Langkah Revan cepat dan penuh ketegangan saat ia menarik tangan Nayla, memaksanya keluar dari kafe.
Nayla mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Revan begitu kuat. "Revan, lepaskan!" protesnya. Pria itu tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobil yang diparkir di depan. Ryan tidak mengejar. Hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah ingin melihat sejauh mana Revan akan bertindak. Begitu sampai di mobil, Revan membuka pintu dan mendorong Nayla masuk dengan lembut. Tanpa kata, ia berjalan ke sisi lain dan masuk, menyalakan mesin, lalu menginjak gas dengan cukup kencang. Suasana di dalam mobil penuh dengan ketegangan. Nayla mendekap kedua tangannya di dada, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai memanas. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya akhirnya. Revan tetap fokus pada jalan, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. "Aku membawamu pulang." "Aku bisa pulang sendiri! Kau tidak perlu menyeretku seperti ini!" Revan tertawa sinis, tapi tatapannya tetap lurus ke depan. "Oh, jadi sekarang kau nyaman bertemu dengan pria lain di belakangku?" Nayla terkejut. "Apa maksudmu?" "Jangan pura-pura tidak tahu, Nayla." Suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Aku melihat bagaimana dia menatapmu. Itu bukan sekadar teman lama yang hanya ingin mengobrol." Nayla terdiam sejenak sebelum akhirnya mendesah panjang. "Kau tidak punya hak untuk cemburu, Revan," ucapnya pelan. "Kita hanya terikat kontrak. Tidak ada yang lebih dari itu." Mobil mendadak berhenti mendadak di tepi jalan. Revan mengencangkan cengkeraman pada setir, matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Nayla pahami. "Cemburu?" tanyanya, kali ini dengan suara lebih tenang, tapi berbahaya. "Siapa yang bilang aku cemburu?" Nayla menggigit bibirnya. Ia juga tidak tahu kenapa kata itu keluar begitu saja. "Jika aku peduli padamu lebih dari sekadar kontrak," lanjut Revan dengan suara lebih rendah, "apa yang akan kau lakukan?" Nayla menahan napasnya. Jantungnya berdegup begitu kencang. Tidak mungkin. Tidak mungkin Revan benar-benar… "Kau tidak serius," katanya akhirnya, mencoba menahan suaranya agar tetap stabil. Revan menyipitkan matanya, lalu tiba-tiba mendekat ke arahnya. Jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Nayla bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya. "Apa menurutmu aku hanya bermain-main?" Matanya mengunci tatapan Nayla, seolah menantang wanita itu untuk menjawab. Tapi Nayla tidak bisa. Ia benar-benar tidak bisa. Karena jauh di dalam hatinya, ia mulai takut… bahwa dirinya benar-benar menginginkan hal yang sama. Nayla merasa dunianya berhenti sesaat. Jarak antara mereka terlalu dekat, begitu dekat hingga ia bisa mencium aroma khas Revan—campuran maskulin yang tajam dan sedikit aroma kayu cendana. Ia menelan ludah, mencoba mencari kata-kata, tapi pikirannya kosong. Revan tidak bergerak, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Aku…" Nayla akhirnya bersuara, meskipun suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang kau inginkan, Revan." Revan mendengus pelan, lalu menarik diri, kembali bersandar di kursinya. "Aku juga tidak tahu," jawabnya akhirnya. Jawaban itu membuat Nayla semakin bingung. "Kalau begitu, jangan bersikap seolah kau tahu apa yang terbaik untukku," lanjutnya dengan suara yang sedikit gemetar. Revan menghela napas panjang, lalu menyalakan mesin mobil lagi. "Aku hanya tidak suka melihatmu bersama pria itu," katanya datar. "Kau tidak suka melihatku dengan Ryan?" Nayla mengulang perkataan itu dengan nada tak percaya. "Kau sadar betapa egoisnya itu?" Revan tidak menjawab, hanya tetap fokus menyetir. "Revan, aku punya kehidupan sendiri," lanjut Nayla. "Dan kau tidak bisa mengontrol siapa yang boleh atau tidak boleh kutemui." Kali ini, Revan meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Aku tidak mencoba mengontrolmu," katanya akhirnya. "Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka." Nayla terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Revan yang membuatnya sulit untuk membantah. Namun sebelum ia bisa membalas, Revan sudah mengalihkan pembicaraan. "Kita pulang," katanya singkat. "Sudah cukup drama untuk hari ini." Nayla menghela napas dan memilih untuk tidak membantah. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu—percakapan ini belum selesai. Mobil melaju dengan kecepatan stabil menuju rumah mereka, tapi atmosfer di dalamnya tetap penuh ketegangan. Nayla bersandar di kursinya, menatap ke luar jendela, mencoba mengabaikan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia masih belum bisa memahami sikap Revan. Pria itu jelas menunjukkan tanda-tanda cemburu, tapi di saat yang sama, ia tetap berusaha menyangkalnya. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya? Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah. Begitu mobil berhenti, Nayla segera membuka pintu dan keluar tanpa menunggu Revan. Ia tidak ingin berbicara lebih lama dengannya malam ini. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Revan terdengar dari belakangnya. "Nayla." Ia memejamkan mata, menghembuskan napas perlahan sebelum berbalik. "Apa lagi?" tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya masih berdebar. Revan berjalan mendekatinya, menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku tahu aku bukan suami yang baik," katanya. "Aku tahu kita menikah karena kontrak. Tapi setidaknya, bisakah kau tidak membuatku merasa seperti orang asing?" Nayla membelalakkan mata. Ia tidak menyangka Revan akan mengatakan itu. Orang asing? Bagaimana bisa Revan merasa seperti itu? "Kau yang selalu menjaga jarak," balas Nayla, suaranya lebih lembut kali ini. "Aku tidak pernah menutup diri darimu, Revan. Kau yang memilih untuk menjadikan pernikahan ini sebatas kontrak." Revan menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku hanya tidak ingin membuat segalanya lebih sulit," katanya pelan. Nayla menatapnya dalam diam. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Revan. Namun, ia tidak ingin memaksanya untuk bicara. "Kalau begitu," katanya akhirnya, "jangan bersikap seperti ini lagi. Jangan bertingkah seolah kau punya hak untuk menentukan siapa yang boleh dekat denganku atau tidak." Revan tidak segera menjawab, hanya menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Baik," katanya singkat, lalu berjalan melewatinya masuk ke dalam rumah. Nayla tetap berdiri di tempatnya, menghela napas panjang. Entah kenapa, perasaan kosong mulai menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu apakah ia senang dengan jawaban Revan… atau justru kecewa. Nayla menghela napas panjang sebelum akhirnya mengikuti langkah Revan ke dalam rumah. Begitu masuk, ia melihat pria itu sudah melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Ia tampak lelah, tapi di balik wajah dinginnya, ada sesuatu yang membuat Nayla merasa ada banyak hal yang dipendamnya. Tanpa berkata apa-apa, Nayla berjalan ke dapur, mengambil segelas air, lalu meneguknya perlahan. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Ketika ia kembali ke ruang tamu, Revan masih berdiri di sana, menatap ke luar jendela dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku akan tidur dulu," kata Nayla akhirnya, mencoba memecah kesunyian. Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, suara Revan menghentikannya. "Nayla," panggilnya pelan. Nayla berhenti, menolehkan kepalanya. "Apa?" Revan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berbalik, menatapnya dengan mata yang lebih lembut dari sebelumnya. "Aku hanya ingin kau tahu… aku tidak bermaksud membuatmu kesal tadi." Nayla menatapnya, mencoba mencari kesungguhan di dalam matanya. Sejenak, ia ragu apakah Revan benar-benar tulus atau hanya mencoba menenangkan keadaan. Namun, ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah. "Aku tahu," jawabnya singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju kamar. Tapi sebelum ia sempat mencapai pintu, suara Revan terdengar lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Aku hanya tidak ingin kehilanganmu." Langkah Nayla terhenti. Jantungnya berdebar lebih kencang. Ia ingin berbalik dan meminta Revan mengulangi kata-katanya, tapi ia tidak berani. Ia takut jika ia menatapnya sekarang, ia akan mulai menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya ia harapkan dari pernikahan ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nayla membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Ia bersandar pada pintu, menutup matanya, mencoba memahami perasaan yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Mungkin, hanya mungkin… Pernikahan ini bukan sekadar kontrak lagi.Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.Tok. Tok.Jantung Nayla berdegup lebih cepat.Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah."Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangg
Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Langit Surabaya mendung, seolah menggambarkan suasana hati Nayla Azzahra yang dipaksa mengenakan gaun pengantin putih hari ini. Tangannya terasa dingin saat ia duduk di depan cermin besar, wajahnya tampak pucat meski telah dipoles dengan riasan sempurna. Hari ini seharusnya menjadi momen bahagia bagi seorang wanita, tetapi tidak baginya. Pernikahan ini bukanlah impiannya, melainkan sebuah paksaaan. "Nayla, sudah siap?" Suara lembut ibunya, Bu Rina, membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, matanya berkaca-kaca. "Bu... apa tidak ada cara lain?" Bu Rina menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Nak, ini satu-satunya cara agar kita bisa menyelamatkan keluarga kita. Kamu tahu sendiri, hutang ayahmu terlalu besar..." Nayla memejamkan mata, menahan air mata yang hampir jatuh. Semua ini demi keluarganya. Demi ayahnya yang tengah sakit dan bisnis keluarganya yang di ambang kehancuran.
