“Jika kita lihat ilmu dan kesaktiannya, serta berapa beruntungnya ia bisa menjadi Ketua Mo Kauw dan Kay Pang, apakah Saudara-saudara sekalian tidak curiga?”“Ya.. ya..,” semua orang mengangguk setuju.“Cio San! Mengakulah, bahwa itu semua adalah perbuatanmu!” Hong Sam-hwesio menudingnya.“A… aku.. ah..” Cio San tidak bisa menjawab.Khu-hujin malah yang membelanya, “Tuan-tuan, tanpa bukti yang jelas, kita tidak boleh sembarangan menuduh orang. Biarkan aku menahan Cio San disini. Sampai segalanya jelas dan terbukti.”“Semuanya telah terang-benderang. Dulu saat kejadian pembakaran kapal Mo Kauw, aku berada di sana. Aku sempat membelanya. Bahkan bekerjasama dengannya untuk mencari pelakunya. Tetapi setelah kupikir-pikir, justru orang inilah pelakunya. Saat itu aku berada bersamanya. Aku masuk ke bilikku, lalu aku diserang seseorang yang sangat sakti. Saat itu, Cio San berada di ruang depan. Begitu penyerang itu menghilang, justru Cio San baru masuk. Saat kami mencari di sekeliling, tiada
“Di mana anggota Kay Pang dan Ma Kauw?” tanya Cio San.“Seperti perintahmu, mereka pergi ke arah gerbang timur,” jawab Cukat Tong.“Baik, ayo kita cari mereka.”Tak sampai berapa lama terbang, sudah terlihat rombongan ratusan orang sedang berlari dengan cepat ke arah timur. “Itu mereka,” kata Cukat Tong.Segera mereka menukik ke bawah.Menggunakan ginkangnya, Cio San meluncur dengan indah ke bawah. Tahu-tahu ia sudah muncul di hadapan ratusan orang anak buahnya itu.“Saudara-saudara, aku meminta maaf hal ini harus terjadi. Apakah kalian masih percaya kepadaku?”“Percaya sepenuhnya, Tuan!” jawab mereka semua dengan lantang.“Baiklah. Mulai hari ini, kita semua berpisah. Silahkan berpencar sendiri-sendiri. Manusia-manusia munafik yang tadi telah menuduhku, mungkin akan mencari alasan untuk menyerang Kay Pang dan Ma Kauw. Partai kita telah mengalami berbagai macam hal dan cobaan. Kita tak akan mungkin kalah hanya karena masalah begini saja, bukan?”“Tak akan pernah!” jawab mereka serenta
Si nona hanya diam dan menatap Cio San.“Aku hanya tak ingin membunuh orang,” kata Cio San.“Tapi mereka semua ingin membunuh Tuan,” sahut Ang Lin Hua.Cio San hanya tersenyum dan memainkan ujung rambutnya.“Orang rendahan macam Lim Gak Bun itu pun, bahkan bisa kubunuh dengan satu pukulan,” kata si nona.Senyum Cio San tambah lebar. Ia baru ingat, ternyata luka di tubuhnya parah juga. Tapi kenapa sekarang sakitnya sudah berkurang seluruhnya?“Kenapa Tuan membiarkan ia mempermalukan Tuan?”Perempuan yang cantik, jika marah, biasanya kecantikannya tidak hilang. Tapi kau justru lebih takut kepadanya, daripada kepada setan gunung.Oleh sebab itu, Cio San diam saja.“Apakah karena istrinya itu?” kata Ang Lin Hua.Memang di dunia ini, satu-satunya makhluk yang bisa mengerti perasaan perempuan, hanyalah perempuan sendiri.Cio San hanya bisa menatap Ang Lin Hua.Laki-laki paling pintar di seluruh dunia pun, kadang menjadi manusia paling bodoh di hadapan seorang perempuan. Hal senyata ini, ken
'Kau tahu beratnya menjadi pemimpin?Itu adalah saat dimana semua orang yang kau pimpin merasa dirinya benar, dan segala keputusan yang kau ambil salah di hadapan mereka.'Cio San tahu ia tidak cocok dan tidak pantas menjadi pemimpin. Ia lebih suka hidup dengan bebas, tanpa memikirkan segala tetek-bengek urusan dunia. Jika boleh memilih, tentu ia akan memilih hidup sendirian di atas puncak Bu Tong-san, ditemani sebuah khim.Para pemimpin sejati tidak diciptakan, dimunculkan, dipilih, atau diperjuangkan.Mereka dilahirkan.Oleh sebab itu, sungguh dungu dan tolol, jika ada orang yang merasa dirinya pantas menjadi pemimpin. Mengajukan dirinya untuk dipilih sebagai pemimpin. Karena pemimpin sejati itu datang, di saat dunia begitu membutuhkan kehadirannya.Kau mungkin saja ditakdirkan lahir sebagai kaisar, tapi belum tentu sebagai pemimpin. Karena kaisar hanyalah jabatan, sedangkan pemimpin adalah anugerah.Anugerah yang datang dari langit kepada manusia.Kaisar berganti setiap masa. Tapi
