Kara terdiam. Dia tak tau harus berbuat apa saat ini, dia benar-benar tak tau."Kara? Ada apa?" tanyanya bingung saat melihat ekspresi Kara yang tak dapat ia baca.Panggilan itu membuat Kara kembali tersadar dari lamunan sesaatnya, "Ah maaf, maafkan aku tante ..." Kara sengaja menggantung ucapannya, karena ia belum tau nama wanita di hadapannya itu."Berta. Kau boleh memanggilku bibi Berta atau Mama jika kau mau," ujarnya sembari mengulas senyum manis di bibirnya."Ehm ... bibi Berta, tadi anda bilang anda datang untuk menjemputku." Berta mengangguk sebagai jawaban, "Apa itu artinya kalian akan membawaku pergi?"Kening Berta berkerut tatkala mendengar pertanyaan Kara yang menurutnya cukup aneh. "Tentu saja." Jawabnya, "Apa kau masih ada urusan yang belum selesai di sini? Atau ... kau tidak rela meninggalkan tempat ini atau justru seseorang di tempat ini?" Mendengar pertanyaan Berta, tentu saja membuat Kara gelagapan. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia memang tidak rela meninggalkan nega
Bara melindungi Kara hingga akhirnya peluru itu menembus bahu kanannyaBara mengumpat keras dan beberapa bodyguard Sean langsung melindungi Kara dan Bara yang masih berada di tangga karena tak ada tembok perlindungan di sana.Bara mulai terduduk lemas. Sedangkan tubuh Kara bergetar hebat melihat darah mengalir di tubuh Bara. Air matanya mulai menetes, tanpa bisa ia kendalikan"Baraa!!! Bara!!" teriak Kara histeris."Hei, aku tidak apa-apa, oke? Tenanglah," ucap Bara yang masih bisa menenangkan Kara, meski tubuhnya baru saja ditembus oleh timah panas.Beberapa bodyguard itu mengejar mobil yang menyerang mereka dan beberapa lainnya mengangkat Bara ke dalam mobil untuk segera dilarikan ke rumah sakit.Kara menemani Bara sampai di rumah sakit. Sedangkan Sean dan Berta menyusul ke rumah sakit bersama dengan dua bodyguard nya yang lain."Ini semua karena aku. Aku kembali membuat seseorang di dekatku terluka," ucap Kara sambil menangis."Bukan, itu bukan salahmu. Ini semua salah kami. Semua
"Ya, dia pergi. Sepertinya mereka pulang ke Italia. Kau jangan khawatir, pamannya Kara sudah ditangani secara tuntas oleh anak buah Uncle Al yang ada di Italia." jawab Ansel."Shiiitt!!! Dia tak seharusnya pergi, Ansel!!" ucap Bara dengan sangat emosi."Kau bisa menyusul ke sana setelah kau sembuh, Bara." Ansel menjawab dengan santai."Tapi dia tak seharusnya meninggalkanku!" kesal Bara. "Kapan aku bisa pulang dari rumah sakit?" tanyanya dengan tidak sabar."Hei, kau baru bangun, jadi akan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih kembali," jawab Ansel dengan tegas."Berani beraninya dia meninggalkanku!!" gumam Bara dengan tangan terkepal erat."Kau masih bisa menemuinya nanti, Bara." Ansel kembali berkata demikian agar sang sahabat tak terus terbawa emosi."Dia sengaja menghindariku!!" sahut Bara"Tidak, Kara tak akan melakukan hal itu. Dia pasti ingin kau sembuh terlebih dulu karena dia sangat shock ketika melihatmu kritis," jawab Ansel, mengingat bagaimana hancurnya Kara saat itu."D
"Nona, Nyonya memanggil anda," ucap pelayan pengurus kuda, memanggil seorang gadis cantik yang tampak sedang berada di area hutan milik keluarga kerajaan.Gadis itu tak lain adalah Kara, dia menoleh ke arah sang pelayan dan tersenyum lebar."Ya, aku akan ke sana sebentar lagi, Paman," jawabnya sambil memegang bunga bunga liar yang tadi baru saja ia petik."Jangan bermain terlalu jauh, Nona," ucap pria tua itu."Ya, aku tak pernah melebihi batas wilayahnya, Paman," jawab Kara yang kemudian naik ke atas kudanya.Dia melajukan kuda itu dan membuat sang pria paruh baya itu dengan sigap mengikutinya dari balakang."NONA!! JANGAN TERLALU KENCANG!!" teriak sang pelayan ketika dia melihat sang nona muda melajukan kudanya terlalu cepat."INI MENYENANGKAN, PAMAN!!" teriak Kara sambil tertawa riang. Pria itu bahkan sampai kewalahan untuk mengejar apalagi mengimbangi kecepatan Kara dalam berkuda.Selama beberapa bulan terakhir, berkuda menjadi hobi baru Kara. Sesuatu yang baru, yang mampu membuat
