“Ketika saya berbicara dengan Hujin, dan Hujin menyinggung tentang Bu Tong-pay dan sahabat Hujin yang meninggal disana. Saya tahu bahwa sinar mata saya berubah. Masih banyak kenangan yang tidak bisa terlupa, sehingga saya tidak bisa menyembunyikan perasaan. Ketika saya merasa bahwa sinar mata saya berubah sendu, secepatnya saya tersadar dan memperhatikan sinar mata Hujin sendiri. Dari yang saya lihat, sinat mata Hujin juga berubah. Mungkin lega, mungkin puas. Saya kurang tahu. Tapi saya waktu kecil kadang-kadang suka main tebak-tebakan. Sinar mata Hujin, seperti sinar mata orang yang senang karena tebakannya benar,” jelas Cio San panjang lebar.“Jadi kau tahu bahwa aku telah membongkar penyamaranmu, hanya dari sinar mataku yang berubah karena melihat perubahan sinar matamu sendiri?” Khu-hujin bertanya, matanya memancarkan kekaguman.“Benar sekali, Hujin.”“Hanya dengan perubahan mata, berani sekali engkau mengambil kesimpulan, Cio San.”“Kadang beberapa hal memang harus dilakukan deng
“Kitab ini, tidak hanya cocok untuk kau pelajari, bahkan mungkin harus kau pelajari. Dalam perjalanan hidupmu, akan sangat berguna sekali,” ujar Khu-hujin sambil menyodorkan kitab itu.Cio San menerima dengan penuh hormat.“Kitab Wajah dan Gerak Tubuh.”“Judul yang aneh bukan? Tapi manfaatnya banyak. Kau akan bisa membaca pikiran orang hanya dari bahasa wajah dan tubuhnya. Saat orang berbohong, ada bagian-bagian wajah dan tubuhnya yang bergerak. Jika kau pelajari, kau bisa membedakan orang yang jujur dengan yang tidak. Kau bisa membaca perasaan dan isi hati mereka, cukup dengan melihat raut wajah atau bahasa tubuh. Menarik bukan?”“Menarik sekali, Hujin. Tentu saja Hujin sudah mempelajarinya dan mendapat manfaat yang amat sangat, bukan? Bahkan mungkin, banyak sekali urusan dagang yang Hujin selesaikan dengan buku ini.”“Tepat sekali!”Hujin kemudian berkata,“Dalam perjalananmu, kau akan menemukan banyak rintangan. Banyak kesulitan dan kesusahan. Engkau adalah orang yang cerdas dan be
Cio San memandang Khu-hujin dengan penuh kekaguman. Belum pernah dia mendengar orang memberi wejangan padanya seperti itu. Begitu dalam. Begitu ringkas. Tetapi sangat membekas.Angin bertiup, menghembus sampai masuk ke dalam ruangan itu. Cio San pun tak tahu lagi, apakah sejuk di dadanya ini adalah karena angin, ataukah karena kata-kata Khu-hujin?Itulah mengapa Khu-hujin menjadi begitu berhasil di dalam hidupnya. Menjadi wanita ‘terkuat’ tidaklah butuh ilmu silat yang hebat. Justru karena tidak mengandalkan ilmu silat, maka Khu-hujin menjadi seperti itu. Seluruh perempuan di muka bumi ini, seharusnya paham. Bahwa mereka tercipta sebagai ‘makhluk terkuat’. Sudah terlalu banyak kisah yang menceritakan, betapa wanita mampu menundukkan laki-laki terhebat sekalipun.“Cio San…..,” sapaan lembut Khu-hujin membuyarkan lamunannya.“Apakah kau tahu apa-apa saja yang telah terjadi di dunia ini, sejak engkau kabur dari Bu Tong-pay dahulu sampai saat ini?” tanya Khu-hujin.“Eh, saya hanya mendeng
Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.Namun, pertarungan yang ini banyak mayat bergelimpangan. Dan hanya satu orang yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Tak satupun dari mayat itu yang mengeluarkan darah.Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Tegak bagai karang. Orang-orang yang menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan ketenangannya. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara saat ini.Dia berdiri gagah.Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti memantulkan cahaya rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya sangat tampan. Saking tampannya, sampai-sampai orang-orang mengira ia bukan manusia.Matanya. Berwarna biru.Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang China asli) masih terlihat jelas dalam raut mukanya yang tampan.Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik. Pastilah man
