Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.Namun, pertarungan yang ini banyak mayat bergelimpangan. Dan hanya satu orang yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Tak satupun dari mayat itu yang mengeluarkan darah.Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Tegak bagai karang. Orang-orang yang menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan ketenangannya. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara saat ini.Dia berdiri gagah.Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti memantulkan cahaya rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya sangat tampan. Saking tampannya, sampai-sampai orang-orang mengira ia bukan manusia.Matanya. Berwarna biru.Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang China asli) masih terlihat jelas dalam raut mukanya yang tampan.Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik. Pastilah man
Keramaian sudah usai.Menarik sekali ketika sepi kembali datang. Seperti tidak ada satu pun yang terjadi.Benak Cio San tak henti berpikir. Siapakah pendekar berbaju putih tadi? Apakah dia yang disebut Pendekar Pedang Kelana Can Liu Hoa? Tapi dilihat dari umurnya, tidak mungkin si baju putih itu adalah sang pendekar Can Liu Hoa. Si pendekar besar itu menurut kabar sudah cukup sepuh.Lalu siapa dia?Cio San memutuskan berjalan santai sambil berpikir. Kadang memang otaknya bekerja lebih baik kalau sedang berjalan-jalan. Lama ia berjalan dan berputar-putar tak tentu arah. Pikirannya tenggelam dalam banyak hal.Ketika sampai di sebuah gang yang sunyi, dengan serta-merta ia melompat ke atas atap. Gerakannya ini sedemikan cepat, jauh lebih cepat jika kau mengedipkan matamu.Ia telah berada di atas atap. Dan ia tidak sendirian. Seseorang pun sedang berdiri di hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya ini menggunakan baju hitam-hitam. Wajahnya bertopeng. Tapi dari sinar matanya, ia seperti
“Ya. Kau boleh pergi. Ketahuilah, aku tidak membawa lari kitab apapun. Semua ilmu yang kupunyai, kebanyakan kupelajari dari Kim Coa (Ular Emas). Oleh karena itu, tidak ada satupun yang bisa kau ambil atau minta dariku. Aku pun tak akan membalaskan dendam kematian Kim Coa, karena bagiku, kematian seseorang sudah ditakdirkan. Keadilan sudah datang dengan matinya kelima sahabatmu itu.”“Maka pergilah, aku tidak mempersoalkan apa-apa. Tapi jika kau menggangguku, atau mengganggu orang-orang di Lai Lai, aku mempunyai kemampuan yang sangat menakutkan. Aku akan mencarimu.”“Baiklah,” kata Yap-heng. “Kemurahan hatimu akan selalu kuingat. Ampunanmu ini tidak akan terlupakan. Selamat tinggal, Cio San.” Yap-heng bersoja (memberi hormat ala kaum Bu Lim), lalu ia pun menghilang dari hadapan Cio San.Entahlah apa yang ada di benak Yap-heng. Mungkin saja ia berpikir, “Alangkah sialnya orang yang dimusuhi oleh Cio San!”*** Keesokan paginya, Lai Lai ramai oleh orang-orang yang membicarakan kejadian d
Lai Lai hari itu sangat ramai. Semua tamu membahas kemunculan si Dewa Pedang yang menghebohkan. Beberapa pendekar ternama bahkan ada yang sempat mampir ke Lai Lai hanya untuk mendengarkan cerita tentang si Dewa Pedang ini. Lai Lai memang kini sudah menjadi ‘tempat berkumpul tidak resmi’ bagi kalangan Bu Lim.Cio San tidak mengenal beberapa orang ini. Tapi dari langkah mereka yang sangat ringan, dari wibawa yang terpancar di wajah mereka, serta sikap orang-orang Bu Lim yang sangat menghormati mereka, bisa disimpulkan mereka ini memang pesilat dan tokoh tersohor.Ketika masuk tengah hari, datanglah 5 orang berpakaian biru muda. Di punggung mereka tersandang pedang. Karena Lai Lai ramai sekali, mereka terpaksa berdiri menunggu. Cio San yang kala itu sedang membantu pelayan membereskan piring bekas makan di atas meja tamu, langsung mengenal mereka.Mereka adalah bagian dari ‘15 Naga Muda’ Bu Tong-pay. Kelima orang ini, seingat Cio San, adalah bagian ‘15 Naga Muda’ yang mempunyai kekhususa
“Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali,” kata Lu Ting Peng.Yang lain mengangguk-angguk.Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan kedai ini kepada orang-orang di Bu Tong-san. Ia lalu ke ruang depan, dan memberanikan diri menyapa mereka.“Selamat siang, Tuan-tuan, nama saya A San. Saya adalah koki disini. Boleh saya tahu pendapat Tuan-tuan tentang masakan kami?”“Hmmm…enak sekali, A San. Masakanmu sungguh hebat!” Gak Siauw Hong memuji. Yang lain ikut manggut-manggut.“Ah, baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak, Tuan-tuan. Eh, kalau boleh tahu, Tuan-tuan ini berasal dari mana?” tanya Cio San lagi.“Kami adalah 5 Pedang Bu Tong-pay.” Kali ini Lu Ting Peng yang menjawab.“Bu Tong-pay? Wah, jadi Tuan-tuan ini adalah para Enghiong dari Bu Tong-pay? Sebuah kehormatan bagi Lai Lai bahwa para Enghiong sudi mampir kemari.” Ia lalu bersoja, sambil melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu Bu Tong-enghiong Beng Liong juga mampir kemari. Serta ada beberapa murid Bu Tong-p
Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan ‘Ehm’, ‘Tidak tahu’, atau ‘Mungkin’.Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh ‘penghuni’ Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan. Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang ‘kedua’ di Lai Lai setelah Kwee Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun, mereka beramai-ramai menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat hati, Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.“Meymey… Meymey…,” panggi
Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.Sekali lentingan saja, Cio San sudah ‘terbang’ jauh sekali.Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh tombak di hadapannya. Sekali pandang, ia sudah tahu kalau itu adalah Bu Tong-pay Ngo Kiam (Lima Pedang Bu Tong-pay). Siapa lawan mereka, ia tidak kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih awut-awutan.Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk ‘menjadi’ Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Bu Tong-pay yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak mau, Cio
“Bun Tek Thian! Ku akui kehebatanmu menghindari jurus Panah Pedang kami. Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu.” Yang berkata adalah Gak Siauw Hong.“Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja, aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw tak takut mati dan tak takut pada kalian, anggota partai putih. Cuih!” Orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut ‘partai putih’.Dengan geram, Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.Tapi belum sampai menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adal