Beranda / Rumah Tangga / Kisah Kehidupan Istri CEO / Peringatan Dari Masa Lalu

Share

Peringatan Dari Masa Lalu

Penulis: Zayn Aurel
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 18:41:50

Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya.

"Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."

Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.

Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?

Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.

Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.

Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.

Tok. Tok.

Jantung Nayla berdegup lebih cepat.

Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.

Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah.

"Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.

Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."

Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangguk dan membuka pintu lebih lebar, membiarkan Revan masuk.

Revan melangkah masuk, berdiri di tengah ruangan, tampak sedikit ragu sebelum akhirnya berbicara.

"Nayla… aku tahu aku bukan suami yang baik," katanya pelan. "Aku tahu aku sering membuatmu marah dan kecewa. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah berniat menyakitimu."

Nayla tetap diam, membiarkan Revan melanjutkan.

"Awalnya, aku memang menganggap pernikahan ini hanya sebagai kesepakatan," lanjutnya. "Tapi semakin lama, aku menyadari bahwa aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh."

Jantung Nayla mencelos.

"Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.

Revan menatapnya dalam, lalu berkata, "Aku tidak tahu sejak kapan, tapi aku mulai peduli padamu, Nayla."

Nayla menatapnya dengan mata melebar.

Hening sejenak.

Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

Bagaimana mungkin Revan yang selama ini bersikap dingin dan menjaga jarak tiba-tiba mengatakan hal seperti ini?

"Jangan bercanda, Revan," kata Nayla akhirnya, suaranya terdengar ragu.

"Aku tidak bercanda." Revan melangkah lebih dekat. "Aku serius."

Nayla mundur selangkah, mencoba mencernanya.

"Kalau memang begitu, kenapa kau selalu bersikap seolah aku ini tidak penting?" tanyanya, suaranya bergetar.

Revan menundukkan kepalanya, seolah berusaha menemukan jawaban yang tepat.

"Aku takut," katanya akhirnya.

"Takut?"

"Takut kehilangan kendali," jawabnya. "Takut bahwa jika aku benar-benar jatuh cinta padamu, aku akan kehilangan segalanya."

Nayla menatapnya dengan mata berkabut.

Ia bisa merasakan ketulusan di dalam kata-kata Revan, tetapi hatinya masih ragu.

"Beri aku waktu," kata Revan akhirnya. "Aku ingin membuktikan bahwa aku serius. Bahwa aku benar-benar ingin mempertahankan pernikahan ini… bukan hanya karena kontrak."

Nayla terdiam.

Di satu sisi, ia ingin mempercayai Revan.

Tetapi di sisi lain, ia masih takut terluka.

"Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Revan," katanya pelan. "Tapi… aku akan melihat apakah kau benar-benar serius."

Revan mengangguk, seolah itu sudah cukup untuknya.

"Terima kasih," katanya singkat.

Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Nayla yang masih berdiri di tempat, dengan hatinya yang mulai berdebar dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Nayla masih berdiri di tempatnya, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi.

Revan… serius?

Selama ini, pria itu selalu menjaga jarak. Bersikap dingin dan sulit ditebak. Tapi malam ini, ia menunjukkan sisi yang berbeda—sisi yang selama ini Nayla pikir tidak pernah ada.

Dengan napas berat, ia berjalan ke tempat tidurnya dan duduk. Tangannya menggenggam seprai erat, mencoba mengendalikan perasaannya.

Apakah mungkin… dirinya juga mulai merasakan sesuatu untuk Revan?

Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Pernikahan ini adalah kesepakatan bisnis. Tidak lebih.

Tapi mengapa ada bagian dalam hatinya yang merasa hangat ketika mendengar kata-kata Revan tadi?

Ia menghela napas dalam, lalu merebahkan diri.

Esok hari, semuanya mungkin akan terasa berbeda.

Tapi satu hal yang pasti… mulai saat ini, hubungannya dengan Revan tidak akan pernah sama lagi.

---

Keesokan paginya, Nayla terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menerangi ruangan dengan lembut.

Ia melirik jam di meja sebelah tempat tidur—pukul tujuh pagi.

Biasanya, ia akan mendengar suara langkah kaki Revan di luar, atau suara percakapan pelayan yang sedang menyiapkan sarapan.

Tapi kali ini, suasana terasa lebih hening.