Nayla membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar megah tempatnya tinggal sejak hari pernikahan. Hari keempat sebagai istri Revan Adrian. Namun, sebutan ‘istri’ terasa begitu asing baginya. Tidak ada momen manis, tidak ada pagi penuh kasih sayang seperti yang sering ia lihat dalam drama romantis. Yang ada hanyalah kesepian dan jarak yang tak terlihat. Ia duduk di tepi ranjang, merasakan keheningan yang menyesakkan. Selama beberapa hari terakhir, Revan hampir tidak pernah pulang. Jika pun pria itu pulang, hanya sebentar dan langsung mengurung diri di kamar pribadinya. Ya, kamar pribadinya. Seperti yang ia duga, mereka tidak tidur di ruangan yang sama. Nayla diberi kamar terpisah di lantai dua, sementara kamar utama tetap menjadi milik Revan seorang. Hal itu jelas menunjukkan posisinya dalam pernikahan ini—sekadar formalitas, tidak lebih. Nayla menghela napas panjang. Ia tidak berharap banyak, tapi tetap saja, ada perasaan sak
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m
Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini
Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.Tok. Tok.Jantung Nayla berdegup lebih cepat.Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah."Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangg
Langkah Revan cepat dan penuh ketegangan saat ia menarik tangan Nayla, memaksanya keluar dari kafe. Nayla mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Revan begitu kuat. "Revan, lepaskan!" protesnya. Pria itu tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobil yang diparkir di depan. Ryan tidak mengejar. Hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah ingin melihat sejauh mana Revan akan bertindak. Begitu sampai di mobil, Revan membuka pintu dan mendorong Nayla masuk dengan lembut. Tanpa kata, ia berjalan ke sisi lain dan masuk, menyalakan mesin, lalu menginjak gas dengan cukup kencang. Suasana di dalam mobil penuh dengan ketegangan. Nayla mendekap kedua tangannya di dada, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai memanas. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya akhirnya. Revan tetap fokus pada jalan, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. "Aku membawamu pulang." "Aku bisa pulang sendiri! Kau tidak perlu menyeretku seperti ini!" Revan tertawa sinis,
Hari-hari setelah pertemuan dengan Ryan terasa aneh bagi Nayla. Revan semakin sering pulang larut, dan ketika di rumah pun, ia lebih banyak diam. Sikapnya berubah. Dulu, pria itu memang dingin, tapi setidaknya masih mau berbicara seperlunya. Sekarang? Seakan ada tembok tebal di antara mereka. Dan yang lebih mengganggu Nayla adalah fakta bahwa… dia mulai memikirkannya. Setiap kali mendengar pintu rumah terbuka, ia berharap itu Revan. Setiap kali makan malam sendirian, ia bertanya-tanya apakah pria itu sudah makan. Dan setiap kali melihat ponselnya, ia ingin mengirim pesan… tapi menahannya. "Kenapa aku jadi begini?" batinnya frustasi. Ia tidak seharusnya mengkhawatirkan Revan. Tidak seharusnya berharap lebih. Karena pada akhirnya, pernikahan ini tetap hanya kontrak. Di sisi lain, Revan juga merasa ada yang berubah dalam dirinya. Biasanya, setelah bekerja, ia akan langsung pulang tanpa banyak berpikir. Tapi kini, ia lebih memilih untuk menyibukkan diri di
Malam itu, setelah keheningan panjang yang menyakitkan, Nayla memutuskan untuk tetap berada di rumah. Bukan karena takut pada Revan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah begitu saja. Tapi tetap saja, ada batas yang tak terlihat di antara mereka. Sejak percakapan terakhir mereka, Revan memilih menjaga jarak. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja, menghindari interaksi yang tak perlu. Nayla sendiri sudah lelah menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah datang. Hingga akhirnya, badai sesungguhnya mulai datang ke dalam kehidupan mereka. Suatu pagi, ketika Nayla sedang menikmati sarapannya di meja makan, Revan tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. “Aku akan mengadakan jamuan makan malam akhir pekan ini,” katanya tanpa basa-basi. Nayla mengangkat alis. “Jamuan makan malam?” Revan mengangguk. “Para investor akan datang. Aku ingin kau hadir.” Nayla mengerutkan kening. Selama ini, Revan tidak pernah melibatkannya dalam urusan