak tawaran bagus seperti ini?" tanya Lee meluapkan kekesalannya sambil berkacak pinggang."Ini kesempatan bagus untukmu, Kara. Kamu mau menyia-nyiakannya?" lanjut Lee terus protes.Lee berkali-kali menarik napas panjang, berusaha melepaskan rasa kesalnya. Setelah perasaannya sedikit membaik dan mulai bisa mengatur emosinya, Lee pun duduk di depan Kara."Apa ada sesuatu membuatmu bimbang?" tebak Lee.Meski hanya beberapa bulan mengenal Kara, setidaknya ia sudah sedikit mengenal gadis itu. Tidak ada hal lain yang membuat gadis itu bimbang dengan pekerjaannya selain Evelyn dan Bara.Hanya dua orang itu saja, yang mampu membuat Kara bimbang untuk mengambil keputusan. Setelah ia ingat, bahwa tujuan Evelyn telah tercapai dengan mulus."Tidak ada, Presdir."Kara berbohong, dan Lee tentu tahu, hanya dengan melihat ekspresi wajah gadis i
"Maaf, Nyonya. Presdir Lee memberitahu saya bahwa Anda disini, tapi saya tidak tahu jika Anda sedang bertemu dengan seseorang," jawab Kara saat melihat Bia duduk di dekat jendela menatap heran ke arahnya. "Jika Anda sibuk, saya tidak akan mengganggu."Dalam hati Evelyn bertanya-tanya. Mengapa gadis itu bisa berubah dalam sekejap, padahal tadi begitu antusias menemuinya. Namun saat ia melihat Bia, Evelyn menemukan jawabannya."Bia, kamu sudah bisa kembali. Jangan lupa untuk mengabariku."Entah mengapa, melihat wajah cantik Bia yang berpadu dengan rambut hitam legamnya, membuat pikiran Kara berkecamuk. Ada rasa was-was samar, tapi ia langsung menepisnya.Evelyn mempersilahkan Kara untuk duduk, menggantikan posisi Bia yang sudah berpamitan pergi. Rasa hangat langsung menyapa Kara begitu ia duduk. Entah sudah berapa lama Bia duduk disana, hingga meninggalkan rasa hangat yang menembus celana jeans Kara."Katakan, apa yang membuatmu jauh-jauh kemari." Kara mengambil cangkir teh, lalu menegu
"E'em itu dia. Mungkin dia melihat mobilku saat melintas, beruntungnya kami searah.""Ya, jika tidak, mungkin aku harus menahan diri selama di pesawat."Evelyn terkekeh pelan, usai mendengar godaan dari sang suami. Tiga puluh tahun lebih mereka bersama, nyatanya tak membuat keadaan berubah. Sesekali dia masih suka menggoda istrinya, begitu juga sebaliknya.Hubungan seperti mereka, bagian mana yang tidak membuat iri? Bahkan ketiga anak mereka pernah iri melihat kemesraan kedua orang tuanya.Dari balik telepon, Alfred dapat mendengar jelas suara tawa sang istri. Tawa yang selalu membuat hatinya nyaman dalam hal apapun. SampaiSuara dentuman terdengar, sangat keras, hingga Alfred kaget dan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya. Buru-buru ia mengambil ponselnya yang jatuh, dan memastikan keadaan istrinya."Eve! Eve! Ada apa denganmu!"Agar bisa menghemat waktu 15 menit lebih cepat, mereka memilih untuk lewat jalur pintas. Jalanan yang tergolong sepi, memang menjadi alasan.Mobil Hatchback b
EMERGENCYAlfred tiba 10 menit setelah Evelyn tiba di rumah sakit dan langsung masuk ke ruang operasi. Dia berlari sedikit tertatih dengan kaki tuanya, menyusuri lorong rumah sakit sendirian."Pa-paman," sapa Ansel melihat Alfred terengah-engah. "Ayo duduk dulu, saya akan ambilkan air."Belum sempat Ansel melangkah, Alfred lebih dulu menarik tangan pria itu. "Is-tri. Bagai-mana?" tanya Alfred terengah-engah."Bibi Eve, kemungkinan mengalami pendarahan internal. Tapi tenang saja, saya sudah menghubungi teman saya. Ayahnya seorang dokter bedah terkemuka yang baru pulang dari Amerika."Ansel berusaha menenangkan Alfred. Meski dia sendiri tidak tahu, seberapa besar kemungkinan operasi Evelyn akan berhasil. Namun satu hal yang dia tahu, usia Evelyn sudah terlalu tua untuk melakukan operasi dan pasti akan berefek.Mereka masih di posisi yang sama, saat beberapa paramedis berlari sambil mendorong brankar, dengan pasien laka lantas lainnya. Namun yang menjadi perhatian Ansel, adalah dua orang