Dengan sedikit rasa penasaran, Nayla bangkit dan berjalan keluar dari kamar.

Begitu ia sampai di ruang makan, ia terkejut melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Revan… sedang memasak.

Pria itu berdiri di dapur dengan lengan baju tergulung, wajahnya serius saat mengaduk sesuatu di wajan.

Nayla hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Revan Adrian, CEO arogan yang selalu tampak dingin dan sempurna, sedang berusaha membuat sarapan?

Untuk siapa?

Revan yang menyadari kehadiran Nayla segera menoleh dan menatapnya dengan ekspresi datar, seolah tidak ada yang aneh dengan apa yang ia lakukan.

"Kau sudah bangun?" tanyanya santai.

Nayla masih diam, mencoba memahami situasi ini.

"Apa… yang sedang kau lakukan?"

Revan mengangkat bahu. "Memasak."

"Kau bisa masak?" Nayla mengangkat alis, masih ragu.

Revan terkekeh kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan. "Tidak juga. Aku hanya mencoba."

Nayla berjalan mendekat, mencium aroma makanan yang mulai tercium dari wajan.

Omelet.

Bentuknya tidak sempurna, bahkan sedikit gosong di beberapa bagian, tapi tetap saja, usaha Revan ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia duga.

"Kau melakukan ini… untuk apa?" tanyanya hati-hati.

Revan menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan nada ringan, "Untuk istriku, tentu saja."

Jantung Nayla tiba-tiba berdebar lebih kencang.

Pria itu mungkin mengatakannya dengan santai, tetapi kata-kata itu memiliki dampak yang besar bagi dirinya.

Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah di wajahnya.

Tanpa sadar, perasaannya terhadap Revan mulai berubah.

Dan itu… adalah sesuatu yang lebih berbahaya daripada apa pun

Nayla masih menatap punggung Revan yang sibuk menyiapkan sarapan. Perasaan aneh mulai menggelitik hatinya. Sejak kapan pria itu mau repot-repot melakukan hal seperti ini?

Biasanya, Revan adalah tipe pria yang hanya akan menyentuh dapur jika ingin mengambil kopi. Tapi sekarang? Ia berdiri di sana, berusaha membuat sarapan dengan wajah serius seolah ini adalah proyek besar yang sedang ia kerjakan.

“Duduklah,” kata Revan tiba-tiba, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Aku akan menyiapkan piring.”

Nayla masih diam, ragu-ragu apakah ia harus menurutinya atau tidak. Tapi akhirnya, ia berjalan ke meja makan dan duduk di kursi berhadapan dengan tempat yang biasanya diduduki Revan.

Tak lama, Revan datang dengan dua piring di tangannya, lalu meletakkannya di atas meja.

Nayla menatap omelet di hadapannya. Warnanya agak kecokelatan, sedikit tidak rata, tetapi tetap terlihat bisa dimakan.

Revan duduk di depannya dan menatapnya. “Coba.”

Nayla mengangkat alis. “Apa kau yakin ini aman dimakan?”

Revan mendecak, tampak sedikit tersinggung. “Tentu saja. Aku tidak akan meracunimu.”

Nayla terkekeh pelan, lalu mengambil garpu dan menusukkan sedikit omelet ke dalam mulutnya.

Begitu makanan itu menyentuh lidahnya, ia terdiam.

Rasanya… aneh.

Ada sedikit rasa gosong di tepinya, tetapi juga terlalu banyak garam di beberapa bagian.

Revan memperhatikannya dengan penuh harap. “Bagaimana?”

Nayla menatapnya, lalu menelan makanannya perlahan. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Tidak buruk.”

Revan mendengus, tampak tidak percaya. “Kau bohong.”

Nayla tersenyum kecil. “Oke, mungkin sedikit terlalu asin dan agak gosong… tapi aku tetap menghargai usahamu.”

Revan menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku tidak tahu memasak bisa sesulit ini.”

Nayla tertawa kecil. “Memasak butuh latihan, Tuan CEO.”

Revan hanya menatapnya dengan mata yang sedikit berbinar. “Mungkin aku akan mencobanya lagi lain kali.”

Nayla tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Revan? Ingin memasak lagi?

Namun sebelum ia bisa menjawab, ponsel Revan yang terletak di atas meja bergetar. Pria itu mengambilnya, lalu melihat layar dengan ekspresi yang berubah serius.