Keramaian sudah usai.Menarik sekali ketika sepi kembali datang. Seperti tidak ada satu pun yang terjadi.Benak Cio San tak henti berpikir. Siapakah pendekar berbaju putih tadi? Apakah dia yang disebut Pendekar Pedang Kelana Can Liu Hoa? Tapi dilihat dari umurnya, tidak mungkin si baju putih itu adalah sang pendekar Can Liu Hoa. Si pendekar besar itu menurut kabar sudah cukup sepuh.Lalu siapa dia?Cio San memutuskan berjalan santai sambil berpikir. Kadang memang otaknya bekerja lebih baik kalau sedang berjalan-jalan. Lama ia berjalan dan berputar-putar tak tentu arah. Pikirannya tenggelam dalam banyak hal.Ketika sampai di sebuah gang yang sunyi, dengan serta-merta ia melompat ke atas atap. Gerakannya ini sedemikan cepat, jauh lebih cepat jika kau mengedipkan matamu.Ia telah berada di atas atap. Dan ia tidak sendirian. Seseorang pun sedang berdiri di hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya ini menggunakan baju hitam-hitam. Wajahnya bertopeng. Tapi dari sinar matanya, ia seperti
“Ya. Kau boleh pergi. Ketahuilah, aku tidak membawa lari kitab apapun. Semua ilmu yang kupunyai, kebanyakan kupelajari dari Kim Coa (Ular Emas). Oleh karena itu, tidak ada satupun yang bisa kau ambil atau minta dariku. Aku pun tak akan membalaskan dendam kematian Kim Coa, karena bagiku, kematian seseorang sudah ditakdirkan. Keadilan sudah datang dengan matinya kelima sahabatmu itu.”“Maka pergilah, aku tidak mempersoalkan apa-apa. Tapi jika kau menggangguku, atau mengganggu orang-orang di Lai Lai, aku mempunyai kemampuan yang sangat menakutkan. Aku akan mencarimu.”“Baiklah,” kata Yap-heng. “Kemurahan hatimu akan selalu kuingat. Ampunanmu ini tidak akan terlupakan. Selamat tinggal, Cio San.” Yap-heng bersoja (memberi hormat ala kaum Bu Lim), lalu ia pun menghilang dari hadapan Cio San.Entahlah apa yang ada di benak Yap-heng. Mungkin saja ia berpikir, “Alangkah sialnya orang yang dimusuhi oleh Cio San!”*** Keesokan paginya, Lai Lai ramai oleh orang-orang yang membicarakan kejadian d
Lai Lai hari itu sangat ramai. Semua tamu membahas kemunculan si Dewa Pedang yang menghebohkan. Beberapa pendekar ternama bahkan ada yang sempat mampir ke Lai Lai hanya untuk mendengarkan cerita tentang si Dewa Pedang ini. Lai Lai memang kini sudah menjadi ‘tempat berkumpul tidak resmi’ bagi kalangan Bu Lim.Cio San tidak mengenal beberapa orang ini. Tapi dari langkah mereka yang sangat ringan, dari wibawa yang terpancar di wajah mereka, serta sikap orang-orang Bu Lim yang sangat menghormati mereka, bisa disimpulkan mereka ini memang pesilat dan tokoh tersohor.Ketika masuk tengah hari, datanglah 5 orang berpakaian biru muda. Di punggung mereka tersandang pedang. Karena Lai Lai ramai sekali, mereka terpaksa berdiri menunggu. Cio San yang kala itu sedang membantu pelayan membereskan piring bekas makan di atas meja tamu, langsung mengenal mereka.Mereka adalah bagian dari ‘15 Naga Muda’ Bu Tong-pay. Kelima orang ini, seingat Cio San, adalah bagian ‘15 Naga Muda’ yang mempunyai kekhususa
“Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali,” kata Lu Ting Peng.Yang lain mengangguk-angguk.Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan kedai ini kepada orang-orang di Bu Tong-san. Ia lalu ke ruang depan, dan memberanikan diri menyapa mereka.“Selamat siang, Tuan-tuan, nama saya A San. Saya adalah koki disini. Boleh saya tahu pendapat Tuan-tuan tentang masakan kami?”“Hmmm…enak sekali, A San. Masakanmu sungguh hebat!” Gak Siauw Hong memuji. Yang lain ikut manggut-manggut.“Ah, baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak, Tuan-tuan. Eh, kalau boleh tahu, Tuan-tuan ini berasal dari mana?” tanya Cio San lagi.“Kami adalah 5 Pedang Bu Tong-pay.” Kali ini Lu Ting Peng yang menjawab.“Bu Tong-pay? Wah, jadi Tuan-tuan ini adalah para Enghiong dari Bu Tong-pay? Sebuah kehormatan bagi Lai Lai bahwa para Enghiong sudi mampir kemari.” Ia lalu bersoja, sambil melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu Bu Tong-enghiong Beng Liong juga mampir kemari. Serta ada beberapa murid Bu Tong-p