Serentak, semua orang langsung menatap pada satu titik, Kara. Sedangkan gadis itu, hanya bisa terbelalak tanpa bisa bereaksi.Kara menunjuk dirinya sendiri, "A-aku? Nona Muda?" Tiba-tiba saja Kara terkekeh kecil, "Tolong jangan bercanda lagi, Tuan. Ini tidak lucu.""Kami tidak bercanda. Anda adalah Nona Muda yang kami cari." Hening, tak ada jawaban sampai ia kembali berkata, "Ada tanda lahir yang menyerupai bentuk bunga kecil, di belakang leher anda. Dan kalung yang anda kenakan, itu adalah identitas yang sah."Kara menyentuh tengkuknya, dan ia tau jika memang ada tanda lahir semcam itu di sana. Lalu dia menyentuh kalung yang selama ini selalu bertengger di lehernya. Liontin sederhana yang tampak tak berharga, satu-satunya benda yang selalu ada bersamanya."Ikutlah dengan kami, dan anda akan mengerti semuanya." Pria itu berjalan dan membukakan pintu untuk Kara lalu mempersilahkan gadis itu untuk turun, "Mari, Nona."Kara bergeming. Dia menoleh dan menatap sekilas pada Rere dan Lee, se
Kara terdiam. Dia tak tau harus berbuat apa saat ini, dia benar-benar tak tau."Kara? Ada apa?" tanyanya bingung saat melihat ekspresi Kara yang tak dapat ia baca.Panggilan itu membuat Kara kembali tersadar dari lamunan sesaatnya, "Ah maaf, maafkan aku tante ..." Kara sengaja menggantung ucapannya, karena ia belum tau nama wanita di hadapannya itu."Berta. Kau boleh memanggilku bibi Berta atau Mama jika kau mau," ujarnya sembari mengulas senyum manis di bibirnya."Ehm ... bibi Berta, tadi anda bilang anda datang untuk menjemputku." Berta mengangguk sebagai jawaban, "Apa itu artinya kalian akan membawaku pergi?"Kening Berta berkerut tatkala mendengar pertanyaan Kara yang menurutnya cukup aneh. "Tentu saja." Jawabnya, "Apa kau masih ada urusan yang belum selesai di sini? Atau ... kau tidak rela meninggalkan tempat ini atau justru seseorang di tempat ini?" Mendengar pertanyaan Berta, tentu saja membuat Kara gelagapan. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia memang tidak rela meninggalkan nega
Bara melindungi Kara hingga akhirnya peluru itu menembus bahu kanannyaBara mengumpat keras dan beberapa bodyguard Sean langsung melindungi Kara dan Bara yang masih berada di tangga karena tak ada tembok perlindungan di sana.Bara mulai terduduk lemas. Sedangkan tubuh Kara bergetar hebat melihat darah mengalir di tubuh Bara. Air matanya mulai menetes, tanpa bisa ia kendalikan"Baraa!!! Bara!!" teriak Kara histeris."Hei, aku tidak apa-apa, oke? Tenanglah," ucap Bara yang masih bisa menenangkan Kara, meski tubuhnya baru saja ditembus oleh timah panas.Beberapa bodyguard itu mengejar mobil yang menyerang mereka dan beberapa lainnya mengangkat Bara ke dalam mobil untuk segera dilarikan ke rumah sakit.Kara menemani Bara sampai di rumah sakit. Sedangkan Sean dan Berta menyusul ke rumah sakit bersama dengan dua bodyguard nya yang lain."Ini semua karena aku. Aku kembali membuat seseorang di dekatku terluka," ucap Kara sambil menangis."Bukan, itu bukan salahmu. Ini semua salah kami. Semua