Nayla memperhatikannya dengan cermat. “Ada apa?”

Revan menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon. “Ya?”

Suara di ujung sana terdengar samar, tetapi ekspresi Revan langsung berubah dingin dan tajam.

“Aku akan segera ke kantor,” katanya singkat, lalu menutup telepon dan berdiri.

Nayla tahu ada sesuatu yang terjadi.

“Ada masalah?” tanyanya.

Revan menghela napas panjang, lalu menatapnya. “Ada seseorang yang mencoba menjatuhkan perusahaanku.”

Jantung Nayla berdegup kencang. “Siapa?”

Revan menggeleng. “Aku belum tahu pasti. Tapi seseorang menyabotase proyek besar yang sedang kami jalankan.”

Nayla menggigit bibirnya. Ia mungkin tidak paham banyak tentang dunia bisnis, tetapi ia tahu bahwa ini bukan masalah kecil.

“Aku harus pergi,” kata Revan sambil mengambil jasnya. “Jangan keluar rumah dulu, oke?”

Nayla mengernyit. “Kenapa?”

Revan menatapnya sejenak, lalu berkata, “Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi padamu.”

Setelah mengatakan itu, Revan berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Nayla yang masih duduk di meja makan dengan pikirannya yang penuh.

Ada seseorang yang ingin menjatuhkan Revan?

Siapa?

Dan… mengapa perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak?

Nayla tetap duduk di meja makan, memainkan garpu di tangannya sambil berpikir. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menyelimutinya sejak Revan pergi.

Siapa yang berani mencoba menjatuhkan perusahaan Revan?

Selama ini, ia tahu bahwa dunia bisnis penuh dengan intrik dan persaingan, tetapi ia tidak menyangka bahwa ada orang yang cukup nekat untuk mencoba menghancurkan perusahaan sebesar milik Revan.

Hatinya sedikit gelisah.

Tanpa sadar, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan.

Nayla: Hati-hati di luar.

Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, ragu apakah harus mengirimnya atau tidak. Akhirnya, dengan sedikit enggan, ia menekan tombol kirim.

Tak lama, ponselnya bergetar.

Revan: Aku selalu hati-hati. Jangan pikirkan ini terlalu dalam.

Nayla mendesah pelan. Ia tahu Revan mencoba meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi instingnya mengatakan bahwa masalah ini lebih besar dari yang terlihat.

Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berjalan ke ruang tamu. Saat itu, pintu diketuk.

Nayla mengerutkan kening.

Siapa yang datang sepagi ini?

Dengan hati-hati, ia berjalan ke pintu dan mengintip melalui lubang kecil.

Seorang wanita berdiri di depan pintu, mengenakan gaun mahal dan kacamata hitam besar. Rambutnya tertata rapi, dan meskipun Nayla tidak mengenalnya, ada sesuatu yang membuatnya merinding.

Ia ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pintu.

Wanita itu menurunkan kacamatanya dan menatapnya dengan tajam.

“Kau pasti Nayla,” katanya dengan suara lembut, tetapi ada nada licik yang tersembunyi di dalamnya.

Nayla menelan ludah. “Ya. Anda siapa?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Aku Liana. Mantan tunangan Revan.”

Jantung Nayla mencelos.

Mantan tunangan?

Mengapa wanita ini ada di sini?

Nayla berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Ada keperluan apa Anda datang ke sini?”

Liana tertawa kecil. “Langsung ke intinya, ya? Aku suka itu.” Ia mendekat sedikit, menatap Nayla dengan penuh penilaian. “Aku hanya ingin melihat seperti apa wanita yang berhasil menikahi Revan.”

Nayla tidak menyukai cara wanita itu menatapnya—seolah-olah dirinya hanyalah seseorang yang tidak seharusnya berada di sisi Revan.

“Aku tidak tahu kenapa Anda ingin tahu soal itu,” kata Nayla hati-hati.

Liana menyandarkan tubuhnya ke pintu, ekspresinya penuh ejekan. “Karena aku ingin memastikan sesuatu.”

Nayla tetap diam, menunggu wanita itu melanjutkan.

Liana tersenyum tipis. “Aku ingin tahu berapa lama kau bisa bertahan dalam pernikahan ini.”

Nayla menegang. “Apa maksud Anda?”

Liana menatapnya dengan sinis. “Revan bukan pria yang mudah dicintai. Aku sudah bertahun-tahun bersamanya, dan aku tahu betul betapa dinginnya dia. Kau mungkin merasa semuanya baik-baik saja sekarang, tetapi percaya padaku… pada akhirnya, kau hanya akan menjadi seseorang yang dia tinggalkan.”

Kata-kata itu menusuk Nayla lebih dalam dari yang ia duga.

Tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan wanita ini.

Ia menatap Liana dengan mata tajam. “Terima kasih atas peringatannya, tapi aku tidak membutuhkan nasihat dari seseorang yang sudah menjadi masa lalu.”

Liana terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Kau cukup berani.”

Ia mengeluarkan kartu nama dari dalam tasnya dan menyodorkannya kepada Nayla.

“Kalau kau butuh seseorang untuk bicara ketika akhirnya menyadari bahwa Revan bukan pria yang bisa kau pertahankan, hubungi aku.”

Nayla tidak mengambilnya. Ia hanya menatap wanita itu dengan dingin.

Liana menghela napas, lalu menyimpan kembali kartu namanya. “Baiklah, kalau begitu. Aku akan pergi. Tapi ingat kata-kataku, Nayla.”

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Nayla yang masih berdiri di depan pintu dengan hati yang mulai dipenuhi keraguan.

Benarkah?

Apakah Revan akan meninggalkannya suatu hari nanti?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Batasan yang Tak Terucap

    Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-13
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Retakan pernikahan

    Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Kebenaran yang Tersembunyi

    Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Rahasia yang Terungkap

    Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Rasa yang Terkunci

    Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Pernikahan Tanpa Cinta

    Langit Surabaya mendung, seolah menggambarkan suasana hati Nayla Azzahra yang dipaksa mengenakan gaun pengantin putih hari ini. Tangannya terasa dingin saat ia duduk di depan cermin besar, wajahnya tampak pucat meski telah dipoles dengan riasan sempurna. Hari ini seharusnya menjadi momen bahagia bagi seorang wanita, tetapi tidak baginya. Pernikahan ini bukanlah impiannya, melainkan sebuah paksaaan. "Nayla, sudah siap?" Suara lembut ibunya, Bu Rina, membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, matanya berkaca-kaca. "Bu... apa tidak ada cara lain?" Bu Rina menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Nak, ini satu-satunya cara agar kita bisa menyelamatkan keluarga kita. Kamu tahu sendiri, hutang ayahmu terlalu besar..." Nayla memejamkan mata, menahan air mata yang hampir jatuh. Semua ini demi keluarganya. Demi ayahnya yang tengah sakit dan bisnis keluarganya yang di ambang kehancuran.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Istri Tanpa Hak

    Nayla membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar megah tempatnya tinggal sejak hari pernikahan. Hari keempat sebagai istri Revan Adrian. Namun, sebutan ‘istri’ terasa begitu asing baginya. Tidak ada momen manis, tidak ada pagi penuh kasih sayang seperti yang sering ia lihat dalam drama romantis. Yang ada hanyalah kesepian dan jarak yang tak terlihat. Ia duduk di tepi ranjang, merasakan keheningan yang menyesakkan. Selama beberapa hari terakhir, Revan hampir tidak pernah pulang. Jika pun pria itu pulang, hanya sebentar dan langsung mengurung diri di kamar pribadinya. Ya, kamar pribadinya. Seperti yang ia duga, mereka tidak tidur di ruangan yang sama. Nayla diberi kamar terpisah di lantai dua, sementara kamar utama tetap menjadi milik Revan seorang. Hal itu jelas menunjukkan posisinya dalam pernikahan ini—sekadar formalitas, tidak lebih. Nayla menghela napas panjang. Ia tidak berharap banyak, tapi tetap saja, ada perasaan sak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Jarak yang Semakin Nyata

