"Paman!"Suara Bara meninggi, saat mendengar Carlos menebak perasaannya dengan asal. Rasa hati ingin mengelak, tetapi hal itu juga yang ingin dia ketahui. Carlos langsung tertawa kecil melihat Veyksi Bara yang lebih mirip seperti ibunya."Kenapa, apa paman salah?" goda Carlos."Tidak! Bukan! Ah, maksudku ...."Melihat Bara bingung menjawab pertanyaannya, Carlos lagi-lagi menaikkan dua sudut bibirnya. Dia tersenyum, menyadari anak laki-laki yang ada di hadapannya itu telah tumbuh besar menjadi pria dewasa.Mereka sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah bisa merasakan cinta. Cih, anak muda."Baik, lupakan itu. Mari kita lanjutkan lagi!" jelas Bara yang tak mau menjelaskan lebih panjang pada Carlos.Pria paruh baya yang masih setia menjadi kaki tangan Alfred itu lantas mengangguk. Menyetujui permintaan Bara dan menghentikannya sikap jahilnya. Meski, dia masih belum lega untuk mengorek perasaan Bara."Bagaimana ibu dan ayah saling mengenal? Maksudku 'jatuh cinta', lanjut Bara masih penasaran."
Pearl. Salah satu restoran bintang 5 yang cukup terkenal di negara itu. Selain kualitas makanan dan juga tempat, mereka juga memiliki pelayanan yang sangat memuaskan menurut pelanggan. Katanya, bahan-bahan yang masuk adalah bahan yang berkualitas. Bahkan tersiar kabar jika restoran ini memiliki perkebunan sendiri untuk menjaga kualitas.Selain bahan, koki, pramusaji, serta staff yang lain juga sangat profesional dibidangnya. Tidak heran, Evelyn langsung terkejut ketika tahu bahwa Kara pernah bekerja disana."Bagaimana dia bisa....?" tanya Evelyn penasaran."Kunjungan dari mentri luar negri, apa Anda ingat? Saat itu Pearl kekurangan orang, karena itu mereka mencari pegawai lepas untuk melayani pelanggan biasa. Sedangkan pramusaji mereka melayani beberapa petinggi yang mampir."Evelyn mengangguk kecil mendengar penjelasan dari Lee. Sembari memahami bagian yang Helena lewatkan ketika melapor tentang Kara padanya."Beruntungnya lagi, mereka menyukai pekerjaannya. Menurut ceritanya, hampi
Musim telah berganti tanpa disadari. Tidak terasa, musim telah memasuki puncak musim panas di pertengahan tahun. Berada di suhu 27 derajat, membuat semua orang melepaskan mantel mereka dan mulai mengenakan pakaian ringan.Tidak hanya itu, sebagian besar dari mereka pun sengaja mengambil cuti panjang untuk sekedar menikmati liburan.. Sama seperti Alexa, yang tiba-tiba merengek di kantor Bara, ingin mengajak pria sibuk itu berlibur.Seakan tidak mengenal rasa takut meski sudah membuat salah satu maid Bara dalam bahaya. Alexa yang beberapa kali tidak bisa menemui kekasihnya lantaran perintah dari Bara sendiri, akhirnya berhasil menerobos masuk."Sayang, ayolah! Beberapa hari ini cuaca sedang bagus. Bagaimana jika kita pergi ke pantai? Cuaca cerah, angin semilir, deburan ombak. Pasti sangat menyenangkan." Alexa mencoba membujuk Bara agar mau pergi berlibur bersamanya. "Ayolah, Sayang. Aku tidak pernah menikmati libur bersamamu. Pergi satu atau dua hari tidak masalah bukan?," rengek Alexa d
Ansel yang sejak tadi duduk, perlahan bangkit berdiri. Tanpa menunggu jawaban dari Bara, ia menarik tangan sahabatnya dan membawanya keluar."Kau mau membawaku kemana? Hei! Ansel!"Ansel hanya diam, tidak memberi Bara jawaban. Bahkan bibirnya tetap menutup sambil terus menarik tangan sahabatnya itu, pergi menuju mobil sedan hitam yang terparkir rapi di samping rumah. Sampai dua pria itumemasuki mobil, barulah ia membuka mulutnya. "Kenapa kau terus bertanya? Sudah ku bilang, aku akan mengobatimu!"Seperti itulah kalimat yang keluar dari mulut Ansel. Seolah tidak peduli dengan rasa penasaran Bara, Ansel langsung mengemudikan mobilnya pergi sejauh 10 kilometer menuju ke Levent.Setidaknya butuh waktu setengah jam bagi sedan hitam itu melaju di jalanan kota yang terbilang lengang. Hingga sampai ke sebuah gedung dua lantai tak jauh dari gedung LE Entertainment."Untuk apa kau membawaku kemari?" tanya Bara penasaran.Ansel hanya melebarkan dua sudut bibirnya lalu turun meninggalkan sahabat
