Pagi itu Juan bangun dengan suasana hati kelabu. Wajahnya terlihat mendung dan diliputi kesedihan. Bagaimana tidak, toko musik yang sangat berharga baginya terbakar habis dalam sekejap.
Dengan gontai Juan melangkah menuju dapur, disana sudah ada Bu Maurice yang tengah berkutat didepan kompor membuat sarapan pagi. Pemuda itu mengambil kursi dan duduk dimeja makan. Pandangan matanya kosong.
Bu Maurice yang melihat Juan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia juga tidak tahu harus bagaimana menghibur pemuda itu. Sebab ia sangat tahu kalau Juan sangat mengasihi toko musiknya. Walaupun ia sendiri sangat tahu kalau toko musik Juan jarang menghasilkan.
Bu Maurice meletakkan sepiring Panini dan secangkir Cappuccino dimeja depan Juan sebagai sarapan. Setelah itu ia mengambil tempat duduk didepan Juan. Dilihatnya wajah Juan yang murung. Wanita tua itupun menghela nafas panjang. Ia juga turut merasakan kesedihan Juan.
"Sayang, ayo kita sarapan dulu. Setelah itu kita ketoko musikmu. Siapa tahu masih ada yang bisa kita ambil disana?" ucap Bu Maurice berusaha menghibur Juan.
Juan tidak menjawab apapun, namun tangannya bergerak meraih cangkir Cappuccino didepannya. Diteguknya perlahan isi dalam cangkir tersebut. Lalu ia mulai menghabiskan Panininya dengan tidak bersemangat. Bu Maurice semakin sedih melihat pemandangan didepannya itu.
Ia belum pernah melihat Juan seperti ini. Biasanya ia sangat riang, mereka tidak pernah melewatkan sarapan tanpa diselingi canda dan gelak tawa. Namun, pagi ini suasananya sangat berbeda.
"Juan! Juan!"
Suara seorang wanita terdengar memanggil nama Juan dari dari luar rumah.
"Juan! Apakah kau didalam?"
Tok! Tok! Tok! Tok!
"Juan! Juan!"
Wanita itu memanggil namanya kembali disertai ketukan dipintu yang sangat intens. Bu Maurice yang merasa cukup terganggu karena sedang sarapan langsung bangkit menuju pintu masuk.
"Siapa pagi-pagi begini sudah sangat berisik sekali!" gumam Bu Maurice kesal.
Ia berjalan dengan terburu-buru. Dibukanya pintu rumah, mengetahui wanita yang berdiri didepan pintu rumahnya adalah Celeste. Kekesalan Bu Maurice semakin menjadi.
"Mau apa kamu kesini, Celeste?!" tanyanya ketus.
Wanita yang bernama Celeste itu terkejut mendengar nada suara Bu Maurice. Biasanya wanita tua itu akan menyambutnya dengan hangat dan penuh senyum. Tapi ini, suaranya terdengar ketus. Wajahnyapun terlihat masam dengan kedua tangan disilangkan didepan dada.
"Ak-aku mencari Juan, apakah ia ada didalam?" tanya Celeste berusaha menghiraukan nada suara Bu Maurice yang ketus.
"Dia tidak ada didalam!" jawab Bu Maurice, lagi-lagi dengan nada ketus.
Celeste tertegun sejenak mendengar jawaban Bu Maurice lalu bertanya, "Apakah ibu tahu kemana Juan pergi?"
"Aku tak tahu kemana ia. Kenapa tidak kau tanyakan kepada kedua orangtuamu saja?! Pergilah! Aku tidak mau Juan kena masalah lagi gara-gara kau!"
Celeste yang melihat Bu Maurice akan menutup pintu rumahnya segera maju dan menahan pintu dengan sebelah tangannya agar tidak menutup.
"Ibu... Ibu... Apa maksudnya? Kenapa ibu bicara seperti itu padaku?" tanya Celeste kebingungan.
"Sudahlah, Celeste. Pergilah!" jawab Bu Maurice masih berusaha menutup pintu.
Juan yang saat itu masih berada didapur mendengar keributan dipintu depan segera beranjak untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Celeste?" ucap Juan pelan.
Celeste dan Bu Maurice yang masih berebut pintu segera berhenti dan sama-sama menoleh kearah Juan. Melihat ada kesempatan, Celeste segera menyeruak masuk mendekati Juan.
Celeste langsung memeluk Juan. Didekapnya erat tubuh kekasihnya itu. Namun Juan hanya terdiam mematung. Bu Maurice sendiri langsung menghela nafas panjang. Ditutupnya pintu depan, iapun segera berlalu dari sana seraya menggelengkan kepala dan memutar bola matanya.
"Celeste," Juan memanggil nama wanita itu pelan.