Si kakek hanya diam. Karena kadang-kadang diam berarti mengiyakan.“Sesungguhnya tidak ada satu hal pun yang sanggup membuktikan ketidakbersalahan boanpwe. Tetapi jika Cianpwe memang ingin membunuh boanpwe, baiklah. Harap perhatikan serangan.”Dengan ranting kayu, ia menyerang pundak kakek tua itu tiga kali. Tapi serangan itu sungguh aneh. Tidak ada sesuatu pun di dalam serangan itu. Hanya 3 kali sentuhan ke pundak kakek itu. Sentuhan yang sopan dan halus.“Nah. Jika hari ini boanpwe mati, boanpwe hanya memohon agar Cianpwe mengusut siapa yang benar-benar bertanggung jawab di balik semua kejadian ini, lantas menghukumnya. Di dunia ini, mungkin hanya Cianpwe yang pantas melakukannya.”Selesai berkata begitu, ia berpaling kepada Ang Lin Hua dan tersenyum.“Aku pergi duluan.”Ang Lin Hua hanya bisa berdiri menatapnya dan meneteskan air mata.Cio San lalu lalu kembali menghadap si kakek dan berkata,“Silahkan, Cianpwe.”Ia duduk berlutut dan kepalanya menengadah sambil tersenyum. Saat ini
Hari ke dua puluh dalam pelarian mereka. Kedua orang ini telah sampai di Santung. Sebuah provinsi di ujung timur Tionggoan. Daerah ini adalah daerah yang unik, karena selain memiliki pantai yang indah, juga memiliki pegunungan yang menakjubkan.Gunung Thay San pun berada di sana.Sebuah gunung yang disucikan, memiliki banyak cerita dan kenangan sejarah.Bahkan di dunia Kang Ouw pun, nama Thay San ini diabadikan. Orang yang dikagumi dan dianggap sebagai manusia utama, disebut Thay San Pek Tauw. Thay San berarti gunung Thay San, Pek Tauw berarti bintang utara.Di jamannya, hanya Thio Sam Hong yang mendapat sebutan ini, karena ketinggian ilmunya, kedalaman pengetahuannya, dan kehalusan budi pekertinya. Selain beliau, belum ada seorang pun yang pantas disebut Thay San Pek Tauw di jaman ini.Apakah ini sebabnya setiap 10 tahun sekali terjadi adu-tanding memperebutkan posisi Bu Lim Bengcu di atas puncak gunung Thay San? Agar pemenangnya pantas disebut Thay San Pek Tauw?Cio San memandang ja
Tongkat itu lengket di kepala Cio San. Si kakek tua itu terkaget-kaget ketika tidak bisa memecahkan batok kepala Cio San, dan juga tidak bisa menarik kembali tongkatnya.“Locianpwe, jangan kerahkan lweekang (tenaga dalam). Atau nanti tenaga Locianpwe terhisap,” kata Cio San.Si kakek menurut saja, karena ia merasa tenaga dalamnya mulai tersedot.Biasanya, ilmu Menghisap Matahari hanya akan menyedot habis tenaga musuh, sampai musuh itu menjadi arang. Atau, jika pemilik ilmu Menghisap Matahari menghentikan serangannya. Tetapi jika musuh tetap berusaha menyalurkan tenaga untuk menyerang, maka ilmu Menghisap Matahari akan terus-menerus menyedot tenaganya.Cio San berhasil ‘menjinakkan’ ilmu Menghisap Matahari itu dengan Thay Kek Kun. Ia berhasil menggabungkan kedua ilmu dahsyat itu. Ilmu Menghisap Matahari menjadi lebih lembut, lebih ‘manusiawi’. Tapi justru menjadi lebih mudah digunakan.Dengan menggabungkan Thay Kek Kun dengan ilmu Menghisap Matahari, kedua ilmu itu memang berkurang ked
“Benar.”“Hebat sekali. Boanpwe bahkan tidak sanggup menghindar.”“Tapi dengan ilmu Pangcu, bukankah tidak perlu menghindar?”“Haha... Boanpwe hanya beruntung.”“Beruntung?”“Benar, Locianpwe. Karena bingung, boanpwe secara tidak sengaja melancarkan Thay Kek Kun dan ilmu Menghisap Matahari sekaligus. Kedua ilmu ini memang dasarnya adalah ilmu bertahan, bukan ilmu menyerang. Eh tahu-tahunya, tenaga kedua ilmu saling berlawanan tapi juga saling melengkapi, hingga terjadilah hal seperti tadi.”“Bagaimana jika Pangcu hanya melancarkan salah satunya saja?”“Jika menggunakan Thay Kek Kun, tenaga dalam Locianpwe mungkin tidak akan terhisap, tapi akan kembali kepada diri sendiri. Jika hanya pakai ilmu Menghisap Matahari saja, tenaga Locianpwe akan terhisap seluruhnya, dan tubuh Locianpwe akan hangus terbakar.”“Bukankah dengan menggabungkan kedua ilmu itu, seharusnya kekuatannya menjadi lebih dahsyat lagi?” tanya si kakek.“Malah sebaliknya, Locianpwe. Ilmu Menghisap Matahari dan Thay Kek Kun
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge