Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan ‘Ehm’, ‘Tidak tahu’, atau ‘Mungkin’.Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh ‘penghuni’ Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan. Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang ‘kedua’ di Lai Lai setelah Kwee Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun, mereka beramai-ramai menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat hati, Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.“Meymey… Meymey…,” panggi
Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.Sekali lentingan saja, Cio San sudah ‘terbang’ jauh sekali.Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh tombak di hadapannya. Sekali pandang, ia sudah tahu kalau itu adalah Bu Tong-pay Ngo Kiam (Lima Pedang Bu Tong-pay). Siapa lawan mereka, ia tidak kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih awut-awutan.Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk ‘menjadi’ Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Bu Tong-pay yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak mau, Cio
“Bun Tek Thian! Ku akui kehebatanmu menghindari jurus Panah Pedang kami. Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu.” Yang berkata adalah Gak Siauw Hong.“Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja, aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw tak takut mati dan tak takut pada kalian, anggota partai putih. Cuih!” Orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut ‘partai putih’.Dengan geram, Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.Tapi belum sampai menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adal
“Salam kenal juga, Bun-tianglo (Penasehat Bun),” jawab Cio San sambil tersenyum.“Kau masih tersenyum? Setelah apa yang kuperbuat kepadamu?” tanya Bun Tek Thian heran.“Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa kulakukan?” Cio San masih tersenyum.“Kau menyelamatkan aku dan menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka dalamku. Sebaliknya, aku malah menotokmu. Apa kau tidak marah?” Bun Tek Thian masih keheranan.“Memangnya jika aku marah, kau tak akan menotokku?” masih sambil tersenyum.“Memangnya kau tidak takut aku akan membunuhmu?” Bun Tek Thian masih tak habis pikir.“Jika kau ingin membunuhku, tentunya kau tak akan menotokku,” jawab Cio San masih tetap tersenyum.Bun Tek Thian tak tahu lagi harus berkata apa. Ia kemudian berkata, “Kau tahu alasanku menotokmu?”Sambil mengangguk, Cio San menjawab, “Tentu saja. Nama dan latar belakangku ini sudah menjadi incaran orang Kang Ouw. Mungkin Bun-tianglo ingin sekedar tanya-tanya di mana gerangan kiranya kitab sakti yang kubawa kabur?”
Cio San sangat paham tentang kisah Kaisar Hong Wu. Bahkan keluarganya sendiri, punya jasa besar pada kaisar itu. Nama asli Kaisar Hong Wu adalah Chu Yauncheng. Ia adalah seorang petani biasa. Saat itu Tionggoan dikuasai oleh Dinasti Goan, yang merupakan bangsa Mongolia, dan bukan merupakan bangsa Han (orang asli China). Oleh karena itu, muncul banyak perlawanan dari bangsa Han untuk mengusir dan meruntuhkan Dinasti Goan itu.Chu Yuancheng bergabung dengan salah satu kelompok pemberontak yang ada saat itu. Dengan kecerdasan dan keberaniannya, ia berhasil mencapai pangkat tinggi dalam kelompok itu. Pada saat itu seluruh bangsa Han bersatu. Tak terkecuali kaum persilatan yang tidak kurang andilnya dalam meruntuhkan Dinasti Goan.Pemberontakan itu dipimpin oleh cucu murid Thio Sam Hong yang namanya sudah terlupakan itu. Ketika pemberontakan berhasil, ia malah mengasingkan diri ke sebuah pulau terpencil bersama istrinya yang merupakan seorang putri Mongol.Ia menyerahkan kedudukan ketua ke
‘Tiga puluh tael emas, tidak lebih tidak kurang,’ jawab si penjual.‘Eh, kenapa mahal sekali? Apa kelebihannya?’ tanya si saudagar.‘Burung ini jika bernyanyi, suaranya merdu sekali.’ Sambil berkata begitu, si penjual membuat burungnya bernyanyi.”“Dan memang suaranya indah sekali. Ada beberapa lagu kicauannya yang terdengar sangat indah. Seluruh orang yang ada di pasar mengagumi kicauannya. Akhirnya si saudagar langsung membeli burung itu tanpa tawar menawar. Setelah puas, ia melangkah pulang. Ketika sampai di pintu keluar, ia melihat burung dagangan Siauw Jin kita.”“Karena merasa lucu ada orang menjual burung sejelek dan seburuk itu, si saudagar iseng-iseng bertanya, ‘Eh, burung ini dijual juga?’‘Benar,’ jawab Siauw Jin kita mantap.Sambil tertawa geli, si saudagar bertanya, ‘Memangnya mau kau jual berapa?’‘Seratus tael emas! Tidak kurang tidak lebih!’ jawabnya mantap.Si saudagar hampir pingsan karena kaget, ‘Mahal sekali… Memang apa kelebihannya? Apakah suaranya merdu dan bisa
“Baik, Tuan.” Para pekerja yang masih tersisa segera bergegas pergi makan.Begitu bayangan pekerja menghilang di balik pintu, pemilik suara itu lalu berkata, “Ah, Tianglo lama tidak berkunjung kesini? Ada kabar atau urusan apa yang bisa teecu (murid) bantu?”Suaranya sudah tidak berwibawa lagi, bahkan sekarang terkesan menjilat-jilat.“Sow Tan Li, aku memerintahkan kau untuk segera mengirimkan kabar di seluruh cabang bagian barat dan juga markas pusat. Aku membawa ‘buntalan’ penting. Setiap cabang harus bersiaga penuh. Jangan sampai bocor. Aku juga membutuhkan beberapa murid tingkat 2 atau 3 untuk membayangiku sepanjang perjalanan. Jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh. Mereka harus sebisa mungkin tidak terlihat.”“Baik, Tianglo. Ada perintah lainnya?”“Tidak ada. ‘Buntalan’ ini adalah masakan kesukaan Ketua. Jika tidak sampai, atau sampai dalam keadaan ‘dingin’, maka Ketua akan marah sekali. Kita semua akan kena celaka.”“Teecu mengerti. Teecu akan turun tangan langsung menang
Kini Cio San dan Bun Tek Thian berada di salah satu ‘cabang’ rahasia Ma Kauw. Cio San tidak menyangka kalau Ma Kauw mempunyai cabang rahasia di sebuah kantor pemerintahan!Memang ini hanya sebuah kota kecil. Walikotanya adalah anak buah Ma Kauw. Namanya Tong Sin Sat. Mereka sampai di kota kecil itu di sore hari, ketika kantor pemerintahan itu akan tutup. Setelah semua pegawai pulang, sang Walikota masih tetap tinggal untuk ‘menyelesaikan’ beberapa pekerjaan. Hanya pengawal pribadinya yang menunggu di ruang depan dekat pintu. Pastinya mereka juga anak buah Ma Kauw.Tong Sin Sat ini bertubuh tambun, dengan wajah kemerah-merahan. Seragamnya agak terlihat sempit. Raut mukanya cerah dan selalu tersenyum. Mereka bertiga sedang menikmati arak dan beberapa makanan kecil. Bun Tek Thian tidak memberikannya tugas apa-apa. Hanya sekedar mampir dan mengisi bekal.Bun Tek Thian juga tidak membicarakan hal-hal yang penting. Hanya sekedar bertanya-tanya tentang keluarga dan masalah pekerjaan sebagai
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge