“Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali,” kata Lu Ting Peng.Yang lain mengangguk-angguk.Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan kedai ini kepada orang-orang di Bu Tong-san. Ia lalu ke ruang depan, dan memberanikan diri menyapa mereka.“Selamat siang, Tuan-tuan, nama saya A San. Saya adalah koki disini. Boleh saya tahu pendapat Tuan-tuan tentang masakan kami?”“Hmmm…enak sekali, A San. Masakanmu sungguh hebat!” Gak Siauw Hong memuji. Yang lain ikut manggut-manggut.“Ah, baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak, Tuan-tuan. Eh, kalau boleh tahu, Tuan-tuan ini berasal dari mana?” tanya Cio San lagi.“Kami adalah 5 Pedang Bu Tong-pay.” Kali ini Lu Ting Peng yang menjawab.“Bu Tong-pay? Wah, jadi Tuan-tuan ini adalah para Enghiong dari Bu Tong-pay? Sebuah kehormatan bagi Lai Lai bahwa para Enghiong sudi mampir kemari.” Ia lalu bersoja, sambil melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu Bu Tong-enghiong Beng Liong juga mampir kemari. Serta ada beberapa murid Bu Tong-p
Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan ‘Ehm’, ‘Tidak tahu’, atau ‘Mungkin’.Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh ‘penghuni’ Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan. Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang ‘kedua’ di Lai Lai setelah Kwee Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun, mereka beramai-ramai menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat hati, Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.“Meymey… Meymey…,” panggi
Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.Sekali lentingan saja, Cio San sudah ‘terbang’ jauh sekali.Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh tombak di hadapannya. Sekali pandang, ia sudah tahu kalau itu adalah Bu Tong-pay Ngo Kiam (Lima Pedang Bu Tong-pay). Siapa lawan mereka, ia tidak kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih awut-awutan.Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk ‘menjadi’ Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Bu Tong-pay yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak mau, Cio
“Bun Tek Thian! Ku akui kehebatanmu menghindari jurus Panah Pedang kami. Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu.” Yang berkata adalah Gak Siauw Hong.“Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja, aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw tak takut mati dan tak takut pada kalian, anggota partai putih. Cuih!” Orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut ‘partai putih’.Dengan geram, Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.Tapi belum sampai menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adal
“Salam kenal juga, Bun-tianglo (Penasehat Bun),” jawab Cio San sambil tersenyum.“Kau masih tersenyum? Setelah apa yang kuperbuat kepadamu?” tanya Bun Tek Thian heran.“Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa kulakukan?” Cio San masih tersenyum.“Kau menyelamatkan aku dan menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka dalamku. Sebaliknya, aku malah menotokmu. Apa kau tidak marah?” Bun Tek Thian masih keheranan.“Memangnya jika aku marah, kau tak akan menotokku?” masih sambil tersenyum.“Memangnya kau tidak takut aku akan membunuhmu?” Bun Tek Thian masih tak habis pikir.“Jika kau ingin membunuhku, tentunya kau tak akan menotokku,” jawab Cio San masih tetap tersenyum.Bun Tek Thian tak tahu lagi harus berkata apa. Ia kemudian berkata, “Kau tahu alasanku menotokmu?”Sambil mengangguk, Cio San menjawab, “Tentu saja. Nama dan latar belakangku ini sudah menjadi incaran orang Kang Ouw. Mungkin Bun-tianglo ingin sekedar tanya-tanya di mana gerangan kiranya kitab sakti yang kubawa kabur?”
Cio San sangat paham tentang kisah Kaisar Hong Wu. Bahkan keluarganya sendiri, punya jasa besar pada kaisar itu. Nama asli Kaisar Hong Wu adalah Chu Yauncheng. Ia adalah seorang petani biasa. Saat itu Tionggoan dikuasai oleh Dinasti Goan, yang merupakan bangsa Mongolia, dan bukan merupakan bangsa Han (orang asli China). Oleh karena itu, muncul banyak perlawanan dari bangsa Han untuk mengusir dan meruntuhkan Dinasti Goan itu.Chu Yuancheng bergabung dengan salah satu kelompok pemberontak yang ada saat itu. Dengan kecerdasan dan keberaniannya, ia berhasil mencapai pangkat tinggi dalam kelompok itu. Pada saat itu seluruh bangsa Han bersatu. Tak terkecuali kaum persilatan yang tidak kurang andilnya dalam meruntuhkan Dinasti Goan.Pemberontakan itu dipimpin oleh cucu murid Thio Sam Hong yang namanya sudah terlupakan itu. Ketika pemberontakan berhasil, ia malah mengasingkan diri ke sebuah pulau terpencil bersama istrinya yang merupakan seorang putri Mongol.Ia menyerahkan kedudukan ketua ke
‘Tiga puluh tael emas, tidak lebih tidak kurang,’ jawab si penjual.‘Eh, kenapa mahal sekali? Apa kelebihannya?’ tanya si saudagar.‘Burung ini jika bernyanyi, suaranya merdu sekali.’ Sambil berkata begitu, si penjual membuat burungnya bernyanyi.”“Dan memang suaranya indah sekali. Ada beberapa lagu kicauannya yang terdengar sangat indah. Seluruh orang yang ada di pasar mengagumi kicauannya. Akhirnya si saudagar langsung membeli burung itu tanpa tawar menawar. Setelah puas, ia melangkah pulang. Ketika sampai di pintu keluar, ia melihat burung dagangan Siauw Jin kita.”“Karena merasa lucu ada orang menjual burung sejelek dan seburuk itu, si saudagar iseng-iseng bertanya, ‘Eh, burung ini dijual juga?’‘Benar,’ jawab Siauw Jin kita mantap.Sambil tertawa geli, si saudagar bertanya, ‘Memangnya mau kau jual berapa?’‘Seratus tael emas! Tidak kurang tidak lebih!’ jawabnya mantap.Si saudagar hampir pingsan karena kaget, ‘Mahal sekali… Memang apa kelebihannya? Apakah suaranya merdu dan bisa
“Baik, Tuan.” Para pekerja yang masih tersisa segera bergegas pergi makan.Begitu bayangan pekerja menghilang di balik pintu, pemilik suara itu lalu berkata, “Ah, Tianglo lama tidak berkunjung kesini? Ada kabar atau urusan apa yang bisa teecu (murid) bantu?”Suaranya sudah tidak berwibawa lagi, bahkan sekarang terkesan menjilat-jilat.“Sow Tan Li, aku memerintahkan kau untuk segera mengirimkan kabar di seluruh cabang bagian barat dan juga markas pusat. Aku membawa ‘buntalan’ penting. Setiap cabang harus bersiaga penuh. Jangan sampai bocor. Aku juga membutuhkan beberapa murid tingkat 2 atau 3 untuk membayangiku sepanjang perjalanan. Jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh. Mereka harus sebisa mungkin tidak terlihat.”“Baik, Tianglo. Ada perintah lainnya?”“Tidak ada. ‘Buntalan’ ini adalah masakan kesukaan Ketua. Jika tidak sampai, atau sampai dalam keadaan ‘dingin’, maka Ketua akan marah sekali. Kita semua akan kena celaka.”“Teecu mengerti. Teecu akan turun tangan langsung menang