Dilepaskannya pelukan Celeste dengan lembut. Dilihatnya air mata menetes dari kedua bola mata cantik wanita yang dicintainya itu. Juan mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Juan, apakah kau tak apa-apa?" tanya Celeste setelah melihat luka diwajah kekasihnya itu.
"Apakah masih sakit?" tangannya yang lentik memegang lembut luka lebam dipelipis Juan.
Juan meringis menahan sakit. Namun ia enggan membuat kekasihnya itu khawatir, jadi ia berbohong, "Tidak, aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir, Celeste."
Celeste menurunkan tangannya dari wajah Juan, kepalanya tertunduk. Dengan lirih ia meminta maaf, "Maafkan aku, Juan. Masalah yang menimpamu semuanya karena aku."
Air mata kembali menetes diwajah cantik Celeste. Melihat wanita yang dicintainya seperti itu, Juan tidak tega.
Dipegangnya lembut kedua bahu Celeste dan berkata lembut, "Sayangku, ini bukan karena dirimu. Memang sudah nasibku yang seperti ini."
Mendengar ucapan Juan, Celeste memeluk Juan semakin erat. Tangisannya semakin kencang didada Juan. Celeste tahu sekali jika Juan tidak akan menyalahkannya. Juan terlalu baik. Itulah mengapa ia memilih pemuda itu sebagai kekasihnya. Karena Juan tidak hanya tampan, namun semua sifat baik pria ada pada dirinya.
Kekurangan Juan hanya satu, ia tidak sekaya keluarga Celeste. Dan kedua orangtuanya sangat membenci hal itu. Bagi kedua orangtuanya kekayaan adalah hal utama untuk bisa mendekati anak gadisnya, Celeste.
Mereka akan sangat malu jika orang-orang mengetahui bahwa kekasih putrinya adalah orang miskin yang mengelola toko musik tua kecil dan tidak diketahui asal usulnya. Keluarga Celeste merupakan keluarga yang sangat berpengaruh di kota tua Siracusa.
Ayahnya adalah seorang pengusaha sedangkan ibunya adalah sosialita papan atas. Dikota itu tidak ada yang tidak mengenal suami istri Ferrari.
Sedangkan Celeste, adalah putri pertama mereka yang terkenal diseluruh kota karena kecantikannya. Sehingga pasangan Ferrari sangat protektif serta selektif dalam memilih pasangan untuk anak gadisnya itu.
"Celeste, cukup sayang. Tolong berhentilah menangis. Aku tidak apa-apa," ucap Juan lembut sambil membelai rambut kekasihnya.
Celeste menengadahkan kepalanya lalu berkata, "Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Juan? Tokomu sudah habis terbakar."
Juan tersenyum lembut mendengar pertanyaan Celeste, "Kau tenang saja. Memang tokoku sudah habis terbakar. Namun, masih banyak pekerjaan yang bisa aku lakukan. Aku bisa mencari pekerjaan diluar sana, sayang."
Mendengar jawaban Juan, Celeste hendak melakukan protes. Namun baru saja ia akan membuka mulut, jari telunjuk Juan sudah menempel dibibir wanita itu menghentikannya untuk berbicara.
"Kaau tak perlu khawatir, sayang. Aku bisa melakukannya, dan kali ini aku akan berhati-hati agar tidak mendapatkan masalah lagi," janji Juan.
Celeste yang melihat kesungguhan diwajah Juan hanya mampu mengiyakan keinginan kekasihnya itu. Iapun memeluk Juan kembali.
***
Seorang lelaki berjas hitam berwajah tampan dengan rahang tegas khas pria italia melangkah cepat memasuki sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang kerja.
Disana duduk seorang pria paruh baya dibalik meja kerja. Dengan raut wajah serius melihat selembar kertas ditangannya.
Mengetahui kedatangan pria berjas hitam itu, si pria paruh baya segera mengalihkan perhatiannya dan berkata, "Bagaimana, Angelo? Apakah kamu sudah tahu dimana keberadaan Juan?"
"Ya, tuan Maximo. Tapi saya belum memastikannya apakah itu Tuan Juan atau bukan," jawab pria yang dipanggil Angelo itu.
"Kalau begitu, cepat pastikan apakah benar ia Juan atau bukan. Sudah cukup ia berkeliaran diluar sana. Ia harus segera kembali untuk meneruskan bisnis keluarga Maximo. Terlepas ia tertarik atau tidak dengan bisnis ini!" perintah Don Maximo, ayah Juan Maximo itu tegas.
"Baik, Tuan Maximo," jawab Angelo tegas sambil sedikit membungkukkan badan dan berbalik pergi.
Don Maximo bangkit dari kursinya menuju jendela besar berbingkai kayu berwarna coklat tua yang berada dibelakangnya. Ia berdiri disana dengan kedua tangan bersilang dibelakang.