Rasa hangat dari napas Bara, masih terasa memenuhi wajahnya. Pelukan hangat di tengah cuaca panas. Rasa manis yang dihantarkan lidah lawan prianya. Sekali lagi berhasil membuatnya mabuk.Entah sudah berapa lama dia tidak merasakan ciuman itu. Biasanya, satu minggu sekali mereka berciuman di bawah perjanjian gila mereka. Namun mereka terpisah secara tiba-tiba karena perintah Evelyn.Beberapa patah kata yang keluar dari mulut Bara sebelum menyuruhnya turun, sempat terlintas di tengah pikiran kosongnya. Perkataan yang tadi membuatnya bingung, tetapi tidak sempat ia tanyakan.Kara menghentikan langkahnya, saat tiba di depan pintu ruang latihan, lalu menyandarkan dirinya di tembok. Pikirannya berkecamuk, memikirkan arti dari perkataan Bara padanya.Satu kalimat terakhir yang Bara ucapkan, kini menjadi pertanyaan besar di hati Kara, "Untuk yang lain, serahkan padaku. Apa maksudnya kata-kata itu? Hal apa yang kuserahkan padanya?"Kara yang saat itu terbengong, tiba-tiba dikejutkan oleh suara
Kara terdiam, merasakan jantungnya yang berdegup cukup keras mendengar pertanyaan dari Lee. Hanya satu pertanyaan, tapi langsung membuatnya diam dan berpikir dengan keras.Jika memang benar kontrak itu hasil nepotisme, lantas kenapa? Apakah dia bisa menolak?Pikirannya berkecamuk, ketika tiba-tiba dia teringat perkataan Evelyn sebelum membawanya pada Lee. Perkataan yang membuatnya berlatih dengan keras untuk bisa menjadi model.Balas dendam yang di bicarakan, sebenarnya untuk siapa. Apakah itu untuk dirinya yang dikurung dan hampir mati?Ataukah untuk seorang ibu yang tidak ingin anaknya menikah dengan wanita seperti itu?"Kara... Kara!"Panggilan dari Lee langsung membuyarkan kemelut di pikiran Kara. Memaksanya harus mengambil keputusan dalam seketika. Apa dia akan terus lanjut atau berhenti cukup sampai disini."Ma-maaf. Saya sedikit bingung."Lee yang melihat Veyksi Kara, seakan paham kemelut yang mengusiknya. Alih-alih tetap meminta jawaban, Lee justru duduk di lantai sambil bersa
Lirih, tapi perkataannya dapat didengar dengan baik oleh Kara. Beberapa patah kata yang berhasil membuat pertahanan air matanya hancur dalam sekejap.Bulir bening itu menetes dari salah satu mata indahnya.Jatuh, membasahi pipinya."Begitukah? Jadi hanya karena aku bukan anak kandung Ibu, ibu memperlakukanku sebagai sapi perah?"Lagi-lagi ia berharap sesuatu yang tak seharusnya. Berharap bahwa pendengarannya saja yang sedikit terganggu. Namun reaksi Viola sudah memberinya jawaban."Itu... ma-maksudnya, dia anak kandung - tidak... maksudnya, kau juga sudah kuanggap sebagai anak kandung."Kara tertawa miris mendengar ucapan orang yang selama ini ia panggil dengan sebutan Ibu itu, "Sekarang aku sudah mengerti semuanya. Betapa bodohnya aku, harusnya aku tau kalau anda memang tak pernah menganggapku sebagai anak. Jadi, katakan dimana orang tua kandungku berada!"Kara berjalan mendekat. Memangkas jarak antara dirinya dan Viola. Setiap langkah maju yang dia ambil, membuat Viola mengambil lan
Hening pun menyeruak diantara keduanya. Hembusan angin serta deburan ombah, berusaha memecah keheningan, namun tidak berhasil. Mungkin, seperti inilah yang diinginkan oleh Kara.Manik indah itu kembali menitihkan bulir bening. Kala sepintas kenangan akan perlakuan keluarganya, membangkitkan rasa sakit yang sempat redup.Dia bukan tak sengaja melakukan itu, justru sebaliknya. Sengaja mengingat agar dia bisa menangis, menghabiskan seluruh air matanya untuk satu alasan. Setelah itu, dia ingin melupakan segalanya.Fokus untuk terus bekerja dan mulai menikmati hidupnya sendiri, mungkin seperti itu.Bara memilih untuk diam meski tahu Kara kembali menangis. Duduk menikmati sebotol minuman bersoda, sambil menatap deburan ombak. Membiarkan gadis itu meluapkan rasa sedihnya adalah pilihan yang dia ambil.Setelah beberapa menit berlalu, isak tangis yang sempat ia dengar sayup-sayup itu, kini mulai berhenti. Nampaknya, Kara telah puas meluapkan segala rasa sakit di hatinya."Sudah lebih baik?" ta