"Aku bukan bayi lagi, Ibu. Aku bisa mengurus hidupku sendiri," ujar Bara kemudian meraup kasar wajahnya, tak tau lagi apa yang harus dia perbuat untuk membunjuk sang Ibu agar mau membatalkan rencana perjodohan yang sanga tak masuk akal itu."Kau akan selalu menjadi bayi di mata Ibu," jawab Eve yang membuat Bara berdecak kesal, kemudian naik ke lantai dua.Semenjak tak adanya sosok Kara menemani hari-haribya, Bara memang lebih sering berada di mansion utama, tempat tinggal kedua orang tuanya. Dia melakukan itu karena ia merasa terlalu banyak bayang-bayang Kara, jika dia berada di mansionnya.Eve memeluk Alfred dan kembali menikmati film yang mereka tonton sejak Bara belum datang tadi."Kau yakin ide ini akan berhasil, sayang?" tanya Alfred."Ya, kita lihat saja nanti. Semoga saja Kara tak memiliki sifat keras kepala seperti ku," sahut Eve yang jadi teringat pada dirinya sendiri, di masa lalu.Sontak saja Alfred tertawa mendengar hal itu, karena ucapan Eve membuatnya turut mengingat mas
"Oh iya, tadi aku bara mendapatkan kabar dari Carlos kalau cucunya sudah lahir. Bagaimana kalau kita buat momen itu menjadi pertemuan untuk Bara dan Kara?" tanya Eve pada sang suami.Alfred mengerutkan keningnya, "Hm benarkah? Tapi kenapa dia malah mengabarimu dan bukan aku?" Ada sedikit rasa kesal tentu saja, karena bagaimanapun, Carlos dulunya adalah saingan cintanya dalam merebut hati Evelyn. Yaa ... meskipun pada akhirnya Eve tetap memilih dirinya, dan Carlos juga menjadi anak buahnya."Entahlah, mungkin karena kau mengabaikan teleponnya." Evelyn tersenyum mengejek pada sang suami, pasalnya Carlos mengatakan kalau dia tak bisa menghubungi Alfred sejak tadi. Dan itulah kenapa dia menghubungi Evelyn.Sontak saja perkataan sang istri membuat Alfred gegas mengambil ponsel pribadinya dan melihat adakah panggilan masuk di sana. Alfred hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari tersenyum kikuk, saat ia mendapati ada lima panggilan tak terjawab dari sahabat sekaligus bawaha
Tanpa diduga, Bara justru berjalan melewati Kara dan meninggalkannya di depan lift tanpa sepatah katapun terucap dari mulutnya.Hal itu membuat Kara hanya bisa menggigit bibir bawahya menahan rasa sesak di dadanya. Hatinya sangat sakit bagaikan ditusuk oleh ribuan jarum yang membuatnya terasa nyeri dan perih.'Itulah yang dirasakannya ketika kau meninggalkanya, Ra." batin Kara.Kara berjalab masuk ke dalam lift dan setelah pintu lift tertutup Kara mulai meneteskan air matanya tanpa suara.CEKLEKBara masuk ke dalam kamar perawatan Reena dan memamerkan seulas senyum, meskipun sedikit dipaksakan."Halo Reena, halo Bu," sapa Bara pada Reena."Dasar kakak durhaka, kenapa kau tak menyapaku, hah? Apa kau tidak melihat adikmu yang tampan ini, di sini?" celetuk Xavier dengan senyum mengejek di bibirnya.Namun Bara hanya diam dan tak meladeni ucaoannya, dia justru mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah Berta, "Halo, Nyonya Berta," sapa Bara."Halo, Bara. Bagaimana kabarmu?" tanya Berta.
"Jadi dari tadi kau hanya mengerjaiku?!" tanya Kara dengan kesal, tampak jelas dari bibir mungil gadis cantik itu yang tampa mengerucut.Namun hal itu justru tampak lucu di mata Bara, "Jangan mengerucutkan bibirmu lagi, atau aku tidak akan berhenti sebelum bibir ini bengkak." Bara terkekeh, sembari menyentuh bibir mungil Kara dan membuat gadis itu memukul-mukul dadanya.Bug!Bug!Bug!"Dasar jahat, tengil, mesum!" "Oh God! Pukulanmu keras juga. Apa nyonya Berta mengajarimu tinju?" ujar Bara sembari terkekeh, "Tapi bagaimana dengan aktingku tadi?" tanyanya sembari mengangkat sebelah alisnya.Kara berdecak kesal mendengar ucapan Bara. Namun rasa kesal itu tertutup oleh rasa senang, karena ternyata Bara tidak membenci dirinya yang sudah dengan tidak berperasaan meninggalkan dia begitu saja tanpa sepatah kata perpisahan terucap."Maaf ... dan terimakasih karena kau tidak membenciku," ujar Kara sembari memeluk Bara, melingkarkan tangannya di pinggang pria yang sangat ia rindukan itu.Bara