Matanya yang teduh menatap kearah kebun bunga yang terhampar dihalaman rumah keluarga Maximo yang terlihat dari jendela tempat Don Maximo berdiri.
"Juan, kau harus segera kembali kesini, nak. Harapan keluarga Maximo ada ditanganmu. Kau harus segera mengambil alih bisnis keluarga kita agar tidak ada lagi yang berani memperebutkan kekuasaan keluarga Maximo," gumam Don Maximo lirih.
####Juan berjalan menyusuri pasaraya kota Siracusa. Ia menawarkan dirinya untuk berbelanja pada Bu Maurice. Juan merasa bosan dirumah dan ingin jalan-jalan sejenak untuk menghilangkan kekusutan pikirannya. Sudah dua minggu ini ia mencari pekerjaan dikota kecil Siracusa, namun tidak ada satupun yang menerima dirinya. Alasannya sama, belum membutuhkan karyawan baru. Dihembusnya kuat-kuat nafasnya, berusaha membuang kekesalan yang ada. Juan berhenti didepan kios yang menjual berbagai macam buah-buahan segar. Juan ingin membeli buah anggur pesanan Bu Maurice. disaat ia tengah memilih, datanglah sekelompok pria berpakaian serba hitam menghampiri dirinya. Salah satu dari pria itu menarik bahu Juan dengan kasar sampai tubuhnya tertarik paksa kebelakang menghadap pria itu. Kemudian kedua tangannya langsung dipegang oleh dua orang pria dari kelompok itu. Ia diseret pergi dari kios buah tempatnya berdiri. Juan dibaw
"Papa kenapa, Angelo?" desak Juan. "Papamu sudah mulai tua, tuan Juan. Tubuhnya tidak sekuat dulu lagi. Kini ia mulai sakit-sakitan. Disamping itu, pamanmu dan putranya sangat berambisi mengambil alih bisnis dan kekuasaan keluarga Maximo," jelas Angelo dengan wajah murung. "Jika mereka mengetahui bahwa anda tidak tertarik menjalankan bisnis papamu, aku khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan," sambung Angelo dengan nada cemas. Mendengar penjelasan Angelo, Juan hanya terdiam. Ia sesungguhnya enggan untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Sebab ia memiliki trauma yang cukup dalam terkait bisnis keluarganya itu. Namun, ia juga tidak bisa menolak. Karena ia satu-satunya penerus dari Keluarga Maximo. "Jadi aku harus bagaimana?" akhirnya Juan bertanya. Angelo memandang wajah Juan, lalu berkata "Anda harus pulang untuk bertemu dengan Tuan Dominica dan membicarakan hal ini, Tuan Juan." "Apakah tidak ada cara lain? Aku masi
"Tuan Juan, ada tak apa-apa?!" Samar-samar terdengar suara Angelo menanyakan keadaannya. Juan menatap Angelo dengan pandangan yang mulai kabur. "Cepat! Bawa tuan Juan kerumah sakit! Para preman ini biar aku yang memberinya pelajaran!" Perintah Angelo pada anak buahnya. Anak buah Angelo segera mengangkat tubuh Juan yang babak belur dan tak berdaya kedalam mobil. Setelah itu mereka segera pergi ke rumah sakit. Sebelum kesadarannya hilang, samar-samar Juan dapat melihat Angelo berdiri dengan mata menatap tajam para preman didepannya, senyum tersungging dibibir Angelo. Setelah itu kesadaran Juan menghilang. "Oke! Kalian para bajingan! Hadapi aku!" Seru Angelo dengan senyum mengejek diwajah. Pemimpin kelompok itu langsung memuncak emosinya ketika melihat senyum mengejek diwajah Angelo. Tanpa banyak bicara, ia segera memerintahkan anak buahnya menyerang Angelo yang hanya seorang diri. "Habisi pria itu! Sekarang!!!!" Ana
Perlahan Angelo memindahkan kakinya dari kepala pemimpin preman itu. Merasakan kepalanya tak lagi diinjak oleh Angelo, pria itu hendak menarik nafas lega. Namun dengan cepat Angelo menarik kencang baju pria itu hingga terduduk. "Aku butuh nama lengkapnya, sialan!" desis Angelo diwajah pemimpin preman itu. Pria itu membelalak terkejut dengan tindakan tak terduga itu. "Ce-Celeste! Celeste Ferrari! Itu nama orang yang mengirimku!" seru pria itu ketakutan. Angelo menatap tajam pria itu dan cengkramannya di kerah baju pria itu semakin kencang membuat pemimpin preman itu tercekik dan mulai kehabisan nafas. "Be-benar! Ak-aku tidak bohong! Celestelah yang mengirim kami un-untuk mengganggu pria itu!" Pemimpin preman itu berkata terburu-buru dengan leher semakin tercekik. Wajahnya semakin memerah akibat kurangnya suplai oksigen. Melihat hal itu, Angelo lalu melepaskan cengkramannya dengan kasar. Pemimpin preman itu langsung mengusa