    Nayla menatap pintu depan yang baru saja tertutup setelah Revan masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya terasa berat saat ia beranjak dari taman belakang, mendekati ruang tamu tempat pria itu berdiri sambil melepas jas hitamnya. Revan tampak lelah, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi, seolah kehadiran Nayla tidak ada artinya. "Aku ingin bicara," Nayla akhirnya membuka suara. Revan meliriknya sekilas, lalu berjalan ke arah meja, menuangkan segelas air putih. Sikapnya seolah tidak tertarik. “Aku lelah,” katanya singkat sebelum Nayla sempat melanjutkan. Nayla mengepalkan tangannya. "Aku hanya butuh beberapa menit." Revan meletakkan gelasnya, menatapnya dalam-dalam. Mata tajam itu seperti tembok yang sulit ditembus. "Baiklah," katanya akhirnya. "Bicara cepat." Nayla menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Tadi aku bertemu Tara.” Rahang Revan mengencang, tapi ekspresinya tetap terkontrol. “Lalu?” “Dia bilang… pernikahan kita hanya sementara.” Revan menghela napas, menoleh

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07

Bab terbaru

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Rasa yang Terkunci

    Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Rahasia yang Terungkap

    Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Kebenaran yang Tersembunyi

    Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Retakan pernikahan

    Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Batasan yang Tak Terucap

    Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Peringatan Dari Masa Lalu

    Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.Tok. Tok.Jantung Nayla berdegup lebih cepat.Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah."Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangg

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Getaran yang Kian Menguat

    Langkah Revan cepat dan penuh ketegangan saat ia menarik tangan Nayla, memaksanya keluar dari kafe. Nayla mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Revan begitu kuat. "Revan, lepaskan!" protesnya. Pria itu tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobil yang diparkir di depan. Ryan tidak mengejar. Hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah ingin melihat sejauh mana Revan akan bertindak. Begitu sampai di mobil, Revan membuka pintu dan mendorong Nayla masuk dengan lembut. Tanpa kata, ia berjalan ke sisi lain dan masuk, menyalakan mesin, lalu menginjak gas dengan cukup kencang. Suasana di dalam mobil penuh dengan ketegangan. Nayla mendekap kedua tangannya di dada, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai memanas. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya akhirnya. Revan tetap fokus pada jalan, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. "Aku membawamu pulang." "Aku bisa pulang sendiri! Kau tidak perlu menyeretku seperti ini!" Revan tertawa sinis,

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Rasa yang Tak Terduga

    Hari-hari setelah pertemuan dengan Ryan terasa aneh bagi Nayla. Revan semakin sering pulang larut, dan ketika di rumah pun, ia lebih banyak diam. Sikapnya berubah. Dulu, pria itu memang dingin, tapi setidaknya masih mau berbicara seperlunya. Sekarang? Seakan ada tembok tebal di antara mereka. Dan yang lebih mengganggu Nayla adalah fakta bahwa… dia mulai memikirkannya. Setiap kali mendengar pintu rumah terbuka, ia berharap itu Revan. Setiap kali makan malam sendirian, ia bertanya-tanya apakah pria itu sudah makan. Dan setiap kali melihat ponselnya, ia ingin mengirim pesan… tapi menahannya. "Kenapa aku jadi begini?" batinnya frustasi. Ia tidak seharusnya mengkhawatirkan Revan. Tidak seharusnya berharap lebih. Karena pada akhirnya, pernikahan ini tetap hanya kontrak. Di sisi lain, Revan juga merasa ada yang berubah dalam dirinya. Biasanya, setelah bekerja, ia akan langsung pulang tanpa banyak berpikir. Tapi kini, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri di

  • Kisah Kehidupan Istri CEO   Badai yang Mulai Datang

    Malam itu, setelah keheningan panjang yang menyakitkan, Nayla memutuskan untuk tetap berada di rumah. Bukan karena takut pada Revan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah begitu saja. Tapi tetap saja, ada batas yang tak terlihat di antara mereka. Sejak percakapan terakhir mereka, Revan memilih menjaga jarak. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja, menghindari interaksi yang tak perlu. Nayla sendiri sudah lelah menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah datang. Hingga akhirnya, badai sesungguhnya mulai datang ke dalam kehidupan mereka. Suatu pagi, ketika Nayla sedang menikmati sarapannya di meja makan, Revan tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. “Aku akan mengadakan jamuan makan malam akhir pekan ini,” katanya tanpa basa-basi. Nayla mengangkat alis. “Jamuan makan malam?” Revan mengangguk. “Para investor akan datang. Aku ingin kau hadir.” Nayla mengerutkan kening. Selama ini, Revan tidak pernah melibatkannya dalam urusan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status