Angelo berdiri mematung menatap Juan yang terlihat sangat terkejut. "Pemimpin preman itu memberikannya padaku," jawab Angelo. "Apa?" "Apa kau mengenalnya, tuan Juan?" Tanya Angelo kembali. "Mmm... Ti-tidak! Aku tidak mengenalnya!" Jawab Juan berbohong. "Kau yakin, tuan?" Selidik Angelo. "Cukup, Angelo! Aku ingin istirahat!" Seru Juam seraya merebahkan tubuhnya kembali di kasur. Angelo yang merasakan ada keanehan pada diri Juan masih belum beranjak dari tempatnya. Pria itu masih memperhatikan Juan dengan seksama. "Mengapa kau masih disini? Pergilah!" Usir Juan kesal. Angelo akhirnya membungkukkan badannya memberi hormat pada Jaun dan segera keluar. Diluar Angelo masih terus memikirkan sikap Juan yang berubah aneh saat ia menyebut nama Celeste Ferrari. "Aku rasa tuan Juan mengenal wanita bernama Celeste Ferrari ini," gumam Angelo dengan kening berkerut. "Sikapnya tadi sungguh aneh, ia seperti menye
Tiba-tiba kedua mata Celeste terbuka. Melihat ada seorang pria tak dikenal sangat dekat dengan wajahnya, spontan Celeste berteriak. "Aaa! Apa yang kau lakukan?!" Celeste mendorong Angelo hingga pria itu jatuh terjengkang kebelakang. Angelo yang tak menduga Celeste akan sadar dari biusnya tentu saja sangat terkejut dan sekaligus malu dengan perbuatannya tadi. "Apa yang kau lakukan padaku, hah? Mengapa kau membawaku kesini? Siapa kau sebenarnya?!" Celeste memberondong Angelo dengan beberapa pertanyaan. Sementara itu Celeste sudah berdiri disudut kamar itu dengan sangat waspada. Angelo bangkit dari jatuhnya sambil tersenyum menahan malu. Ia kemudian berjalan mendekati Celeste. "Tak kuduga kau wanita yang sangat pemberani, Celeste," puji Angelo. "Apa maumu, hah?!" Seru Celeste menyembunyikan rasa takutnya. "Jangan takut padaku. Aku tak akan menyakitimu, nona," ucap Angelo sambil menjaga jarak dengan Celeste. "
Celeste termenung didepan jendela kamarnya. Ia memikirkan setiap kalimat yang diucapkan pria bernama Angelo itu. "Juan kekasihmu adalah putera tunggal Dominica 'Don' Maximo, nama aslinya adalah Juan Alessandra Maximo." "Maukah kau ikut bersama Juan kembali ketempat asalnya?" Celeste memijit kepalanya yang tak sakit, ia hanya sedikit pusing memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh Angelo. Celeste tidak ingin gegabah mengambjl keputusan. Jadi ia meminta waktu pada pria itu. Celeste lalu diantar pulang kerumahnya. "Ah, memikirkan hal ini membuatku jadi ingin minum-minum," ucap Celeste dalam hati. Jadi iapun beranjak dari kamarnya menuju mini bar yang berada diruang santai dilantai satu. Celeste mengambil sebotol red wine dan membukanya. Dituangkannya cairan berwarna merah pekat itu kedalam gelas dan Celeste menyesapnya perlahan. "Hm... Pilihan apa yang harus aku ambil, Juan?" Gumam Celeste seraya melihat bayangannya digela
Wajah Celeste memerah, ekspresinya berubah marah pada sang ayah. "Papa! Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?!" seru Celeste. "Memangnya apa yang salah dari ucapanku, Celeste?" Armando balik bertanya tanpa rasa bersalah. "Papa mencoba menjualku pada pria gendut menjijikkan itu!" sembur Celeste marah. "Hahahaha! Apa maksudmu, nak? Pikiranmu terlalu jauh!" balas Armando tertawa terbahak-bahak. Celeste memandang ayahnua dengan sengit seraya memutar bola matanya. "Tentu saja aku tak menjualmu! Pikiran macam apa itu? Aku menyuruhmu menikah dengannya, sayang. Me-ni-kah! Secara RESMI," jelas Armando dengan menekankan kata 'resmi'. "Sama saja, papa. Apa bedanya?!" "Tentu saja beda, sayang. Jika aku menjualmu, kau hanya akan menjadi simapanannya. Sedangkan jika kau menikah, kau akan dikenal semua orang sebagai istri Walikota," jelas Armando seraya tersenyum puas. "Kau gila, papa. Aku anggap pembicaraan ini tak perna
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.